Memijakkan Feminisme melalui Materialisme Historis: Tawaran untuk Islam Progresif

3.7k
VIEWS

Sejak tahun 2000,  50 juta perempuan di negara mayoritas Muslim telah memasuki pasar kerja. Pada 2015 angka ini naik hingga tiga kali lipat sehingga menambah total 155 juta perempuan yang bekerja di dunia Muslim, hampir separuh jumlah laki-laki sebesar 342 juta. Para perempuan ini mengisi 31 persen tenaga kerja di dunia Islam, termasuk di antaranya adalah kalangan terdidik yang mengisi posisi sebagai kaum profesional. Kondisi ini menandai suatu transformasi global dalam relasi gender yang dianggap akan membawa perubahan sosial di mana kaum perempuan akan menegosiasikan nilai, norma, dan kepentingan mereka, sehingga akan berkontribusi pada peran mereka dalam pertumbuhan ekonomi.

Namun, situasi tersebut terjadi seiring dengan ketimpangan antar-kelas yang semakin tajam sebagai konsekuensi dari pembangunan yang tak berorientasi pada keadilan sosial di tengah krisis lingkungan, imigrasi, dan kebijakan neoliberalisme. Bulan November lalu misalnya, Yayasan Pusaka mempublikasikan laporan bertajuk ‘Setahun Moratorium: Mendesak Negara Memulihkan Hak Masyarakat’ mengenai buruh perempuan dalam perkebunan kelapa sawit di Papua. Tulisan yang merujuk pada laporan riset yang disusun oleh Rassela Malinda ini menemukan bahwa buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit mengalami penindasan berlapis melampaui laki-laki, yaitu beban ganda, reproduksi sosial, keselamatan dan kesehatan kerja, dan diskriminasi berbasis gender. Satu kutipan sebagai ilustrasi:

RK, perempuan berusia 28 tahun, sudah berhenti selama setahun belakangan dari perusahaan sawit  di kampungnya, Distrik Klasari, Papua Barat. Ia didiagnosa mengalami asam lambung, yang kerap menimbulkan rasa sesak di ulu hatinya. Penyebabnya? Ia hampir selalu telat makan ketika bekerja di perkebunan. Sistem target membuatnya terus diburu waktu untuk menyelesaikan pekerjaan, alhasil ia kerap enggan makan sampai pekerjaan belum selesai. Selama dinyatakan sakit, ia tidak bisa menggunakan fasilitas BPJS yang sudah ia bayarkan tiap bulan, dipotong dari gaji pokoknya. Menurut pihak rumah sakit, perusahaan belum menjalin kerja sama dengan mereka, sehingga BPJS tidak berlaku. RK dan suami harus merogoh kocek pribadi yang tidak sedikit. 

Laporan tersebut disosialisasikan pada acara yang mengundang masyarakat adat Papua, menjelang 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), yang puncaknya bertemu dengan Hari HAM Internasional tanggal 10 Desember tiap tahunnya. Seiring itu, berbagai perhelatan digelar di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jakarta, untuk mengisi 16 HAKTP. Salah satu kegiatan terbesar untuk mengisi momentum ini diselenggarakan oleh Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta dengan Feminist Festival (FemFest) yang mengusung tema ‘Feminis Buatan Indonesia’ selama 2 hari (23-24 November) dan dihadiri lebih dari 200 peserta. Berupaya untuk merespon kritik atas kegiatan feminisme sebagai pemahaman dari Barat dan lingkaran yang eksklusif, FemFest mencoba merespon dengan melibatkan berbagai kalangan yang dianggap representatif, mengaitkan diskusi panel feminisme dengan tema-tema yang relevan dan bersumber dari problematika dan kondisi di Indonesia seperti reforma agraria, hak pekerja, interseksionalitas, kebebasan berekspresi, identitas gender, kesehatan reproduksi, agama, dan krisis iklim. Isu kontemporer seperti RKUHP dan RUU PKS juga diangkat.

Penindasan yang dialami perempuan Papua seperti RK merupakan wujud riil yang perlu direspon gerakan feminisme di Indonesia, salah satunya melalui simpul gerakan dan solidaritas dari perhelatan berbasis kelas menengah terdidik seperti FemFest di Jakarta. Tentu, rangkaian tema diskusi FemFest terhubung erat dengan nasib buruh perempuan kelapa sawit di Papua, terutama ketika menautkannya dengan kultur patriarkal. Namun, patriarkisme – meski telah hadir sejak manusia mulai bermasyarakat dan mencipta sistem kepemilikan pribadi – menopang sistem eksploitasi yang lebih besar, yaitu pembagian kelas dalam kapitalisme.

Pentingnya perspektif kelas dalam feminisme tidak berarti mengesampingkan elemen interseksionalitas. Kelas merupakan aspek sentral namun bukan eksklusif atau tunggal, karena secara konkret kelas bersinggungan dalam totalitasnya dengan ras dan relasi lainnya. Raju Das menegaskan keutamaan perspektif kelas sembari menjadikan relasi non-kelas seperti ras dan gender sebagai bagian penting, dikarenakan kelas yang tereksploitasi adalah pihak yang paling menderita dari penindasan rasial dan gender (Das, 2017: 17).

Tulisan ini berargumen bahwa feminisme di Indonesia memerlukan pijakan materialisme historis untuk menguatkan basis analisis dan membangun solidaritas gerakan di tengah ketimpangan pembangunan, akses informasi, dan jurang ekonomi yang tajam antara kelas, wilayah urban-rural, serta Jakarta dan kota-kota besar lainnya dengan wilayah seperti Papua. Secara spesifik, Islam progresif juga harus menjadikan feminisme bagian integral dari praksis emansipatorisnya. Tulisan ini dibagi ke dalam empat bagian. Pertama, pemahaman awal tentang feminisme dan tantangan bagi Islam Progresif, kedua, kapitalisme dan reproduksi sosial, ketiga, memijakkan feminisme melalui materialisme historis, dan keempat, tawaran untuk Islam Progresif.

Feminisme: Pemahaman awal dan tantangan bagi Islam Progresif

“Sebagaimana ulama laki-laki, ulama perempuan bertanggung jawab melaksanakan misi kenabian untuk menghapus segala bentuk kezaliman sesama makhluk atas dasar apapun, termasuk agama, ras, bangsa, golongan, dan jenis kelamin. Sebagai pengemban tanggung jawab ini, ulama perempuan berhak menafsirkan teks-teks Islam, melahirkan dan menyebarluaskan pandangan-pandangan keagamaan yang relevan.”

Itulah salah satu kutipan dari ikrar Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang dilaksanakan pada 25 April 2017 lalu di Cirebon. Acara ini dihadiri oleh 298 peserta orang dari 15 negara, termasuk Pakistan, Malaysia, Arab Saudi, Kenya, dan Nigeria.

Sebagai permulaan, kongres ini mengafirmasi dan mereposisi peran perempuan dalam sejarah dan tradisi keislaman. Hal ini diakui perlu sebagai basis legitimasi dari kecakapan ilmu mereka dalam memutuskan perkara-perkara individu dan umat berbasis ajaran Islam. Salah satu sesi diskusi di kongres adalah ini mengenai kekerasan berbasis gender, pemberdayaan perempuan, transformasi konflik, dan gerakan kolektif melawan ketidakadilan gender, radikalisme, dan keamanan global. Namun, diantara banyak tema yang menarik untuk disikapi, kongres ini kembali ke dalam jalur ‘arus utama’ atau tren global yaitu peneguhan identitas yang damai dan ‘jinak’. Di dalam berbagai liputan media, Menteri Agama saat itu Lukman Hakim Saifuddin membacakan tiga makna dari kongres tersebut, yang diartikan sebagai hasil dari kongres. Di antaranya adalah peneguhan dan penegasan bahwa moderasi Islam harus dikedepankan, yaitu Islam yang moderat, rahmatan lil alamin, dan tidak menyudutkan posisi perempuan.

Dengan hadirnya beragam ulama perempuan mancanegara melalui KUPI, peneguhan identitas dan afirmasi atas legitimasi keilmuan dan posisi mereka adalah suatu pernyataan penting. Hasil dari kongres tersebut tentu diharapkan bisa menggodok aspirasi dan tafsiran kritis atas persoalan sosial politik, sehingga tawaran moderasi dan rahmatan lil alamin dapat dirumuskan ke dalam kegiatan bersama untuk menyelesaikan ragam problem umat yang empiris, khususnya perempuan.

Ulama perempuan dan Feminis Islam memang posisi yang memiliki arsiran kuat, meski secara definisi dan praktiknya terdapat perbedaan dan perdebatan. Sebelumnya, feminisme dalam Islam memang telah mendapat porsi kajian dari berbagai tokoh seperti Nawal el-Saadawi, Fatimah Mernisssi, Ashgar Ali Engineer, Amina Wadud, dsb. Melalui berbagai varian dan pemikirannya, mereka mencoba menggali sumber-sumber klasik maupun ragam problem empirik terkait posisi perempuan di dalam teks dan konteks keislaman. Sejauh ini, banyak kajian terkait hak-hak perempuan dan kesetaraan gender dalam Islam mencoba mendobrak dominasi patriarki melalui penafsiran ulang posisi perempuan dalam hukum Islam, utamanya dalam hukum keluarga seperti pernikahan, waris, perceraian, ibadah ritual, hingga partisipasi di ruang publik. Di lain sisi, penolakan dan pengabaian terhadap feminisme oleh berbagai kelompok Islam kerap tidak hanya dilakukan secara eksplisit, melainkan melalui ketidakhadiran atau eksklusi perempuan ke dalam wacana, dakwah, dan perbincangan soal Islam dalam ranah publik.

Feminisme bukanlah suatu aliran, ideologi, atau konsep yang tunggal. Ia terbuka untuk diadopsi, dikritisi, dan digunakan secara ilmiah sebagai kajian pengetahuan maupun fondasi aktivisme, gerakan, mobilisasi, dan pengorganisiran. Feminisme adalah filsafat, aktivisme, metodologi dan perspektif yang menganalisis dan mengajukan berbagai upaya untuk merespon problem dan mentransformasi kondisi multidimensi terkait perempuan dan relasinya dengan kehidupan, bertumpu pada pengalaman partikular perempuan dan keterhubungannya dengan berbagai bentuk penindasan lain berdasarkan ras, agama, gender, nasionalisme, dan kelas. Ini membuat feminisme tidaklah terpisah dengan aspek atau kajian lain.

Cakupan feminisme ini urgen untuk merespon tantangan politik kontemporer dalam skala lokal, nasional, regional, dan internasional, karena semuanya saling terhubung. Krisis ekonomi, tendensi ke arah politik sayap kanan yang populis dan/atau fasis dan rasis, maupun berbagai problem krisis pengungsi, degradasi lingkungan, dan perang yang terus berkecamuk di berbagai tempat telah membawa dampak sosial, ekonomi dan politik yang akut. Globalisasi dan reproduksi dari aspek-aspek maskulinitas/misoginis melalui budaya populer seiring dengan elemen-elemen patriarkisme tradisional beroperasi baik secara subtil maupun eksplisit di dalam kebijakan dan jahitan ikatan sosial. Di kelindan ini, perempuan lintas ras, kelas, dan kepercayaan secara kontinyu menghadapi masalah berlapis dari ketidakadilan ekonomi dan peminggiran hak-hak dasar mereka.

Dinamika gender dengan realitasnya yang beragam wujud dalam Islam, sebagaimana perempuan di konteks agama, sosial dan politik lainnya, menuntut definisi feminisme yang jernih. Bagi Sa’diyya Shaikh, misalnya, feminisme merupakan,

[…] a critical awareness of the structural marginalization of women in society and engaging in activities directed at transforming gender power relations in order to strive for a society that facilitates human wholeness for all based on principles of gender justice, human equality, and freedom from structures of oppression. (Shaikh, 2003)

Feminisme Islam perlu dikembangkan berdasarkan problem riil perempuan dan tautannya pada kondisi struktural yang lebih luas, seiring dengan upaya menggali aspek-aspek teologis dan idealis. Kritik feminisme Islam terhadap feminisme Barat (barat-sentris, bias Global North yang didominasi oleh pengalaman perempuan kulit putih terutama kelas menengah) merupakan hal yang valid ketika berkonsekuensi pada produksi pengetahuan yang menafikan pengalaman dan pengetahuan perempuan yang partikular di Global South, terutama karena pergulatan mereka dengan kolonialisme dan imperialisme.

Salah satu akademisi yang mengritik feminisme Barat arus utama (terutama liberal dan sekuler) adalah Saba Mahmood dalam kajiannya terhadap kelompok pengajian Muslimah di Mesir. Mahmood menggunakan analisis feminis atas apa yang ia sebut sebagai ‘docile agency’. Analisis ini memungkinkan Mahmood untuk mengeksplorasi berbagai cara yang dilakukan perempuan untuk bernegosiasi dan melawan dominasi kaum pria di tengah struktur subordinasi melalui upaya subversif terhadap praktik-praktik kultural yang hegemonik untuk kepentingan kaum perempuan (Mahmood, 2005). Melihat dari perspektif ini berarti kita memberi perhatian pada keberagaman agensi perlawanan perempuan dalam karakter masyarakat yang berbeda-beda sehingga kita terhindar dari maupun mampu mengritisi reduksi atas makna atau teori soal kekuasaan (ibid.). Mengapresiasi agensi Muslimah di tengah keterbatasan sistem dan struktur lingkungan masyarakat atau kelompok Islam yang cenderung konservatif dapat dilakukan seperti melalui pengakuan atas ‘docile agency’ yang dilakukan oleh Saba Mahmood sebagai ‘perlawanan dalam kehidupan sehari-hari’.

Sebagai contoh, penelitian bersama yang saya lakukan sebagai tim dari International Center for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) dan Universitas Amsterdam beberapa tahun silam di Aceh terhadap berbagai pesantren (dayah) tradisional perempuan maupun yang dikelola dan dipimpin perempuan menunjukkan ‘docile agency’ ini sebagai bentuk negosiasi yang berkontribusi pada konteks perdamaian pascakonflik di Aceh.[i] Adanya spektrum yang kompleks dalam agensi kaum perempuan di tengah kultur pesantren yang didominasi ulama laki-laki ini menampilkan berbagai ‘politik keseharian’ tokoh perempuan pesantren yang tidak monokrom dan tidak melulu bisa ditafsirkan sebagai sikap submisif dalam keterbatasan lingkungan dengan norma gender yang konservatif. Pada beberapa momen, sebagian dari mereka justru menantang kekuasaan dan patriarkisme melalui berbagai cara. Tantangannya adalah bagaimana peran domestik mereka dalam kehidupan sehari-hari yang kerap beriringan dengan kegiatan ekonomi dan politik di ruang publik mampu memberi ruang intervensi untuk bergerak secara bersama dengan agenda transformatif yang lebih mendasar di tengah perubahan sosial yang terjadi di Aceh.

Inti dari pijakan ini adalah konsep reproduksi sosial yang mengiringi kapitalisme.

Kapitalisme dan reproduksi sosial

 

Dalam hidup, manusia melakukan dua hal: produksi dan reproduksi. Selain biologis, mereka juga memiliki dimensi sosial untuk keberlangsungan hidup. Reproduksi sosial bisa diartikan sebagai “reproduksi kehidupan itu termasuk reproduksi dan perawatan manusia, produksi di dalam rumah dan kerja informal yang mendukung dan kadang menantang infrastruktur kultural dari relasi sosial.” (Rai et al, 2019). Reproduksi sosial terdiri atas reproduksi biologis, produksi domestik, dan reproduksi budaya dan ideologi:

Ranah reproduksi sosial ini dianggap sebagai ranah kerja perempuan yang ‘terberi’/alamiah sehingga berbagai ketimpangan dan ketidakadilan yang muncul sebagai turunan dari ranah ini dianggap norma atau sesuatu yang harus diterima. Ketidaksetaraan gender menjadi problem yang secara struktural direproduksi melalui relasi sosial kapitalis (Bhattacharya, 2015).

Kemunculan kapitalisme sendiri erat kaitannya dengan penindasan perempuan di dalam proses akumulasi primitif. Akumulasi primitif tidak semata akumulasi dan konsentrasi dari pekerja yang dapat dieksploitasi dan kapital, melainkan juga akumulasi perbedaan dan pembagian di dalam kelas pekerja, yaitu hirarki yang dibangun berdasarkan gender, ras, dan usia, sehingga sentral bagi kekuasaan berdasarkan kelas dan formasi proletariat modern, terkhususnya kaum perempuan, yang kuasanya menjadi target penghancuran untuk mentransformasi tubuh menjadi mesin-kerja dan reproduksi untuk tenaga-kerja  (Federici, 2009: 63).

Baca Juga:

Secara singkat, kapitalisme adalah sistem di mana kepemilikan alat-alat produksi dan kekuasaan modal dan kekuatan ekonomi dikuasai oleh segelintir orang yang bergantung pada eksploitasi, penindasan, atau penghisapan mereka terhadap mayoritas orang yang berstatus sebagai pekerja. Namun, berbeda dengan zaman sebelum kapitalisme, di mana sistem feodalisme dan perbudakan terjadi, kapitalisme beroperasi melalui apa yang disebut sebagai ‘mekanisme pasar’. Artinya, praktek eksplotasi, penindasan, dan penghisapan atas kaum pekerja tampak seperti suatu bentuk kebebasan atas dasar negosiasi permintaan di pasar kerja, padahal secara struktur mekanismenya dipenuhi oleh berbagai bentuk eksploitasi—terselubung maupun tidak.

Karakter pembangunan di tingkat global yang lekat dengan kapitalisme, termasuk di Indonesia, memiliki kontradiksi. Di satu sisi, ‘pembangunan’ mencoba melibatkan semua orang termasuk laki-laki, perempuan dan anak ke dalam proses produksi, di lain sisi, ada upaya untuk mempertahankan kerja reproduktif sebagai ‘tugas perempuan’ untuk meminimalisir biaya kerja, baik oleh perusahaan maupun negara. Aspek ini membuat perempuan menjadi tenaga kerja yang rentan dieksploitasi. Penekanan pada fungsi reproduksi sebagai sesuatu yang terberi dan mengalami komodifikasi di dalam proses kapitalisme global telah menimbulkan persoalan kemanusiaan yang serius. Salah satu contohnya adalah seperti yang dilansir Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan bahwa tren global dan faktor ekonomi berdampak pada kekerasan seksual sebagai berikut,

Trend global, misalnya perdagangan bebas, telah diiringi oleh peningkatan pergerakan perempuan dan remaja perempuan di seluruh dunia sebagai pekerja, termasuk untuk kerja seks. Program penyesuaian struktural ekonomi yang dibawa oleh lembaga internasional telah menampakkan kemiskinan dan tingkat pengangguran di beberapa negara dan karenanya meningkatkan kecenderungan trafficking untuk eksploitasi dan kekerasan seksual – ini khususnya terlihat di Amerika tengah, Karibia, dan sebagian Afrika.[ii]

Kondisi kemiskinan, situasi struktur dan aktor yang netral gender – bahkan patriarkis – serta kesadaran kolektif perempuan soal keadilan menantang regulasi dan konsep penyelesaian yang tak hanya menitikberatkan pada tuntutan akses layanan yang disediakan negara, tapi juga perempuan dalam kaitannya dengan hak atas ruang: ruang biologis, politis, dan sosiologis. Tubuh perempuan yang dalam kebijakan pemerintah terlupa namun kerap “dipetakan” sebagai wilayah politik tidak memiliki otonomi dalam relasi kultural serta produksi dan reproduksi, sehingga selalu dalam situasi rentan untuk mengalami kekerasan seksual. Namun, persoalan ‘tubuh’ dan ‘identitas’ ini perlu kita telisik akarnya dari analisis reproduksi sosial tanpa meninggalkan dimensi lainnya, agar tidak terjebak pada perdebatan di permukaan yang kerap memecah belah perjuangan emansipasi perempuan.

Persekutuan kapitalisme dengan ideologi maskulinitas, rasisme, seksisme, dan fasisme mengejawantah dengan bentuk terbarunya, neoliberalisme, yang mulai matang di tahun 1980-an dan telah merembes ke segala penjuru. Kapitalisme memang membentuk cara pandang kita dari hal yang makro hingga mikro. Kapitalisme mendapat untung dari berbagai bentuk penindasan gender, ras, etnis, dan kelas. Sementara itu, term ‘kesetaraan gender’ ala liberalisme dalam kesejarahannya memiliki semangat pembebasan yang problematik, utamanya karena ia tumbuh dari global North beriringan dengan era kolonialisme Eropa. Pada perkembangannya, feminisme liberal justru terkooptasi oleh kapitalisme.

Di saat yang sama, masyarakat Muslim dan kelompok Islam yang menghadapi berbagai perubahan sosial bertarung dengan diskursus soal tubuh, posisi dan ruang perempuan. Dinamikanya seolah berada di wilayah tersekat: pertama, Islam adalah agama patriarkis yang mengekang perempuan, lalu feminisme Barat mencoba menyelamatkannya dengan berbagai forum dan kajian kritis yang bias. Kedua, Islam adalah agama yang melindungi perempuan dalam doktrin yang ketat sehingga semua perspektif, analisis dan paham dari luar adalah sesat. Ketiga, lembaga asing beserta donor mereka mempromosikan dan mendukung beragam kegiatan pemberdayaan dan kesetaraan gender dari berbagai kelompok Islam yang dianggap reformis, moderat, atau liberal.

Pintu masuk untuk membuka wacana feminisme atau kesetaraan gender dalam Islam di Indonesia umumnya dilakukan di isu hak reproduksi perempuan dan hukum keluarga dalam teks-teks keislaman, selain dari partisipasi perempuan dalam politik formal dan pemberdayaan ekonomi. Problem yang dianalisis feminisme beragam dalam banyak konteks, tapi yang paling urgen dan mengakar saat ini adalah melihat fragmen-fragmen ini dalam keterhubungannya dengan dampak kapitalisme yang multidimensi. Ini bisa dilihat dari rentannya perempuan menjadi korban paling terpuruk dalam kekerasan domestik, kemiskinan, perusakan lingkungan, perang, hingga pelayanan dan fasilitas publik.

Untuk membumikan keempat aspek (filsafat, aktivisme, metodologi, perspektif) yang menopang feminisme, kita membutuhkan pendekatan atau metode yang bergeser dari isu identitas, bias moralitas dan jargon institusional, melainkan rumusan yang kuat secara teoretis dan berpijak pada kondisi riil yang tidak ahistoris, yaitu materialisme-historis dengan penekanan pada aspek ekonomi politik (ekopol) sebagai fondasi yang mengatur bagaimana dimensi sosial, budaya, dan hukum dikonstruksikan. Ini penting agar perlawanan, termasuk feminisme memiliki kekuatan dan pijakan teori-praktik yang jernih.

 

Memijakkan feminisme melalui materialisme-historis (MH)

 

Materialisme dan historis menunjukkan bagaimana pendekatan ini dilakukan dengan cara reflektif, yaitu menyoal “relasi antara bagaimana pengalaman [kita] sehari-hari, realitas sosial material dimana kita hidup dan bagaimana kita memahami dan mencerna realitas” (Carpenter dan Mojab, 2017: 3). Materialisme merujuk pada:

Sedangkan historis, atau ‘menyejarah’ berarti kondisi yang membentuk dan mengelilingi kita sekarang ini tidaklah muncul taken for granted atau sebatas akibat niat baik/buruk penguasa masa kini atau produk hukum/kebijakan tertentu yang baru, melainkan merujuk pada:

Materialisme:

Pendekatan MH melihat aspek reproduksi sosial sebagai cara untuk melihat akar permasalahan. Membumikan feminisme dari aspek material ini merujuk langsung pada aspek yang bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-hari di mana kaum perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak dari problem atau krisis sosial, ekonomi dan politik.

Salah satu tokoh yang dianggap memberi kontribusi penting yang konsisten terhadap feminisme Marxist adalah Lise Vogel. Karya klasiknya Marxism and the Oppression of Women mendasarkan kajian feminismenya langsung dari Das Kapital, bukan dari karya yang lebih lazim dirujuk oleh para feminis seperti German Ideology atau Holy Family. Edisi perdana Marxism and the Oppression of Women terbitkan tahun 1983, pada dekade neoliberalisme dan berpalingnya banyak feminis sosialis (serta Feminisme Gelombang Kedua) dari isu-isu yang banyak merujuk dan beririsan dengan Marxisme ke isu identitas atau politik pengakuan. Secara tidak langsung, giatnya kaum feminis ke dalam isu politik identitas ini sejalan dengan neoliberalisme yang mendepolitisasi banyak gerakan sosial dan mengesampingkan isu-isu keadilan ekonomi politik.

Bagi Vogel, semua perempuan, tak hanya kelas pekerja, tertindas dalam masyarakat kapitalis dengan beragam bentuk. Perempuan dianggap paling bertanggung jawab dan karenanya berkontribusi besar bagi kerja domestik, yaitu perawatan dan pembaharuan untuk ‘surplus populasi relatif’ (yaitu generasi masa depan yang akan jadi calon atau cadangan tenaga buruh bagi kapitalisme) maupun tenaga kerja aktif yang siap mengisi pasar kerja. Ini membuat kaum kelas pekerja menjadi penopang bagi surplus populasi, sehingga kaum perempuan kelas pekerja mengemban tugas domestik ini (Vogel, 2013: 168). Oleh karena itu, kesetaraan seseorang bukan suatu prinsip abstrak atau ideologi tertentu, melainkan kecenderungan kompleks dengan akar pada ranah produksi dan reproduksi sehingga minimnya kesetaraan adalah bentuk spesifik dari penindasan perempuan dalam masyarakat kapitalis (ibid: 194).

Kondisi material ini, sepanjang sejarahnya, melahirkan berbagai aksi protes, pemberontakan, dan perlawanan dilakukan yang melibatkan perempuan di titik sentral. Perubahan dan transformasi sosial tidaklah terjadi akibat ‘niat baik’ kaum kaya, melainkan karena massa melawan ketidakadilan dari bagaimana kapitalisme beroperasi.

Historis:

Feminisme diproduksi oleh berbagai peristiwa sejarah dengan perubahan material dan ideologis yang penting yang mempengaruhi perempuan, sehingga perempuan dan ekspansi kapitalisme merupakan persilangan penting dari watak gerakan perlawanan mereka (Jayawardena, 2016). Kolonialisme Eropa di seluruh penjuru dunia membentuk kesejarahan problem perempuan hingga saat ini.

Vogel (2013) mengutip kajian Engels terhadap nasib buruh perempuan di pabrik pada abad ke-19 di Inggris, yang disebut Engels sebagai bentuk riil ‘demoralisasi’ melalui pelecehan seksual buruh perempuan oleh kaum majikan dengan ancaman pemecatan, kehamilan tidak diinginkan, alkoholisme dan mabuk-mabukan, bunuh diri, minimnya pendidikan, dan tingginya tingkat kejahatan dan brutalitas individual. ‘Demoralisasi’ dalam kacamata Engels ini tidak dimaksudkan sebagai penghakiman moral ala tradisionalis yang berbasis pada aspek-aspek abstrak, melainkan pada kondisi materiil (dan fisik) sebagaimana Engels menjelaskan dampak penghisapan kapitalisme atas perempuan buruh pabrik yang dikutip Vogel (2013: 46):

Jam kerja panjang serta kerja dan kondisi hidup yang mengerikan membuat perempuan pekerja rentan dengan kerusakan tulang dan penyakit. Mereka memiliki tingkat keguguran yang tinggi. Melahirkan amatlah sulit. Kekhawatiran atas hilangnya upah atau pemecatan membuat para perempuan pekerja yang hamil bertahan dalam pekerjaan mereka hingga momen terakhir. […] Hanya sedikit yang sanggup tinggal di rumah lebih dari seminggu atau dua minggu setelah melahirkan anak. […] Bayi-bayi mereka menjadi lemah; kemungkinan 50 persen dari anak-anak kelas pekerja tidak pernah sampai pada usia lima tahun. Secara umum, anak-anak di wilayah pabrik cenderung ‘pucat dan tidak sehat’, ‘lemah dan terhambat pertumbuhannya’. Menstruasi sering terlambat datang, atau tidak sama sekali.

Akar eksploitasi perempuan dalam masyarakat kapitalis adalah pembagian kerja berdasarkan aspek seksual dan kerja perempuan yang tak berbayar. Kondisi ini mencerminkan dikotomi antara patriarki dan kelas, dan memberi patriarki suatu konteks historis yang spesifik. Konteks historis ini bisa dilihat dari periode Eropa era transisi kapitalisme, adalah perempuan yang umumnya menginisiasi dan memimpin perlawanan atas krisis pangan. Tercatat setidaknya enam dari tigapuluh satu pemberontakan pangan di Perancis abad ke-17 secara eksklusif dilakukan oleh kaum perempuan (Frederici, 2009: 80). Ini menjelaskan bagaimana perempuan adalah kaum menonjol dalam protes macam ini karena mereka yang paling terdampak pada krisis harga pangan, utamanya karena peran mereka sebagai pengurus dan perawat keluarga, termasuk juga karena mereka memiliki akses lebih terbatas terhadap uang dan pekerjaan dibanding kaum laki-laki, sehingga lebih tergantung pada pangan yang murah. Tak hanya di Perancis, kaum perempuan miskin juga aktif dan secara militan turun ke jalan untuk memprotes krisis pangan di Cordoba dan kota-kota di Perancis, bahkan dengan membawa jasad anak-anak mereka yang mati kelaparan, mengokupasi toko roti yang menimbun makanan sampai menjarah rumah kaum kaya untuk mengambil makanan demi menyambung nyawa (ibid.).

Praktik eksploitasi seperti ini berjalan seiring dengan kolonialisme Inggris dan negara-negara Eropa lainnya ke belahan dunia lain untuk membawa misi ‘penaklukkan rakyat jajahan’ yang sebagiannya diselubungi oleh ‘memberadabkan perempuan pribumi’.  Kacamata ‘kesetaraan gender’ yang dibawa oleh norma kolonial pada waktu itu bukanlah ‘feminisme’ sebagaimana yang mewujud dan berdialektika di dalam proses transformasi sosial yang emansipatoris, melainkan bagian dari bentuk penaklukkan dan penjinakkan ke dalam perkembangan kapitalisme global. Kerja perempuan dan subjektivitasnya dianggap sebagai ‘norma’ di negara-negara kolonial. Dampak yang masih ada saat ini dari kolonisasi adalah ‘rezim’ yang tergender dan terasialisasi dari model assembly lines (ala pabrikan), produksi pangan di desa, dan penyedia layanan perawatan.

Di lain sisi, feminisme bukanlah sesuatu yang diimplan dari Barat pada masa kolonial kepada rakyat di daerah jajahan, melainkan terbentuk dan terbentur dari berbagai interaksi yang dinamis. Aspek ini melekat pada gerakan kemerdekaan nasional dari penjajahan pada waktu itu. Jayawardena (2016) melakukan kajian tentang bagaimana interaksi feminisme global North dan global South tak hanya memunculkan jurang kekuasaan dan pengetahuan di satu sisi, tapi juga suatu persinggungan yang dibalut solidaritas dan pertukaran gagasan yang mampu membentuk berbagai gerakan perlawanan di negara-negara jajahan sekaligus juga di Eropa dan AS. Namun, interaksinya tersebut juga berbasis kelas dan kerap bias kelas karena narasi yang dominan adalah dari kaum nasionalis-borjuasi dan petty borjuasi.

Kemunculan feminisme awal dan gerakan untuk partisipasi perempuan dalam perjuangan politik di akhir abad 19 dan awal abad 20 adalah respon langsung dari dampak kolonialisme. Fase paling pentingnya adalah kemunculan berbagai organisasi dan gerakan perempuan yang otonom dan terhubung dengan berbagai kelompok politik yang berperan sentral dalam perjuangan nasional. Sejarah feminisme kemudian berjalan dengan trayektori tersebut, seiring dengan dinamika yang berbeda namun beriringan dan bersinggungan antara gerakan perempuan di global North dan global South di era pascakolonial melalui berbagai dekadenya, sejak tahun 1950-an hingga saat ini.

 

Tawaran untuk feminisme Islam Progresif

 

Di abad ke-21 saat ini, rangkaian kondisi kerja mengerikan yang dialami para pekerja perempuan di pabrik dan perkebunan di berbagai negara berkembang tak beda jauh dengan nasib buruh perempuan di Inggris abad ke-19 sebagaimana dikaji oleh Engels. Kasus RK, buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit di Papua yang dikutip dari laporan Pusaka 2019 dalam pengantar di awal menunjukkan bahwa watak dasar kapitalisme tidak berubah dari masa ke masa. Sistem ini bertumpu pada eksploitasi dan penindasan kelas pekerja, kegagalan sistem negara dalam jaminan kesehatan untuk perempuan marjinal, dan berbalut perusakan lingkungan serta diskriminasi rasial dan gender. Hal ini seiring dengan varian dan wajah yang terselubung oleh berbagai ‘norma’ neoliberalisme seperti ‘pembangunan’, ‘pertumbuhan ekonomi’, hingga reduksi persoalan kekerasan berbasis gender ke dalam urusan ‘kultur patriarki’ atau kurangnya akses atas layanan sosial semata.

Problem beban perempuan dalam reproduksi sosial terlihat pada kaitan antara kemiskinan dengan perempuan berstatus ibu tunggal. Data World Bank [iii] menunjukkan relasi kemiskinan di tingkat kota dan desa dengan perempuan kepala rumah tangga menurut provinsi di tahun 2010. Ada relasi erat antara perempuan yang menanggung beban sebagai kepala keluarga dengan tingkat kemiskinan di wilayah tersebut. NTB memiliki tingkat perempuan kepala rumah tangga tertinggi di Indonesia selama 4 tahun berturut-turut dengan 22,6% – angka ini meningkat sejak 2007. Angka ini disusul Aceh sebesar 20,6%  dan Sumatera Barat sebesar 19,9% (keduanya juga meningkat terus selama 4 tahun). Di ketiga provinsi itu, proporsi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan di kota dan desa berbanding lurus dengan tingkat populasinya. Misalnya tahun 2008 di NTB, dari 41,9% populasi urbannya, 40,9% diantaranya hidup di bawah garis kemiskinan, dan dari 58,1% populasi ruralnya, 59,1% hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan persentase populasi urban-rural yang sama di tahun berikutnya (2009) disparitas rumah tangga di bawah garis kemiskinan menajam dengan 34,5% di kota dan 65,5% di desa.

Penyebab kemiskinan, oleh karenanya, bukanlah karena orang miskin itu malas, atau karena kaum perempuan miskin itu lemah tanpa pendamping atau semata menjadi korban kekerasan domestik atau praktik patriarkal yang membuat mereka menjadi ibu tunggal. Bukan pula karena orang-orang kaya di Indonesia harus lebih banyak bersedekah ke orang miskin. Problem kemiskinan, di mana perempuan terpuruk di tangga paling bawah, dapat dilihat  sebagai bagian dari mozaik krisis yang lebih luas.

Persoalan ketimpangan dalam struktur sosial yang tampak ‘selaras’ dengan patriarkisme dalam sejarahnya membangun jalan lapang bagi kapitalisme untuk mengeksploitasi kelompok yang dianggap bisa berkontribusi pada produksi dengan pekerja berbiaya rendah, termasuk perempuan. Inilah yang menyebabkan diskriminasi dan kemiskinan berlapis bagi perempuan di dalam paradigma pembangunan: mitos kemajuan soal pemerataan pembangunan dan distribusi kekayaan hanya sebuah siklus yang memindahkan pembangunan di satu wilayah dan mengeksploitasi wilayah lain. Sebagai konsekuensinya, struktur sosial kerap tercerabut: komunitas miskin semakin terpinggirkan, tradisi komunal tergerus, urbanisasi meninggalkan perempuan terpojok di desa-desa atau terpaksa mengadu nasib ke kota sebagai pekerja berupah rendah, dan semakin longgarnya kohesivitas sosial masyarakat yang membuka ruang rentan kekerasan berlapis pada perempuan.

Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), perempuan melakukan kerja perawatan tak berbayar (yang notabene erat dengan ranah domestik yang dianggap naluriah atau takdir) sebanyak 76,2 persen total jam kerja, tiga kali lebih banyak ketimbang laki-laki. Artinya, ketika perempuan melakukan tugas ini selama 4 jam 25 menit tiap harinya, laki-laki hanya menghabiskan 1 jam 23 menit. Mayoritas dari perempuan yang melakukan kerja semacam ini adalah pekerja migran yang berasal dari kalangan kelas bawah.

Kondisi ini harus direspon oleh feminisme Islam progresif melampaui agenda liberal, atau apa yang disebut Al-Fayyadl dalam artikelnya ‘Apa itu Islam Progresif’ sebagai wacana modern para Muslim liberal yang “memang mampu tampil sebagai kelompok yang paling maju dan tanggap, karena mereka diuntungkan oleh iklim pendidikan dan intelektualisme yang disyaratkan oleh kemajuan materiil kapitalisme itu sendiri, sebagai sistem yang mendukung hierarki pengetahuan di dalam masyarakat yang berkelas”. Lebih jauh lagi Fayyadl menjelaskan,

Meski feminisme dan “emansipasi gender” telah menjadi agenda para intelektual liberal sejak rezim Soeharto, namun angka tenaga kerja perempuan dengan upah murah terus meningkat, demikian juga angka buta aksara pada para buruh perempuan formal maupun informal. (Fayyadl, 2015)

Di sisi lain, konsepsi dan tafsiran agama yang konservatif untuk mengekang perempuan hanya pada reproduksi sosial di ranah biologis dan domestik tidak akan melindungi perempuan – dan bahkan rumah tangga atau keluarga inti – dari jeratan kapitalisme. Perubahan sosial melalui urbanisasi, krisis ekonomi atau kebijakan neoliberalisme yang berdampak pada pemotongan subsidi kebutuhan serta layanan dasar hingga pada pemecatan massal ketika para kapitalis merugi atau ingin menyelamatkan bisnis mereka, akan tetap memberi dampak akut pada perempuan. Problem kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) misalnya, sering terjadi dikarenakan juga sebagai pelampiasan konstruksi maskulinitas kaum laki-laki yang disimbolkan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama ketika mereka harus kehilangan pekerjaan.

Banyak kritik dilontarkan oleh feminis Barat menyoal institusi keluarga (maupun pernikahan) sebagai norma yang menopang kapitalisme melalui pemeliharaan dan penundukkan perempuan untuk reproduksi sosial. Namun, dukungan bagi pentingnya peran suami-istri dalam keluarga untuk melawan kapitalisme juga disuarakan. Chungara, seorang istri penambang dari Bolivia misalnya, pada tahun 1975 menantang para feminis Barat di acara Konferensi Tahunan Perempuan Internasional dengan mengatakan:

Rumah bisa menjadi benteng kuat yang tidak dapat dilalui oleh musuh. […] Tugas pertama dan utama bukanlah untuk berperang melawan rekan kita (suami), melainkan bersamanya kita mengubah sistem [kapitalisme] di mana kita hidup. (dikutip dari Schech dan Haggis oleh Tripatry (2010: 120)

Memperkuat basis keluarga untuk ketahanan ekonomi dan politik perlu dilakukan dalam agenda feminisme Islam progresif, termasuk juga melindungi hak-hak dasar dan otonomi kaum perempuan dalam memilih, serta memposisikan baik perempuan dan laki-laki untuk memiliki akuntabilitas mereka dalam relasi gender yang mengejawantah di ranah sosial, budaya, ekonomi dan politik. Sebagai awalan, perempuan memiliki kebebasan untuk berkontribusi di ranah produksi dan reproduksi: ia tidak dianjurkan atau dipaksa untuk menghabiskan hidup produktifnya sebagai tenaga kerja berbayar di luar rumah (‘sekrup mesin kapitalisme’) maupun sebagai ‘mesin domestik’ tak berbayar di dalam rumah. Aspek-aspek ini harus dilakukan seiring dengan upaya membangun kekuatan kolektif dalam menawarkan dan memperjuangkan alternatif sistem yang egaliter dan kooperatif.

Agenda ini tidak cukup hanya pada pengakuan dan posisi di dalam menafsirkan teks-teks agama, hidup toleransi dalam pluralisme, partisipasi dalam politik formal, atau posisi di birokrasi. Fraser (2013) menganjurkan perlawanan atas neoliberalisme dan dominasi pasar sebagai perjuangan feminis dengan memadukan politik redistribusi, pengakuan, dan representasi yang memperjuangkan perlindungan sosial dengan konteks keadilan sosial yang luas. Ketiga elemen ini ia sebut sebagai ‘teori keadilan tiga-dimensi’ (a three dimensional theory of justice), sebagai kritik atas konsep keadilan Keynesian-Westphalian yang fokus pada ekonomi nasional, kewarganegaraan dan otonomi negara-bangsa. Teori keadilan tiga-dimensi yang diajukan Fraser mencakup kesadaran luas banyak kalangan dan gerakan sosial akan dampak globalisasi-neoliberalisme yang bersifat transnasional, sehingga tuntutan kaum feminis, masyarakat adat, petani, dsb juga mengusung solidaritas internasional (ibid: 191). Pertanyaannya tak lagi cukup soal ‘apa itu keadilan’ melainkan juga kerangka atau perspektif keadilan apa dan bagi siapa terkait keadilan dalam relasi sosial di masyarakat.

Politik pengakuan, redistribusi dan rerpresentasi ini selaras dengan konteks Islam progresif yang mengusung keadilan bagi umat melampaui redistribusi dalam kerangka ekonomi nasional dan pengakuan melampaui teritori kebangsaan. Nasionalisme memang warisan sejarah kolonial dan perjuangan kemerdekaan yang membentuk kesadaran kolektif kita, namun nasionalisme dan problem keislaman juga harus merespon krisis umat Muslim di berbagai belahan dunia sebagai satu ‘tubuh’ – artinya melampaui sekat kebangsaan dan kewarganegaraan, serta solidaritas terhadap umat non-Muslim yang tertindas akibat ketidakadilan sistem kapitalissme di berbagai belahan dunia. Hal ini berlaku bagi agenda feminisme Islam progresif, dengan melihat dampak duet patriarkisme-kapitalisme terhadap perempuan, sehingga isu kesetaraan gender tidak bisa memisahkan antara kajian teks-teks klasik keislaman yang dianggap ‘perlu ditafsirkan ulang’ atau ‘dicarikan tafsiran progresif’ dengan kajian empirik dan tuntutan untuk meresponnya secara ilmiah.

Dua aspek yang tidak terlepas dari problem ini adalah struktur dan agensi dalam relasi kelas. Aspek struktural tidak terlepas dari agensi, artinya kondisi seorang individu tidaklah soal kemampuan pribadinya untuk bersaing di tengah pasar yang semakin kompetitif atau keterbatasan struktur yang patriarkis, melainkan juga potensi dan keberdayaannya sebagai bagian dari komunitas yang lebih luas yang juga memiliki relasi menentukan di hadapan struktur. Agama memainkan peran penting dalam dua aspek ini. Sebagai kekuatan sosial dan politik, agama dapat memiliki peran ganda: menghambat atau sebaliknya, mendorong perempuan sebagai kekuatan revolusioner.

Kelas menjadi sentral karena perempuan dari kelas pekerjalah yang paling terdampak dari lapisan penindasan yang bertumpu di peran mereka dalam reproduksi sosial. Namun, diskusi seputar ini harus menekankan pada ‘emansipasi diri kaum pekerja’, yaitu kemampuan kaum kelas pekerja membangun ikatan solidaritas yang mampu mentransendensikan perbedaan di antara mereka, sehingga tiap upaya untuk mengritisi praktik penindasan dalam kerangka kapitalisme perlu disambut karena hal tersebut akan menggeser wacana kearah perlawanan terhadap masyarakat kapitalis alih-alih melawan sistem penindasan lainnya (McGregor, 2018: 78). Hal ini sejalan dengan konsepsi Angela Davis bahwa yang diperlukan feminisme saat ini bukanlah interseksionalitas identitas, melainkan interseksionalitas perjuangan untuk membangun solidaritas internasional dan keterhubungan transnasional (Davis, 2016: 144).

Aspek multidimensi yang terkait dengan feminisme di atas menjadi bagian dari kajian dan ranah intervensi Islam progresif. Islam progresif dalam konteks ini secara definitif tidak menitikberatkan pada konsep-konsep universally correct ala liberalisme dan modernisme maupun paparan Duderija (2007) bahwa Muslim progresif adalah para ‘tradisionalis kritis’ yang “menolak keyakinan Islam secara militan dan term politik yang retoris”.[iv] Perspektif Islam progresif telah dipaparkan secara ringkas oleh Muhammad Al-Fayyadl dan dianjurkan untuk dipisah dari kategori liberalisme, sejalan dengan sifatnya yang transformatif dalam substansi dan praksis seperti yang dirangkum oleh In’amul Mushoffa. Namun, Islam progresif harus melangkah lebih radikal. Hal ini perlu dilakukan dengan mengajukan pemetaan riset empiris dan kajian teologis, serta memiliki karakter revolusioner untuk merespon berbagai krisis dan urgensinya tanpa kehilangan karakter moral dan etisnya. Dalam konteks feminisme, ini ditandai dengan melibatkan secara aktif pengalaman dan pengetahuan partikular perempuan Muslim atau yang hidup dalam masyarakat mayoritas Muslim – terlepas dari agama, suku, dan ras mereka – khususnya relasi mereka dengan penindasan. Rumusan ini diperlukan dalam menghadapi serangkaian kontradiksi kapitalisme yang semakin merembes ke dalam konstruksi ideologis, karakter, dan cara pandang masyarakat.

Pergeseran paling radikal – termasuk dalam feminisme – yang perlu dilakukan adalah dari tumpuan isu soal ‘politik pengakuan’ (identitas) ke persoalan keadilan sosial (‘politik redistribusi’) dan dari abstraksi atau diskursus semata ke gerakan atau pengorganisiran massif yang independen dan otonom. Otonomi ini juga perlu terhubung dengan gerakan perlawanan lain. Meski penindasan berbasis identitas ras, gender, orientasi seksual, etnisitas, dan agama harus menjadi bagian dari keadilan sosial dan gerakan yang menyatu dalam upaya transformasi, titik tekannya haruslah yang melampaui perbedaan berbalut primordialisme, kepercayaan, gender, maupun warna kulit. Di sinilah feminisme Islam progresif bisa menunjukkan watak rahmatan lil ‘alamin sekaligus emansipasinya dalam berkontribusi mengubah sistem.

 

***

 

Catatan Akhir:

[i] Draft artikel bertajuk Negotiating Restricted Spaces: Silent Struggles of Female Education Leaders in Islamic School in Post-conflict Aceh, ditulis bersama oleh Mieke Lopes Cardozo, Rizki Amalia Affiat, Eka Srimulyani, Maida Irawani dan Faryaal Zaman (2019). Versi awalnya telah dipresentasikan pada konferensi ‘Transnational Feminism and Women Activism’ di Ewha Womans University, Seoul, 2017.

[ii] WHO World Report on Violence and Health 2002

[iii] Lihat Tabel 13.10-13.12 dalam laporan bertajuk ‘Targeting Poor and Vulnerable Households in Indonesia’, World Bank, 2012

[iv] Lebih jauh lagi, Duderija (2018) secara problematis memasukkan beragam intelektual Muslim ‘modernis’ atau non-tradisionalis ke dalam satu kategori ‘Islam progresif’ seperti Hassan Hanafi, Ali Ashgar Engineer, Nurcholish Madjid, Farid Esack, Muhammad Abed Al-Jabiri, Abdullah An Naim dan Khaled Abou El Fadl. Meski begitu, Duderija (2018: 67) menggarisbawahi poin soal posisi Muslim progresif dalam mengritik hegemoni ekonomi pasar serta struktur, institusi dan kekuatan sosial dan politik yang menopang ketidakadilan dalam status quo. Luasnya definisi Islam progresif mencakup cairnya metodologi yang dipakai, yaitu memasukkan teologi pembebasan Islam, pendekatan HAM, pluralisme agama, keadilan sosial dan gender, dan rasionalis serta kontekstualis dalam teologi dan etika. Konsekuensinya adalah, Duderija seperti melakukan rangkuman atas berbagai varian Islam modernis yang kritis terhadap Islam tradisionalis dan alhasil luput dari pembacaan yang lebih kritis terhadap aspek kesejarahan kelompok Islam dalam respon dan pergerakannya terhadap kapitalisme. Kritik serupa diajukan oleh Muhammad Al-Fayyadl terhadap Martin van Bruinessen dkk soal peleburan ‘liberalisme Islam’ dengan kata progresif dalam http://islambergerak.com/2015/07/apa-itu-islam-progresif/

 

Daftar Pustaka:

 

Bhattacharya, Tithi. 2015. How Not To Skip Class: Social Reproduction of Labour and the Global Working Class. October 31. https://www.viewpointmag.com/2015/10/31/how-not-to-skip-class-social-reproduction-of-labor-and-the-global-working-class/.

Das, Raju J. 2017. Marxist Class Theory for a Skeptical World. Brill.

Davis, Angela. 2016. Freedom is A Constant Struggle: Ferguson, Palestine, and the Foundations of A Movement. Haymarket Books.

Duderija, Adis. 2007. “Islamic Groups and their World-views and Identities: Neo-Traditional Salafis and Progressive Muslims.” Arab Law Quarterly 21: 341-363.

Duderija, Adis. 2018. “Progressive Islam: Reawakening Authenticity.” Tikkun 33 (1-2): 66-70.

Federici, Silvia. 2009. Caliban and the Witch. Autonomedia.

Fraser, Nancy. 2013. Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis. Verso .

Jayawardena, Kumari. 2016. Feminism and Nationalism in The Third World. Verso.

Mahmood, Saba. 2005. Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton University Press.

McGregor, Sheila. 2018. “Social reproduction theory: back to (which) Marx?” International Socialism (160): 77-110.

Pusaka. 2019. “Setahun Moratorium: Mendesak Negara Memulihkan Hak Masyarakat.”

Sara Carpenter, Shahrzab Mojab. 2017. Revolutionary Learning: Marxism, Feminism and Knowlede. Pluto Press.

Shaikh, Sa’diyya. 2003. “Transforming Feminism: Islam, Women and Gender Justice.” In Progressive Muslims: On Justice, Gender and Pluralism, by Omid Safi, 147-162. Oxford: Oneworld Publications.

Shirin M. Rai, Benjamin D. Brown, Kanchana N. Ruwanpura. 2019. “SDG 8: Decent work and economic growth – A gendered analysis.” World Development (113): 368-380.

Tripathy, Jyotirmaya. 2010. “How Gendered in Gender and Development? Culture, Masculinity and Gender Difference.” Development in Practice 20 (1): 113-121.

Vogel, Lise. 2013. Marxism and the Oppression of Women: Toward a Unitary Theory. Haymarket Books .

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.