“Warga Rempang Tak Akan Pernah Berunding Dengan Tamu Yang Menjarah Rumahnya”: Surat Terbuka Kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

636
VIEWS

Jujur. Saya tidak tahu harus mengawali apa ketika menulis surat ini. Kata-kata yang saya buat seolah sulit untuk meluncur keluar. Kata-kata itu selalu tertahan dan berhenti dalam pikiran semata. Sulit kemudian bila tangan saya bergerak menghempaskan seluruh kata-kata yang tertanam dalam pikiran. Saya tak tahu kenapa. Agaknya ini tak terlepas dari identitas saya sebagai seorang santri. Ya, saya adalah seorang santri yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren selama lebih dari 6 tahun. Sebagaimana santri pada umumnya, saya selalu diajarkan untuj menghormati dan memuliakan para kyai. Bukan tanpa alasan, mereka bukanlah orang-orang biasa. Mereka adalah orang-orang pilihan Tuhan yang dimandatkan tugas untuk membimbing, menuntun dan mengarahkan umat pada jalan kebaikan atau keselamatan. Mereka adalah orang yang melanjutkan peran para nabi yang karenanya dijuluki sebagai Warasatul ‘Anbiya (pewaris para nabi). 

Begitu mulianya peran mereka hingga muncul kepercayaan yang agaknya sudah mendarah daging dalam tubuh umat. Mereka adalah orang-orang yang perkataan, tindakan dan ketetapannya wajib diikuti dan ditaati. Sebab, sekali lagi mereka adalah orang-orang pilihan yang tak mungkin melakukan sesuatu yang melanggar norma-norma agama. Mereka adalah orang yang musykil melakukan hal-hal yang dilanggar oleh agama. Maka, ada suatu dosa dan ketidakpantasan yang meringkuk dalam hati umat ketika tidak setuju dengan perkataan, tindakan atau ketetapan mereka. Perasaan berdosa dan tidak pantas itu menjalar dalam seluruh pori-pori tubuh seorang umat. Dan, saya adalah adalah salah dari seorang umat itu. 

Namun, saya belajar untuk memahami dan menyadari bahwa sehebat apapun manusia—seperti dikatakan dalam sebuah hadits—adalah “tempatnya salah dan lupa”. Semulia, setakwa dan sebijaksana apapun manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan kealpaan, entah kecil atau besar. Namun demikian, patut diketahui bahwa hal itu sama sekali tak menurunkan derajat seorang manusia. Dengan ini, manusia justru mesti tahu dan insyaf bahwa kebesaran dan kehebatan dalam bentuk apapun, tetaplah milik Tuhan. Karenanya, manusia dituntut untuk bersikap rendah hati. Dan karena manusia tempatnya salah dan lupa, maka manusia harus saling mengingatkan satu sama lain. Atas dasar itu, saya berkesimpulan bahwa kyai juga manusia, yang karenanya juga pernah melakukan kesalahan sekecil apapun itu.

Dalam hal itulah, saya ingin mengajukan keberatan pada Bapak Kyai Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terkait sikap yang dikemukakan dalam memandang proyek Rempang Eco-City di Batam.1 Namun, saya tetap menyadari keterbatasan saya. Saya bukan laiknya Imam Syafii’ yang mengkritik Imam Maliki atau Ibnu Rusyd yang mengkritik Al-Ghazali. Saya adalah seorang santri faqir yang memiliki keilmuan begitu seupil bila dibandingan dengan Bapak Kyai. Karena itu, saya hanya menulis berdasar pada apa yang saya ketahui dan tanpa ada maksud untuk menggurui. Bila nanti bapak kyai menemukan dalil Al-Qur’an dan hadits yang saya kemukakan, itu sama sekali tidak merepresentasikan kompetensi saya dalam Ilmu Keislaman. Maka, apabila ada kesalahan pada apa yang saya tulis nanti, saya mohon pada Bapak Kyai yang membaca surat ini untuk bersedia melontarkan kritik. Saya dengan senang hati dan lapang dada akan menerimanya

Saya perlu menegaskan bahwa surat ini ditulis bukan atas dasar prasangka kebencian. Bagaimanapun, saya tetaplah santri yang mencintai Bapak Kyai. Namun, biarlah rasa cinta yang mengendap dalam diri saya didasari atas kebijaksanaan. Seorang pecinta tak selalu harus membenarkan atau menuruti orang yang dicintainya. Ada kalanya ia harus mengingatkan orang yang dicintainya. Saya tak mau menjadi pecinta dengan kehendak buta yang selalu menuruti dan membenarkan orang yang dicintainya. Cinta yang demikian itulah yang justru membuahkan kesengsaraan dan bukan kebaikan. 

Saya juga tak mau menjadi pecinta yang harus membuang rasionalitas. Akal pikiran tidak boleh dimatikan ketika mencintai seseorang. Akal pikiran harus tetap dipakai agar cinta yang dijalin tak membuahkan kedungungan. Persis sebagaimana disitir oleh Aristoteles: “Saya memang mencintai Plato, tapi Saya lebih mencintai kebenaran”, begitupun juga dengan: “Saya memang mencintai kyai, tapi saya lebih mencintai kebenaran”

***

Awalnya saya tak percaya dengan sikap yang diberikan oleh bapak kyai terkait proyek Rempang Eco-City yang disampaikan pada Jumat, 15 September 2023. Saya berusaha untuk mengecek kembali karena takut bila apa yang saya lihat adalah salah. Saya berusaha membaca sikap Bapak kyai berkali-kali karena bisa jadi saya terjermurus dalam misunderstanding. Setelah melakukan itu semua ternyata apa yang saya duga sejak awal benar: bapak kyai mendukung pemerintah untuk menjalankan proyek Rempang Eco-City. 

Sebelum memberikan sikap terkait proyek Rempang Eco-City, bapak kyai terlebih dahulu mengemukakan 3 hal yang dianggap penting dan mendasar yang sebenarnya tak menunjukkan ke secara persis arah mana bapak kyai nanti berlabuh. 3 hal itu ialah: (1). “Menyimak dengan seksama, seraya terus mengawal derap langkah kehidupan kita bersama dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, (2). Berpegang teguh pada itikad baik dan nilai-nilai keutamaan, serta bersandar pada objektivitas, dalam menentukan pandangan, posisi, sikap dan perannya; dan (3). Mendorong berbagai pihak agar mengutamakan musyawarah (syura) dalam mencari jalan keluar bagi persoalan hidup bersama.”

Tampak bahwa dalam ketiga hal itu Bapak Kyai berusaha untuk bersikap netral memandang konlik yang terjadi dalam proyek Eco-City Rempang. Bapak Kyai berusaha tak memihak pemerintah maupun warga karena “bersandar pada objektivitas, dalam menentukan pandangan, posisi, sikap dan perannya.” Bapak Kyai berusaha untuk menerapkan tabayyun secara kaffah dalam memandang persoalan itu. Dengan ini, Bapak Kyai tetap berada dalam prinsip wasathiyah (moderat/ditengah-tengah/tidak memihak) yang selalu diusungnya

Namun, anggapan itu bubar ketika saya membaca 5 sikap yang ditulis oleh Bapak Kyai. Dalam poin pertama, Bapak Kyai memandang bahwa apa yang terjadi dalam proyek Rempang Eco-City adalah persoalan pembangunan akibat “kebijakan yang tidak parsipatoris, yang tidak melibatkan para pemangku kepentingan dalam proses perencanaan hingga pelaksaannya” yang diperparah dengan pola-pola komunikasi yang kurang baik sehingga, Bapak Kyai meminta pemerintah untuk “mengutamakan musyawarah (syura’) dan menghindarkan pendekatan koersif. Sebelum menanggapi pernyataan itu, saya perlu menjelaskan bahwa Bapak Kyai ingin merespon konflik antara warga Rempang dengan gabungan aparat keamanan dari Polri, TNI dan Satpol PP yang bermula ketika Badan Pengusahaan (BP) Batam melakukan pengukuran untuk pengembangan proyek Eco-City Rempang. Warga datang untuk melakukan demonstrasi sebagai respon atas rencana proyek itu. Cekcok antara warga dan aparat keamanan kemudian terjadi. Tak berselang lama, aparat keamanan menembakkan gas air mata yang menyebabkan beberapa siswa sekolah dilarikan ke hutan di belakang sekolah. Mereka juga menangkap 14 warga Rempang pasca tragedi itu.2

Saya bingung sebanarnya apa yang dimaksud dengan “kebijakan yang tidak parsipatoris, yang tidak melibatkan para pemangku kepentingan dalam proses perencanaan hingga pelaksanaannya”. Frasa pemangku kepentingan dalam kalimat itu tidak dijelaskan secara eksplisit sehingga mengundang interpretasi lebih lanjut. Jika yang dimaksud pemangku kepentingan merujuk pada pemerintah atau pengusaha, maka sudah jelas bahwa proyek itu melibatkan pihak yang kepentingan, baik dalam proses perencanan maupun pelaksanannya. Seperti sudah diketahui bersama, proyek ini merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023. Hal ini telah diregulasi dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional yang disahkan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada 28 Agustus 2023 yang silam. Proyek ini akan dikerjakan oleh pemerintah pusat melalui kerjasama BP Batam dan PT. Makmur Elok Graha (MEG) yang merupakan anak perusahaan Grup Artha Graha, milk konglomerat Tomy Winata. Proyek ini rencananya akan memiliki kawasan industri, kawasan perdagangan hingga kawasan wisata yang saling terintegrasi.

Sebenarnya proyek ini sudah direncanakan sejak tahun 2004 silam yang ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Perita Batam yang kemudian bertransformasi nama menjadi Badan Pengussaha Batam dengan PT MEG. Namun, proyek ini baru dirilis pada 14 April 2023 di kantor Menko Perekonomian yang kemudian dilanjutkan dengan penyerahan Surat Keputusan Hak Pengelolaan (SK HPL) oleh Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional kepada BP Batam dan penyerahan Development Plan oleh Kepala BP Batam kepada PT MEG. PT. Xinyi Glass yang berdomisili di Chengdu, Tiongkok juga turut terlibat dalam proyek itu dengan menandatangai MoU rencana investasi sebesar US$ 11, 5 miliar untuk pasokan industri kaca dan industri kaca Panel Suryan pada 28 Juli 2023 silam. Dalam laporan yang ditulis oleh BP Batam, nilai investasi proyek itu diperkirakan mencapai angka 381 trilliun hingga 2080. Dengan dana sebesar yang sangat besar, proyek itu diharapkan mampu menunjang pertumbuhan ekonomi Kota Batam dan daerah di sekitarnya dengan menyerap 306.000 tenaga kerja. Laporan itu juga menyebut bahwa luasan wilayah yang dimanfaatkan proyek itu adalah 17.000 hektar yang meliputi Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Sempoko dengan waktu konsesi selama 80 tahun. Karena itu, adalah keliru bila menganggap bahwa proyek itu tidak melibatkan pemangku kepentingan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan.3

Namun, jika pemangku kepentingan yang dimaksud kalimat di atas juga merujuk pada warga Rempang, maka saya patut bertanya pada bapak kyai: sejak kapan pemerintah melibatkan partisipasi rakyat dalam menjalankan kebijakan pembangunannya? Pemerintah hampir selalu main nyelonong saja ketika menjalankan kebijakan pembangunannya. Hal ini bisa dilihat dalam proyek pembangunan Bendungan Bener di Wadas, pembangunan Bandara di Kulon Progo, pertambangaan emas gunung Tumpang Pitu di Banyuwangi dsb. Maka, aneh sekali kemudian bila Bapak Kyai meminta pemerintah untuk “mengutamakan musyawarah (syura’) dan menghindarkan pendekatan koersif.” Pemerintah tahu betul bahwa proyek pembangunannya akan mendapatkan hadangan dari masyarakat setempat. Tak heran bila kemudian pilihan yang ditempuh ialah menggunakan kekuatan koersif berupa aparat keamanan atau preman untuk merepresi dan meredam gejolak perlawanan masyarakat. Anjuran untuk musyawarah pada akhirnya hanyalah mimpi di siang bolong karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan. 

Karena itu, bapak kyai seharusnya mendesak pemerintah untuk menghentikan segala tindakan koersif ataupun represif dalam menjalankan proyek pembangunannya. Bapak Kyai semestinya mendorong pemerintah untuk menjalankan kebijakan pembangunan dalam artinya yang demokratis, di mana melibatkan partisipasi sepenuhnya dari warga Rempang, oleh warga Rempang, untuk warga Rempang. Jika pemerintah menolak desakan itu, maka bapak kyai harus mendorong warga Rempang untuk menolak proyek pembangunan itu dan bersedia dengan ucapan maupun tindakan untuk mendukung, melindungi dan menjaga warga Rempang dari represifitas yang barangkali dilakukan oleh pemerintah.

Namun, agaknya saya mengetahui maksud dari musyawarah yang diminta oleh bapak kyai ketika membaca poin kedua: “Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi’iyah pada Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama telah membahas persoalan pengambilan tanah rakyat oleh negara. PBNU berpandangan bahwa tanah yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun, baik melalui proses iqtha’ (redistribusi lahan) oleh pemerintah atau ihya’ (pengelolaan lahan), maka hukum pengambilalihan tanah tersebut oleh pemerintah adalah haram.” Dalam kalimat ini saya memahami bahwa Bapak Kyai mengharamkan tindakan pengambilalihan tanah rakyat oleh pemerintah. Ini berarti bahwa Bapak Kyai berkomitmen untuk membela kepentingan rakyat. Namun, saya segera mendapati pemahaman yang berbeda ketika membaca kalimat berikutnya: “Namun demikian, PBNU perlu menegaskan kembali agar menjadi perhatian semua pihak bahwa hukum haram tersebut jika pengambilalihan tanah oleh pemerintah dilakukan dengan sewenang-wenang. Hasil Bathsul Masail tersebut tidak serta merta dapat dimaknai menghilangkan fungsi sosial dari tanah sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan konstitusi kita. Pemerintah tetap memiliki kewenangan untuk mengambil-alih tanah rakyat dengan syarat pengambilalihan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan, dengan tujuan untuk menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan tentu harus menghadirkan keadilan bagi rakyat pemilik dan/atau pengelola lahan.”

Dalam kalimat itu akhirnya saya memahami bahwa bapak kyai menghalalkan pengambilalihan tanah rakyat asalkan tidak dengan sewenang-sewenang. Maksud dari tidak sewenang-wenang ini ialah bahwa pemerintah diperbolehkan untuk mengambilalih tanah rakyat sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Di sini izinkan saya untuk menunjukkan pasal-pasal UU Cipta Kerja terkait perampasan tanah yang beberapa waktu sempat Bapak Kyai tolak.4 Dalam persoalan itu, UU Cipta kerja merevisi UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. UU tersebut tertulis dalam Bab VIII tentang Pengadaan Tanah, persisnya pada bagian kedua pasal 123. UU tersebut mengganti PP NO.71 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Istilah Kepentingan Umum sebenarnya digunakan oleh pemerintah untuk menjustifikasi pengambilalihan tanah oleh negara. Hal ini tak mengherankan mengingat istilah itu tak diberikan definisi yang jelas, sehingga berpotensi terjadi perampasan tanah rakyat dengan dalih kepentingan umum. Apalagi UU tersebut menambah enam kegiatan pembangunan yang meliputi, kawasan industri gulu dan hilir minyak dan gas; kawasan ekonomi khusus; kawasan industri; kawasan pariwisata; kawasan ketahan pangan; dan kawasan pengembangan teknologi. Tak hanya itu, UU tersebut juga menambahkan objek pengadaan tanah seperti, kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf, tanah ulayat/tanah adat, dan/atau tanah aset pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah. Penambahan enam jenis kegiatan pembangunan dan objek pengadaan ini jelas tak hanya menyengsarakan masyarakat pada umumnya, melainkan juga masyarakat adat.4 

Terkait dengan masalah ganti rugi, pasal 1 angka 1 PP a quo menjelaskan bahwa pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti rugi yang adil. Apabila tidak tercapai kesepakatan mengenai jumlah ganti rugi yang adil, sebagaimana dalam ketentuan sebelumnya yakni, Pasal 39 UU No. 2 Tahun 2012, kemudian diselesaikan di pengadilan. Namun, dalam  pasal 42 ayat (3) UU Cipta Kerja, regulasi itu direvisi yang mana mengatur pengadilan negeri wajib menerima penitipan ganti secara wajib kerugian paling lama dalam jangka waktu 14 hari. Regulasi ini membuat masyarakat mesti menerima dan tak bisa menolak apabila tanahnya digusur sehingga partsipatasi demokrasti menjadi lenyap. Pengadilan negeri sendiri hanya bisa bersigfat pasif mengenai perkara ganti trugi dan tak memiliki wewenang untuk memeriksa jalannya proses ganti rugi apakah sudah sesuai dengan regulasi yang berlaku atau tidak. Pengadilan hanya melihat syarat-syarat formalitas belaka dan jika sudah terpenuhi, maka wajib ditipkan di pengadilan negeri. Dari sini kepelimikan tanah kemudian berpindah dari masyarakat ke negara.5 Dengan demikian, “menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan tentu harus menghadirkan keadilan bagi rakyat pemilik dan/atau pengelola lahan”, sebagaimana Bapak Kyai sampaikan patut untuk dipertanyakan.

Terkait perampasan hak, Allah SWT pernah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 188:

Baca Juga:

وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui

Dalam Tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut sebagai larangan Allah kepada orang yang merampas harta orang lain dan menguasainya tanpa hak. Larangan tersebut juga ditujukan pada orang yang menyerahkan persoalan kepada hakim yang berwenang untuk memutuskannya, namun didasari atas tujuan bukan untuk memperoleh haknya, namun untuk merampas hak orang lain dengan melakukan dosa dan sadar bahwa itu bukanlah haknya.6 

Sementara itu, dalam Tafsir Lengkap Kementrian Agama diceritakan bahwa ayat tersebut menjelaskan perihal dua hal: pertama, bagian awal berisi larangan untuk makan uang hasil riba, menerima harta yang bukan haknya dan menjadi makelar-makelar yang melakukan penipuan terhadap penjual atau pembeli. Kedua, bagian akhir berisi larangan menyuap hakim yang dilakukan demi memperoleh sebagian harta orang lain dengan cara yang bathil, entah dalam bentuk penyogokan atau memberikan sumpah palsu. 

Seingat saya, Nabi Muhammad juga pernah bersabda yang artinya:

Saya hanyalah manusia biasa, dan kalian mengadukan sengketa kepadaku, bisa jadi sebagian diantara kalian lebih pandai berbicara daripada yang lainnya sehingga aku putuskan seperti yang kudengar. Maka barang siapa yang kuputuskan (menang) dengan mengambil hak saudaranya, janganlah ia mengambilnya, sebab itu seakan-akan aku memberikan potongan api neraka untuknya (HR. Imam Bukhari dan Muslim).”

Menurut saya, hadits itu berisi pengakuan Muhammad bahwa dirinya, walau seorang Nabi, tetaplah manusia biasa. Karena itu, bisa jadi Ia salah dalam memutuskan suatu sengketa. Sehingga, bila ada orang yang diputuskan menang olehnya tapi dengan merampas hak orang lain, maka orang itu tidak boleh mengambilnya. Sebab, sama saja dengan ia mengambil potongan neraka untuk dirinya. Apa yang dimaksud neraka dalam hadits itu bisa merujuk pada kecelakaan, keburukan atau bahkan kesengsaraan. 

Ada juga hadist lain yang mempunyai nafas yang sama dengan hadits di atas yang artinya:

Barangsiapa mengambil sejengkal tanah bumi yang bukan haknya, niscaya ditenggelamkan ia pada hari kiamat sampai ke dalam tujuh lapis bumi

Menurut saya, melalui hadist itu, Nabi Muhammad melarang siapapun untuk merampas tanah yang bukan menjadi haknya. Nabi Muhammad tahu betul bahwa tanah memiliki fungsi sosial dan ekologis yang tinggi bagi manusia. Tanah adalah sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Tak mengherankan bila kemudian Ia mengecam siapapun yang merampas sejengkal tanah yang bukan haknya, maka akan ditenggelamkan dalam tujuh lapis bumi kala hari kiamat datang.

Setelah mencoba menafsirkan dan memahami ayat Al-Qur’an dan hadits di atas, saya berpendapat bahwa dorongan yang Bapak Kyai upayakan pada pemerintah agar memperbaiki pola komunikasi dan secepatnya memberikan solusi bagi persoalan tersebut, sebagaiman tertera dalam poin ketiga, sama sekali tidak “memastikan agar kelompok yang lemah (mustadh’afin) dipenuhi hak-haknya, serta diberikan afirmasi dan fasilitas.”

Lalu, apakah PSN tersebut begitu krusial dan memberikan kemaslahatan bagi umum, sebagaimana Bapak Kyai tegaskan dalam poin keempat? Apakah juga bila kelak dijalankan tidak ada namanya potensi kerusakan lingkungan?

Kalau Bapak Kyai tahu, sebenarnya pembiayaan infrastruktur melalui APBN terbatas walau memang pos pembiayaan mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut diperparah dengan bantuan dan pinjaman dari luar negeri dengan skema bilateral dan multilateral yang juga terbatas. Karena itu, pemerintah berusaha untuk mengantisipasi keterbatasan dana itu dengan menggantungkan dana pada dunia usaha yang meliputi BUMN, BUMD, dan swasta domestik dan asing sebagaimana tertulis dalam dokumen MP3EI. Model pembiayaan ini kemudian dikenal dengan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau public private partnership, Pembiayaan Investasi Non-anggaran pemerintah (PINA) atau non-state budget infrastructure funding, dan sekuritisasi aset. Model-model pembiayaan tersebut memberikan swasta peran yang begitu besar dalam mengkonstruksi dan menjalankan proyek insfrastruktur. Negara hanya menyediakan justifikasi dalam bentuk konstitusi perundang-undangan.  Apa yang terjadi kemudian ialah meningkatnya tren privatisasi dan finasialisasi yang mana lembaga keuangan global seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), bank-bank raksasa, dan perusahaan multinasional turut berkecimpung. Dengan berkaca pada industri listrik dan semen, mereka berupaya membuktikan bahwa akhirnya proyek infrastruktur yang seharusnya difungsikan sebagai layanan publik dan beroperasi tanpa adanya tujuan untuk mengeruk keuntungan, menjadi proyek yang sepenuhnya dikontrol dan diatur oleh swasta dengan tujuan untuk komersialisasi dan bisnis semata. Proyek infrastuktur yang demikian menyebabkan akses layanan publik secara bertahap dan dalam jangka waktu yang panjang menjadi mahal. Apalagi juga proyek infrastruktur yang bekerja dengan logika finansialisasi tidak bertolak pada kebutuhan rakyat, melainkan peluang bisnis untuk akumulasi kapital.7

Skema privatisasi yang dijalankan di atas sebenarnya telah dilarang oleh Nabi Muhammad dalam suatu sabdanya:

Manusia berserikat dengan tiga macam benda yaitu, rumput, air dan api (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Air yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah air yang belum pernah dieksplorasi, entah yang keluar dari mata air, sumur, sumur, sungai yang mengalir, danau dsb. Pokoknya air yang dimaksud di sini bukanlah air yang dimiliki secara perorangan di rumahnya. Dengan ini, para fuqaha mengkategorisasikan bahwa air yang belum pernah dieksplorasi tersebut adalah milik publik. Terkait dengan padang rumput yang dimaksud mencakup yang basah atau hijau maupun kering yang tumbuh di tanah, gunung atau aliran sungai yang tak ada pemiliknya. Sementara api di sini mencakup segala sesuatu yang terkait dengannya, tak terkecuali kayu bakar. 

Tiga sumber daya alam tersebut bisa dianggap penting oleh Nabi Muhammad tentu tak terlepas dari kondisi geografis Arab pada masa itu yang didominasi oleh gurun sahara. Begitupun juga dengan beternak sebagai mata pencaharian penduduk Arab yang utama. Namun, dalam konteks sekarang, segala sumber daya alam yang menyangkut kehidupan orang banyak apapun bentuknya tentu tak boleh diprivatisasi dan harus diorganisir demi kepentingan publik.

Bukan saja hilangnya akses layanan publik, proyek Rempang Eco-City juga berpotensi merusak lingkungan. Sebagaimana diketahui pembuatan kaca memerlukan pasir kuarsa sebagai bahan baku utamanya. Penambangan pasir kuarsa berpotensi merusak lingkungan laut yang ada di pulau Rempang. Ikan, terumbu karang dan berbagai spesies yang ada di pulau itu dikhawatirkan akan musnah. Belum lagi dengan emisi yang nantinya dihasilkan oleh pabrik kaca yang mengakibatkan polusi udara. Selain itu, reklamasi yang juga akan dijalankan memiliki banyak dampak negatif yang diantaranya ialah turunnya kualitas air dan udara; resiko banjir dan erosi; mengganggu kehidupan spesies laut; turunnya keanekaragaman hayati; mengganggu keseimbangan ekosistem dsb. Dengan berbagai mudharat yang sudah dijelaskan di atas, kita patut bertanya tentang nama Eco-City yang diadopsi dalam proyek itu. Sebab, kota yang akan dibangun sama sekali tak merepresentasikan kota yang berwawasan ekologis dan menjaga lingkungan.8

Karena itu, bapak kyai yang saya sayangi, terkait dengan proyek Rempang Eco-City yang tetap ngotot dijalankan kendati dengan dampak yang multiaspek, Allah pernah memperingatkannya dalam Surat Al-Baqarah ayat 11:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi!” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.”

Ayat tersebut menceritakan tentang orang yang mengaku beriman kepada Allah, tapi melakukan kerusakan di bumi. Kendati demikian, mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan bukan untuk merusak bumi, melainkan perbaikan. Mereka mengklaim bahwa beragam hal yang dilakukan melahirkan kebajikan dan kesejahteraan bagi bumi. Sikap demikian membuat Allah SWT mengutuk mereka dalam ayat selanjutnya:

اَلَا ۤ اِنَّهُمۡ هُمُ الۡمُفۡسِدُوۡنَ وَلٰـكِنۡ لَّا يَشۡعُرُوۡنَ

Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.

Allah tak segan-segan menyebut mereka sebagai perusak yang sungguh-sungguh merusak. Penyebutan ini beralasan mengingat pengrusakan yang mereka lakukan begitu massif dan dilakukan secara terus-menerus. Mereka adalah orang yang suka membuat perpecahan dan kebencian dalam masyarakat demi nafsu merusak bumi. Namun, mereka tak pernah menyadarinya, sehingga siksaan pedih yang akan mereka peroleh.9

Maka, dengan berat hati saya sampaikan bahwa sikap bapak kyai yang “selalu membersamai dan terus mengawal perjuangan rakyat untuk mendapatkan keadilan melalui cara-cara yang sesuai kaidah hukum dan konstitusi”, sebagaimana tertera dalam poin kelima, sama sekali tak merepresentasikan perjuangan rakyat. Dan ini semakin terbukti dengan pernyataan dalam kalimat berikutnya yang ironinya justru “memelihara sikap husnudhon terhadap pemerintah dan aparat keamanan”. Dalam keadaan yang genting ini bapak kyai justru masih saja berprasangka baik kepada pemerintah yang zalim dan aparat keamanan yang bengis itu. Jujur saya kecewa. Dengan berprasangka baik itu, warga Rempang akan semakin menghadapi penindasan yang semakin beranak-pinak dan tak akan pernah tahu sampai kapan berakhir. Namun, anjuran Bapak Kyai agar warga Rempang menjalin komunikasi yang baik dan bersikap husnodzon kepada pemerintah agaknya tak akan pernah didengar. Saya cukup yakin mengenai hal itu. Sebab, “Warga Rempang Tak Akan Pernah Berunding Dengan Tamu Yang Menjarah Rumahnya.

Catatan Kaki

  1. Semua pernyataan sikap PBNU terkait Proyek Rempang Eco-City saya ambil dalam https://nu.or.id/nasional/pernyataan-lengkap-pbnu-tentang-persoalan-pulau-rempang-uUBkd (diakses pada tanggal 18 September 2023)
  2. https://nasional.tempo.co/read/1770801/demo-relokasi-rempang-eco-city-15-polisi-terluka-14-warga-melayu-ditangkap (diakses pada tanggal 18 September 2023)
  3. https://narasi.tv/read/narasi-daily/proyek-eco-city-asal-muasal-kerusuhan-pulau-rempang ( diakses pada tanggal 18 September 2023)
  4. Citra Referendum dkk, UU Cipta Kerja & Aturan Pelaksanannya: Upaya Perampasan Hak-Hak Rakyat Atas Tanah & Hak-Hak Pekerja, (Jakarta Pusat: LBH Jakarta, 2022), 130-132
  5. Ibid 135
  6. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal 143-145
  7.  https://indoprogress.com/2018/10/membangun-infrastruktur-untuk-siapa/ (diakses pada tanggal 20 September 2023)
  8.  https://voi.id/bernas/311086/potensi-kerusakan-lingkungan-sosial-dan-budaya-akibat-pembangunan-rempang-eco-city (diakses pada tanggal 20 September 2023)
  9. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hal 103-105     

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.