Inti dari konsep masyarakat dan wilayah adat di Indonesia bukanlah semata-mata mengenai tanah, hutan, dan air semata. Semua hal tersebut tidak pernah berdiri sendiri karena terhubung antara satu dan lainnya dalam membentuk nilai, tradisi, pengetahuan, hingga kepercayaan masyarakat adat (Cahyadi, 2019). Perjuangan masyarakat adat selama ini dan di masa yang akan datang selalu memiliki dasar yang kuat karena di dalamnya mengandung rantai kehidupan sesuai garis yang sudah ditetapkan secara turun temurun.
Secara legal, aturan kehidupan masyarakat adat di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18b ayat (2) yang menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya, yang akan diatur dalam Undang-Undang (UU). Sementara regulasi lain yang mengatur mengenai kehidupan masyarakat adat diatur dalam berbagai UU sektoral lainnya, semisalnya UU Kehutanan, UU Desa, UU Agraria, serta berbagai UU dan peraturan sebagainya.
Kendati demikian, sejauh ini beberapa kebijakan yang hadir melalui aturan legal formal tersebut belum komprehensif untuk mengatur secara detil mengenai kehidupan masyarakat adat di Indonesia. Untuk mengisi krisis dalam dimensi legal formal tersebut, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama beberapa afiliasi yang sama-sama berfokus pada isu masyarakat adat mengajukan RUU Masyarakat Hukum Adat. Tujuannya untuk mengisi krisis dalam beragam regulasi lain yang mengatur tentang masyarakat adat.
Namun, sampai saat ini RUU yang diajukan tersebut ternyata belum juga direalisasikan oleh pemerintah khususnya pihak eksekutif. Tentu ada berbagai alasan dari pemerintah dalam memperlambat pengesahan RUU masyarakat adat tersebut. Satu hal yang perlu dilacak adalah logika dasar dari pemerintah untuk tidak mengesahkan RUU tersebut. Tulisan ini bertujuan dan berusaha melacak kepentingan kekuasaan dalam memperlambat pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat. Tulisan ini dibagi ke dalam beberapa bagian: pertama, kepentingan ekonomi politik, kedua, dampaknya pada masyarakat adat, serta ketiga, catatan singkat sebagai penutup.
Kepentingan Ekonomi Politik
Dalam tradisi Ekonomi Politik (Ekopol) kalangan Marxian beranggapan bahwa negara dan sektor swasta (kapitalisme) selalu tidur sekamar denngan seluruh pembuat keputusan berdasarkan kepentingan keduanya. Inilah argumen para Marxian bahwa ‘negara adalah alat kelas’ karena struktur atas negara yang berkuasa itu merupakan pemilik modal (kapitalisme) dan dampaknya adalah teralienasinya masyarakat kelas bawah seperti masyarakat adat, buruh, dan petani sebagai kaum tertindas.
Menurut Marx, konsep tersebut berdasarkan pengamatannya tentang kerja kapitalisme yaitu melalui istilah ‘akumulasi primitif’ (primitive accumulation) pada bidang ekonomi produksi seperti pengakuan hak milik tanah, penciptaan golongan sosial baru para pekerja-upahan, akumulasi kekayaan pada segelintir orang lewat perampasan milik komunal ke penguasaan pribadi (enclosure), serta menciptakan pekerja upahan yang murah untuk menopang industri kapitalis yang dilindungi oleh perkakas peraturan pemerintah (Mulyanto, 2008). Pengamatan ini menjelaskan bahwa negara merupakan alat kelas dimana kelas atas menjajah kelas bawah. Relasi yang dibangun pun relasi subordinasi.
Filsuf pasca Marx berusaha mentransformasi ide kritisnya dengan berbagai cara. Salah satu yang sangat kritis adalah David Harvey. Dengan menekan pada aspek ekonomi politik maka menurut Harvey (2003) untuk memahami kerja kapitalisme dibutuhkan pengamatan atas praktik-praktik ketidakadilan. Menurut Harvey, kerja kapitalisme masa kini adalah dengan cara akumulasi melalui perampasan (accumulation by dispossession) yaitu kapitalisme sekarang tak hanya bekerja melalui reproduksi untuk mencari keuntungan semata melainkan perampasan ruang hidup bagi kelompok rentan untuk menjauhkan aset-asetnya agar dikelola oleh kapitalisme itu sendiri. Praktik akumulasi perampasan oleh kapitalisme tidak membedakan mana sektor swasta dan negara. Dua-duanya saling terkait bahkan satu kesatuan. Semua itu dengan tujuan meraup keuntungan sebesar-besarnya. Ini terjadi pada seluruh segmen kehidupan masyarakat.
Relevansi praktik akumulasi perampasan tersebut setidaknya digambarkan dalam beberapa kasus yang sifatnya umum dalam konteks kehidupan masyarakat adat saat ini. Berdasarkan data Vote for Forest pada tahun 2018 terjadi 326 konflik sumber daya alam yang melibatkan sekitar 176 ribu jiwa masyarakat adat. Sementara menurut Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), masyarakat adat pada tahun 2018 memiliki 26 konflik dalam kasus sumber daya alam. Konflik yang terjadi mencakupi luas lahan 2,1 juta hektare dan berdampak pada 186.631 orang dan 176 ribu orang di antaranya merupakan anggota masyarakat adat. Belum lagi kasus yang menimpa masyarakat adat di hutan Akejira yang mengancam eksistensi kehidupan masyarakat adat[1].
Argumen legal normatif yang memberi ruang akumulasi melalui perampasan terjadi dalam tiga bentuk. Kajian Inkuiri dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) (2016: 29), yaitu; pertama, semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya akan dikuasai oleh negara. Kedua, penetapan batas-batas tanah yang dinyatakan sebagai tanah dan/atau hutan negara adalah untuk menekan kontrol wilayah oleh pemerintah terhadap SDA tanpa memperhatikan apalagi menyelesaikan klaim pemegang hak atas tanah tersebut, termasuk masyarakat hukum adat. Ketiga, setelah batas-batas sebuah wilayah ditetapkan, pemerintah akan menerbitkan izin pemanfaatan dan melarang siapapun untuk mengakses wilayah tersebut berikut sumber daya alam di dalamnya, kecuali jika pemerintah mengizinkan.
Sebagai contoh, penulis merujuk pada catatan kronologi kasus yang diadvokasi oleh aktivis di Sumba Timur yaitu soal salah satu perusahaan yang membangun perkebunan tebu. Perusahaan tersebut memiliki wilayah konsesi seluas 52.000 hektare dan sudah beroperasi sejak tahun 2014. Konsesi perusahaan tersebut berada di 30 desa dan di beberapa kecamatan di Sumba Timur. Lokasinya tepat berada di atas tanah masyarakat, tanah ulayat, dan tanah pemerintah/negara yang selama ini sebagai wilayah padang sabana penggembalaan ternak masyarakat setempat.
Berdasarkan laporan Forum Masyarakat Adat Wanga Patawang ‘Ama Mangu Tanangu – Ina Mangu Lukungu’, aktivitas perusahaan perkebunan tebu tersebut berdampak pada masyarakat setempat yaitu kekurangan air minum di beberapa desa. Selain itu sabana penggembalaan ternak hilang sehingga ternak kekurangan air. Investigasi WALHI NTT dan laporan masyarakat setempat mengungkapkan bahwa perusahaan tersebut secara sengaja membendung aliran air sungai dari hulunya yang biasa mengalir dan digunakan masyarakat, lalu dibendung hanya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan.
Dalam perspektif akumulasi melalui perampasan oleh Harvey, melambatnya proses RUU Masyarakat Hukum Adat yang diperjuangkan selama ini diakibatkan oleh kepentingan akumulasi keuntungan dalam tubuh rezim. Parahnya lagi negara dalam mempertahankan kerja ketidakadilan ini justru mengatur dan mengurus seluruh investasi sehingga masyarakat yang ada di lokasi berdirinya perusahaan-perusahan besar tersebut harus diamankan (Harvey, 2005). Tujuannya agar iklim kerja kapitalisme selalu kondusif dan tidak banyak halangan.
Dampaknya Pada Masyarakat Adat
Akumulasi melalui perampasan pada wilayah masyarakat adat sebagaimana kasus di atas berdampak pada sektor kehidupan mereka. Pertama, akumulasi melalui perampasan mengambil aset-aset dari masyarakat adat semisalnya tanah, hutan, air, sehingga masyarakat adat menjadi miskin. Kemiskinan dalam kehidupan masyarakat adat diatur secara sistematis (kemiskinan sistemik). Dengan kata lain kemiskinan masyarakat adat saat ini bukan suatu kondisi alamiah melainkan karena konsekuensi (Shohibudin, 2010).
Kedua, selain kemiskinan bagi masyarakat adat, maka kerja akumulasi melalui perampasan yang menjadi corak kapitalisme hari ini memperburuk perjuangan identitas masyarakat adat. Studi yang dilakukan oleh Moureen Lamonge (2012) melacak khusus perusahaan di Merauke Integrated Food & Energy Estate (MIFEE) di Papua. Temuannya menyingkap paradigma neoliberalisme dan kebijakan pemerintah di Indonesia memberi legitimasi yang kuat bagi implementasi MIFEE dengan berbagai perampasan tanah sebelumnya. Namun, dampak dari buruknya legitimasi yang diberikan oleh negara pada MIFEE justru memperburuk perjuangan identitas masyarakat adat atau penduduk asli Papua. Martabat masyarakat adat menjadi hancur ketika negara memberi legitimasi bagi bekerjanya implementasi perusahan besar.
Ketiga, domestifikasi keadatan (indigineity domestification). Adat saat ini dipandangi sebagai fosil. Kendati secara etimologi kata fosil bermakna produktif karena istilah dalam bahasa Latin berarti ‘fossa’ yang berarti ‘menggali’ untuk keluar dari tanah. Namun, kecenderungan umum saat ini menganggap fosil sebagai artefak yang dipajang dan menarik banyak orang untuk mengunjunginya serta dijadikan objek wisata semata. Terlepas ada dimensi transformasi dalam hal ini, yang harus didalami adalah adat tak terbatas pada aspek kesenian sebab kehidupan masyarakat adat saling terkait dengan tanah, hutan, air, sampai kepercayaannya.
Ketiga poin ini mewujud dalam akumulasi melalui perampasan dan menjadi satu kesatuan akibat watak dasar kapitalisme. Hal ini telah mendistorsikan pemahaman publik mengenai masyarakat adat itu sendiri, sehingga dalam nalar orang-orang yang sudah menubuhkan pemahaman kapitalisme, adat hanya sebatas, kain, tarian, seni dari rumah adat. Hal ini sengaja dipertahankan bahkan direporduksi secara berkelanjutan dan dijadikan banalitas dari berpikir dan bertindak pada masyarakat umum, agar ketika terjadi perampasan tanah, kondisi itu dibiarkan saja bahkan dianggap bukan sebagai sebuah persoalan.
Upaya Alternatif
Persoalan masyarakat adat saat ini begitu kompleks. Dengan melihat pelbagai problem yang penulis paparkan di atas, praktik akumulasi melalui perampasan begitu kuat. Tentu perjuangan membutuhkan waktu yang panjang dan kapitalisme tak dapat dihancurkan dengan mudah. Namun, kondisi ini sudah sangat mendesak dan urgen untuk melakukan perlawanan mulai dari hal-hal kecil sebagai upaya alternatif. Akumulasi melalui perampasan ternyata telah mengaktifkan imajinasi kolektif dalam dunia sosial, baik itu basis komunalisme atau bentuk lainnya sehingga perjuangan masyarakat adat saat ini melalui melawan dengan berbagai cara patut diapresiasi.
Kendati demikian, kita harus optimis dalam melawan kerja kapitalisme melalui akumulasi perampasan. Penulis sepakat dengan argumen Negri (2004) bahwa perjuangan itu harus dari berbagai sisi. Artinya para pejuang masyarakat adat harus membangun keterhubungan politik dengan berbagai sektor, siapapun itu yang mana sektor-sektor tersebut juga menjadi korban dari kerja kapitalisme melalui akumulasi perampasan. Hal lain adalah menguatkan cara yang sudah dilakukan selama ini melalui advokasi, provokasi kesadaran politik, pendampingan, serta upaya membangkitkan kesadaran masyarakat adat.
Ini adalah kerja lintas sektoral dan memelihara kerja progresif. Jika terus dilakukan, maka setidaknya secara perlahan akan berdampak baik. Namun, yang tak kalah penting dilakukan juga adalah melanjutkan tuntutan politik melalui RUU Masyarakat Hukum Adat yang telah diperjuangkan selama ini oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) beserta afiliasinya sampai disahkan oleh negara. Perjuangan ini perlu pendampingan berkelanjutan untuk mencegah masuknya kepentingan-kepentingan baru dari kapitalisme dalam UU tersebut.
Referensi
Cahyadi Erasmus, 2019, “Seputar Masalah Kebijakan Menyangkut Masyarakat Adat dan Wilayah Adat”. Makalah, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tidak diterbitkan.
Fadiyah Alaidrus, Gilang Ramadhan (eds), “Pembahasan Undang-Undang Masyarakat Adat Mandek, Hak Warga Terabaikan” Tirto.id. Diakses dari; https://tirto.id/pembahasan- ruu- masyarakat-adat-mandek-hak-warga- terabaikan-de5s
Harvey, David. 2003. The New Imperialism. New York: Oxford University Press.
Moh. Shohibuddin, 2010. “Memahami Dimensi-Dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat, Prespektif Relasional Mengenai kemiskinan”. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara & ICCO. HLM XII
Moureen Lamonge, 2012. Neo-liberalism, Social Conflict and Identity of Papuan Indigenous People. “Case study of Merauke Integrated Food & Energy Estate (MIFEE) in Papua A Research”. Paper presented The Hague, The Netherlands December 2012
Maria R D Putri, Maryati (eds), “HuMa: masyarakat adat masih jadi korban konflik SDA, agraria” Antaranews.com. Diakses pada 28 Juni 2019 dari; https://www.antaranews.com/berita/796628/huma-masyarakat-adat-masih- jadi- korban-konflik-sda-agraria
Mahmud Ichi, 2019. Orang Tobelo Dalam Khawatir Perusahaan Tambang Rusak Hutan Ake Jira. Mongabay, Situs Berita Lingkungan. Diakses dari: https://www.mongabay.co.id/2019/10/19/orang-tobelo- dalam-khawatir- perusahaan-tambang-rusak-hutan-ake-jira/
Mulyanto Dede, “Konsep Proletarisasi dan Akumulasi Primitif, dalam Teori Kependudukan Marxis” Jurnal Kependudukan Padjadjaran, Vol. 10, No, 2, Juli 2008.
Negri, Antoni & Michael Hardt. 2004. Multitude. New York: The Penguin Press
Tim Inkuiri Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. “Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan” Komnas HAM: 2016.
Catatan akhir
[1] Kasus Akijira sangat terkenal. Karena dalam hutan Akejira terdapat beberapa suku pedalaman, mereka hidup secara turun temurun. Namun saat ini hutan Akejira sudah dimasuki Perusahan PT Weda Bay Nickel, sedang membuka jalan tambang. PT Weda Bay Nickel (WBN) adalah perusahaan yang mengantongi izin kontrak karya pada 19 Feberuari 1998, dengan luas kawasan semula 120.500 hektar dan penciutan hingga tersisa 54,874 hektar. Tentu dengan membuka jalan ke hutan Akejira maka ada beberapa suku dalam yang hidupnya terancam punah. Untuk lebih jelas silakan lihat tulisan dari: Mahmud Ichi, 2019. Orang Tobelo Dalam Khawatir Perusahaan Tambang Rusak Hutan Ake Jira. Mongabay, Situs Berita Lingkungan. Diakses dari: https://www.mongabay.co.id/2019/10/19/orang-tobelo-dalam-khawatir-perusahaan-tambang-rusak-hutan-ake-jira/
Sebuah analisa yang luar biasa, Salute Kawan dan sukses untuk medianya.
Setiap artikelnya sangat bermanfaat bagi rakyat terutama para mahasiswa.