Basis material kemunculan Islam
Tempat kelahiran Islam adalah wilayah Hijaz di Semenanjung Arab (Arab Saudi barat saat ini). Hussein Muruwwah, yang bergantung pada sumber-sumber luas dari para sarjana Barat, Rusia dan Arab, melukiskan gambaran masyarakat nomaden yang mengandalkan penggembalaan unta sebagai sumber mata pencaharian utama. Orang-orang Arab awal dibagi menjadi suku-suku, mereka sendiri adalah aglomerasi klan berbasis kekerabatan yang terus bergerak di seluruh wilayah mencari air dan padang rumput untuk kawanan mereka, dan terlibat dalam perdagangan kecil-kecilan dengan komunitas pertanian lokal. Sifat genting dari gaya hidup ini mencegah suku-suku menetap di satu tempat, dan anggota suku mengumpulkan kekayaan yang cukup untuk membedakan diri mereka menjadi kelas sosial: milik pribadi tidak dan tidak bisa ada dalam kondisi seperti itu.
Atas fondasi material yang lemah seperti itu, tidak ada struktur negara yang bisa terbentuk. Otoritas politik ada di tangan kepala suku yang berada di atas klan mereka melainkan terus-menerus membuktikan ‘kehormatan’ mereka melalui pertempuran melawan suku-suku saingan dan dengan mengorbankan mata pencaharian mereka untuk sesama suku mereka pada saat krisis. Tidak ada ideologi atau hukum moral yang berada di atas kehormatan suku, sehingga setiap kejahatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap anggota suku lain tidak dikonfrontasikan secara individu, tetapi oleh seluruh suku dimana mereka akan saling berhadapan. Konflik biasanya diselesaikan dalam siklus berkelanjutan atas dendam dan resolusi diantara suku-suku yang bersaing.
Bahkan dengan standar yang berlaku sekitar 1600 tahun yang lalu, ini adalah masyarakat terbelakang secara ekonomi dan budaya. Kita hanya perlu ingat bahwa peradaban kuno seperti Mesir, Mesopotamia, Yunani dan Romawi telah bangkit dan jatuh ribuan tahun sebelumnya, mendirikan piramida, bendungan dan saluran air, menguraikan sistem matematika, ideologi dan filsafat yang canggih, sementara orang-orang Arab abad ke-5 Hijaz belum mengadopsi bahasa terpadu, apalagi kebiasaan menulis. Bagaimana kemudian Islam bisa muncul dari masyarakat seperti itu dan terus mengalahkan kekaisaran Bizantium dan Persia dalam beberapa dekade? Untuk lebih baik atau lebih buruk, jelas bahwa pergolakan besarnya yang monumental dalam sejarah dunia seperti itu layak dipelajari.
Gambar statis yang disajikan di atas hanya dapat berfungsi sebagai premis untuk penelusuran kita, suatu kondisi awal yang harus berkembang lewat ketegangan eksternal dan internal. Seperti yang telah ditunjukkan Hegel, tidak akan ada studi sejarah yang tepat tentang peradaban, ideologi atau apa pun yang kita sukai tanpa memahami kontradiksi mendasar yang membentuk evolusinya. Oleh karena itu Hussein Muruwwah menegaskan bahwa kita sedang melihat masyarakat yang mengalami transformasi mendalam sebagai akibat dari interaksinya yang tumbuh secara eksponensial dengan kerajaan-kerajaan terdekat. Hijaz menemukan dirinya di rute perdagangan Persia dan Byzantium, terutama setelah runtuhnya kerajaan kuno Yaman dan kekuatan maritim mereka. Melalui perpajakan, penjarahan, perlindungan dari penjarahan dan berbagai layanan lainnya, suku-suku itu mengurangi pendapatan yang signifikan dari kafilah perdagangan kerajaan-kerajaan kaya itu. Perlahan tapi pasti, para pemimpin suku menggunakan pengaruh mereka di dalam suku-suku untuk mengumpulkan lebih banyak kekayaan itu, dan tak lama kemudian mereka menjalankan kafilah perdagangan mereka sendiri.
Akumulasi kekayaan di tangan beberapa kalangan memulai proses pembubaran masyarakat suku era lama. Para pengembara kawanan unta tumbuh dalam ukuran tetapi kehilangan karakter komunal mereka, dan sumber daya alam – air dan padang rumput – yang diperlukan untuk mempertahankan mereka juga dimonopoli. Sebuah aristokrasi komersial baru mulai bersatu di sekitar para pemimpin suku, yang karavannya sekarang mencapai batas-batas Suriah, Mesir dan Iran modern. Mayoritas kelompok yang tidak memiliki akses ke sumber-sumber kekayaan baru jatuh miskin, dan hanya yang beruntung yang bisa menemukan pekerjaan yang melelahkan pada kafilah perdagangan atau merawat kawanan ternak.
Sementara peningkatan dan polarisasi kekayaan dalam suku-suku menciptakan perpecahan baru antara orang kaya dan miskin, hal itu juga meletakkan dasar bagi perubahan menentukan yang sesuai dalam masyarakat suku yang lebih besar. Persyaratan perdagangan serta kebutuhan untuk menyimpan komoditas dan uang yang diakumulasi menyebabkan suku-suku ini semakin cepat menempati kota-kota baru. Mekah adalah kota terpenting dari pusat perdagangan baru ini. Ketika Qusayy bin Kallab merebut Mekah untuk suku Quraisy-nya yang kuat, ia mengembalikan Ka’bah dan menempatkan di dalamnya patung-patung yang dihormati oleh suku-sukunya sebagai berhala. Kaum Quraisy kemudian menaklukkan Arab melalui peperangan dan aliansi, mengamankan dan memperluas jaringan perdagangan mereka. Ketika suku-suku sekutu menetap di Mekah, mereka juga menempatkan berhala-berhala mereka di Ka’bah mengubahnya menjadi tempat suci, dan Mekah menjadi tujuan bagi para peziarah dari seluruh Arab. Musim ziarah yang berlangsung tiga bulan ditetapkan sebagai periode gencatan senjata antara suku-suku, sehingga dapat mengutamakan dialog dan perdagangan di atas peperangan.
Selama musim ziarah Mekah dan kota-kota terdekat berubah menjadi pameran perdagangan raksasa di mana kehidupan ekonomi, politik dan budaya Arab bermuara. Ini semakin memperkuat posisi suku Quraisy. Bahasa Arab secara organik bersatu di sekitar dialek Quraisy. Qusay, sekarang Raja Mekah, membangun balai kota di mana para pemimpin suku menyelesaikan masalah politik dan perdagangan, dan di pasar penyair yang mewakili suku yang berbeda terlibat dalam pertempuran oratoris epik. Beberapa penyair terkenal dan karya-karya mereka tetap dikenal sampai hari ini sehingga menjadi saksi tentang pentingnya puisi sebagai bentuk budaya tertinggi di Arab pra-Islam. Transformasi ini yang terjadi selama abad ke-6 Masehi dan menggerus masyarakat suku lama, menimbulkan kontradiksi dan konflik baru dan lebih besar.
Tidak ada tempat yang lebih mencolok atas transformasi ini daripada di Mekah. Anggota aristokrasi Quraisy tinggal di sekitar Ka’bah, yang telah menjadi simbol agama, budaya dan politik kekuasaan mereka.Rumah-rumah pedagang kaya dari suku-suku sekutu membentuk lingkar yang lebih luas di sekitar Ka’bah sementara orang miskin Quraisy tinggal di pinggiran kota. Pertempuran kecil antar suku di masa lalu diganti dengan perang yang lebih jarang tetapi jauh lebih serius atas kontrol rute perdagangan dan tanah, dan aristokrasi Quraisy membeli sebidang lahan pertanian besar di sekitar Ta’if di mana budak dibuat bekerja keras. Terlebih lagi, kekayaan Hijazi sekarang menarik penakluk asing, seperti penguasa Ethiopia yang tidak berhasil menyerang Mekah sekitar tahun 570.
Di tahun inilah kelahiran Nabi Muhammad bin Abdallah, yang segera menjadi yatim piatu setelah kematian ibunya. Meskipun dilahirkan sebagai Quraisy – dan mungkin keturunan langsung dari Qusay – Nabi Muhammad tidak memiliki kekayaan sendiri. Beliau bekerja pada karavan kerabatnya yang lebih tua, Khadijah, seorang janda pedagang yang kaya. Beliau menyaksikan kaum aristokrat yang mencolok memamerkan kekayaan yang dikumpulkan mereka melalui monopoli perdagangan. Sementara itu, pedagang kecil, pengrajin dan warga kota lainnya yang terputus dari sumber-sumber kekayaan ini membentuk massa besar kaum miskin yang berkeliaran mengitari para pengumpul riba, perantara dagang dan berbagai pemulung.
Gagasan lama tentang kehormatan, yang menjunjung karakter egaliter kehidupan suku dan tidak mementingkan diri sendiri oleh para pemimpinnya, telah mewujud dalam ekspresi berbeda. Contohnya adalah puisi lama yang mengatakan tentang Qusay bahwa “kekayaannya meningkat sehingga kehormatannya meningkat”, karena kenaikkan kehormatannya melambangkan munculnya kelas penguasa baru yang kekuatan politiknya bergantung pada kekuatan keuangannya. Pertempuran puisi yang sering menggantikan pertempuran bersenjata menyanyikan pujian dari kehidupan komunal yang tidak lagi ada. Singkatnya, kode moral dan budaya yang mengatur kehidupan dalam komunitas nomaden tanpa kelas tidak mungkin mengakomodasi hubungan sosial yang kompleks dan bertentangan dari masyarakat yang lebih maju dan dibagi menjadi masyarakat kelas.
Lembaga-lembaga politik yang didirikan oleh kelas penguasa Quraisy memungkinkan mereka untuk menyelesaikan masalah perdagangan, perang dan perdamaian dengan penguasa suku lain tetapi tidak dapat memberikan seperangkat hukum dan moral yang terpadu untuk mengatur hubungan antara anggota dan antagonisme kelas yang membentuk masyarakat. Para penguasa yang telah memainkan peran penting dalam konsentrasi geografis dan sosial orang-orang Arab Hijazi, melalui perdagangan dan pemukiman di Mekah, telah secara efektif membangun basis objektif untuk bentuk baru yang lebih tinggi dari persatuan politik dan ideologis antara orang-orang Arab. Namun, posisi mereka sebagai kelas penguasa berarti mereka membenci potensi gangguan pada dominasi mereka yang bertumpu pada politeisme Ka’bah dan perpecahan politik di sepanjang garis suku.
Seperti yang dikatakan Leon Trotsky, revolusi muncul dari fakta dasar bahwa masyarakat tidak secara bertahap memperbarui institusi dan ideologi mereka untuk mengikuti kondisi pembangunan ‘obyektif’: “Sebaliknya, masyarakat benar-benar mengambil institusi yang ada sebagai yang berlaku sekali seterusnya.” Kontradiksi mendasar ini, seperti yang berlaku untuk Hijaz abad ke-7, membentuk latar belakang kebangkitan Islam. Upaya historis pertama agama baru adalah untuk mematahkan perlawanan aristokrasi Quraisy dan menyatukan orang-orang Arab Hijazi.
Menuju monoteisme: sanggahan untuk Dawkins dan pandangan Marxisme
Kelompok monoteis kecil yang terfragmentasi yang dikenal sebagai Hanif mulai muncul di dan sekitar Mekah pada akhir abad ke-6. Sementara masyarakat Hijaz telah mengenal kekristenan dan Yudaisme melalui hubungan mereka dengan pedagang asing dan komunitas pertanian di dekatnya, sifat kaum Hanif yang terfragmentasi dan pandangan mereka yang beragam dan tidak terkonstruksi tentang monoteisme menunjukkan bahwa mereka muncul bukan sebagai orang yang berpindah kepercayaan melainkan sebagai ‘orang Mekah organik’, orang-orang yang mencoba menalarkan – secara filosofis dan religius – kontradiksi yang membentuk keberadaan sosial mereka. Sementara Hanif disebutkan dengan baik dalam Al-Qur’an, tidak diketahui apakah mereka pernah menganggap Muhammad di antara anggota mereka. Namun, sebelum beliau menjadi Nabi, beliau dikenal sebagai al-Amin (yang Dapat Dipercaya) di Mekah, seorang mediator perselisihan. Beliau tidak mungkin tetap acuh tak acuh terhadap ketegangan sosial, politik dan ideologis masyarakat Mekah.
Khadijah melamar Muhammad untuk dinikahi, dan setelah setuju beliau menemukan diri beliau relatif terbebaskan dari beban pekerjaan yang konstan. Beliau bisa mencurahkan waktu untuk meditasi dan refleksi. Pada salah satu perenungannya di pegunungan di sekitar Mekah, beliau dikunjungi oleh malaikat Jibril. Ini adalah tahun 610, dan Nabi Muhammad berusia empat puluh tahun. Firman Allah dengan demikian diwahyukan kepadanya selama sisa hidup beliau merupakan Al-Qur’an, Kitab Suci umat Muslim.
Sebelum kita melanjutkan, ada baiknya menyebut beberapa catatan disini. Bagi orang yang tidak percaya, dan menurut penggambaran Nabi sendiri tentang gejala-gejala yang mencengkeram beliau selama penampakan Jibril, Nabi mungkin pernah mengalami shock atau episode halusinasi. Karir sebagian para profesor besar memang telah dibangun di atas klaim bahwa agama tidak lain adalah halusinasi kolektif. Salah satu ‘pahlawan’ tersebut adalah Richard Dawkins, yang mereknya sendiri yaitu determinisme genetik vulgar ternyata tidak mampu menjelaskan asal-usul ‘halusinasi’ ini, dimana ia tetap bersikukuh sebagai sumber dari semua kejahatan di dunia.
Marxisme tidak ada hubungannya dengan Dawkins dan para pendukungnya yang mengidolakan ateisme dengan selubung religius yang mencurigakan. Yang pasti, Marxisme [sebagai produk masyarakat Eropa klasik, ed.] mengasumsikan bahwa kekuatan supranatural atau akhirat yang tidak material itu tidak ada. Namun, hal ini tidak mengeluarkan kita dari upaya untuk menganalisis signifikansi sosial dari keyakinan dan praktik agama, justru sebaliknya: yang penting adalah peran sosial Islam, bagaimana umat Muslim tumbuh dalam masyarakat Arab abad ke-7 yang penuh dengan kontradiksi dan sejarah yang telah kita telusuri di atas. Seperti yang dikatakan Marx:
[…] it is always necessary to distinguish between the material transformation of the economic conditions of production, which can be determined with the precision of natural science, and the legal, political, religious, artistic or philosophic – in short, ideological forms in which men (sic) become conscious of this conflict and fight it out.[1]
Oleh karena itu, dalam membahasakan wahyu langit menjadi kritik yang membumi, kita tidak mungkin mengabaikan Al-Quran (atau teologi pada umumnya) dengan alasan bahwa kitab suci berbicara tentang surga [hal yang dianggap imaterial, ed.]. Dengan ayat-ayat al-Quran yang turun dari tahun 610 sampai 632, pewahyuan tersebut menyertai kemunculan dan penyebaran Islam di Semenanjung Arab, dan dengan demikian merupakan dokumen sejarah dalam dirinya sendiri: seperti yang saya coba tunjukkan di bawah ini, Al-Quran adalah indikator utama dari bentuk ideologis dimana manusia menjadi sadar akan konflik yang mendasari masyarakat Arab abad ke-7 dan melawannya.
Al-Quran dan tauhid untuk reformasi sosial
Al-Qur’an berkaitan dengan berbagai kepercayaan dan praktek-praktek yang berlaku di masyarakat pada saat itu. Al-Quran menyatakan bahwa di Hari Penghitungan, Allah akan membedakan antara orang Kristen dan Yahudi di satu sisi, dan politeis di sisi lain. Memang, umat Kristen dan Yahudi disebut sebagai Ahl al-Kitab, orang-orang dari kitab suci, dan Nabi Muhammad sendiri adalah Khatam al-Nabiyyin, yang terakhir dari garis keturunan panjang para nabi yang mencakup Ibrahim, Musa dan Isa. Oleh karena itu Islam menampilkan dirinya sebagai titik akhir dari agama-agama Abrahamik. Ini mencerminkan fakta bahwa agama Kristen dan Yudaisme terkenal di Arab abad ke-7, berkat komunitas pertanian yang menetap serta pedagang Bizantium. Bentuk ekspresi budaya tertinggi yang lazim dalam masyarakat Arab pada saat itu juga tercermin dalam penggunaan Al-Quran melalui ayat-ayat puitis yang ditulis dalam dialek Arab Quraisy.
Mengenai isi Al-Qur’an, Muruwwah berpendapat bahwa “berbagai Surah Al-Quran (bab) adalah ilustrasi konkret dari fenomena yang membentuk masyarakat Arab abad ke-7, bahkan jika ini kadang-kadang dinyatakan secara simbolis, metaforis, dalam bentuk pedoman yang tidak jelas atau tepat atau bahkan sebagai janji hadiah surgawi atau hukuman neraka. “[Muruwwah, vol 1, hal. 374]
Konsep Tauhid dan Akhirat membentuk dua pilar filosofis Al-Qur’an. Tauhid secara alami harus dipahami dalam pengertian teologis, sebagai transisi dari politeisme ke monoteisme. Terlepas dari Hanifa, evolusi praktik politeistik menunjukkan kecenderungan terhadap penyatuan. Hal ini terlihat dari penempatan berbagai berhala dari berbagai suku di satu lokasi, Ka’bah, atas inisiatif Quraisy yang berkuasa. Ketika suku-suku berdagang dan menetap di Mekah, mereka mulai beribadah bersama juga. Terlebih lagi, para peziarah tertentu menyembah berhala di Ka’bah sebagai perantara antara mereka dan dewa yang unik [Muruwwah, vol 1, hal. 375]. Chris Harman mengatakan bahwa “Islam bukan hanya seperangkat keyakinan atau aturan untuk perilaku moral. [Islam] juga merupakan program politik untuk mereformasi masyarakat, untuk menggantikan ‘barbarisme’ persaingan yang sering dipersenjatai, antara suku dan keluarga yang berkuasa, dengan umat yang diperintahkan berdasarkan satu kode hukum.” [Harman, hal.125]
Tauhid dengan demikian memiliki makna sosial. Seperti yang akan kita lihat, proses penyatuan agama melibatkan penyatuan politik suku-suku Arab. Ini dimungkinkan secara objektif oleh evolusi ekonomi masyarakat Arab tetapi membutuhkan perjuangan politik melawan keluarga penguasa konservatif, dengan Quraisy sebagai penguasa mereka. Dalam kata-kata Muruwwah, akhirat hampir sebagai “suatu janji eksplisit keselamatan surgawi bagi yang dirampas secara sosial dan tertindas, dan janji hukuman kekal bagi para penindas.”
Sebagian sahabat Nabi Muhammad termasuk keturunan dari beberapa pedagang kaya. Namun, kelas aristokrat menyambut Islam dengan ejekan dan menganggap Nabi dirasuki oleh jin, salah satu setan yang menyiksa dan mengilhami penyair. Meski begitu, tak lama kemudian mereka menyadari bahaya agama baru ini mengancam kultus politeistik di sekitar Ka’bah, simbol kekuatan ekonomi dan politik mereka. Upaya mereka melalui penyuapan dan kompromi tidak mampu membengkokkan tekad kaum Muslim. Akibatnya, mereka melakukan penindasan terhadap Nabi Muhammad dan para pengikut beliau. Kaum miskin dan tertindas merupakan sebagian besar mualaf awal yang siap untuk menanggung penganiayaan di tangan aristokrasi Quraisy. Martir pertama Islam adalah Sumayyah binti Khayyat, seorang perempuan miskin yang terbunuh setelah dia menolak untuk meninggalkan iman barunya. Bilal bin Rabah, seorang budak kulit hitam yang disiksa oleh tuannya karena memeluk Islam, ‘membeli’ kebebasannya dengan bantuan Abu Bakar, salah satu sahabat Nabi yang lebih kaya, dan kemudian menjadi Muazin pertama, bertugas memanggil sesama Muslim untuk shalat.
Polarisasi kelas awal di sekitar Islam ini dijelaskan oleh fakta bahwa Islam tidak hanya menyoal janji surgawi, tetapi juga membawa program reformasi sosial yang mendasar dan duniawi. Nabi Mohammad mengecam praktik keserakahan dan predator pedagang kaya dan pemungut riba. Beliau mempromosikan nilai-nilai solidaritas dan amal terhadap orang miskin. Beliau juga menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan, kulit hitam dan penduduk asli Arab, orang bebas dan budak di hadapan Allah. Terlepas dari reaksi orang kaya Mekah, Islam tidak membawa program egaliter revolusioner. Islam mengecam ‘perilaku berlebihan’ dan ‘ketidaksalehan’ dari mereka yang secara mencolok memamerkan kekayaan mereka. Beliau berjuang menyerukan secara halus redistribusi sumber daya yang radikal, melainkan menuntut agar orang kaya membayar zakat, yang dengannya program amal untuk kaum yang membutuhkan akan didanai. Riba dan umumnya setiap pendapatan yang berasal dari bunga atau perjudian akan dilarang, tetapi tidak melarang praktik menghasilkan keuntungan komersial – konsep ‘pedagang jujur’ memang dipuji sebagai model Muslim.
Terlepas dari beberapa landasan teoritis yang dipertanyakan, Islam et Capitalisme karya Maxime Rodinson memberikan banyak informasi empiris dan historis tentang hubungan produksi di berbagai masyarakat ‘Islam’. Rodinson menyimpulkan, benar dalam pandangan saya, bahwa tidak ada satu ‘mode produksi’ tertentu (sosialisme, kapitalisme atau feodalisme, misalnya) yang direkomendasikan atau dilarang di bawah Islam, atau memang secara intrinsik ‘Islami’ atau non-Islami. Tujuan langsung Syariah Islam adalah untuk “mengatur diferensiasi sosial”, menyediakan seperangkat undang-undang yang mengakui realitas ekonomi baru. Islam berusaha membawa harmoni bagi masyarakat dan membatasi ketidaksetaraan yang mencolok dan menyatukan umat beriman di bawah seperangkat nilai-nilai moral, politik dan budaya bersama. Begitulah inti sosial damai dalam gagasan agama Tauhid. Kita akan melihat kemudian bahwa proposisi utopis ini tidak mencegah konflik sosial muncul dalam masyarakat Islam, segera setelah penaklukan wilayah besar Suriah, Mesir dan Irak modern.
Dari Mekah ke Madinah dan…kembali
Para aristokrat Quraisy dan sekutu mereka tetap menolak Tauhid dan bertekad untuk menghapus ancaman ini, suatu kekuatan yang tidak dapat dibeli atau diintimidasi. Merasakan bahaya, Nabi Muhammad meminta para sahabat untuk mencari perlindungan di Madinah, beberapa ratus mil jauhnya, pada tahun 622 yang menjadi tahun pertama dalam kalender Muslim. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai Hijrah (migrasi), menandai titik balik dalam sejarah Islam awal. Madinah – atau Yatsrib, seperti yang dikenal pada saat itu – adalah pemukiman pertanian yang lebih tua dari Mekah dan dihuni oleh suku-suku Arab, beberapa di antaranya adalah Yahudi sementara yang lain politeistik. Mereka terlibat dalam perdagangan tetapi umumnya kurang berhasil daripada rekan-rekan Mekah mereka. Mereka sepakat untuk memberikan perlindungan bagi Nabi Muhammad dan para sahabat, serta memberi ruang bagi untuk dakwah secara terbuka. Para penduduk Madinah ini akhirnya dikenal sebagai kaum Ansar (Pendukung) setelah mereka masuk Islam.
Madinah tidak hanya memberi umat Islam ruang bernapas setelah bertahun-tahun menjalani keimanan diam-diam disertai penganiayaan di Mekah, tetapi juga memungkinkan Islam untuk bergerak melampaui ranah konversi individu yang sejauh itu masih terbatas. Nabi Muhammad menerjemahkan prinsip-prinsip Al-Quran yang sering abstrak dan simbolis ke dalam Syariah (Hukum) yang disesuaikan dengan kondisi konkret yang ditemukan di Madinah, sehingga memberikan kerangka hukum untuk penyatuan politik suku-suku dan pengaturan hubungan sosial antara individu. Sementara orang miskin dan tertindas dari suku-suku Madinah tertarik dengan dakwah Nabi Muhammad untuk alasan yang jelas, para pemimpin suku juga menerima Islam. Hal ini mungkin karena tidak seperti rekan-rekan Mekah mereka, kekayaan mereka tidak terikat dengan agama mereka. Pada Nabi Muhammad dan para sahabat beliau, penduduk Medinah melihat mereka sebagai sekelompok orang yang tekadnya telah ditempa oleh penganiayaan bertahun-tahun, dengan gagasan yang jelas tentang bagaimana mengatur masyarakat dan mengakhiri perseteruan suku yang melanda kehidupan di dalam dan sekitar Madinah. Muruwwah juga berpendapat bahwa para pemimpin suku di Madinah telah mengamati situasi di Mekah ketika mereka memeluk Islam. Persatuan mereka di bawah Islam akan memberdayakan mereka untuk menyaingi tetangga mereka yang kaya.
Dari basis di Madinah, dakwah Islam menyebar ke seluruh Semenanjung Arab dan mencapai kekaisaran Persia dan Bizantium. Melalui kombinasi konfrontasi dan pertempuran terbuka, tentara Muslim di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad semakin berada di atas angin melawan Mekah, sampai para pemimpinnya akhirnya menyerah dan menyatakannya sebagai ‘kota terbuka’ bagi Nabi Muhammad dan para sahabat beliau untuk merebutnya. Akhirnya, pada tahun 630 hambatan serius terakhir untuk penyebaran Islam di seluruh Arab telah ditaklukkan, dan delegasi suku dari seluruh wilayah berbondong-bondong ke Mekah dan menyatakan kesetiaan mereka kepada Islam dan Nabi Muhammad.*
Catatan Redaksi: Tulisan ini dikirim langsung oleh Jad Bouharoun dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Redaksi Islam Bergerak. Klik tautan ini untuk membaca bagian 2.
Catatan akhir:
[1] https://www.marxists.org/archive/marx/works/1859/critique-pol-economy/preface.htm