Wawancara Shadia Marhaban
Pengantar redaksi
Arus pengungsi Rohingya kembali menghampiri wilayah Indonesia. Sayangnya, respons negatif sebagian masyarakat Indonesia di media sosial terhadap pengungsi Rohingya terwujud dalam berbagai bentuk, mulai dari retorika diskriminatif hingga penyebaran stereotip yang mengarah pada penghinaan kemanusiaan dan kampanye kekerasan. Beberapa pengguna media sosial telah menyatakan permusuhan mereka yang tidak beralasan, menyebarkan informasi yang salah dan menumbuhkan iklim ketakutan dan ketidakpercayaan antara warga Indonesia dan komunitas Rohingya.
Serangan anti-Rohingya di media semacam ini ditengarai memang diorkestrasi oleh pihak-pihak tertentu sebagaimana penyelidikan yang diliput oleh BBC terkait penyebaran hoaks dan narasi kebencian. Bahkan, pada tahun 2018, PBB melaporkan bahwa media sosial telah memainkan peran penting dalam genosida Rohingya pada tahun 2017 di negara bagian Rakhine, Myanmar. PBB juga mengidentifikasi Facebook sebagai “instrumen yang berguna” untuk menyebarkan ujaran kebencian di negara tersebut.
Sentimen negatif ini seringkali menyentuh permasalahan yang lebih luas, seperti permasalahan ekonomi, perbedaan budaya, sampai urusan perilaku. Selain serangan verbal, terdapat beberapa kasus pelecehan daring, penindasan maya (cyberbullying), dan penyebaran konten yang menghina yang menargetkan pengungsi Rohingya.
Dalam Islam kita mengenal istilah kaum mustadh’afin, yaitu kaum tertindas tak berdaya yang terusir dari kampung halaman mereka dan memilih hijrah, disebut jelas dalam Surah An-Nisaa ayat 98-100 sebagai pihak yang diampuni dan dirahmati Allah SWT. Krisis Rohingya, ditambah dengan misinformasi, sebaliknya telah menjadi platform penyebaran prasangka di media sosial untuk mempromosikan xenofobia dan sentimen anti-pengungsi.
Minggu lalu redaktur Islam Bergerak, Rizki Amalia Affiat dan Ayu Rikza berbincang panjang dengan Shadia Marhaban untuk mengupas lebih jauh lagi dimensi krisis pengungsi Rohingya. Penjelasan elaboratif dari Shadia Marhaban ini mengajak kita mendudukkan problem secara lebih jernih dan merawat semangat solidaritas kita terhadap kaum tertindas seperti Rohingya.
Di akhir wawancara ini, kami juga sertakan tautan ke liputan rujukan dan rekomendasi artikel lanjutan sebagai tambahan wawasan tentang isu Rohingya.
Profil
Shadia Marhaban adalah ketua yayasan Waqeefa Global Kharisma, lembaga wakaf berbasis di Aceh yang fokus untuk balai-balai pengajian kecil dan anak-anak penghafal Qur’an dari kaum mustadh’afin di Aceh, sekaligus juga aktif menyalurkan layanan dan kampanye solidaritas untuk pengungsi Rohingya di Aceh. Ia juga anggota pengarah (steering committee) dan Southeast Asian Women Peace Mediators yang melakukan kerja-kerja mediasi konflik di berbagai wilayah di Asia Tenggara maupun di tingkat internasional. Ia telah terlibat dalam proses mediasi untuk perdamaian antara pasukan perlawanan dan pemerintah di Mindanao (MILF), Nepal, Spanyol (Basque), Kolombia (FARC), Kamerun, dan Myanmar. Ia juga merupakan fellow dari Weatherhead Center for International Affairs di Universitas Harvard.
Sila simak wawancaranya.
Islam Bergerak (IB): Kak Shadia kan baru berkunjung ke tempat pengungsian Rohingya kemarin di Sabang, bisa diceritakan singkat ke kami bagaimana situasi mereka saat ini dan respon masyarakat disana?
Shadia Marhaban (SM): Sebenarnya pendaratan Rohingya di Aceh itu sudah dari tahun 2010. Dari tahun 2010, penanganannya itu dilakukan oleh IOM, UNHCR dan juga lembaga lokal. Lembaga lokal Aceh seperti Yayasan Geutanyoe dan juga Kontras dll tapi waktu itu kan tidak masif ya. Misalnya 1 boat mendarat, 200 orang, 150 orang. Kemudian 2015 itu terjadi pendaratan besar. Setelah itu seperti biasa lagi. Mengapa pendaratan di tahun 2023 ini sangat banyak, jumlah orangnya mencapai 1500-an lebih dikarenakan Kondisi kamp di Bangladesh itu semakin buruk sehingga biasanya di musim ini memang mereka memilih untuk mencari jalan kelaur untuk mengubah nasib. Biasanya antara Oktober, November, Desember, sampai Januari. Mereka biasanya turun keluar dari camp Cox’s Bazaar di Bangladesh.
Kondisi kamp di Bangladesh itu semakin buruk sehingga biasanya di musim ini memang mereka melaut antara Oktober, November, Desember, sampai Januari. Mereka biasanya turun untuk lari dari Bangladesh. Dan kali ini memang yang datang ke Aceh banyak jumlahnya. Kamp itu di Aceh bukan satu. Bahkan, ya masyarakatnya membantu. Ada yang kasih telur, ada yang kasih makan, ada yang bikin kue untuk mereka.
Pendaratan terbaru pengungsi Rohingya di Aceh. Kredit foto: Waqeefa.
Bagaimana sejauh ini komunitas internasional menanggapi krisis pengungsi Rohingya, dan apa saja tantangan utama dalam mengatasinya?
Sebenarnya di Aceh dari tahun 2010 hingga 2023 aman-aman saja bahkan banyak kawan-kawan saya di Jakarta tidak mengetahui bahwa kita di Aceh ada menampung pengungsi Rohingya. Puncak ramainya itu pada saat penggalangan dana 2015 oleh Dompet Dhuafa dan lain-lainnya sehingga banyak masyarakat Indonesia yang kemudian tahu keberadaan mereka di Aceh.
Akhir-akhir ini memang terjadi semacam kampanye buruk terhadap pengungsi Rohingya yang kita sendiri merasa aneh karena mereka adalah sesama Muslim ditambah lagi hukum adat laut di aceh yang wajib menolong siapapun yang sedang kesulitan di laut. Adat ini sudah ada dari zaman kesultanan Iskandar Muda yang dipegang teguh oleh panglima laot. Dulu panglima laot didirikan Sultan untuk mengatur strategi perang namun pada ini fungsi panglima Laot adalah sebagai Lembaga adat di tengah masyarakat nelayan Aceh termasuk menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan di laut.
Memang kita akui ada kekhawatiran dari pemerintah terhadap smuggling [penyelundup] dan trafficking [perdagangan manusia], dan Aceh digunakan sebagai titik transit. Nah, yang dikhawatirkan oleh pemerintah tentunya TPPO, kasus Tindak Pidana Penyelundupan Orang [human trafficking]. Jadi ada peningkatan keamanan, khususnya oknum-oknum pelaku TPPO ada beberapa yang sudah ditangkap pihak keamanan.
Ada pertanyaan juga mengapa para pengungsi ini bisa masuk ke wilayah Aceh kan seharusnya ada pengamanan. Selat Malaka ini kan tidak besar tapi yang paling sibuk lalu lintasnya sebenarnya. Kapal-kapal kayu ini sebenarnya bisa dideteksi via satelit. Sementara Indonesia gencar soal maritime security, ketika kejadian seperti ini saya pikir ini penting untuk diperbaiki. Bukan penyelundupan barang saja, memang orang Rohingya sudah merasa Aceh ini aman untuk bisa transit dan melanjutkan perjalanan mereka ke Malaysia.
Sayangnya, sampai saat ini belum ada aturan baku terhadap Rohingya untuk keluar mencari nasib yang lebih baik kecuali dengan menggunakan agen atau penyelundup. Jadi sistem internasional belum membentuk ini secara legal. Seandainya mereka bisa ke Malaysia atau negara mana saja secara legal, pasti mereka akan menempuh jalur legal, tentunya tidak akan menyabung nyawa untuk ini. Perlu diingat bahwa Rohingya itu stateless, mereka tidak mempunyai warganegara dan dokumen apapun dari Myanmar jadi sangat sulit misalnya untuk melakukan perjalanan, mendapatkan akte kelahiran, mendaftar sekolah dan lainnya.
Menurut pantauan beberapa pihak sepertinya ada keterlibatan pihak asing dalam penindasan dan pengusiran warga Rohingya oleh rezim Myanmar. Bahkan jika kita ingin tarik lebih jauh lagi di Indonesia yang sedang gencar-gencarnya mendukung Palestina tiba-tiba muncul masalah “hate speech” kepada pengungsi Rohingya yang juga sesama Islam.
Saya juga memantau bahwa rezim militer Myanmar banyak membeli senjata bahkan latihan pasukan Myanmar banyak yg dibimbing oleh Israel. Israel memberikan dukungan terhadap pembersihan etnis Muslim Rohingya dengan memasok peralatan yang diperlukan Myanmar untuk melakukan genosida, termasuk melatih pasukan khusus Myanmar [cek liputan di Middle East Monitor dan Aljazeera, ed.]. Sampai saat ini, undang-undang internasional belum menciptakan suatu sistem bagi orang-orang korban genosida untuk keluar mencari nasib yang lebih baik. Aneh memang karena kalau ditinjau secara geografis Israel itu jauh. Namun, jika kita melihat cara Myanmar bergerak menghadapi etnis Rohingya dengan mengambil tanah-tanah mereka dan menjarah harta benda penduduk Muslim Myanmar tentu kita tidak perlu berpikir terlalu jauh lagi. Model yang dilakukan adalah ekspansi, eksterminasi [pembasmian] dan hate speech.
Peran apa yang sudah dimainkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Bangladesh dalam merespon situasi pengungsi Rohingya?
Jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia itu tidak ada apa-apanya dibanding negara-negara tetangga karena Malaysia ada 160 ribu, Thailand, Saudi Arabia, India, dan lainnya. Jadi sebenarnya yang masuk ke Indonesia tidak banyak, yang memang punya keluarga di Malaysia. Ini kalau kita mau bicara dari sudut pandang si pengungsinya ya. Kalau saya jadi pengungsi tentu kalau saudara saya ada di tempat yang enak, saya ingin ikut, daripada saya di Bangladesh mungkin dipukul mati, diperkosa orang, atau keamanan saya terganggu dan segala macam, jadi lebih baik saya mencari kerja yang halal di tempat lain. Karena itu mereka ingin ke Malaysia untuk mengubah nasib. Mereka ingin anak-anaknya bisa sekolah, karena di Malaysia itu ada sekolah untuk Rohingya yang dijalankan oleh UNHCR. Besar sekolahnya, ribuan muridnya, dan juga ada yang dijalankan oleh lembaga Islam, seperti Rabanniyah Educare.
Para pengungsi ingin memperbaiki hidup. Kita tidak pernah merasakan hidup dalam kamp selama 20-30 tahun yang hanya begitu-begitu saja. Mereka tidak bisa ngapa-ngapain. Mereka menganggap pergi ke Malaysia walaupun kerja serabutan tapi sudah memiliki income. Mereka bisa membiayai anak-anaknya.
Ada TikTok misalnya yang dari Malaysia itu dikabarkan pengungsi Rohingya mengambil tanah orang. Itu hoax. Begitu kita selidiki, itu ternyata manipulasi tambalan video-video terus dimunculkan di TikTok. Di Malaysia juga sempat terjadi hal macam ini tapi Pemerintah Malaysia mampu meredam.
Bagaimana sebaiknya kita merespon gempuran netizen Indonesia – terutama yang melihat krisis ini dengan segala hoaks dan narasi kebencian terhadap Rohingya?
Masyarakat kita apalagi di Aceh masih sangat awam pengetahuan tentang Myanmar apalagi konflik disana, jadi apa saja yang mereka tonton di TikTok mereka percaya begitu saja. Kemudian juga yang lainnya menimbulkan keresahan adalah budaya yang beda. Mereka hidup di kamp yang seadanya selama di Bangladesh. Adab, adat istiadat dan budaya yang beda sebenarnya dulu tidak menjadi suatu kendala, malah banyak mereka belajar tentang adat istiadat Aceh, sopan santun dan sebagainya. Hanya saja sekarang pengaruh sosial media menjadi lebih tajam lagi. Kalau perilaku ini kan relatif, ya tidak mungkin semua Rohingnya perilakunya buruk. Mungkin dari yang 400 itu, 50 lah kita bilang yang kurang baik. Sama juga kan dengan komunitas. Di Aceh juga, di kampung saya pun tidak semuanya berperilaku baik misalnya Jadi kalau soal perilaku saya pikir nggak menjadi kendala sebenarnya, tapi di api-apikan oleh media.
Salah satu contoh bagaimana media internasional arus utama menggemakan sentimen negatif dan diskriminatif atas warga Rohingya sebagai kaum jorok yang berhak diusir.
Sampai akhirnya terjadi perlakuan-perlakuan yang sangat tidak manusiawi terhadap pengungsi di Aceh. Ini sudah diluar batas dari budaya masyarakat Aceh, dan yang sangat saya sedihkan adalah proses dehumanisasi Rohingya ini sudah mencoreng kearifan lokal masyarakat Aceh. Orang Rohingya cuma transit di sini, kita mengurus mereka karena kondisi darurat. Tapi kini masyarakat Aceh kehilangan rasa welas asihnya, kebijaksanaan lokal yang kita pelihara dari panglima laut dan dari masyarakat Aceh ini ternodai.
Sekarang memang saya pikir kebencian yang beredar sudah masif, sensasional, sampai ke tingkat nasional. Sudah nggak mungkin lagi kita kontrol. Hal ini membuat orang-orang baik yang memang masih mendukung atau masih melihat Rohingya ini sebagai orang yang tertindas itu tidak berani bersuara karena di bully.
Selain itu ada juga ancaman kepada lembaga-lembaga internasional. Saya tidak tahu awalnya dari mana. Misalnya UNHCR mau diusir, UNHCR mau disuruh keluar, itu kita heran. Itu dari mana sebenarnya? Jadi saya melihat ini semacam ada rancangan besar [grand design] yang saya juga tidak tahu ujungnya ini akan ke mana. Aceh yang jelas akan terimbas dari keburukan ini. Kami merasa sangat sedih dan terpukul bahwa akhirnya yang selama ini kita ramah kepada pengungsi, sekarang berbalik seolah-olah kita sangat kejam pada pengungsi. Ini didukung juga oleh Nasional.
Seberapa efektif organisasi internasional seperti Badan Pengungsi PBB (UNHCR), Organisasi Migrasi Internasional (IOM) dan lembaga lokal dalam memberikan bantuan dan dukungan kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya? Ada gak perbedaan dan dampaknya, dan kira-kira apa ada potensi kolaborasi yang lebih baik?
Masukan saya kepada lembaga internasional adalah mereka perlu mempertimbangkan lingkungan sekitarnya yang miskin. Misalnya dengan membuat program-program di tingkat komunitas lokal yang melibatkan warga kampung. Donor pun biasanya kan kaku, jika bantuan hanya untuk pengungsi maka tidak bisa dialihkan ke masyarakat.
Katakan lah ada 150 orang di komunitas pengungsi, dan masyarakat sekitarnya masih hidup miskin, makan sehari sekali seadanya. Ini contoh. Kemudian di kamp dikasih makan tiga kali sehari tapi tidak kerja, tidak bajak sawah, pergi ke ladang, atau cari ikan. Kira-kira setelah beberapa tahun ini menimbulkan efek tidak? Kan menimbulkan kecemburuan sosial. Warga sekitar lihat truk-truk bantuan masuk ke kamp. Mereka lihat susu, makanan anak-anak dari donor masuk ke kamp. Sementara warga kampung di luar kamp gula setengah kilo saja tidak sanggup beli. Walaupun awalnya warga menerima pengungsi dengan positif, tapi karena respon dari komunitas internasional ini tidak sensitif melihat komunitas lokal di sekitarnya, akhirnya jadi masalah.
Inisiatif apa yang diambil oleh jaringan mediator yang Kakak geluti di SEAWPM untuk tingkat diplomasi? khususnya mengatasi permasalahan jangka panjang mengenai kewarganegaraan dan keadaan tanpa kewarganegaraan bagi penduduk Rohingya?
Saya pikir ruang-ruang dialog harus dibuka misalnya untuk proses repatriasi pengungsi Rohingya ke Rakhine. UNHCR menekankan bahwa setiap pengungsi mempunyai hak yang melekat untuk kembali ke negara asal mereka, dan menekankan pentingnya kepulangan secara sukarela. Namun, pengungsi Rohingya yang sekarang berada di Bangladesh tidak mau kembali ke Myanmar karena khawatir akan terkurung di kamp-kamp. Mereka sudah melakukan kunjungan awal, maksudnya untuk mendorong repatriasi sukarela, tapi justru para pengungsi Rohingya mempertanyakan soal kelayakan persiapan. Mereka juga menuntut jaminan keamanan dan kewarganegaraan sebelum mempertimbangkan kepulangan permanen [cek liputan di Reuters, ed.].
Bagaimana komunitas internasional bisa bekerja secara kolaboratif dengan pegiat kemanusiaan dan pemerintah Indonesia untuk solusi berkelanjutan dan adil terhadap krisis pengungsi Rohingya?
Ada beberapa pengungsi yang bisa bahasa Inggris, cuma saya tidak mau expose dia.
Saya tidak berani bawa dia ke ke depan gitu. Padahal dia bagus, pintar dan anaknya bisa bahasa Inggris, dia ingin sekolah, dia bilang sama saya, dia ingin maju, ingin kerja untuk biayai sekolah. Karena di kamp Bangladesh tidak ada harapan.
Pada hakikatnya manusia hanya ingin kehidupan yg lebih baik, they just want a better life, they want hope. Sebenarnya sederhana. Walaupun mereka tidak merdeka secara kehidupan, tidak punya ijin tinggal yang tetap misalnya, dan mereka tahu mereka tidak bisa memberikan banyak kepada kita namun secuil harapan tentunya tidak akan luput dari hati manusia untuk bekerja, mencari nafkah yg halal dan memperbaiki kehidupan. Jika menunggu resettlement ke negara ketiga misalnya melalui proses pengungsian sangat lama dan belum tentu kapan bisa lulus screening untuk proses tersebut.
Sebenarnya Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2016 itu sudah ada. Dinyatakan disitu bahwa pengungsi itu ditangani oleh pemerintah dan lembaga-lembaga internasional. Jadi bukan UNHCR dulu yang menangani kalau datang pengungsi, justru seharusnya pemerintah. Setelah itu baru UNHCR dan IOM. Itu kalau menurut Perpres. Seharusnya pemerintah bisa menekan donor untuk membuat fasilitas layak untuk menerima mereka. Juga Minim edukasi terhadap aparat penegak hukum menjadi kendala. Saya harap ini bisa diperbaiki ke depannya karena kita sudah ada kerangka hukumnya.
Apa saja bentuk dukungan dari pemerintah dan kita warga Indonesia yang diperlukan oleh para pengungsi Rohingya?
Kontribusi yang kita berikan di aceh dan juga melalui Yayasan Waqeefa sekarang adalah memberikan ketenangan batin, setidaknya sementara. Tiap sore itu mereka ngaji, solat bersama. Ada narasi di sosial media yang katanya mereka tidak bisa syahadat. Mungkin saja, karena mereka tidak belajar apa-apa. Bayangkan generasi yang lahir di kamp mungkin ibu mereka sudah meninggal, akhirnya anak-anak itu jadi liar hidupnya.
Namun, ada tidak yang mencatat bahwa diantara mereka ada yang hafal penuh al-Quran? kami sudah menemukan banyak sekali dari mereka. Per tiap gelombang. Ada yang hafal 15 sampai 30 juz. Tidak ada yang menyebut itu di media, yang dinaikkan ya narasi yang negatif.
Lembaga Waqeefa berusaha memberikan yang terbaik kepada para hafiz-hafizah di kamp pengungsi Rohingya. Kita wakafkan Mushaf, kita kasih keperluan mereka untuk mengaji dan perangkat solat. Saya pribadi sebenarnya banyak belajar dari mereka karena fitrah manusia menolong sesama adalah bagian dari persaudaraan.
Memang berlapis kompleksitasnya. Apa yang bisa kita lakukan di Indonesia sekarang adalah membantu secara darurat. Kita tidak punya kewajiban mengambil pengungsi, namun karena emergency, mereka harus dibantu. Misalnya satu bulan, dua bulan di sini mereka perlu makan, sandang, pangan, papan. Itu kita penuhi. Apalagi mereka sesama Muslim.
Arus pengungsi Rohingya yang terbaru berteduh sementara di depan kantor Gubernur Aceh. Kredit foto: Waqeefa
Islam punya sejarah awal dimana isu pengungsi ini sentral – saat generasi Muslim pertama mengungsi ke Abbasiniyyah (Ethiopia) kemudian bagaimana kaum Anshar menyambut kaum Muhajirin dan akhirnya membangun masyarakat baru di Madinah. Nilai-nilai apa yang bisa kita ambil dari ajaran dan sejarah Islam tentang krisis pengungsi di era sekarang, ketika teritori negara dan status kewarganegaraan seolah membangun batas-batas kemanusiaan baru?
Permasalahannya kan akarnya dari Myanmar. Dari sudut Islam, kita lihat himbauan MUI, khususnya Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh, bahwa kita wajib menolong, dan Waqeefa sebagai lembaga keagamaan turut serta disini. Kalau penyelesaian ya harus di tingkat ASEAN dan Myanmar yang melakukannya, bukan kita, tapi kan kita setidaknya harus bersikap adil terhadap kenyataan yang sedang dihadapi kaum Rohingya.
MUI sudah menghimbau bahwa Aceh punya kewajiban moral untuk menerima Rohingya. Hanya saja, sejauh ini diduga ada pihak-pihak yang memprovokasi masyarakat. Tidak ada perbedaan di kalangan ulama tentang kewajiban menolong sesama Muslim, khususnya yang sedang dizalimi. Seruan untuk mencegah bantuan kepada sesama Muslim, menebar kebencian dan pengusiran kepada mereka, apalagi melakukan serangan secara fisik kepada sesama Muslim adalah kezaliman yang dilarang Islam.
Semoga peran yang sangat kecil ini bisa merubah keadaan kehidupan mereka setidaknya memberikan harapan untuk masa depan yang lebih cerah. Semuanya milik Allah azza wa Jalla , kepada-Nya kita akan kembali.
***
Lembaga Waqeefa menyalurkan donasi kebutuhan popok anak-anak pengungsi Rohingya. Kredit foto: Waqeefa.
Liputan rujukan:
https://www.bbc.com/indonesia/articles/cl7pyd45420o
https://www.aljazeera.com/news/2017/10/23/israel-maintains-robust-arms-trade-with-rogue-regimes
Rekomendasi bacaan lanjutan:
https://islambergerak.com/2015/05/genosida-rohingya-dan-bisnis-minyak-di-myanmar/ oleh Arif Novianto
https://islambergerak.com/2017/09/bisnis-liberalisasi-kekerasan-di-myanmar/ oleh GM Nur Lintang Muhammad
https://islambergerak.com/2015/05/rohingya-dan-keramahtamahan-tambahan-untuk-editorial-islam-bergerak/ oleh Rizky Alif Alvian
https://islambergerak.com/2015/05/rohingnya-dan-krisis-kosmopolitanisme/ oleh Muhammad Al-Fayyadl