Palestina Milik Kita: Warisan Berdarah Imperialisme di Dunia Islam

1.5k
VIEWS

“Palestina menjadi negeri Arab bukan hanya karena penaklukan Muhammad, tetapi sejak berabad-abad lalu bangsa Arab telah bermigrasi ke negeri tersebut. Di antara mereka adalah kaum Badui, kelompok prajurit berpengalaman, kelompok pedagang. Kepercayaan Kristen yang mereka anut adalah kepercayaan sesat dan sangat dangkal, oleh karena itu mereka sangat mudah beralih memeluk Islam”

[The Universal Jewish Ensyclopedia]

“Satu wilayah yang paling bermasalah untuk klaim yang bersaing antara nasionalisme dan negara bangsa-isme adalah Palestina, yang tak lama lagi akan disebut sebagai Israel”

[Tamim Ansary]

Saat ini dunia menyaksikan serbuan brutal militer Israel ke Gaza. Wujud kejahatan perang ini menggunakan pembenaran ‘bela diri’ dari serangan mendadak oleh Hamas pada Sabtu, 7 Oktober 2023. Hamas, salah satu organisasi perlawanan Palestina yang paling dominan saat ini, melontarkan lebih dari 5.000 roket bersamaan dan mematahkan sistem kendali anti rudal paling canggih Israel, Iron Dome. Menurut sejumlah kabar dari kantor berita, korban di pihak Israel ini yang terbesar selama beberapa tahun terakhir, yakni 1.400-an orang meninggal dan lebih dari seribu orang korban luka-luka. Tak cukup seminggu, korban berjatuhan telah ribuan di pihak Palestina ketika Israel menyatakan perang dan berniat menghancurkan kekuatan Hamas. Ketika artikel ini dinaikkan, korban di Palestina terus berjatuhan di Gaza maupun di Tepi Barat. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, 8.805 warga Palestina telah terbunuh sejak 7 Oktober, termasuk sedikitnya 3.648 anak-anak dan 2.187 perempuan, dan sekitar 22.240 orang terluka.

Banyak media Barat menyoroti serangan Hamas namun tutup mata melihat korban di pihak Palestina. Bahkan dunia Barat sekali lagi menunjukkan pembelaannya terhadap kepentingan Israel melalui veto Amerika atas rancangan yang diajukan Brazil ke PBB untuk ‘jeda kemanusiaan’. Warisan imperialisme telah menghancurkan Palestina, negeri yang didaulat sebagai wilayah suci bagi kaum Muslim. Tanah-tanahnya diubah menjadi tanah milik negara Israel dan orang-orang Palestina, penghuni tanah ini sejak lama menjadi korban pembantaian, serangan, dan genosida Israel.

Setelah Perang Dunia I, Palestina adalah salah satu warisan imperialisme Eropa paling berdarah saat ini, yang terus ditindas oleh kekuasaan Zionis Israel. Melalui dukungan Inggris dan struktur imperialisme dunia di bawah Amerika Serikat dan Eropa Barat, kaum Zionis diberikan kesempatan bermukim di tanah yang lebih dari 4.000 tahun telah didiami oleh orang Arab. Kebijakan pemukiman bangsa Yahudi untuk suatu negara tunggal milik orang-orang Yahudi di tanah suci ini terus bergolak. Mereka melakukan  pemusnahan massal kepada bangsa Arab-Palestina yang dalam perkembangan seabad terakhir telah semakin mengecil dan sekarat.

Sejak Perang Dunia I, negara Israel ditopang oleh imperialisme Inggris dan Amerika Serikat lewat kebijakan Partisi PBB 1947, dilanjutkan perang Arab-Israel, hingga akhirnya peta Palestina semakin menciut dan terbelah. Tak pernah sekalipun kebijakan internasional berpihak kepada  Palestina kecuali kemenangan tahun 1973 dalam perang Yom Kippur. Saat itu Israel menghadapi dua kekuatan utama Arab dan Suriah di Utara, serta Mesir di Selatan. Hasilnya pengembalian Sinai kepada Mesir dan sebagian dataran tinggi Golan ke Suriah. Ini merupakan kemenangan militer, ekonomi minyak dan diplomasi internasional setelah krisis perang dan minyak. Bantuan Uni Soviet ada di belakang kemenangan pada awal perang Yom Kippur, sementara kemenangan ekonomi dengan nilai tawar minyak ada pada persatuan negara Arab yang menggunakan minyak sebagai alat tekan ketika itu. Meski demikian, kemenangan tersebut lebih banyak menguntungkan Mesir dan Suriah. Ironisnya, Palestina tetap dalam kondisi terjajah (Rogan 2017: 531).[1]

Gambar: Peta penyusutan wilayah Palestina dan perluasan negara Israel dalam seratus tahun terakhir

Awal Mula Tragedi

Negara Israel sebenarnya telah lama diangankan oleh komunitas orang Yahudi yang bertebaran di banyak negara Eropa dan mengalami persekusi sejak era kerajaan Katolik di Spanyol yang menerapkan inkuisisi di abad ke 16-17. Saat itu kaum Muslim maupun Yahudi diusir dari Spanyol atau dipaksa harus melakukan konversi agama menjadi Katolik jika tetap memilih bertahan di Spanyol. Kondisi ini juga terjadi di Rusia abad ke-19 yang membuat banyak imigran Yahudi migrasi ke Eropa. Persekusi ini berlanjut dan memuncak pada pembantaian umat Yahudi oleh Nazi di Jerman pertengahan abad ke-20. Angan untuk menguasai tanah Palestina sudah ada sejak komunitas Yahudi kuno seperti yang dilakukan oleh Nabi Daud dan Sulaiman atau komunitas setelahnya dengan terus menyerang wilayah ini.

Tamim Ansary (2018) menulis amatannya mengenai bagaimana klaim orang Yahudi untuk negara Israel di atas tanah Palestina sejak semula dibangun diatas klaim moral mengenai persekusi yang mereka alami di Eropa lalu mencari jalan kemana saja untuk keluar dari situasi itu tetapi yang terutama dan paling diinginkan adalah Palestina. Menurutnya,

“Sebelum dan setelah perang dunia II, genosida Nazi yang berusaha memusnahkan orang-orang Yahudi Eropa membenarkan ketakutan terburuk kaum Zionis dan memberikan bobot moral yang besar bagi argumen mereka tentang tanah air Yahudi yang berdaulat, terutama karena Nazi bukanlah satu-satunya anti-semit di Eropa, hanya yang paling ekstrim. Fasis Italia menimbulkan kengerian atas Yahudi Italia, Pemerintahan boneka Prancis yang dibentuk oleh Jerman memburu orang-orang Yahudi Perancis untuk tuan Nazi mereka, Polandia dan Eropa Timur lainnya bekerja sama dengan antusias dalam mengoperasikan kamp-kamp kematian, Britania Raya, Spanyol, Belgia juga mempunyai sikap anti semit masing-masing – tidak ada bagian dari Eropa yang bisa dengan jujur mengklaim tidak bersalah dari kejahatan yang dilakukan terhadap orang Yahudi pada masa itu.” (Ansary 2018: 506-507)[2]

Apa yang disebutkan ini adalah narasi Yahudi Eropa. Bagaimana dengan narasi Arab yang justru menjadi tuan rumah di atas tanah yang diklaim sebagai ‘tanah yang dijanjikan itu’?

Pendirian Negara Israel Sebagai Proyek Imperialis

Keinginan untuk mendirikan negara nasional Yahudi terutama didorong oleh Gerakan Zionis dengan tokoh utamanya, Theodor Herzl dan Chaim Azriel Weitzmann yang kemudian menjadi presiden zionis dunia dan juga menjadi presiden Israel pertama. Theodore Herzl menulis pamflet berjudul The Jewish State yang menjadi buku propaganda pembentukan negara Yahudi di tanah Palestina. Dalam kampanye-kampanyenya, para intelektual zionis menyampaikan pernyataan-pernyataan mengenai bagaimana Israel, jika kelak terbentuk menjadi corong bagi imperialisme Eropa di jantung timur tengah. Juga di sisi yang lain membawa misi memberadabkan masyarakat timur dengan ilmu pengetahuan Eropa yang akan melawan ’barbarisme’ orang palestina, suatu stereotipe yang sering mereka lekatkan kepada bangsa Arab Palestina.

Dalam konteks narasi Arab, mereka (Yahudi Zionis) adalah penjajah yang memperlakukan penduduk asli sama seperti orang Eropa memperlakukan kaum imigran Yahudi. Seorang Zionis Jerman, Moses Hess, mengumpulkan dukungan bagi zionisme politik dengan mengusulkan bahwa “…negara Yahudi yang akan didirikan di jantung Timur Tengah akan melayani kepentingan imperialisme Barat dan pada saat yang sama membantu membawa peradaban Barat ke Timur yang terbelakang”. Theodor Herzl menulis bahwa sebuah negara Yahudi di Palestina akan membentuk sebagian dari benteng Eropa terhadap Asia, sebuah pos terdepan peradaban sebagai lawan dari barbarisme. Pada tahun 1914, Chaim Weitzman menulis surat kepada Guardian Manchester, menyatakan jika sebuah pemukiman Yahudi dapat didirikan di Palestina dan “dalam dua puluh sampai tiga puluh tahun akan ada satu juta orang Yahudi di luar sana… Mereka akan membangun negeri itu, membawanya kembali ke peradaban dan membentuk penjaga yang sangat efektif bagi terusan Suez.”[3] Akibat asumsi-asumsi semacam itulah, jelas Tamim, “orang Arab melihat proyek Zionis itu sebagai kolonialisme Eropa dalam samaran tipis bukan sedang mengarang-ngarang cerita bohong.”

Dr. Nahum Goldmann, pemimpin kongres Yahudi Dunia dalam sambutannya saat memberikan kuliah umum di Montreal, Kanada, tahun 1947 menyebutkan, “Alasan utama ambisi Yahudi untuk menguasai Palestina adalah karena Palestina terletak di pertemuan jalur Eropa, Asia dan Afrika; Palestina berada di pusat utama kekuatan dunia; dan Palestina merupakan markas militer yang strategis untuk menguasai dunia”.[4]

Palestina: Tercabik, Tercerabut, Terampas

Palestina adalah negeri kaum Muslim yang sejak lama didiami oleh bangsa Arab. Meski dengan proyek negara Israel belakangan, para Yahudi memobilisasi wacana bahwa negeri ini adalah tanah air orang Yahudi, karena itu merekalah yang paling berhak mendiami wilayah tersebut, bukan Palestina. Sejarawan India, Zafarul Islam Khan, seorang jurnalis, sejarawan dan penulis sejarah Islam, membantah hal tersebut dengan menyatakan bangsa Kan’an adalah salah satu yang mendiami negeri ini sebelum bangsa Yahudi. Orang Yahudi mendiaminya hanya dalam waktu singkat dan kemudian dikalahkan oleh bangsa lain. Zafaratul Islam menyebut, “Tidak ada keraguan bahwa bangsa Arab Palestina yang ada sekarang adalah keturunan bangsa Kan’an, Yebus, dan Filistin yang bertahan di negeri tersebut meskipun Yahudi terus menyerang dari luar”.[5]

Baca Juga:

Dalam sejarahnya, wilayah Palestina yang saat ini diklaim sebagai wilayah negara Israel sebenarnya adalah wilayah yang didiami oleh bangsa Amori yang memiliki cabang-cabang seperti suku Amori, Kan’an, Het, Hewi, Girgasi, Feris, dan Yebus. Mereka semua bukanlah Bangsa Yahudi atau Israel sebagaimana disampaikan oleh gerakan Zionis untuk mendirikan negara Yahudi di tanah milik orang Palestina yang leluhurnya jelas mendiami ini jauh lebih lama. Bahkan, jika kekuasaan era Nabi Sulaiman dan Nabi Daud yang berada di puncak keemasan bangsa Yahudi dihitung, maka hanya selama 70 tahun bangsa Yahudi menguasai sekitar dua pertiga negeri tersebut.[6]

Klaim bahwa bangsa Yahudi yang paling berhak mendiami wilayah Palestina didukung oleh kuatnya imperialisme Eropa. Inggris diberi mandat atas wilayah tersebut sebagai pemenang dari Perang Dunia I mengalahkan aliansi Turki Utsmani, kesultanan yang menjadi penguasa wilayah luas di Asia (termasuk Palestina), Afrika, dan Eropa Tenggara. Melalui perang-demi-perang dan kekalahan Turki Utsmani di berbagai front, Palestina lepas dari kekuasaan Turki Utsmani. Penguasa Arab saat itu, terutama klan Hasimiyah yang selama ini diberi amanah memerintah kota suci, berhasil dibujuk oleh Inggris untuk ikut melawan Turki Utsmani dengan janji kemerdekaan untuk tanah air bangsa Arab yang diperintah oleh bangsa Arab sendiri.

Peta: Pembagian Wilayah Usmaniah berdasarkan perjanjian Zikes-Picot

Syarif Makkah, dalam hal ini sebagai penguasa wilayah Arab berkorespondensi dengan pihak Inggris dan diberi janji kemerdekaan. Namun, janji tersebut kelak terbongkar sebagai pepesan kosong. Republik untuk bangsa Arab tidak pernah terwujud, malah justru dikapling-kapling untuk kepentingan imperialisme Eropa. Inggris, Perancis, Rusia menjadi pihak yang memotong-motong wilayah Utsmaniah untuk kepentinga masing-masing. Konsesi ini dibagi dalam sebuah proposal rahasia yang kemudian dipublikasikan oleh pemerintahan Bolshevik melalui kementerian luar negerinya, bahwa yang disebut dengan proposal perjanjian Sykes-Picot ini adalah kedok dari perang yang berlangsung saat itu. Oleh karenanya, pemerintahan progresif di bawah partai Bolshevik menarik diri dan melepaskan wilayah yang tadinya diberikan untuk kekaisaran Rusia, yakni tiga provinsi di Turki Timur dan Istanbul. Sementara itu,  wilayah lain Utsmaniah dibagi-bagi untuk Prancis dan Inggris, sedikit wilayah di Anatolia diberikan ke Italia. Wilayah Suriah dan Lebanon untuk Prancis, sedangkan Arab, negara-negara Trucial, Irak, Trans Yordania juga wilayah Palestina untuk Inggris. Italia mendapatkan Antalia, di Anatolia. Inilah kemudian yang dikenal sebagai resolusi pascaperang.

Setelah Perang Dunia II, resolusi pascaperang menggunakan perjanjian Sykes-Picot yang ditambahkan dengan Deklarasi Balfour. Palestina yang berada di bawah mandat Inggris diberikan kepada para Imigran Yahudi untuk memulai migrasi besar-besaran ke wilayah Palestina. Menurut catatan Eugene Rogan (2017), antara tahun 1929 dan 1931, imigran zionis melambat, hanya 5.000 hingga 6.000 orang setiap tahun. Namun, pada tahun 1932 hampir 10.000 imigran Yahudi memasuki Palestina. Pada tahun 1933, lebih dari 30.000 orang, dan tahun 1934, lebih dari 42.000 orang. Puncak imigrasi terjadi pada tahun 1935, ketika hampir 62.000 orang Yahudi memasuki Palestina. Antara tahun 1922 dan 1925, populasi Yahudi di Palestina telah meningkat dari 9 % menjadi 27 % dari total populasi. Pembelian tanah Yahudi mulai menyebabkan pemecatan sejumlah besar tenaga kerja pertanian Palestina.[7]

Bencana Palestina di era modern dimulai dari pemberian mandat oleh Inggris yang memberi izin imigran Yahudi memasuki Palestina, termasuk lewat cara-cara kekerasan brutal lewat milisi Zionis sehingga dikenal dengan Peristiwa An-Nakbah di tahun 1948, sebagai tanda resmi berdirinya negara Israel. Apa yang terjadi persis sebelum dan sesudah Perang Dunia II di Palestina menyerupai apa yang terjadi sebelumnya di Aljazair ketika para imigran Prancis membeli banyak tanah dan membangun ekonomi di sana, merenggut hak kepemilikan alat-alat produksi milik penduduk asli. Akhirnya, pada 1945, jumlah penduduk Yahudi Palestina hampir sama dengan penduduk Arab.[8]

Krisis karena perampasan lahan, pemutusan hubungan kerja dan marjinalisasi orang Palestina di negerinya sendiri ini kemudian menyulut gerakan perlawanan yang terus berlanjut hingga saat ini. Meski demikian, kita menyadari, bencana kemanusiaan akan terus berlanjut dan tak bisa dihentikan tanpa solidaritas global untuk pembentukan negara Palestina merdeka. Namun, hari ini mereka yang berkuasa di tingkat internasional masih bungkam. Sebagian dari kita bahkan masih bungkam. Tanpa gerakan sosial lebih luas, tanpa solidaritas internasional, tanpa bantuan militer nyata, apa yang dikatakan Tamim Ansary di awal, bisa jadi akan menjadi kenyataan suatu saat nanti! Semoga kita semua tergerak untuk bangkit.

Wallahu a’lam bi sawab


Catatan Kaki:

[1] Eugene Rogan, Dari Puncak Khilafah Sejarah Arab-Islam Sejak Era Kejayaan Khilafah Utsmaniyah, (Jakarta: Serambi, 2017), hal. 531.

[2] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam,(Jakarta: Serambi, 2018) Cet. II, hal. 506-507.

[3] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta: Serambi, 2018) Cet. II, hal. 508.

[4] Ahmad Ratib Urmusy dalam Zafaratul Islam Khan, Siapa Orang Asli Palestina? Sejarah Singkat Palestina Kuno dari Invasi Pertama Yahudi hingga Akhir Perang Salib (1220 SM-1359 M), (Ciputat: Alfabet, 2021), hal. 1.

[5] Zafaratul Islam Khan, Siapa Orang Asli Palestina? Sejarah Singkat Palestina Kuno dari Invasi Pertama Yahudi hingga Akhir Perang Salib (1220 SM-1359 M), (Ciputat: Alfabet, 2021), hal. 25.

[6] Ibid, hal. 40.

[7] Eugene Rogan, Dari Puncak Khilafah Sejarah Arab-Islam Sejak Era Kejayaan Khilafah Utsmaniyah, (Jakarta: Serambi, 2017), hal. 285.

[8] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta: Serambi, 2018) Cet. II, hal. 590.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.