Intelektualitas, Feminitas dan Revolusi: Tiga dimensi agensi dari Aisyah binti Abu Bakar (Bagian II)

1.1k
VIEWS

Baca Juga:

Sumber: https://www.worldhistory.org/image/11461/ali–aisha-at-the-battle-of-the-camel/

Perlawanan Aisyah

Ketegangan politik sepeninggal Nabi Muhammad SAW mulai menunjukkan gejolaknya di tengah perkembangan dan kemajuan pesat agama Islam ke berbagai wilayah pada era Khalifah Ustman. Catatan kaki dari karya Tarikh Tabari menjabarkan bahwa gejolak tersebut telah menggugurkan banyak sahabat Nabi yang kemudian mendorong Ustman memutuskan untuk melibatkan masyarakat Arab yang lebih luas ke dalam ekspedisi penaklukan. Mereka berasal dari berbagai bangsa dan kepercayaan. Sebagian mereka yang terlibat juga akhirnya memeluk Islam kembali setelah sebelumnya menyatakan keluar (murtadin).

Namun, orang-orang yang terlibat dalam kebijakan politik Ustman ini mayoritas bukanlah orang yang mendapatkan proses pendidikan dan kaderisasi (tarbiyah, ta’lim, tahzib, dan tafaqquh) sebagaimana generasi sahabat Nabi sebelumnya. Dinamika ini menimbulkan gesekan ketika Ustman menerbitkan beberapa aturan baru seperti penyelarasan bacaan dan pembukuan atau kodifikasi Alquran hingga pembagian harta rampasan (ganimah). Kondisi ini sangat berbeda dari masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar sebelumnya ketika fondasi superstruktur dan basis struktur masyarakat dan pemerintahan Islam masih sederhana dan cenderung egaliter karena ditopang proses kaderisasi dari Nabi Muhammad SAW yang ketat dan solid.

Kemelut yang terjadi di era Ustman menjadi situasi politik yang sulit dikendalikan. Dengan usia Ustman yang telah lanjut, ia harus menghadapi berbagai ambisi dari klannya, yakni Muawiyyah yang menduduki pos-pos kekuasaan di wilayah penaklukkan Islam. Masyarakat mengetahui bahwa di berbagai wilayah tersebut para penguasa terlihat mengakumulasi harta secara mencolok. Kekuasaan Ustman mulai menimbulkan protes dan tanda tanya. Aisyah adalah satu dari masyarakat muslim yang aktif menggugatnya.

Sikap Aisyah untuk mempelopori aksi protes dan perlawanan mendapat banyak tantangan dan serangan. Statusnya sebagai janda Nabi Muhammad SAW, muhaddisah (periwayat dan ahli hadis), serta faqihah (perempuan ulama yang memahami agama Islam secara utuh dan generasi awal yang mendudukkan dalil serta basis epistemologi ilmu fikih) tidak membuatnya kebal dari gempuran ini. Meski begitu, ia tahu resiko yang ia ambil sebagai perempuan di tengah dunia politik dan peperangan yang didominasi oleh laki-laki. Namun, ia menggunakan posisinya tersebut atas nama keadilan dan kebenaran, terutama melihat situasi yang terjadi di bawah kekuasaan Khalifah Ustman.

Sebelum Ustman tewas, beredar surat yang dikirimkan atas nama Aisyah kepada beberapa kelompok Muslim. Aisyah dituduh sebagai provokator atas insiden itu. Namun, dalam catatan kaki Tarikh-nya, Tabari mengisahkan kemarahan atas kematian Ustman sekaligus bantahan atas tuduhan kepada Aisyah. Khalifah bin Khiyath meriwayatkan, dari Muhammad bin Amru, dari Muawiyah, dari Al A’masy, dari Khaitsamah, dan Masruq, dia berkata, Aisyah pernah berkata, “Kalian meninggalkannya sendirian seperti pakaian yang suci dari najis, lalu kalian mengorbankannya untuk kalian sembelih layaknya seekor domba.” Aku lalu bertanya, “Bukankah engkau yang melakukan pembelotan?” Aisyah menjawab, “Demi Allah, Tuhan yang diimani oleh orang-orang beriman dan dikafiri oleh orang-orang kafir, aku tidak pernah menyuruh apa pun kepada mereka. Hingga saat ini, aku duduk di tempat dudukku, tidak ada hitam di atas putih yang aku kirimkan kepada mereka” (Shahih Tarikh Ath-Thabari, hlm. 641).

Setelah kematian Usman, Ali pun menggantikan posisi khalifahnya. Namun, kepemimpinan Ali dianggap mengecewakan karena tidak segera mencari tahu dan menghukum para pembunuh Ustman. Pertimbangan Ali ini dilakukan karena beberapa aspek. Pertama, para pemberontak Ustman adalah mereka yang memiliki sokongan militer dan memiliki pembenaran (ta’wil saig)—yang meski keliru—atas peristiwa tersebut akibat beberapa faktor yang mereka pandang sebagai kesalahan Ustman. Ali mencegah pertumpahan darah yang lebih banyak lagi di kala mereka memiliki kekuatan militer. Untuk menghimpun dan menghukum mereka di tengah transisi kekhalifahan yang penuh guncangan akan sangat rumit bagi Ali (Hanifa 2007).

Aisyah sendiri memobilisasi pemberontakan dengan tujuan yang kurang lebih sama namun dengan perspektif yang berbeda dari Ali. Syarah Ali al-Qary terhadap karya Imam Abu Hanifa Al-Fiqh al-Akbar memberi penjelasan tujuan Aisyah melawan Ali adalah untuk mereformasi situasi ke depan dan memastikan perlindungan nyawa bagi banyak para sahabat Nabi. Aisyah sepertinya tidak mempertimbangkan posisi rumit dari Ali, yakni posisi kekuasaan yang Ali sendiri awalnya enggan memikul karena ia masih berduka atas kematian Ustman. 

Tiga dimensi agensi Aisyah dari kacamata feminisme sebagaimana yang dilakukan oleh Leila Ahmed, Fatima Mernissi, dan Sofia Abdur Rehman memang memiliki nilai emansipatif yang signifikan. tetapi juga memunculkan anakronisme yang problematis. Penolakan Ustman, Ummu Salamah dan Jariyah bin Qudamah terhadap aksi massa yang dipimpin Aisyah memang menunjukkan norma gender yang berlaku saat itu dimana perempuan—khususnya istri Nabi—memiliki batasan yang ketat dalam berinteraksi dengan massa terutama kaum laki-laki. Namun, sebagaimana penjelasan di atas, apa yang dilakukan Aisyah bukan untuk melawan patriarki pada masa itu, tetapi untuk menuntut keadilan. Ia tidak berbicara atas nama hak atau emansipasi perempuan. Bahkan, Aisyah sendiri akan menentang apa yang dianggap kaum feminis saat ini sebagai “membela kepentingan perempuan (semata)” jika itu bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW. 

Aksi Massa, Revolusi, dan Perdamaian: Agensi di Tengah Kontroversi

Aisyah memang tampil menonjol di tengah kemelut konflik yang dihadapi umat Muslim sepeninggalan Nabi Muhammad SAW. Namun, peristiwa tersebut tidak lagi ia lakukan setelah beberapa kali upaya berdamai (islah) dari pihak Ali dan Aisyah. Muhammad bin Thahir Al Barzanji dalam takhrij-nya terhadapTarikh Thabari meriwayatkan dari Ibnu Asakir mengenai salah satu upaya Aisyah untuk menghentikan pertikaian. Di tengah barisan yang saling berhadapan untuk perang, Aisyah memberikan mushaf Al Quran kepada Kaab bin Suwar yang berada di kubunya untuk menempati posisi paling depan. Ia pun meminta Kaab mengumandangkan ayat-ayat Allah tentang perdamaian dan menyerukan kedua pasukan untuk berdamai.  

Nabi Muhammad SAW telah membangun fondasi umat yang egaliter dalam relasi gender. Namun, apa yang dihadapi Aisyah adalah refleksi dari kultur Arab yang telah mendarah daging antar generasi: suatu ruang dimana kaum laki-laki mendominasi dengan maskulinitas mereka, insting bertahan di kerasnya lingkungan padang pasir, serta harga diri dan kehormatan yang ksatria. Berbeda dari para istri Nabi lainnya yang memilih untuk tidak terlibat langsung dalam panggung politik, Aisyah memilih untuk berdiri dan mengambil peran. Ia menunjukkan bentuk aktivisme kesalehan yang militan dan etika kepedulian.Aisyah paham bahwa perannya bukanlah berdiam diri di dalam bilik para istri Nabi. Ia punya keteguhan diri yang kuat untuk menegaskan posisinya dalam dimensi politis, etis, dan kepedulian.

Metodologi feminis menggunakan istilah ethics, moral, dan care (kepedulian) dalam beberapa konsep semisal “komitmen etis” (ethical commitment) seiring dengan komitmen politik untuk membuat riset feminisme dapat dipertanggungjawabkan di hadapan komunitas perempuan dengan kepentingan moral dan politik yang sama (Ramazanoglu dan Holland 2002). Konsep ini menekankan bahwa aspek agensi perempuan yang diakui feminisme juga terkait dengan karakter feminin perempuan seperti pengasuhan dan merawat. Hal ini diasosiasikan melalui peran biologis perempuan sebagai istri, ibu, atau perempuan yang secara sosial berarti memiliki kedekatan dengan orang-orang dibawah asuhan atau naungan mereka. Komitmen etis semacam ini mengoreksi ragam anggapan bahwa agensi perempuan harus melulu mengadopsi karakter maskulin laki-laki yang tampil di publik, tangguh, kuat secara fisik, atau konfrontatif.

Tabari meriwayatkan bahwa Aisyah mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai penguasa yang sah dan bahkan mendukung pembaiatan Ali sebagai khalifah pengganti Ustman. Al-Ahnaf, seorang penduduk Basrah, bertanya pada Aisyah setelah mendengar kabar pembunuhan Ustman, “Siapakah yang kamu perintahkan kepadaku untuk dibaiat?” Aisyah menjawab, “Ali.” Al-Ahnaf memastikan bahwa Aisyah merestui dan memerintahkannya untuk membaiat Ali (Shahih Tarikh At Thabari, No. 259 hlm. 685) .  

Terlepas dari keputusan Aisyah untuk mengobarkan perang terhadap Ali, Aisyah tetaplah ulama otoritatif dalam pewarisan dan metodologi pengetahuan Islam. Bahkan setelah kekalahannya yang tragis di Perang Unta, reputasinya tidak tercela. Ali bin Abi Thalib tetap menghormatinya. Inilah gambaran dari prinsip penting masyarakat muslim dalam membentuk tradisi keilmuan Islam: seberapa dahsyatnya perbedaan, konflik dan bahkan peperangan di kalangan mereka, pandangan dan prinsip mereka tentang ajaran Islam tetap dianggap valid dan perbedaan tersebut dianggap sebagai “pilihan” bagi umat Islam. Prinsip ini juga menjadi basis bagi ijma (kesepakatan) para ulama ketika mereka hendak memutuskan suatu perkara.

Selain itu, sikap Aisyah terhadap keadilan tidak berubah setelah Perang Unta—meski sikap ini kemudian ditunjukkan dengan kapasitasnya untuk bersikap imparsial terhadap konflik personal demi kepentingan umat. Setelah Perang Siffin (657 M), Ali bin Abu Thalib mengutus Muhammad bin Abu Bakar menjadi gubernur Mesir menggantikan seorang kerabat Muawiyyah. Muhammad bin Abu Bakar diburu oleh utusan Muawiyyah, Amr bin Ash, yang kemudian dibunuh secara keji oleh pasukan Amr bin Ash. Kematian Muhammad bin Abu Bakar, saudaranya yang berpihak di pasukan Ali, hanya berselang setahun setelah kekalahan telaknya di Perang Unta. Tragedi ini menambah pukulan kesedihan bagi Aisyah. Namun, ia tidak lantas menjadikannya sebagai basis bagi kebencian buta terhadap Muawiyyah. Sebaliknya ia mengatakan:

“Mendengar apa yang telah ia [Muawiyyah] lakukan terhadap saudara saya, hal itu tidak mencegah saya dari mengajarkan apa yang telah saya dengar dari sang Nabi di rumah saya: ‘Ya Allah, siapapun yang menjadi penguasa dan wali atas umatku, dan dia keras terhadap umatku, maka bertindak keras lah padanya, dan siapapun yang menjadi penguasa dan wali atas umatku, dan dia lembut terhadap umatku, maka bertindak lembut lah kepadanya.”

Diriwayatkan bahwa hadis ini merujuk kepada Muawiyah bin Abu Sufyan yang meski dikenal punya ambisi kekuasaan yang besar ia memiliki karisma populis di kalangan umat Islam karena bersikap lemah lembut terhadap rakyat dan keras terhadap oposisi. Penegasan Aisyah tersebut juga meruntuhkan asumsi—bahkan di kalangan umat Islam—bahwa perempuan lebih emosional dan subjektif dibanding laki-laki sehingga akal dan pertimbangan rasionalnya lebih lemah. Aisyah menunjukkan bahwa di hadapan fitnah, kekalahan telak dan kematian tragis sekalipun, ia tetap melanjutkan kerja aktivismenya. Ia lakukan semua itu tanpa suami, anak, dan sanak saudara kandung di sisinya. 

Pertumpahan darah dan peperangan tersebut menimbulkan trauma sejarah yang amat dalam bagi umat Islam. Segala perdebatan tentang keabsahan revolusi dan pemberontakan terhadap penguasa dalam Islam juga sering merujuk pada Perang Unta dan Perang Siffin yang kemudian dikenal sebagai Fitnah Pertama dan Kedua. Aisyah dalam perjalanan sejarah sering dijustifikasi oleh berbagai kalangan dalam Islam sebagai contoh bahwa perempuan tidak layak memimpin dan sebaiknya diam di rumah. Penghakiman sepihak ini melucuti Aisyah dari kompleksitas karakter dan perjalanan hidupnya sebagai perempuan yang kaya ilmu dan pengalaman. Sebagian kalangan menganggap Aisyah sebenarnya condong pada perdamaian dan ia adalah korban dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembunuhan Ustman untuk mengadu domba ia dan Ali.

Mahmoud Ayoub dalam karyanya The Crisis of Muslim History: Religions and Politics in Early Islam (2006) menunjukkan dari berbagai sumber klasik bahwa peran Aisyah dominan dalam mendorong pembunuhan Ustman (di tengah kekecewaan dan kemarahan rakyat yang sudah tinggi) dan perlawanan terhadap Ali, meski kemudian ia menyesali keputusannya. Peran kepemimpinan Aisyah terlihat jelas dalam dua peristiwa tersebut. sebagaimana dipaparkan oleh Ayoub terhadap Perang Unta:

Pada kenyataannya, Aisyah memiliki gagasannya sendiri dan ia jelas pemain kunci dalam oposisi. Tabari melaporkan bahwa Aisyah adalah pemimpin diantara rakyat, mengeluarkan komando dan larangan dan bahkan menunjuk imam shalat diantara mereka. Ia juga terlibat di dalam rangkaian negosiasi, menulis surat, dan memberikan orasi-orasi menggugah yang menggerakkan orang-orang untuk bergabung di sisinya atas apa yang ia sebut sebagai perjuangannya “untuk meluruskan kembali umat Muhammad.” (ibid.: 89)

Meski perlawanan bersenjata Aisyah mengundang perbedaan pandangan di kalangan sejarawan dan bahkan para ulama, tapi peristiwa tersebut menunjukkan bahwa perlawanan revolusioner yang bahkan dipimpin oleh perempuan tidak terlarang dalam Islam. Aisyah adalah seorang faqihah di tingkat tertinggi. Posisi Aisyah tidak tergoyahkan dalam otoritas Islam. Ia aktif melakukan koreksi pada sahabat Nabi yang dianggapnya keliru memahami atau menangkap hadis. Semua sahabat yang ia koreksi adalah laki-laki, kecuali satu perempuan faqihah yang ia kritik yakni Fatimah binti Qaish.

Otoritas keilmuan Aisyah yang kuat di antaranya terlihat dari tiga ulama besar yang menulis kitab khusus untuk mengompilasi metodologi dan koreksi yang dilakukan Aisyah terhadap para sahabat Nabi Muhammad SAW. Tiga ulama klasik yang menulis khusus tentang Aisyah adalah Ibnu Ali al-Baghdadi (489 H), ulama pertama yang menulis kitab tentang kritik Aisyah tentang hadis para sahabat Nabi, disusul oleh Zarkashi (794 H), disusul oleh Imam As-Suyuti, yang merangkum kitab Zarkashi.

Kumpulan koreksi hadis yang dilakukan Aisyah terhadap para sahabat yang dilakukan oleh Imam Zarkashi ini bertahan hingga hari ini. Kitab yang ditulis Zarkashi tersebut berjudul al-Ijaba li-Iradi ma Istadraktahu ‘A’isha ‘Ala al-Sahabah (“The Corrective: ‘A’isha’s Rectification of the Companions”). Manuskrip ini ditemukan ulang di Damaskus tahun 1939 dan akhirnya sampai ke tangan Fatema Mernissi ketika dia menulis karya yang kemudian dianggap sebagai pelopor feminisme Islam pertama, Beyond the Veil tahun 1975 dan berikutnya Women in Islam tahun 1991.

Mernissi tidak mengambil dari literatur para orientalis, Eropa non-Muslim, atau metode feminisme lainnya. Ia menggunakan metodologi yang disebut Jonathan Brown sebagai ‘historiografi psikoanalisis’. Di buku ‘Women and Islam’ bab tentang Kitab Misoginis, misalnya, Mernissi menelisik dua periwayat hadith, yaitu Abu Hurairah dan Abu Bakra (bukan Abu Bakar) dilihat dari karakter dan reputasi mereka yang telah diperdebatkan. Padahal, hadis yang berbunyi “tidak akan sejahtera suatu bangsa yang menyerahkan urusannya pada perempuan” soal himbauan agar perempuan sebaiknya tidak jadi seorang pemimpin ada konteksnya tersendiri. Pada saat itu Nabi Muhammad merujuk pada respon beliau ketika mendengar tentang Raja Persia dibunuh dan pengganti yang ditunjuk adalah anak perempuan raja tersebut. Peristiwa ini didahului oleh ketidakstabilan politik selama beberapa tahun.

Signifikansi Aisyah terhadap perjalanan sejarah agensi perempuan

Sepanjang perkembangan peradaban Islam, peran perempuan dalam studi keislaman dan kepemimpinan politik mengalami fluktuasi. Meski begitu, di abad-abad awal peran perempuan dalam transmisi pengetahuan masih signifikan baik secara kuantitatif maupun kualitas. Di sisi lain, Perang Unta menjadi salah satu preseden penting untuk mendepolitisasi kontribusi politik perempuan oleh penguasa terutama dalam aksi perlawanan yang dianggap mengancam stabilitas kekuasaan.

Seiring dengan semakin berkembangnya wilayah kekuasaan Islam, wilayah urban dan kota-kota dengan spesialisasi produksi berorientasi pasar mulai muncul. Ketika era khulafa ar-rasyidin berakhir dengan pembunuhan Ali bin Thalib, Umayyah mengambil tampuk kekuasaan dan kekhalifahan mulai menjadi apa yang dikenal sebagai Dinasti Umayyah (661-750 M). Perubahan pola kepemimpinan politik ini memunculkan kontradiksi baru. Wilayah penaklukan yang semakin luas, akumulasi kemakmuran yang bertambah dan pusat-pusat perkembangan ilmu pengetahuan yang tumbuh pesat juga berhadapan dengan kemunculan konflik horizontal, sekte dan kelompok pemberontak, serta ancaman penaklukan dari wilayah lain.

Cengkraman kuat Dinasti Umayyah untuk mempertahankan kekuasaan dan integrasi teritori membuat bahkan protes yang sah atas penindasan politik berbaur dengan berbagai aksi kerusuhan sosial dan pemberontakan yang bermunculan. Era ini menjadi titik balik bagi pengekangan kontribusi perempuan di ranah politik dan peran publik sehingga secara tidak langsung berdampak pada persepsi bahwa otoritas epistemik dalam pengetahuan yang dimiliki perempuan berada di bawah laki-laki (Alwani 2013).   

Mode produksi dalam alur waktu periode kekhalifahan dan dinasti dalam sejarah Islam sangat beragam. Sulit untuk mengatakan bahwa ada periode tertentu dengan satu moda produksi tersendiri. Istilah “feodalisme” atau mode produksi kepemilikan budak atau pekerja di tanah kaum bangsawan yang merujuk ke masyarakat Eropa abad pertengahan berbeda dengan masyarakat Muslim pada waktu itu. Ada mode produksi dengan struktur eksploitasi dimana satu kelompok mengeksploitasi yang lain, tapi kelompok yang dieksploitasi itu tetap memiliki keberadaan yang independen dan subsisten. Ada suatu koherensi dalam sistem ekonomi yang berlangsung dalam skala luas secara regional. Kita bisa mengatakan ada periode dimana masyarakatnya masih cenderung atau dominan komunal, agraris, atau pastoral, tapi tidak dalam suatu bentuk totalitas (Rodinson 1973).

Sistem ekonomi masyarakat muslim di abad pertengahan bervariasi antar periode dan wilayah karena terdiri dari koordinasi berbagai mode produksi. Di berbagai daerah, perkembangan wilayah Islam dilakukan secara evolusioner yang berlangsung beberapa abad dari mulai fase awal, fase kemunculan, hingga fase konsolidasi (Bano 2017). Di dalam kondisi seperti ini, praktik-praktik Islam abad pertengahan semakin lama terbentur oleh mileu yang berbeda dan reorganisasi sosial yang berbeda. Benturan yang paling signifikan pada umat Islam adalah ketika berhadapan dengan kolonialisme.

Pukulan berat kolonialisme yang dibarengi dengan pertumbuhan kapitalisme tak hanya melahirkan relasi eksploitatif dari penjajahan, tetapi juga melahirkan krisis epistemologis, yakni ketika umat Islam tidak lagi percaya diri pada sumber pengetahuannya karena institusi mereka yang dibangun berabad-abad telah diruntuhkan dan ketika paradigma keberislaman mereka juga dikonfrontasi oleh nilai-nilai modernitas. Kolonialisme memberi imaji dan aspirasi baru bagi kaum muslim dalam hubungannya yang ambigu.

Tubuh perempuan muslim juga menjadi bagian sentral pembenturan tradisi dan modernitas. Harem, poligami, dan jilbab dianggap sebagai simbol keterbelakangan. Bagi perempuan kelas pekerja, tubuh perempuan dioper dari satu kultur patriarki lokal ke kultur patriarki Eropa yang berbicara atas nama pembebasan paradoks, pembebasan tanpa dukungan kekuatan yang memadai untuk melawan perenggutan alat-alat produksi mereka. Sementara itu, kaum muslim tidak lagi punya otoritas terpusat yang mampu menjawab problem-problem ini. Kesultanan Ottoman di Tengah gempuran kolonialisme dan imperalisme juga mengalami kemunduran internal karena korupsi.

Selain gerakan feminisme yang muncul masa kolonialisme, kesadaran politik perempuan juga tumbuh secara organik di dalam masyarakat Islam, terutama di pendidikan tradisional Islam untuk membangun kekuatan merespon dan melawan penjajahan. Di lain sisi, kiprah perempuan Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan keislaman melalui hadis dan fiqh, lebih banyak tenggelam oleh pertarungan atas tubuh perempuan: baik itu kehadiran biologisnya (seksualitasnya), perilakunya (seiring gestur dan suara), maupun mobilitas tubuhnya. Oleh karena itu, feminisme dalam skala internasional yang juga bergejolak saat periode imperialisme sama-sama bertarung: feminisme borjuasi dengan feminisme kelas pekerja. Disini perempuan menjadi agensi revolusioner untuk tak hanya beremansipasi atas tubuh dan eksistensinya, tapi fakta bahwa mereka juga punya peran vital dalam revolusi sosial. 

Lila Abu-Lughod (1990b, 43) mengkritik kesadaran dan politik para feminis yang dianggapnya terlalu disibukkan dengan perkara “explaining resistance and finding resisters” sambil mengorbankan pemahaman tentang bagaimana kekuasaan itu bekerja. Kekuasaan akan parsial jika hanya dilihat dari aspek patriarki. Tanpa kapitalisme, patriarki tidak akan menjadi suatu sistem yang menopang hirarki ketimpangan kekuasaan di era modern yang mampu menopang keseluruhan rantai dan siklus eksploitasi.  

Tiga feminis Islam era modern yang cukup tegas berbicara soal aspek penindasan interseksional dan struktural adalah Fatima Mernissi, Amina Wadud dan Nawal El-Saadawi, namun minimnya penelusuran lebih jauh terhadap dimensi ini menunjukkan ada kesenjanganantara feminisme Islam dengan respon ilmiah/kajian saintifik terhadap kapitalisme. Bagaimanakah pemahaman dan pengalaman partikular dari para perempuan ketika membaca teks-teks keislaman yang emansipatif ini bisa melampaui ekspresi pembebasan yang personal atau pengakuan identitas? Bagaimanakah tafsir pembebasan terhadap perempuan dalam Islam bisa termanifestasi secara kolektif dalam kehidupan sosial?

Jawabannya, Aisyah tetap menjadi panutan yang relevan hingga hari ini. Rentetan pengalaman yang intens dan epik dalam perjalanan hidup Aisyah membuat ia bermental sekuat baja: menikahi seorang Rasul di saat ia masih sangat muda, ikut serta pada Perang Badar dan Perang Uhud, difitnah dan menjadi pergunjingan orang akibat peristiwa ia tertinggal rombongan, mendapat posisi terhormat di dalam umat Islam, serta aksi protesnya terhadap ketidakadilan hingga memimpin perang.

Metodologi dan aktivisme Aisyah menjadi penting untuk memaknai feminisme Islam di era kapitalisme karena ada tiga pelajaran yang bisa kita ambil:

Pertama, redefinisi apa itu “aktivisme kesalehan” dan menantang tafsiran yang bias atas peran perempuan dalam Islam yang seolah dicirikan dengan submisi, pasif, atau terbatas pada konsepsi bahwa perempuan ahli hanya dalam urusan terkait perempuan saja. Sebaliknya, Aisyah menunjukkan aktivisme kesalehan yang diimbangi oleh otonomi, agensi, independensi, militansi atas keadilan dan keimanan yang tanpa kompromi. Ia memilih kehidupan yang sederhana dan selalu mendistribusikan apa yang ia dapat kepada umat.  Selain berkelana ke berbagai wilayah untuk mengajar, ia juga membiayai, mendidik, dan mengasuh anak-anak yatim yang kelak menjadi para ahli hadis besar.

Kedua, perempuan sebagai agensi pengetahuan untuk umat secara umum. Aisyah menegaskan bahwa peran intelektual dan aktivisme perempuan bukan sebatas pada menerjemahkan atau menggunakan hermeneutika berbasis pada pengalaman dan perspektif khas perempuan saja, tapi bagaimana perempuan itu sendiri ikut membangun pondasi dan kerangka keilmuan Islam itu sendiri yang tidak terbatas pada gender tertentu.  Ia tidak hanya bicara soal fikih khusus perempuan seperti haid, nifas, hak istri dalam pernikahan dan perceraian, dan sejenisnya. Ilmu Aisyah menyentuh hampir semua aspek kehidupan tata laku umat sehingga menjadi rujukan umum. Jadi, kontribusi perempuan bermanfaat bukan hanya untuk perempuan, bukan karena perempuan berbicara pada perempuan, tapi karena perempuan mampu menafsirkan dan berbicara keilmuan secara umum pada laki-laki dan perempuan sebagaimana banyak ulama menafsirkan dan berbicara keilmuan pada laki-laki dan juga perempuan.

Ketiga, pemahaman dan sensitivitas terhadap perbedaan antara kekuasaan dan otoritas. Berbagai insiden yang dialami Aisyah menunjukkan bahwa ia memiliki otoritas dalam fikih. Ia mempraktikkan sikap politik yang jelas tapi ia tidak memiliki kekuasaan politik. Ia tahu bahwa ketika Ustman dibunuh dan Ali dipilih menjadi khalifah, ia harus berhadapan dengan kekuasaan baru untuk menuntut pembunuhan Usman. Ia dihormati atas kapasitas keagamaannya. Namun, sebagai faqihah, ia figur yang menimbulkan polemik di kalangan umat terutama sejak konfliknya dengan Ali. Meski begitu, ia selalu tahu dimana kekuasaan berpusat, bagaimana kuasa itu bekerja secara timpang dan tidak pernah ragu untuk menggugat keadilan di hadapan sumber kekuasaan dengan otoritasnya sebagai ummul mukminin.

Dari metodologi Aisyah kita telah mengetahui bahwa peran perempuan dan transmisi pengetahuan Islam tidak sekadar menghapal dan meneruskan hadis yang mereka dengar. Perempuan juga melakukan kontekstualisasi, uji silang rujukan (validasi/cross-reference), analisis rasional, komparasi dan kajian kritis. Dalam aspek yang revolusioner, intelektualitas dan feminitas seorang perempuan tidak menenggelamkan fakta bahwa di saat yang bersamaan ia menjadi panutan kesalehan sekaligus pendorong aksi massa dan pemimpin perlawanan fisik. Ia juga dikenal sebagai seorang pembicara yang fasih. Semangat ini yang menjadi landasan dari feminisme dalam Islam yang progresif. 

Para feminis Islam maupun pegiat organisasi perempuan Muslim telah banyak mengkaji dan bergerak di aspek teologi, hukum, sosial, dan budaya, misalnya lewat donasi, membangun layanan sosial seperti rumah sakit, sekolah, advokasi undang-undang soal perkawinan, kekerasan seksual, dan sebagainya. Fikih muamalah terkait hukum keluarga atau munakahat misalnya, cukup sentral dalam feminisme Islam. Namun, hari demi hari kekerasan struktural, kerusakan lingkungan hidup, penggusuran paksa, alih fungsi lahan dari tanah komunitas menjadi tanah korporasi, bekerja dibalik layar – maupun terang-terangan – di hadapan kita semua. Dan para perempuan terdampak luar biasa.

Disini jelas tampak bahwa para feminis Islam harus bergelut dengan dimensi ekonomi dan politik secara bersamaan yang dalam beberapa prosesnya akan berhadapan dengan nadi dan jantung kekuasaan. Hermeneutika harus diterjemahkan sebagai “fikih” pembebasan, yaitu jurisprudensi atau panduan hukum yang membantu umat Islam sebagai panduan merespon isu kekuasaan dan penindasan. Feminisme Islam perlu menelisik bagaimana dampak kapitalisme ini dialami secara berbeda oleh laki-laki dan perempuan, dan bagaimana semangat kritisisme dalam membentuk bangunan pengetahuan serta aktivisme kesalehan dari feminisme Islam turut menjadi agenda transformasi umat.      

***

Untuk tulisan bagian 1 bisa dibaca terlebih dahulu di tautan ini

 

 

Bibliografi

Ahmed, Leila. Women and Gender in Islam. Yale University Press: 1992.

Alwani, Zainab. “Muslim Women as Religious Scholars: A Historical Survey” dalam Ednan Aslan et al, Wiener Islamstudien Volume 3: Muslima Theology: The Voices of Muslim Women Theologians. Peter Lang Edition: 2013.

Ath-Thabari. Shahih Tarikh Ath-Thabari Jilid 3. Pustaka Azzam: 2021.

Ayoub, Mahmoud M. The Crisis of Muslim History: Religion and Politics in Early Islam. Oneworld Publications: 2006.

Bano, Masooda. Female Islamic Education Movements: The Re-democratisation of Islamic Knowledge. Cambridge University Press: 2017.

Hanifah, Abu. Al-Fiqh Al-Akbar Explained. White Thread Press: 2014.

Mernissi, Fatima. Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry. Basil Blackwell: 1991.

Nadwi, Muhammad Akram. Al Muhaddithat: 2007.

Ramazanoglu, Caroline, dan Janet Holland. Feminist Methodology: Challenges and Choices. SAGE Publications, 2002.

Rehman, Sofia Abdur. A’isha’s Corrective of the Companions: A Translation and Critical Hadith Study of al-Zarkashi’s “al-Ijaba li-Iradi ma Istadrakathu ‘A’isha ‘ala al Sahaba”. PhD Dissertation, University of Leeds. October 2019.

Rodinson, Maxime. Islam and Capitalism. Penguin Books: 1973.

Sayeed, Asma. Women and The Transmission of Religious Knowledge in Islam. Cambridge University Press: 2013.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.