Pengantar
17 Agustus 2023, Salemba, Jakarta Pusat, Serikat Pekerja Kampus (SPK) resmi dibentuk. Bertepatan dengan momen kemerdekaan, terbentuknya SPK adalah simbol kemerdekaan bagi para pekerja kampus. Dr. Dhia Al-Uyun, S.H., M.H dan Hariati Sinaga S. Sos., MA., PhD., terpilih masing-masing sebagai ketua dan sekjen. Dua redaktur Islam Bergerak, Ahmad Thariq dan Isma Swastiningrum berkesempatan mewawancarai ketua SPK pada 22 Agustus 2023 dan memperbincangkan seputar isu yang diperjuangkan hingga strategi-taktik SPK ke depan.
Selamat membaca!
Thariq: Apa latar belakang terbentuknya SPK?
Mbak Dhia: SPK tidak muncul tiba-tiba. Banyak sekali yang terjadi di ekosistem pendidikan tinggi yang tidak berjalan seperti idealnya. Misal obral honoris causa, jabatan profesor, tiga puluh lima kementerian yang membawa kisruh perebutan kekuasaan, eksploitasi mahasiswa, free riding penulisan jurnal, investasi elit menuju komisaris, joki kampus, dan sebagainya. Permasalahan itulah yang membuat universitas tidak berjalan dengan baik.
Ketika itu berhubungan dengan dosen, muncul pemikiran bahwa dosen perlu berserikat. Menyatukan keinginan para dosen ingin perguruan tinggi yang seperti apa. Itu diskusi-diskusi tahun 2021 yang memunculkan dosen harus berserikat. Ketua timnya waktu itu di Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA). Kemudian tahun 2023 salah satu tim dari KIKA membuat riset independen bersama tim peneliti lain. Temuan risetnya adalah 42,9% dosen menerima upah di bawah tiga juta per bulan. Respondennya ada 1300-an, dari proses itu kemudian urgensi dari serikat semakin menguat. Sampai pecahnya itu di Permenpan dan RB No. 1 Tahun 2023 yang seolah-olah menjadi cara kementerian menundukan para dosen dengan kepangkatan yang sesuai ekspektasi pimpinan, kinerja dosen yang dimasukan dalam sistem kerja birokrasi, dan beban administratif yang berat, sehingga pada 29 April menguatkan konsolidasi kawan-kawan untuk melawan. Diawaili dengan hashtag…
Beberapa kawan dosen banyak yang turun saat May Day tahun 2023. Semakin menguatkan konsolidasi, animo juga semakin kuat. Setelah May Day kita mulai memikirkan untuk berserikat secara konkret. Kita melakukan banyak persiapan, rekrutmen bersama, pra kongres sampai empat kali, membahas AD/ART di luar rapat teknis. Kita memutuskan 17 Agustus sebagai simbol kemerdekaan untuk serikat pekerja kampus.
Isma: Jadi terbentuknya itu karena kegelisahan dari dosen dan pekerja kampus ya, Mbak?
Mbak Dhia: Iya, proses alami dari kesadaran kolektif. Jadi sadar kalau kita buruh, kita ditindas, mengalami kelas yang tidak setara, sehingga harus berkumpul dan memperjuangkan hak kita.
Isma: Selain dosen elemen buruh mana lagi yang berhadapan dengan kerentanan dan eksploitasi? Apakah elemen tersebut bisa tergabung dalam SPK? Bagaimana SPK menganalisis relasi kerja penghisapan yang terjadi di kampus?
Mbak Dhia: Kalau bertanya tentang pekerja siapa kampus adalah mereka yang bekerja di lingkungan kampus dan menerima upah. Bisa dosen, mahasiswa, peneliti, laborat. Dosen pun juga ada variannya, tunduknya pada kementerian yang berbeda-beda, ada Kemenag, Kemendikbudristek, yayasan dengan pola kerja yang juga berbeda-beda. Ada dosen luar biasa, NIDK, dosen kontrak. P3K, ASN, dosen tetap non-PNS, tidak tetap non-PNS. Jadi banyak sekali istilahnya. Itulah yang menguatkan pergerakan ini.
Soal analisis relasi kelas, memang dari situasi yang ada seringkali pekerja kampus mengalami diskriminasi. Paling berat adalah melibatkan tenaga kependidikan karena di bawah tekanan yang sangat kuat. Saat ini mereka sebagai pegawai (buruh) yang setiap tahun harus memperbaharui SPK, kontrak kerja mereka. Mereka memang dilarang untuk muncul. Sangat mudah pemimpin yang sekarang untuk memecat tenaga kependidikan, makanya tidak banyak tenaga pendidikan yang berani untuk angkat bicara. Dosen memang lebih beruntung soal kesempatan, tapi tidak semuanya karena di beberapa kampus juga banyak resistensi yang terjadi, 58% tenaga kependidikan merasa penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hidup. Ini berdasarkan riset yang dilakukan tim tuntutan dan masalah untuk persiapan pra-kongres SPK.
Bagaimana dengan relasi kuasa? Buruh ini mengalami ketimpangan, baik itu dosen maupun lainnya. Ditekan oleh feodalisme kampus. Kampus ini pun ada di bawah bayang-bayang neoliberalisme, di bawah bayang-bayang kekuasaan. Bukan hanya kekuasaan saja karena ini seperti permainan global yang masuk ke sebuah negara dan mempengaruhi, berdampak pada kerja-kerja yang ada di universitas. Kapital itu masuk ke lingkungan kampus, menjadikannya sebagai lembaga yang sangat komersial, berorientasi profit, sehingga pekerja kampus ini sebagai aset yang diperjualbelikan, dihitung murah, diambil tenaganya tanpa memperhatikan unsur kemanusiaannya untuk mengembangkan diri, melakukan riset. Semuanya diatur, dan pola-pola kerja relasi kuasa inilah yang diperjuangkan untuk dilawan oleh SPK. Kalau [berjuang di] tingkat individual yang terjadi [mereka] akan sangat mudah dipatahkan. Sudah banyak korban [dari] yang mereka memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan, [tapi] mereka sendiri dipatahkan oleh yang feodalistik, kapitalis, dan komersial ini.
Isma: Di kongres kemarin saya dengar kalau office boy, security, dan sebagainya di lingkup kampus itu juga masuk ke serikat. Bisa dijelaskan kembali, Mbak?
Mbak Dhia: Sebenarnya kita membuka, tapi tidak banyak teman yang mendaftar dari tenaga kependidikan. Saya yakin mereka ingin. Ada salah satu universitas, tidak bisa disebutkan namanya karena mereka juga di bawah tekanan, mereka ingin sekali. “Boleh kami ini (gabung)?”, “Nanti nama kami keluar gak?”, dan sebagainya, jadi pertanyaannya detail sekali karena mereka mengalami ketakutan yang luar biasa di dalam lingkungan kampus itu sehingga mereka tidak bisa bersuara. Jadi mereka seperti mau jadi anggota pun tidak berani. Mungkin nanti kalau dari teman-teman lain sudah berani baru mereka akan menorobos itu dan berani. Ada puluhan orang dari salah satu kampus tapi mereka tidak berani menyatakan secara langsung, meskipun mereka ingin. Kenapa? Karena mereka tahu sangat mudah sekali dipecat. Jadi tidak mau gara-gara ini kemudian dipecat. Walaupun ketika nanti mereka akan dipecat pun pasti kita akan advokasi, tapi itu mata pencaharian mereka kita juga menghargai dan mengetahui itu. Kita tidak mungkin memaksa.
Memang kemarin ada beberapa kawan dari mereka yang berbicara, tapi itu dari Kopaja. Mereka sudah terbentuk terlebih dahulu daripada SPK, UI juga punya serikat pekerja walaupun sekarang kondisinya sedang mati suri, Mercu Buana juga ada, UP 45 juga, tapi karena konfliknya sudah selesai tujuannya sampai di situ. Jadi ada banyak varian serikat pekerja yang sudah ada terlebih dahulu, dan kami belajar dari mereka.
Thariq: Bagaimana penindasan berbasis gender terjadi terhadap buruh kampus perempuan?
Mbak Dhia: Untuk buruh kampus perempuan kita memang belum melakukan riset secara spesifik, tapi memang ada situasi yang membuat mereka kehilangan hak-haknya untuk berkompetisi secara adil karena stigma-stigma dalam lingkungan kampus, misalnya janda, belum berkeluarga, pekerjaan suami. Itu jadi pertimbangan saat protes jabatan-jabatan itu bermunculan di kampus. Itu tentu saja diskiminatif terhadap hak-hak perempuan.
Kemudian ada juga yang tidak boleh membawa anak ke lingkungan kampus, atau kalau pun mereka membawa maka anak tidak diberikan ruang, sehingga jika membawa anak akan dipandang sinis sekali dalam ekosistem kampus. Di beberapa kampus kita masih menghadapi situasi yang demikian. Ini juga digunakan untuk melemahkan, kalau perempuan tidak sanggup bekerja di hal yang butuh performance. Jadi hubungan kerja dan domestik itu dianggap hal yang buruk bagi perempuan. Di samping itu juga cuti ada beberapa permasalahan, kemarin ada dosen yang berbicara secara langsung. Pekerja kampus juga sering dipersalahkan ketika mengalami kekerasan seksual, dan yang dipersalahkan pasti perempuannya karena relasi kuasa, sementara profesornya aman-aman saja.
Kita memang tidak mudah bicara pekerja kampus. Beberapa orang berpikir pekerja kampus itu hanya dosen. Tapi bagi kami pekerja kampus itu semua yang ada di lingkungan kampus. Dosen ini juga pecah, mereka tidak mau dibilang buruh. Bagi mereka buruh itu adalah status yang rendah. Beberapa pakar menyatakan kalau mereka bagian dari kerah putih. Padahal tidak ada bedanya, tetap menerima upah. Ini yang kadang-kadang jadi perdebatan di kalangan dosen sendiri. Mereka merasa dirinya sangat eksklusif, tapi di kesadaran yang lain menyadari kalau mereka juga buruh.
Isma: Dari sekian banyak permasalahan di kampus, isu-isu apa saja yang diperjuangkan SPK, utamanya?
Mbak Dhia: Kalau visinya SPK kita punya manifesto, kemarin juga sudah dibacakan di dalam kongres. Secara garis besar prinsip-prinisp utamanya di situ adalah: pertama, keadilan sosial, kami ingin memperjuangkan kesejahteraan bagi pekerja kampus. Kesejahteraan itu luas, misal kepastian kerja. Karena banyak yang terdampak alih daya (outsourcing). Jadi UU Cipta Kerja ini juga punya dampak yang besar, termasuk meletakan mereka menjadi pekerja alih daya (outsourcing). Itu yang kemudian membuat tidak ada kepastian kerja, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, dan mereka bisa dipecat setiap saat. Ini sangat tidak adil.
Kedua, berdaulat, bagaimana mereka bisa berkuasa atas diri mereka sendiri, merdeka sebagai insan civitas akademika. Seperti ketika mereka ingin mengembangkan ilmu, “sekarang di kampus tidak boleh pakai ini”, “risetnya harus seperti ini”, ‘formatnya harus seperti ini”, “framenya muncul dari pusat”, “yang nyusun BRIN”, “BRIN maunya seperti ini”. Ini kan situasi yang membuat mereka terpaksa mengerjakan sesuatu yang tidak ada passion. Hanya karena proyek penelitian yang ada itu, selain itu tidak dibiayai. Di sisi lain mereka mau meningkatkan gelar, mau sekolah tidak diizinkan, yang akhirnya mereka tidak bisa mengembangkan diri.
Ketiga, kesetaraan dan non-diskriminasi, perjuangannya adalah meletakan posisi yang setara. Kemanusiaan dalam lingkungan kampus yang terkadang sangat patron-klien, melihat atas-bawah sehingga tidak memanusiakan pekerja kampus. Apalagi dosen-dosen junior yang harus siap disuruh-suruh. Belum lagi OB [office boy], yang meski kerjanya disuruh-suruh, tapi mestinya ada penghargaan, yang sering diabaikan oleh pihak kampus atau penyedia jasa, karena terkait dengan outsourcing. Keempat, independen, independen dalam keilmuan, pengembangan diri. Empat poin itu yang diharapkan dari kawan-kawan SPK.
Thariq: Bagaimana langkah SPK entah jangka dekat (taktis) maupun juga dalam jangka panjang (strategis)? Untuk memperjuangkan isu-isu tersebut, misalnya apakah ada regulasi terdekat yang ingin disasar, atau mungkin juga tujuan yang lebih jauh lagi?
Mbak Dhia: Iya, kita masih dalam proses pembahasan, tapi karena kita bagian dari pekerja atau bagian buruh, tentu saja kita menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Kita juga melawan MenpanRB No. 1 Tahun 2023. Desain besarnya nanti kita ingin memberikan peran terkait bagaimana sih otonomi perguruan tinggi ini. Undang-undang pendidikan tinggi itu arahnya kemana? Apakah Badan Hukum Pendidikan ini, sebenarnya membawa Indonesia pada pendidikan yang lebih baik atau tidak? Jadi arah besarnya memang ingin mendesain ulang bagaimana universitas di negara kita ini, supaya universitas ini benar-benar menjadi center of knowledge, benar-benar menjadi marwah masyarakat, the heart of society, dan di sana memang benar-benar kampus merdeka. Bukan kampus yang diberikan kemerdekaan oleh pemerintah. Artinya ada label kampus merdeka, padahal di dalamnya tidak merasa merdeka. Jangankan memikirkan merdeka, sejahtera saja belum. Jadi memang situasinya sangat rumit, tapi itu sementara yang kita sasar ya. Saat ini yang kita fokuskan adalah pada kerja-kerja konsolidasi dan networking untuk tahapan awal.
Thariq: Apakah SPK juga akan menyasar regulasi seperti UUPT, mungkin ada tujuan yang lebih jauh juga Mbak?
Mbak Dhia: Pasti ke sana, tapi kita tidak mau gegabah karena kita harus membangun lembaga ini lebih kuat. Jadi memang karena kita juga baru berdiri, kemudian keanggotaan harus kita tata, kepengurusan kita masih dalam proses penyusunan formatur, jadi nantinya akan ada kepengurusan yang sah dan kita harus memberi itu per wilayah, per unit kerja. Jadi kerja-kerja manajerial ke dalam itu kita lakukan, sedangkan untuk keluarnya, kita masih harus melakukan riset awalan dulu supaya kita tidak salah melangkah dalam hal untuk memetakan kondisi stakeholders, sehingga nanti kemudiandesain besarnya pada kebijakan perguruan tinggi. Kita harus mengambil peran dalam proses-proses tersebut karena kita adalah pihak yang terdampak dari kebijakan perguruan tinggi itu apa pun bentuknya peraturannya.
Isma: Tadi sudah disebut terkait neoliberalisasi, diskriminasi, juga undang-undang. Pandangan SPK mengenai masalah sistem pendidikan nasional, terutama pendidikan hari ini itu seperti apa? Misalnya terkait kesenjangan infrastruktur, dan lain-lainnya itu juga seperti apa? Apakah ini akan berkonsekuensi pada pembangunan SPK?
Mbak Dhia: Iya, jadi sistem pendidikan tinggi memang tidak membawa ekosistem yang baik bagi pekerja kampus. Itu ada dalam manifesto, kita tegaskan. Ekosistem yang seperti apa? Seperti yang di awal sudah dijelaskan. Apakah kesenjangan infrastruktur yang terjadi? iya, jelas. Infrastruktur yang [bermasalah] banyak sekali. Dosen-dosen yang tidak memiliki media untuk mengembangkan keilmuan ataupun tenaga pendidikan yang mereka dituntut untuk optimal tetapi kerjanya melebihi jam-jam yang seharusnya, dan mereka tidak diberikan jaminan mereka akan mendapatkan fasilitas-fasilitas yang nyaman ketika pulang dan sebagainya. Jadi kesenjangan infrastruktur itu memang terjadi. Apalagi kemudian mereka ini tenaga yang dibayar murah, mengabdi seolah-olah, padahal mereka juga manusia yang membutuhkan hidup yang layak sebagaimana buruh yang lain.
Thariq: Bagaimana SPK nanti akan membangun dinamika dengan gerakan mahasiswa? Karena sepengalaman saya, gerakan mahasiswa di kampus justru tak jarang bergesekan dengan pekerja kampus, misal dengan dosen, bahkan tenaga pendidik kadang disamakan dengan barisan kekuasaan. Bagaimana SPK bisa menjalin keduanya agar bisa membuat gerakan bersama?
Mbak Dhia: Kita ini memang banyak lembaga atau banyak komunitas yang bisa menjembatani situasiyang ada. Kita bukan dewa yang bisa menyelesaikan semua masalah. Tapi garis demarkasi kita jelas, mahasiswa yang bergabung di SPK itu yang dipekerjakan oleh kampus. Kalau mereka tidak dipekerjakan oleh kampus, tentu saja kita harus menarik garis demarkasi bahwa mereka tidak bisa menjadi anggota dari SPK. Karena memang SPK dibentuk untuk menyelesaikan sengketa yang terkait dengan hubungan industrial, dalam kategori apakah itu sengketa hak, kepentingan, dan sebagainya.Jadi secara internal memang ada aturannya kalau serikat. Beda kalau kita mengambil pola lain, misalnya paguyuban. Karena ini sangat konkret, serikat itu harus memiliki iuran, harus mengayomi anggotanya, mereka harus memiliki arah untuk perjanjian kerja yang seperti apa. Itu yang menjadi desain kita ibaratnya.
Thariq: Apa SPK juga terbuka bergerak dengan mahasiswa untuk isu bersama? Misalnya isu pendidikan tinggi?
Mbak Dhia: Iya, kita terbuka untuk solidaritas, untuk kolaborasi kita, tapi untuk keanggotaan ada aturannya dan kita memegang itu, karena kita intinya serikat.
Thariq: Secara rinci syarat menjadi anggota seperti apa?
Mbak Dhia: Misalnya ada eksploitasi terhadap pekerja magang karena kasus MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka). Di situ SPK akan masuk. Kalau misalnya ada mahasiswa yang demonstrasi dan ditangkap, itu bukan wilayahnya SPK, itu wilayahnya KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik). Saya bisa cerita sedikit, saya juga ada di sana, KIKA juga bagian yang menginisiasi SPK. Jadi memang ada cakupan, cara kerja yang berbeda-beda. Kalau SPK memang intinya adalah pada keadilan sosial dan kesejahteraan, jadi garis demarkasinya itu adalah pada sistem pengupahan, selisih hak dan selisih kepentingan.
Thariq: Berarti memang spesifik?
Mbak Dhia: Iya, termasuk PHK. Satu lagi itu ada di undang-undang tentang perselisihan hubungan industrial. Ada empat hal dari perselisihan dalam serikat dalam hubungan perburuhan: hak, kepentingan, PHK, perselisihan antar serikat pekerja.
Isma: Bagaimana SPK membaca keterhubungan penghisapan buruh kampus dengan elemen buruh lintas sektor? Seperti tadi buruh pabrik, ojol, dan lain-lainnya dalam agenda perjuangan?
Mbak Dhia:Kita kapasitasnya adalah bersolidaritas. Jadi seperti kemarin teman-teman buruh ‘ayo dong gabung di sini’, kita siap gabung sebagai bagian dari solidaritas sebagai serikat. Jadi kita siap bergabung dengan kawan-kawan yang lain untuk memperjuangkan hak mereka juga.
Isma: Berkolaborasi?
Mbak Dhia: Iya.
Thariq: Bagaimana cara SPK menghadapi ketidakjelasan, ketidaklengkapan, atau bahkan ketidakharmonisan antar aturan terkait pekerja kampus, termasuk pekerja mahasiswa?
Mbak Dhia: Jadi benang kusut regulasi itu memang tak bisa kita selesaikan semua sendiri. Makanya kita punya tim hukum. Kita punya tim hukum yang sekarang sedang mengurai tentang aturannya. Selain itu kita juga punya tim tentang tuntutan dan masalah yang memetakan stakeholder-nya. Jadi kita sudah melakukan pembagian tugas secara internal, sehingga nanti bersinergis aturannya ini berlaku untuk siapa, bagaimana, kemudian bagaimana mengurai benang kusut itu dan kemudian mendiskusikan bersama dan kemudian mendapatkan solusi. Solusi dan arah apakah yang akan kita lakukan, pemetaan dari tahap awal, langkah-langkah nanti seperti apa hingga kemudian nanti menuju tujuan besar kita.
Thariq: Apa contoh ketidakharmonisan atau ketidaklengkapan yang sekarang sedang dibedah SPK? Misal peraturan tentang apa?
Mbak Dhia: SPK sekarang lebih kepada yang terkait dengan standing positionkawan-kawan SPK, yaitu undang-undang pendidikan tinggi, undang-undang buruh dan dosen, undang-undang tentang PTNBH, Satker BLU. Itu yang kita gali dulu, status kepegawaian. PermenpanRB 1/2023, itu yang kita bedah dulu, kita gali dulu sebagai titik awal.
Isma: Sejauh ini, kasus apa saja yang sudah masuk di SPK?
Mbak Dhia: Kita masih belum mentabulasi kasus. Kalau dari prinsip kita, yang muncul itu adalah karena keluhan-keluhan yang terjadi di tingkat akar rumput. Itulah yang kemudian kita polakan menjadi karakteristik dari SPK. Kalau dilihat advokasinya apa, kita belum mau bicara bahwa kita akan melakukan advokasi ini dan itu karena kita harus memperkuat diri dulu, baru melangkah kepada advokasi. Kepengurusan saja kita masih dalam proses, jadi kita harus selesaikan selangkah demi selangkah. Setelah nanti kepengurusan sudah terbentuk, kita sudah mapan, baru kita akan melangkah kepada advokasi, tapi advokasi itu bagian dari intinya SPK, yang pasti kita akan melakukan advokasi itu. Tentu saja lebih banyak pada sengketa hak, kepentingan, PHK.
Isma: Kepengurusan ituada divisi-divisi juga ya, nanti diperkuat dulu, baru SPK melakukan advokasi?
Mbak Dhia: Iya, karena di Kongres Pertama kemarin AD/ART-nya baru diketok. Otomatis kita baru mengimplementasikan AD/ART ini. Belum ada satu minggu. Kami memahami harapan kawan-kawan di luar sana sangat luar biasa sekali, tapi kita jugakerja terus tiap hari, selangkah demi selangkah. Kita tidak bicara advokasi sekarang, sedangkan maintenance-nya belum kita bentuk. Maintenance dulu baru kita akan melangkah pada tujuan-tujuannya.
Thariq: Bagaimana SPK memandang gerakan-gerakan kolektif yang ada sebelum SPK? Apakah SPK punya kritik untuk gerakan-gerakan tersebut, bagaimana mengatasi masalah tersebut ke depan?
Mbak Dhia: Kita berkomunikasi ke teman-teman yang terbuka. Mereka menyampaikan segala hal, keburukan dan kebaikan yang mereka rasakan dalam proses berserikat. Kita melakukan diskusi-diskusi, bahkan dengan kawan-kawan serikat yang di Australia, Eropa. Mereka semua mengajari kitaplus-minusnya, tantangannya. Misalnya masalah kontinuitas, kaderisasi, dan sebagainya. Itu yang menjadi titik tekan kenapa serikat-serikat sebelumnya mengalami proses penurunan. Kemudian bagaimana menjaga kepercayaan dalam lingkungan serikat. Jadi mereka mengajari kita. Sindikasi, Kopaja itu juga sudah beberapa kali kita ajak. Serikatnya UP 45 itu seringkali berbincang dengan kita, banyak berbagi, bagaimana cara membentuk, bagaimana kekurangannya. Serikat pekerja UI, itu juga. Kawan-kawan dari UGM itu sangat membantu sekali.
Segala masukan itulah yang kemudian menjadikan format AD/ART kita seperti kemarin. Saya cukup berbangga ya dengan AD/ART yang dibentuk oleh kawan-kawan SPK. Bayangkan itu dibentuk empat kali kongres, setiap pra-kongres itu memakan waktu 7-8 jam, jadi kalau diakumulasikan itu dua hari mungkin ya, dan itu kita benar-benar mempreteli satu pasal demi satu pasal, termasuk di bagian tentang bagaimana nanti ke depannya. Jadi imajinasi tentangbagaimana menyelesaikan masalah itu semua menjadi inspirasi kita untuk menulis AD/ART, untuk menstop kemungkinan tak diinginkanyang terjadi di masa depan misalnya karena besarnya anggota, ada kemungkinan nanti anggota akan melenceng dari tujuan SPK. Akhirnya dibentuklah dewan pengawas. Kalau dewan pengawasnya melakukan itu (pelanggaran), siapa yang memecat dewan pengawas? Dan seterusnya. Jadi itu bergulir terus. Atau misalnya bagaimana ketika SPK punya aset. Asetnya ini menjadi milik siapa? Kalau aset berakhir itu akan diserahkan kepada fakir miskin, siapa fakir miskin? Jadi terus, karena perebutan aset juga terjadi di beberapa serikat pekerja sebelumnya, misalnya.
Kita mengambil pembelajaran-pembelajaran itu sebagai ilmu yang berguna untuk kita memperkuat diri, dan itu kita formulasikan di dalam AD/ART. Maka AD/ART-nya waktu kongres tinggal pengesahan saja karena kita sudah bahas sampai berdarah-darah sebelumnya. Itu yang muncul dari bawah, dari riset yang kita lakukan.
Isma: Saya bangga sekali dengan SPK, karena dari kepanitiaannya banyak perempuan, ketua dan sekjennya juga perempuan.
Mbak Dhia: Iya, perempuan memang harus mengambil andil ya, karena di AD/ART itu jelas. Salah satu hal kenapa banyak perempuan yang ada di sana juga soal inklusi gender menjadi perhatian utama dari SPK. Kedua, kekerasan seksual menjadi alasan pertama untuk membuat seseorang tidak bisa menjadi pengurus atau anggota SPK. Termasuk affirmative action itu diperhatikan. Jadi hampir semuanya itu harus ada perempuan. Kalau dibaca AD/ART semuanya harus ada perempuan.
Thariq: Teman-teman Islam Bergerak sangat mendukung inisiatif teman-teman SPK. Di lain kesempatan, kita bisa juga kolaborasi atau bekerja sama.
Mbak Dhia: Kita terbuka berkolaborasi dengan kawan-kawan. Kita masih membentuk lembaga, kita butuh dukungan banyak pihak, kita tidak bisa jalan sendiri, kita menyadari dan kita harus belajar banyak juga dari kawan-kawan.