Di awal tahun 2020 ini, saatnya kita memikirkan suatu keberislaman baru. Saya menawarkan untuk memberinya sebutan, “Islam Kosmik”.
Apa itu “Islam Kosmik”? Wacana apa lagi ini?
Pertama, kita harus mengakui bahwa berbagai wacana dan ideologi keislaman kita hari-hari ini kerap bukan lagi tampil sebagai problem solver, pengurai masalah, namun sebaliknya, problem maker, pembuat masalah (baru). Semakin ber-Islam, alih-alih semakin tercerahkan, kita semakin tergelapkan. Semakin ber-Islam, alih-alih semakin membawa rahmat bagi sesama, kita makin mengundang bencana dan petaka. Intinya, semakin dunia tampak runyam dengan kehadiran Islam, di satu sisi, meski di sisi lain, Islam juga membawa harapan-harapan perubahan dan pemulihan kebaikan.
Persoalannya, bukan lagi soal “Islam A” adalah Islam yang toleran dan “Islam B” intoleran. Mereka yang “toleran” juga pada gilirannya akan mengatakan, “Kita harus intoleran terhadap intoleransi”. Yang toleran pun pada limit-nya akan intoleran. Lebih-lebih yang benar-benar intoleran. Persoalannya bukan soal klaim. Bukan pula konsistensi ideologi atau paham keagamaan. Persoalannya, lebih jauh daripada itu, adalah soal “fragmentasi”. Kata ini perlu digaris tebal. Sekali lagi, fragmentasi. Yaitu, bahwa paham-paham dan ideologi keislaman kita menciptakan fragmentasi, secara sadar atau tak sadar. Kita semua bekerja di bawah “hukum” fragmentasi. Kita semua bekerja di bawah logika dan ritme fragmentasi. Ada “minna” dan “minhum”, ada “golongan kami” dan “golongan mereka”. Seinklusif apapun ideologi keislaman kita, tetap ujungnya fragmentasi.
Kekeliruan mendasar dari respons terhadap fenomena ini, kritik saya, adalah bahwa aktivis/pegiat Islam (dari ulama sampai awam) cenderung berpikir bahwa akar masalahnya terdapat pada ideologinya. Jika ada ideologi yang intoleran, maka yang harus dibuat toleran adalah ideologinya. Demikian juga, jika “kita” tampak kurang toleran, itu karena pemahaman “kita” yang kurang toleran. Maka “kita” perlu memperluas pandangan dan wawasan agar menjadi toleran, dengan belajar kepada ulama atau teladan-teladan agung yang toleran. Ini contoh cara pandang yang kurang tepat: menyelesaikan problem ideologi dengan ideologi. Ini ibarat mengobati pasien yang overdosis obat dengan obat. Siklus yang tidak kunjung berakhir.
Akan lebih tepat jika kita memandang akar masalahnya bukan pada ideologi, melainkan pada ranah material dari mana ideologi itu lahir. Jadi, geser fokusnya. Sekali lagi, bukan pada kesalahan pemahamannya, melainkan akar sosial dari mana pemahaman itu bisa berkembang. Akar sosial itu yang kita bidik.
Pergeseran cara pandang ini yang pernah coba dieksperimentasikan dengan apa yang pernah kita sebut sebagai “Islam Progresif”. Islam Progresif adalah corak keberislaman yang hendak menjadi problem solver pada akar sosialnya, menggeser dari perhatian eksklusif pada ideologi. Ia hendak menggeser keberislaman kita kepada praksis yang menjawab akar sosial permasalahan umat Islam era “milenial” ini. Kita bisa menyebut akar sosial itu, misalnya: kapitalisme, seksisme, rasisme, dan lain-lain.
Saya tidak akan mengulang argumen mengenai Islam Progresif. Intinya kurang lebih: suatu keberislaman yang “berbeda”, yang lain, daripada yang sehari-hari membisingi telinga kita. Suatu keberislaman yang bekerja dalam kesunyian maupun keramaian untuk orang-orang yang dizalimi, dieksploitasi. Suatu keberislaman yang hadir menghibur dan membesarkan hati orang-orang yang papa dan disakiti oleh hukum besi Dunia. Suatu keberislaman yang memiliki perhatian intelektual dan moral pada kepentingan kaum tertindas dan kehendak membongkar tatanan yang tidak adil.
Agenda Islam Progresif ini masih berjalan. Namun, ada beberapa catatan. Dalam praktiknya, agenda Islam Progresif juga cenderung bekerja dalam “hukum” fragmentasi. Karena salah satu inspirasinya dari metode dialektis dan teori historiko-materialis Marx, Islam Progresif mensyaratkan adanya “perjuangan kelas” (class struggle) yang bekerja dengan logika fragmentasi antara dua kelas yang bertentangan (kontradiksi kelas). Di titik ini ada kerawanan. Karena meski tujuannya adalah pembebasan universal, pembebasan segenap umat manusia,[1] suatu tujuan yang sangat luhur, Islam Progresif dan Marxisme—dalam praktik keduanya—sulit sekali terungkap dalam artikulasi dan ekspresi yang bisa diterima secara universal, alias ijmak, oleh publik. Di lingkungan umat Islam, istilah-istilah Marxian masih dicurigai. Kategori “kelas” juga masih terasa asing bagi kesadaran umat Islam. Ini baru satu contoh dari problematika di lapangan. Sebagai ganti dari “kelas”, atau perluasan dari konsep “kelas”, Islam Progresif menawarkan istilah “al-mustadl’afin”, yang lebih generik: mencakup semua kalangan yang ditindas, termasuk karena identitasnya, bukan semata-mata karena relasi ekonominya.
Sedikit selayang pandang. Dahulu, sekitar 1980-an, para aktivis Islam di Indonesia pernah memperkenalkan “Islam Kosmopolit”.[2] Ini gagasan yang cukup segar pada masanya. Islam Kosmopolit, kurang lebih, adalah corak keberislaman yang memandang optimis bahwa pesan-pesan Islam dapat diterima semua kalangan dan menjawab persoalan-persoalan dunia. Di sisi lain, mereka memandang positif globalisasi. Islam, bagi mereka, dapat berdialog menjawab tantangan global, menjadi aktor globalisasi yang membawa perubahan positif bagi umat manusia. Penggerak Islam Kosmopolit adalah kelas menengah intelektual yang terdidik dalam lingkungan modern, dan percaya pada sifat positif modernitas. Artikulasi Islam ini memang agak “terbaratkan”, tapi oke, mereka pada dasarnya memandang semua manusia setara dan berhak untuk setara. Kurang lebih seirama dengan “Islam Kosmopolit” adalah “Islam Peradaban”, atau kini, “Islam Berkemajuan”. Keberislaman ini masih percaya pada manfaat modernitas, pada peran penting kota (pusat-pusat industri) dalam menggerakkan “peradaban”, pada pentingnya “pembangunan”, dan lain-lain.
Satu kelebihan dari Islam Kosmopolit adalah: mereka telah merasa perlu meninggalkan dan mengatasi sekat-sekat ideologis di kalangan umat Islam. Mereka merasa perlu mengatasi warisan fragmentasi warisan masa lalu sejarah Islam dan menggalang lebih banyak titik-temu dan kesepahaman. Basis perhatian mereka sudah bergeser dari problem ideologi ke aras material. Mereka menyadari tantangan “era global” yang tidak bisa lagi diatasi sendiri-sendiri oleh golongan dan faksi-faksi umat Islam. Kesalahan terbesar Islam Kosmopolit hanya satu: mereka percaya mereka dapat maju bersama kapitalisme modern. Sesuatu yang terbukti salah beberapa dekade kemudian, karena dampak kapitalisme yang luar biasa destruktif tidak dapat lagi berdamai dengan corak peradaban dunia yang mereka idamkan.
Bila dilihat sedikit lebih cermat, pecahan dari kaum intelektual penganut Islam Kosmopolit ini kemudian berdiaspora, namun dengan corak yang semakin mundur. Artinya, semakin masuk ke ideologi, alih-alih memperluas kesadaran akan tantangan aras material. Muncul Neo-Modernisme Islam, Neo-Tradisionalisme Islam, Islam Liberal, Post-Tradisionalisme Islam, Islam Puritan, Islam Fundamentalis, Islam Konservatif, dan lain-lain, dan ujung-ujungnya semakin mundur dalam “Islam Moderat” versus “Islam Radikal” hari ini. Ini titik nadir kemunduran dari “performa” wawasan keberislaman kita beberapa puluh tahun terakhir. Memprihatinkan.
Para aktivis Islam yang hari ini bekerja dengan agenda-agenda global, seperti perdamaian di Timur Tengah, dialog lintas-agama di level global, dan semacamnya, sebenarnya mewarisi “api” Islam Kosmopolit ini, namun tak lagi sesolid dulu, karena mengalami diaspora. Karena ketiadaan lagi platform Islam Kosmopolit, mereka akhirnya tetap bekerja dalam ritme fragmentasi sesuai patron dan afiliasi kelompok Islam masing-masing. Secara umum, artinya, agenda Islam Kosmopolit tidak lagi mampu diterjemahkan secara kosmopolit, melainkan secara sektarian sesuai tendensi masing-masing.
Bersamaan dengan pudarnya cita-cita dan wadah Islam Kosmopolit, agenda-agenda gerakan Islam pada level global justru diambil alih oleh kalangan sektarian di bawah bendera “Khilafah Islamiyah”, yang semakin memperunyam panggung ideologis di kalangan umat Islam. Alih-alih menyatukan, agenda global gerakan ini turut memecah belah. Ini dikarenakan gerakan Khilafah tetap bekerja dengan logika fragmentasi, malah mempertajamnya. Gerakan ini bagus pada niatan awalnya, namun bermasalah pada metode, praktik, dan tujuannya. Niatan awalnya (sebagian tergambar dalam retorikanya) adalah melawan kezaliman kapitalisme dan tata rezim politik global yang menindas. Namun, metode mereka yang mensyaratkan keseragaman aspirasi umat Islam secara politis, menciptakan fragmentasi baru. Alih-alih menuai simpati, gerakan ini menjadi ancaman bagi kelompok Islam lain. Belum lagi “grammar” “Khilafah” yang monolitik dan satu-warna juga menimbulkan waswas pada kalangan penganut agama lain.
Ada potensi besar pada wacana dan ideologi “Islam Nusantara”, yang sekarang familiar pada kita berkat kontroversi seputarnya. Sekali lagi, yang patut diperhatikan bukan klaimnya, bukan pula bobot kebenaran ideologis, atau koherensi ideologisnya. Yang patut diperhatikan: sejauh mana wacana dan ideologi ini membawa kesadaran baru akan aras material yang dihadapi.
Pada dasarnya, “Islam Nusantara” hendak menjawab tantangan Islam di wilayah kepulauan Nusantara (mencakup Indonesia). Sumbernya diolah dari khazanah masa lalu yang kaya akan keragaman budaya dan adat-istiadat, serta kearifan-pengetahuan, yang menggambarkan tradisi-tradisi rakyat masa lampau. Dari masa lalu, kesadaran ini diharapkan terproyeksi ke masa kini. Agenda minimalnya, mempertahankan budaya dan tradisi keumatan yang berlangsung di kepulauan Nusantara. Namun, ada potensi global yang mulai dilirik, ketika Islam Nusantara juga dipandang sebagai salah satu platform yang potensial untuk membangun kerja-kerja global. Contohnya, dalam perdamaian lintas-agama/lintas-ideologi agama di wilayah-wilayah konflik, seperti di Timur Tengah.
Apa kesamaan antara Islam Kosmopolit dan Islam Nusantara? Keduanya menyadari perlunya mengatasi sekat-sekat ideologis di kalangan umat Islam. Keduanya menyadari perlunya mengatasi “Virus F” (Fragmentasi). Keduanya juga menyadari perlunya membangun kehidupan bersama yang terbuka, damai, dan nirkekerasan. Perbedaannya, Islam Kosmopolit dibayangi cita-cita kehidupan kota yang maju dan “beradab”; Islam Nusantara mengeram cita-cita kehidupan desa yang sarat tradisi leluhur. Bila dilihat dari kerentanannya terhadap ekspansi kapitalisme, Islam Kosmopolit lebih mudah membawakan kepentingan kapitalisme daripada Islam Nusantara. Islam Kosmopolit dibangun di atas budaya industri, sedangkan Islam Nusantara dibangun di atas kultur agraris-feodal. Tidak berlebihan bila dinyatakan, selama Islam Nusantara dijalankan secara militan dan konsisten, kapitalisme dapat diredam di basis-basis agraris, karena syarat utama dari keberadaan Islam Nusantara adalah keragaman tradisi yang berhubungan dengan basis materialnya: tanah dan alam.
Secara geopolitik ideologi keislaman, Islam Nusantara adalah eksperimentasi “Islam Kosmopolit” pada skala tertentu, skala “Nusantara”. Namun, kita bisa memperluas imajinasi “Nusantara” ini pada tingkat global. Pertanyaannya, dengan cara apa? Jika “Islam Nusantara” dicangkokkan untuk dibudidayakan di Eropa, Timur Tengah, atau Afrika, apakah batang pohonnya akan persis sama seperti yang tumbuh di kepulauan Nusantara ini?
Saya baru menangkap artikulasi yang tepat bagi “Islam Nusantara” ini setelah menelaah karya M. Jadul Maula. Jadul Maula adalah aktivis Islam yang berjasa besar mengeram gagasan Islam Nusantara bertahun-tahun sebelum menjadi jargon hari ini. Inti “Islam Nusantara”, meminjam judul buku (Kang) Jadul yang baru-baru ini terbit,[3] adalah Islam Berkebudayaan, keberislaman yang menjadikan kebudayaan sebagai strategi. Di sini kerap terjadi kerawanan salah-tafsir. Sering dianggap bahwa Islam Nusantara adalah Islam Kultural yang anti-politik atau alergi politik. Ini kesalahan tafsir pertama. Islam Nusantara versi (Kang) Jadul—dan saya setuju dengannya—bukanlah Islam yang alergi politik, atau naif politik. Ia justru harus berpolitik, namun politik harus diletakkan di bawah payung besar kebudayaan. Politik menjadi sarana, namun bukan satu-satunya tujuan. Politik, dalam arti penguasaan maupun pengaturan, hegemoni maupun resistensi, harus diletakkan dalam ruang besar penanaman kebudayaan. Konsekuensi moralnya, politik tidak dapat menjadi senjata untuk membunuh, tapi menyemai ruang-ruang-bersama. Islam ada untuk merangkul. Kesalahan tafsir kedua, Islam Nusantara seolah-olah hanya bicara makam-makam, naskah kuno, atau tradisi leluhur. Sebaliknya, yang tepat, Islam Nusantara adalah kerangka generik lintas-sejarah yang juga bisa dipakai untuk membongkar problem masa kini. Hanya, karena yang tampil sekarang baru “Islam Nusantara 1.0”, maka seolah-olah Islam Nusantara tidak mampu berbicara mengenai kapitalisme. Maka, perlu tampil “Islam Nusantara 4.0”, atau 5.0.
Prasyarat dari “Islam Nusantara 4.0” ini, mau tak mau, hanya bisa dipungut dari analisis historis-materialis yang ditawarkan “Islam Progresif”: Islam Anti-Kapitalisme, atau “Sosialisme Islam Milenial”, yang kesadarannya dibentuk oleh problem dan krisis di bawah rezim global kapitalisme.
Dari segi kesadaran historis, jika arus kekayaan tradisi “Islam Nusantara” yang datang dari masa lalu bertemu dengan arus kesadaran sejarah masa kini generasi muda yang memberontak terhadap kapitalisme, maka buahnya adalah suatu kontinuitas perlawanan yang menanamkan kesadaran beragama pada level yang lebih tinggi: membumikan pesan Islam ke seantero petak bumi di mana ancaman kapital(is)/kezaliman datang mengancam.
Sketsa visi semacam ini hanya mungkin jika kita mengatasi “Virus F” tadi, dan terus mengarahkan fokus pada aras material di mana kita hidup saat ini, melalui penggalian terus-menerus atas ajaran, pesan, dan nilai-nilai Islam.
Namun, Islam Progresif dan pengembangannya itu, dengan visi yang mungkin membutuhkan waktu beberapa lama lagi untuk kita lihat wujud konkretnya, masih diliputi keterbatasan. Ini beberapa poin ringkasnya.
1/ Islam Progresif masih dibayang-bayangi “Virus F” alias potensi menciptakan fragmentasi, jika semata-mata diungkapkan dengan bahasa teoretik Marxian atau analisis materialis. Wujud fragmentasi ini sering kali berada pada tataran agitasi dan propaganda, atau gerakan dakwah Islam Progresif. Untuk itu, kesadaran Islam Nusantara yang terampil menggunakan kosakata kebudayaan dan estetika tradisi dapat mengurangi potensi ini, dan memperlebar kemungkinan Islam Progresif menjadi platform Islam yang lebih dapat diterima semua kalangan. Ini juga akan mendorong lebih besar kemungkinan Islam Progresif menjadi platform semi-global, bahkan global, tanpa kehilangan akar tradisinya, khususnya di Indonesia; tanpa terjebak dalam godaan menjadi gerakan trans-nasionalisme imperialistik-kolonialistik ala Khilafah atau sejenisnya.
2/ Seberapapun idealnya Islam Progresif pada tataran teori dan praktik, wacana dan ideologi ini memiliki keterbatasan karena masih menempatkan manusia, yaitu “umat Islam”, sebagai subjeknya. Islam Progresif masih berada pada paradigma “antroposentris”, meski orientasinya mulai membenahi hubungan dengan Tuhan dan Alam. Manusia sebagai agensi akan memiliki keterbatasan dalam memahami—di sisi lain—agensi Tuhan melalui Alam, yang kerap kali bertindak di luar antisipasi dan kendali manusia. Kesadaran antroposentris ini hanya bisa diatasi dengan kesadaran yang lebih tinggi pada taraf kosmik. Saya ingin menyebut kesadaran beragama pada level ini sebagai “Islam Kosmik”.
Kesadaran Kosmik ini sering kali dikritik sebagai kesadaran yang melangit, karena tidak menyentuh kehidupan di muka bumi. Ia dianggap mengawang-awang. Hari ini, sains telah menunjukkan keterkaitan erat antara berbagai gejala alam yang tak biasa dengan perilaku korup manusia di muka bumi. Kesadaran ekologis otomatis tercakup di dalam kesadaran Kosmik ini, namun kesadaran ekologis belum tentu sampai pada kesadaran Kosmik, karena level kesadaran ekologis baru pada lingkungan hidup sejauh dialami dan dihidupi oleh manusia, subjek antroposentris.
Pada level ekologis (yang didorong oleh Islam Progresif), seorang Muslim akan bertanya: “Apa hubungan antara Islam-ku dengan rusaknya lautan oleh sampah plastik dan pencemaran limbah pabrik?”.
Pada level Kosmik, seorang Muslim akan bertanya: “Apa makna ber-Islam bagiku di hadapan fakta memanasnya suhu matahari di luar angkasa?”
Pada level ekologis, seorang Muslim akan bertanya: “Apakah shalatku diterima oleh Allah jika aku memakan uang suap dari perusahaan tambang?”.
Pada level Kosmik, seorang Muslim akan bertanya: “Apakah korelasi antara ibadah hajiku dan tawafku di Baitullah (Mekkah) dengan dinamika galaksi Bima Sakti?”. Atau: “apakah makna syahadat dan doaku di hadapan anomali cuaca dan pemanasan suhu bumi?”. Atau: “apakah korelasi antara penderitaan buruh tani di suatu tempat dengan kemarau panjang di tempat itu?”.
Kesadaran ilmiah sekuler, sebagai warisan modernisme, menafikan korelasi antara peristiwa di bumi dan peristiwa di langit, antara “tatanan langit” dan “tatanan bumi”, menganggapnya dua peristiwa yang tak terkait. Manusia dan Alam Semesta dianggap tak terkait, karena “rancangan Tuhan” dianggap doktrin ilusi dan tak nyata, lantaran tak bisa dilihat dengan teleskop.
Kesadaran spiritual-kosmologis Islam melihat korelasi itu, bahwa Tuhan “berbicara” kepada manusia melalui Alam, yang memuat “tanda-tanda kekuasaan-Nya” yang tak terbatas. Hanya, kesadaran ini belum sepenuhnya terumuskan secara ilmiah dan diinterogasi secara kritis dan sistematis. Seiring makin massifnya kerusakan di muka bumi, maraknya berbagai penindasan, pertanyaan yang muncul kira-kira: dengan cara apa Allah “mengirimkan pesan-Nya” kepada manusia di bawah kapitalisme abad ke-21 ini? Jika Alam merupakan panggung ilahi terbesar bagi pesan-pesan ketuhanan setelah tiadanya lagi para Utusan (Nabi dan Rasul), bagaimana kita menangkap pesan-pesan ketuhanan itu melalui Alam?
Jika Islam Progresif melihat manusia (subjek antroposentris) sebagai pusat, Islam Kosmik melihat Tuhan “via” Alam (subjek non-antroposentris) sebagai pusat. Itu artinya, Tuhan “via” Alam menjadi titik kita berangkat dalam beriman dan membangun praksis. Apa yang tergelar pada Alam Semesta, sebagai pesan ilahi yang paling kasat, menjadi landasan gerakan melawan tatanan yang merusak. Itu artinya, Sosialisme masa depan dibangun bukan semata-mata atas keinginan dan kebutuhan manusia, tapi terlebih dulu, atas pembacaan dan kajian atas kecenderungan-kecenderungan di Alam Semesta, atas “aspirasi” Tuhan sebagaimana terisyaratkan dalam perubahan kosmik.
Ini barangkali aneh, ganjil. Maklum, sejak abad ke-17, fase sains modern (berarti tiga abad lebih!), kita telah lama hidup dalam periode keterpisahan antara Ilmu-ilmu Alam dan Ilmu-ilmu Sosial, antara Kosmologi dan Sejarah. Tak heran dalam kehidupan ilmiah modern, sejarawan dan para ilmuwan sosial disibukkan melihat kehidupan manusia, namun abai pada dinamika ekologis, lebih-lebih kosmik. Sementara itu, para ilmuwan alam disibukkan meneropong gejala-gejala alam semesta, namun tak tertarik dengan kehidupan manusia. Hidup di menara gading observatorium, memandang remeh kehidupan sosial.
Islam mengundang pemeluknya untuk merenungkan penciptaan Alam sekaligus dinamika gerak sejarah kehidupan di muka bumi. Umat Islam mampu memiliki peluang sampai pada kesadaran ilmiah dan keagamaan yang lebih tinggi, lebih menyeluruh, terbebas dari fragmentasi, ketika kesadaran kosmik menjadi acuan ber-Islam yang baru.
***
Catatan akhir:
[1] “Dalam hubungan apa para Komunis berdiri menyikapi kaum proletar sebagai suatu keseluruhan? … Mereka (Komunis) tidak memiliki kepentingan sektarian dan terpisah dari kepentingan kaum proletar sebagai suatu keseluruhan. Mereka (Komunis) tidak menetapkan prinsip-prinsip sektarian apapun dari pihak mereka, yang dengan prinsip-prinsip itu mereka membentuk dan memberi wujud bagi gerakan proletar… Menggantikan masyarakat borjuis lama, dengan kelas-kelasnya dan pertentangan-pertentangannya, kita akan memiliki suatu perhimpunan (asosiasi) di mana perkembangan bebas masing-masing orang adalah syarat perkembangan bebas semua orang”: kutipan dari Manifesto Marx-Engels. Atau kata-kata dari Manuskrip 1844: “Komunisme adalah posisi sebagai negasi atas negasi, dan karenanya suatu fase aktual yang niscaya dibutuhkan untuk perkembangan sejarah tahap berikutnya dalam proses pembebasan umat manusia dan pemulihannya”. Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844.
[2] Antara lain, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), dan lain-lain. Khusus Gus Dur, ia merupakan intelektual yang membawakan ide kosmopolitanisme Islam dengan aksentuasi tradisionalis, dan menjadi cikal-bakal kelahiran wacana “Islam Nusantara”, melalui gagasannya tentang “pribumisasi Islam”.
[3] M. Jadul Maula, Islam Berkebudayaan: Akar Kearifan Tradisi, Ketatanegaraan, dan Kebangsaan (Yogyakarta: Pustaka Kaliopak, cet I September 2019). Jadul Maula adalah pendiri LKiS, aktivis yang di tahun 1990-an, bersama rekan-rekannya, banyak bergulat dengan gagasan-gagasan progresif anak muda Islam dekade itu, seperti “Kiri Islam”, kritik tradisi, revitalisasi estetika Islami berbasis tradisi, dan lain-lain. Buku ini memuat sejumlah tulisannya dari periode itu.
Mau komen sikit aja tentang fase sains modern sejak abad 17 memisah sains alam dan sains sosial. Agak ahistoris sebab Marx juga nulis matematika. Malah materialisme dialektis aslinya alam yg diterapkan Marx ke sosial dlm kerangka berpikir benda mendahului gagasan shg apapun ide yg menggerakkan sejarah manusia adalah hasil kerja otak yg material sbg jawaban atas tantangan alam. Pun ilmuan alam macam Laplace, Descartes, Fourir juga nulis sosial. Agaknya perlu dikaji atau memang sdh ada kajian, kita aja yg kurang baca, bhwa pemisahan ini sedikit banyak juga disebabkan kebutuhan2 kapitalisme utk menyiapkan angkatan kerja yg buta kelas cum ahistoris. Perlu disusun satu basis teori epistemologis bhwa meski dunia pendidikan disekat oleh eksak dan non eksak, alam dan sosial, keduanya harus saling berkelindan. Misal jurusan2 alam hrs memasukkan minimal 2 sks filsafat sosial, sebaliknya jurusan2 sosial wajib ambil filsafat alam. Itu misal