Refleksi Surah Qaf: Melawan Politeisme Sekuler dan Pluralisme Kebenaran (Bagian 2)

668
VIEWS

            Manusia di era postmodern dijejali pelipur lara berbasis “rasionalisme-humanisme” yang mengusung norma baru berupa tafsir kebebasan atas apapun. Selama kebebasan itu tidak mengganggu hak hidup orang lain. Namun, epistemologi ini tak lagi cukup dengan mengusung norma kebebasan individu, tapi juga menyertakan supremasi subjektivitas individu. Inilah problem baru ancaman eksistensial kita. Atas nama melawan “penindasan” dari apapun–dan oleh siapapun, individu merasa bebas memaknai pengalaman subjektif mereka sebagai validasi atas satu klaim politik dan kebenaran objektif.  Tulisan bagian 2 ini akan menguraikan refleksi dari Surat Qaf untuk menggugat aktivisme victimhood, otonomi tubuh, dan hilangnya transendensi yang terangkum dalam problem politeisme sekuler dan pluralisme kebenaran hari ini.

Pertanggungjawaban individu dan pembelaan bagi kaum tertindas

“Tubuhku milikku” semarak dirayakan dalam gerakan feminisme arus utama yang menyebar di berbagai belahan dunia dan lini masa media. Feminisme dalam beragam aliran yang mulanya berusaha untuk membangun gerakan pembebasan perempuan dari kelindan penindasan kemudian kerap terfokus pada persoalan otonomi tubuh. Slogan ini menjadi reaktor utama atas berbagai kasus kekerasan dalam ragam bentuk eksploitasi, diskriminasi, dan pelecehan seksual terhadap perempuan oleh kaum laki-laki, industri kapitalis, dan institusi maskulin bernama negara. Namun, untuk merebut kembali ruang perempuan yang telah direnggut oleh kekuatan eksploitatif di luar dirinya baik oleh individu lain atau oleh sistem dan struktur, gerakan feminisme arus utama melakukannya lewat kampanye “tubuhku milikku”. Bahkan dalam masalah perubahan iklim sekalipun, “otonomi tubuh” dianggap menjadi bagian inti dalam gerakan keadilan lingkungan.

Pandangan ini mengajukan solusi melawan dominasi, ekstraksi, dan eksploitasi dengan meruntuhkan segala bentuk kontrol atas tubuh dan pelanggaran konsen dengan membela hak aborsi dan ragam bentuk identitas serta orientasi seksual. Keberadaan tubuh ini disematkan pada identitas subjektif yang melekat pada sang individu.  Alih-alih menjadi alat revolusi perempuan, hal ini justru merupakan produk dari individualisme dan liberalisme yang memuja kepentingan diri dan eksistensi fisik ke berbagai platform termasuk di dunia digital; suatu bentuk baru “politeisme sekuler”.

Budaya individualisme meromantisasi imaji perempuan yang merayakan dirinya sendiri tanpa mengingatkan untuk apa perempuan dan laki-laki diciptakan dan ke mana mereka akan pulang. Namun, bagaimana perempuan berjuang untuk merebut kembali tubuhnya sendiri, jika perempuan menyerahkan (atau dipaksa menyerahkan) tubuhnya ke altar egosentrisme, komodifikasi, dan eksploitasi kapitalisme? Klaim otoritas tubuh tanpa orientasi transendental dan tujuan kolektif yang luhur ini menginstrumentalisasi perempuan demi kepentingan negara dan kapitalisme. Padahal kesatuan antara tubuh dan jiwa sebagai otonomi Sang Pencipta menunjukkan dimensi penting dalam iman terhadap yang gaib.

Surat Qaf ayat 15 mengajukan pertanyaan retoris mengenai otonomi  Sang Pencipta:

اَفَعَيِيۡنَا بِالۡخَـلۡقِ الۡاَوَّلِ​ؕ بَلۡ هُمۡ فِىۡ لَبۡسٍ مِّنۡ خَلۡقٍ جَدِيۡدٍ‏( ١٥)

“Maka apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama? [sama sekali tidak], bahkan mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru” (50:15)

Terminologi ‘khalqin jadidin’ (penciptaan yang baru) muncul di tujuh surah lainnya dan merujuk pada kehidupan setelah mati (Ar-Rad 13:5) dan kekuasaan Allah SWT untuk menggantikan manusia dengan makhluk baru (Ibrahim 14:19). Pemaknaan ini sekaligus menunjukkan ruang tak kasat mata dalam dimensi ontologis dan temporal. Ketika kita meyakini yang gaib dan Hari Akhir maka itu berarti hal-hal yang hadir di ranah kasat mata tetapi tidak langsung hadir dalam persepsi inderawi kita saat ini termasuk dalam terminologi gaib (gha’ib, atau tak terlihat). Secara esensial, ini mencakup semua tempat, manusia, dan peristiwa yang saat ini terjadi di dunia, tetapi kita sendiri tidak memiliki pengalaman empiris langsung lewat persepsi eksternal kita.

Menurut Ibnu Taymiyyah, ilmu keyakinan (‘ilm al-yaqin) pada Hari Akhir akan membuat seorang hamba tidak saja yakin, tetapi juga menjadi saksi dan mengalami langsung meleburnya batas antara dunia yang tampak melalui persepsi inderawi biasa dan dunia yang tak kasat mata. Pengalaman menyaksikan dan mengalami langsung ini adalah perubahan keadaan manusia dari ‘ilm al-yakin menjadi keyakinan pada dirinya (‘ayn al-yaqin) (el-Tobgui 2020:234). Disingkapkannya batas yang menutupi antara yang tampak dan yang gaib ini menjadi pengingat akan manusia yang kerap mengabaikan, melupakan, atau bahkan meremehkannya, sebagaimana Allah SWT berfirman:

لَقَدۡ كُنۡتَ فِىۡ غَفۡلَةٍ مِّنۡ هٰذَا فَكَشَفۡنَا عَنۡكَ غِطَآءَكَ فَبَصَرُكَ الۡيَوۡمَ حَدِيۡدٌ(‏ ٢٢) وَقَالَ قَرِيۡـنُهٗ هٰذَا مَا لَدَىَّ عَتِيۡدٌ ؕ‏( ٢٣)

“Sungguh, kamu dahulu lalai tentang (peristiwa) ini, maka Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam. Dan (malaikat) yang menyertainya berkata, ‘inilah (catatan perbuatan) yang ada padaku.” (50: 22-23)

Penegasan dan pengimanan bahwa tubuh ini milik Tuhan memberi perempuan kekuatan yang lebih besar dari pada hanya menisbatkan tubuh sebagai milik dirinya semata. Dengan mendeklarasikan bahwa tubuh ini milik Tuhan, kita meyakini (setidaknya) dua hal: pertama, bahwa akan ada proses pertanggungjawaban terhadap apa yang kita lakukan terhadap tubuh kita, dan kedua, apapun yang terjadi pada tubuh ini–baik penyiksaan, sakit, dan segala lumuran dosa fisik–tidak akan menentukan harga diri dan derajat kita ketika kita dipaksa atau setelahnya kita bertaubat. Jika kita yakini bahwa tubuh ini dicipta oleh kekuasaan dan kasih sayang-Nya, dan kelak akan dibangkitkan kembali, pulang, serta dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan maka tiadalah semua yang terjadi pada tubuh kita membuat kita kehilangan makna transendennya. Seseorang yang menyadari penuh hal ini juga akan mencegah diri mereka untuk menyakiti tubuh orang lain karena kesadaran bahwa setiap tubuh ini hanya dimiliki oleh Sang Pencipta. Ada pemilik kuasa yang lebih tinggi dan besar dari sekadar kita sendiri yang hanya kepada-Nya lah segala dosa dan derita tubuh kita diampuni, dan jika beruntung, dibersihkan dari segala nista dunia.


Lalu siapa korban atau korban mana yang dibela dalam perjuangan melawan penindasan yang berkelindan ini? Garis determinasi ini harus kita tetapkan dengan jelas. Perempuan korban kekerasan seksual atau transpuan yang menjadi korban penghakiman massa semata karena identitas mereka misalnya jelas harus dibela sebagai pihak yang dizalimi dan harus mendapatkan keadilan dan dukungan pemulihan. Gender memang aspek penting yang menentukan bagaimana seseorang diposisikan dan dikonstruksikan secara sosial, tetapi analisis terhadap gender bukan faktor utama untuk melihat dimensi ketidakadilan ini. Namun, kita tidak bisa melepas gender dari sejarah, konteks, dan kondisi material masyarakat. Perspektif dan pengalaman perempuan atau transpuan tertindas tidak lantas menjadikan ia lebih unggul ketimbang pengalaman ketertindasan kaum buruh nelayan laki-laki yang setiap hari dieksploitasi sembari berjuang mencari nafkah untuk istri dan anak-anak mereka. Baik perempuan, transpuan, maupun laki-laki memiliki kondisi material yang menentukan bagaimana mereka ditindas. Kondisi riil inilah titik analisis dan pintu perlawanan mereka alih-alih sebatas identitas gender.

Tiga Dimensi Penindasan dan Pertanggungjawaban Kolektif  atau Individu

Islam membela kaum tertindas (mustadh’afin) yang dilemahkan oleh sistem dan struktur, tetapi di saat yang sama, Islam juga memberdayakan mereka. Islam tidak melihat mereka sebagai korban semata, tetapi juga sebagai khalifah yang tetap dimintai pertanggungjawabannya terhadap siapa yang ia pimpin–bahkan jika ia hanya memimpin dirinya sendiri. Surat Qaf memberikan gambaran bagaimana khalifah-khalifah ini nantinya akan diperiksa tanggung jawab atas apapun sikap dan pilihannya di Hari Akhir.

وَجَآءَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَّعَهَا سَآئِقٌ وَشَهِيدٌ (٢١) وَقَالَ قَرِينُهُۥ هَٰذَا مَا لَدَىَّ عَتِيدٌ (٢٣) أَلْقِيَا فِى جَهَنَّمَ كُلَّ كَفَّارٍ عَنِيدٍ (٢٤) مَّنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ مُّرِيبٍ (٢٥)

“Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat pengiring dan seorang malaikat penyaksi. […]  Dan yang menyertai dia berkata: “Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku. Allah berfirman: ‘lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu” (50: 21, 23-25)

Penggambaran Nabi Muhammad SAW (berbaju  hijau tanpa wajah) di depan Kabah untuk menyelesaikan persoalan kemasyarakatan. Penggambaran tersebut muncul dalam Siyer-i Nebi: The Life of the Prophet. Nakkas Osman, 1595.
Hazine 1222, folio 123a (sumber: http://www.ee.bilkent.edu.tr/)
Penggambaran Nabi Muhammad SAW (berbaju hijau tanpa wajah) di depan Kabah untuk menyelesaikan persoalan kemasyarakatan. Penggambaran tersebut muncul dalam Siyer-i Nebi: The Life of the Prophet. Nakkas Osman, 1595. Hazine 1222, folio 123a (sumber: http://www.ee.bilkent.edu.tr/)

Dalam keempat ayat ini, ada beberapa sifat dan perilaku individu (khalifah) yang termasuk dalam kategori cacat amal/tanggung jawab yang terangkum dalam “kaffaarin ‘aniid” (ingkar dan keras kepala). Menurut Ibnu Katsir, “kaffaarin ‘aniid” adalah mereka yang mengingkari dan menyangkal kebenaran dengan keras, bahkan menunjukkannya dengan perbuatan dosa atau zalim. Salah satu cirinya ialah “mu’tadin” (melanggar batas). “Mu’tadin” berakar kata عدو yang ditemukan 106 kali di al-Quran dalam berbagai bentuk turunannya. Menurut Qatadah arti “mu’tadin” atau “melanggar batas” ini diartikan melanggar batasnya dalam perkataan, perbuatan dan urusannya. Lafaz “mu’tadin” juga ditemukan di surah Al-Qalam (68) dan Al-Mutaffifin (83) yang memiliki arti orang yang menyangkal hari pembalasan. Contoh historis para kaffar di masa lalu telah disebut dalam ayat 12-14 Surat Qaf yang menceritakan pengingkaran kaum Nuh, Rass, Tsamud, Aad, Fir’aun Luth, Aikah dan Tubba yang mendustakan para rasul mereka ketika diajak kepada kebenaran, kebajikan, dan kebaikan. Kafir-kafir itu memiliki sifat-sifat ini: menolak kebenaran, menghalangi kebaikan, melampaui batas, dan meragukan Hari Akhir.

Kembali pada persoalan korban, siklus sejarah dan perubahan kondisi material sangat memungkinkan membuat kelompok korban dan penyintas menjadi penindas baru ketika tak memiliki landasan epistemik yang benar. Surah Qaf mengingatkan ini dengan kisah kaum Rass, yaitu kaum yang lolos dari azab karena mereka beriman pada Nabi Saleh dan kemudian hari mereka berubah menjadi angkuh. Pemikiran mereka tidak lagi merendah oleh pengalaman mereka melewati nestapa, tetapi menjadi campur baur oleh pengingkaran. 

كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ وَأَصْحَٰبُ ٱلرَّسِّ وَثَمُودُ (١٢) وَعَادٌ وَفِرْعَوْنُ وَإِخْوَٰنُ لُوطٍ (١٣) وَأَصْحَٰبُ ٱلْأَيْكَةِ وَقَوْمُ تُبَّعٍ ۚ كُلٌّ كَذَّبَ ٱلرُّسُلَ فَحَقَّ وَعِيدِ (١٤)

 “Sebelum mereka telah mendustakan (pula) kaum Nuh dan penduduk Rass dan Tsamud, dan Aad, Fir’aun dan para saudara Luth, dan penduduk Aikah serta kaum Tubba’ semuanya telah mendustakan rasul-rasul maka sudah semestinyalah mereka mendapat hukuman yang sudah diancamkan.” (50: 12-14)

Baca Juga:

Siapakah orang Rass ini? Secara leksikal, kata rass dalam bahasa Arab memiliki beberapa arti. Yang paling menonjol mengacu pada sumur yang tidak dibangun dengan batu bata atau batu. Orang-orang Rass adalah sisa-sisa orang-orang Tsamud yang tetap hidup setelah hukuman. Dahhak dan komentator lainnya menceritakan kisah mereka terkait kaum Nabi Saleh. Ketika kaum Nabi Saleh dihancurkan oleh azab Allah, sekitar empat puluh ribu dari mereka selamat karena mereka telah beriman dan mengikuti Nabi Saleh. Mereka meninggalkan tempat asalnya dan berlindung di Hadramaut (sebuah kota di Yaman). Nabi Saleh ikut bersama mereka dan bersama pergi ke sebuah sumur dan tinggal di sana. Nabi Saleh pun kemudian meninggal dunia di sana. Untuk mengenang kematian Nabi Saleh, tempat tersebut disebut sebagai Hadara Maut yang bermakna kematian telah terlampaui.

Sayang sekali, orang-orang yang menetap di Hadara Maut melahirkan keturunan yang tumbuh menjadi penyembah berhala. Seorang Nabi yang diutus untuk memperingati mereka justru dibunuh. Allah memusnahkan umat tesebut dengan menghancurkan peradaban kecil yang mereka bangun. Sumur yang menjadi sandaran hidup mereka menjadi tidak lagi berguna dan bangunan serta tempat tinggal mereka yang ramai berubah sunyi. Al-Qur’an mengilustrasikan pengazaban mereka dalam ayat berikut: “Jadi, di sanalah mereka, jatuh di atap mereka, dan betapa banyak istana yang kosong dan dibangun dengan baik!” (22:45).

Bagi mata yang jeli, sumur yang terbengkalai dan istana-istana tinggi yang sunyi tersebut sudah cukup untuk menilai dan memutuskan akibat dari perbuatan suatu kelompok atau bangsa yang zalim. Tafsir Ibnu Katsir menuliskan bahwa Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Surga dan neraka berdebat. Neraka berkata, ‘di dalamku terdapat orang-orang yang sewenang-wenang dan orang-orang yang sombong.’ Surga mengatakan, ‘di dalamku terdapat orang-orang yang lemah dan miskin.”

Sepintas tak tampak sebuah “inkoherensi” kalimat dalam Surat Qaf ayat 12-14. Namun jika kita membaca dengan detail kita dapat menelaah bahwa Al-Quran menyebut Firaun sebagai individu, bukan sekaligus kaum Firaun, dalam sandingannya dengan kata kaum, ashab, dan ikhwan yang memiliki makna dan konteks kolektif. Sayyid Abul Ala Maududi dalam Tahfim al-Qur’an menjelaskan “inkoherensi” ini sebagai konsekuensi logika beban individu lawan beban kolektif. Maududi berpendapat bahwa posisi individual Fir’aun sebagai penguasa telah begitu dominan sehingga rakyatnya tidak memiliki pendapat dan kehendak sendiri. Oleh karenanya, Firaun bertanggung jawab atas penyimpangan dan kemerosotan bangsa di bawah kekuasaannya sebab keberadaan kebebasan kehendak dan tindakan bagi suatu bangsa menentukan pertanggungjawaban perbuatan apakah menjadi beban individu atau kolektif. Ketika kediktatoran satu orang membuat suatu bangsa tidak berdaya maka ialah yang harus menanggung beban dosa seluruh bangsa.

Logika individu lawan kolektif ini tidak serta merta menghapuskan tugas dan tanggung jawab dari sebuah kolektif. Bangsa dalam kasus kediktatoran Firaun tetap bertanggung jawab atas kelemahan moral yang ditunjukkannya sehingga memungkinkan seseorang menguasai dan mendominasi mereka sepenuhnya. Inilah refleksi penting untuk melihat keseimbangan antara tanggung jawab individu dengan kebebasan berpikirnya serta tanggung jawab kolektif sebagai umat untuk merespon penindasan di dunia dan akhirat.

Maududi memang terkesan hanya menggarisbawahi dosa para tiran dan seolah menentang gagasan sosialisme. Padahal poin kritis tanggung jawab kolektif dalam kekuasaan tiran adalah titik tolak penghapusan kesewenang-wenangan–sesuatu yang diadvokasi oleh Islam sebagai agama penegak kebenaran dan keadilan. Posisi ini relevan dengan gagasan Ali Syariati yang menitikberatkan dampak kekuasaan tiran pada kelas yang ditindas dan arti penting sosialisme. Dalam On the Plight of the Oppressed, Syariati mengungkapkan pengandaiannya berbicara pada kaum budak di masa lampau yang ditindas, disiksa, dan dibunuh demi membangun monumen-monumen megah bagi kelas berkuasa:

“Mereka memaksa kami untuk berperang, membantai, dan dibantai. Jika kemenangan diraih, orang lainlah yang menikmati karunianya, bukan kita. Sahabatku, setelah kamu meninggal terjadi perubahan besar. Firaun dan kekuatan besar sejarah mengubah pandangan mereka. Sebelumnya, mereka percaya bahwa jiwa mereka abadi; oleh karena itu, mereka percaya bahwa jika tubuh diawetkan, jiwa dapat menjaga hubungan dengan tubuh. Inilah mengapa mereka membuat kami membangun gedung-gedung besar namun kejam itu. Saya percaya pada Nabi Muhammad karena istananya tidak lebih dari beberapa ruangan yang dibangun dari tanah liat. Beliau termasuk di antara pekerja yang membawa bahan material dan membangun kamar. Istananya terbuat dari kayu dan daun pohon palem. Ini semua yang dia miliki. Ini adalah istananya.”

Tesis Maududi dan keresahan Ali Syariati di atas setidaknya menunjukkan tiga dimensi tanggung jawab subjek dari sebuah penindasan, yaitu: kelas penindas yang memimpin dan menanggung dosa akibat rakyat yang mereka celakai; kelas tertindas yang tetap akan dimintai tanggung jawab individunya atas niat dan ikhtiar yang mereka lakukan masing-masing maupun secara kolektif; dan kelas tertindas yang kemudian terpecah-belah dan saling berkonflik. Syariati juga tegas mendasarkan nilai perjuangan kelas tertindas pada  kesederhanaan dan prinsip egalitarian Nabi Muhammad SAW–sesuatu yang dilupakan dalam gegap gempita gerakan kesetaraan dan pembebasan masa modern ini. Nilai inilah yang nantinya akan membangun kesepakatan sekaligus fondasi aturan bersama berdasarkan wahyu Ilahiyah, kolaborasi dan kesetaraan dalam kerja bersama, serta membebaskan diri dan kolektif dari belenggu berhala segala rupa.

Terlepas dari tanggung jawab kolektif atau individu atas sebuah kerusakan atau penindasan, kenyataannya polemik kesesatan dan kebenaran serta siapa yang paling bertanggung jawab atas prahara dunia tersebut terbawa hingga ke akhirat nanti. Ada kisah menarik dalam Surat Qaf yang mengisahkan bahkan setan yang telah bersumpah akan menyesatkan manusia dari kebenaran pun mencoba berlepas tangan dari kerusakan yang dilakukan manusia di bumi. Pada hari kebangkitan nanti, mereka akan berkata:

 قَالَ قَرِيۡنُهٗ رَبَّنَا مَاۤ اَطۡغَيۡتُهٗ وَلٰـكِنۡ كَانَ فِىۡ ضَلٰلٍۢ بَعِيۡدٍ‏ (٢٧) قَالَ لَا تَخۡتَصِمُوۡا لَدَىَّ وَقَدۡ قَدَّمۡتُ اِلَيۡكُمۡ بِالۡوَعِيۡدِ‏ ( ٢٨)

“(Setan) yang menyertainya berkata (pula), ‘Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dia sendiri yang berada dalam kesesatan yang jauh. (Allah) berfirman, ‘janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, dan sungguh, dahulu Aku telah memberikan ancaman kepadamu.” (50: 27-28)  

Sayyid Qutb menguraikan tafsir ayat ini dengan mengungkap kemungkinan setan yang berkelit atas penyesatan yang ia lakukan sepanjang hidup. Setan malah berbalik menyalahkan manusia yang justru telah tersesat jauh dan menerima tawaran penyesatannya begitu saja. Allah SWT menyudahi polemik ini dengan peringatan yang telah disampaikan sebelumnya: ada balasan untuk setiap tindakan. Semua perkataan dan perbuatan telah dicatat serta berdasarkan catatan inilah balasan dan pahala ditentukan. Tidak ada yang diperlakukan secara tidak adil karena yang menyelidiki tiap lika liku lisan dan aksi manusia dan menentukan nasib mereka adalah Sang Hakim yang Mahaadil.

Berjangkar pada prinsip tauhid, taubat, dan egalitarian

Bangkit dan runtuhnya peradaban dan kekuasaan yang dibangun oleh suatu kaum telah diperingatkan berkali-kali oleh Allah SWT di dalam al-Quran, terutamanya kaum yang angkuh dan menolak kebenaran hingga mereka tersesat dan binasa dalam keangkuhannya. Bahkan ketika pintu taubat selalu dibuka oleh Allah swt, manusia tetap tenggelam dalam berhala-berhala baru mereka. Surah Qaf ayat 36 menyatakan,

وَكَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُم مِّن قَرْنٍ هُمْ أَشَدُّ مِنْهُم بَطْشًا فَنَقَّبُوا۟ فِى ٱلْبِلَٰدِ هَلْ مِن مَّحِيصٍ (٣٦)

“Dan betapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka, (padahal) mereka lebih hebat kekuatannya daripada mereka (umat yang belakangan) ini. Mereka pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah tempat pelarian (dari kebinasaan bagi mereka)?”  (50:36)

Dalam ayat tersebut, kata kerja “naqqabu” secara harfiah berarti melubangi, melubangi atau menusuk. Secara idiomatis, ini berkonotasi pergi atau pergi melalui tanah atau negara yang jauh atau perjalanan atau melintasi. Kata “mahis” berarti suaka atau tempat berlindung dan muncul lima kali dalam al-Qur’an dengan pengertian yang sama. Dalam ayat ini, Allah mengajukan pertanyaan retoris kepada orang-orang kafir: “Berapa banyak generasi yang telah Kami hancurkan sebelum kamu? Mereka lebih banyak dan lebih kuat dari kamu,  dan mereka melakukan perjalanan ke seluruh negeri untuk perdagangan dan bisnis, tetapi mereka tidak dapat menemukan perlindungan dari kematian yang ditakdirkan untuk mereka. Tidak ada tanah yang bisa memberi mereka perlindungan.” Pada surah Qaf ayat 37 Allah berfirman,

إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ (٣٧)

“Sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (50: 37)

Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa di sini kata qalb [hati] berarti ‘aql [akal], karena pusat akal adalah hati. Beberapa ahli Al-Qur’an mengatakan bahwa “hati” di sini mengacu pada kehidupan karena poros kehidupan adalah hati. Dengan demikian ayat tersebut berarti hanya orang itu yang akan dapat mengambil manfaat dari nasihat dan pelajaran Al-Qur’an yang memiliki kehidupan atau pemahaman yang baik yang dapat dipahaminya. Orang yang tidak berakal tidak dapat mengambil manfaat dari Al-Qur’an. Frasa “alqa’-us-sam’” artinya adalah menyimak seseorang sepenuh perhatian dan kata “syahid” berarti hadir. Pesan ayat tersebut adalah ada dua orang yang diuntungkan: pertama, orang yang memiliki pikiran dan intelek yang memahaminya di benaknya dan menerimanya, dan kedua, orang yang memberikan telinganya dan menyimak ayat-ayat Ilahi dengan hati penuh perhatian, dimana hatinya hadir dan tidak absen. Tipe kedua adalah para pengikut mereka dan pencari realita yang tulus, yang dibawah bimbingan panduan spiritual, yang dengan ketulusan dan kebersihan hatinya, menerima ajaran agama. Perjuangan untuk membersihkan diri ini tidak saja ikhtiar individual, tetapi juga menjadi suatu keharusan di dalam gerakan perlawanan kolektif. Haji Misbach telah mewanti-wanti ini dalam nasihatnya di Medan Moeslimin tahun 1926,

Hai sekalian kawan-kawan kita, bahwa kita akan masuk dalam lapang pergerakan itu, haruslah kita dengan berasas agama yang hak [benar], agar supaya jangan sampai kita merugi dalam jaman perlawanan ini, untuk dalam kemenangan atau untung dalam akhirat. Kurbankanlah harta benda, dan jiwamu untuk mengejar kebenaran dan keadilan tentang pergaulan hidup kita dalam dunia ini. Sesungguhnya perintah agama yang diwajibkan kepada kita itu mengandung maksud yang penting sekali bagi kemanusiaan kita. Ketahuilah saudara, kewajiban agama itu gampang sekali untuk dijalankan oleh orang yang mengandung pikiran sehat dengan sebenar-benarnya, yakni bukan kaum pemalas dan yang memang kotor dalam pikirannya.” (Misbach 2016:158).

Mengambil hikmah dari kaum-kaum sebelumnya yang diazab Allah SWT akibat melampaui batas, menindas dan bermegah-megahan, dalam karyanya Revolution of the Transcendence, Hasan Hanafi menegaskan wujud dualisme dalam Islam sebagai suatu keimanan yang radikal:

            Kontras dengan gagasan umum bahwa Islam secara etimologis berarti berserah diri atau perhambaan, […] Islam adalah suatu protes, suatu oposisi dan revolusi. Istilah ‘aslama’, faktanya, adalah ambigu. Artinya, berserah diri pada Allah, tidak tunduk pada kekuasaan lain. Ini menunjukkan dua aksi: pertama, suatu penolakan untuk berserah pada semua kekuatan non-transendental; dan kedua, penerimaan atas kekuasaan transendental. Dua aksi ini diekspresikan di lafaz ‘saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah’. ( Hanafi 2011)

Bagi Hasan Hanafi, dualisme makna dari “berserah diri” dan “perlawanan” adalah satu kesatuan; ontologi dari karakter progresif Islam itu sendiri. Hasan Hanafi menggunakan istilah “transenden” untuk mendekatkan konsep tentang Tuhan untuk operasionalisasi argumennya tentang aspek “perlawanan” dari Islam, yaitu suatu bentuk laku aktif pada manusia untuk menentukan dan mengubah realitas eksternal dalam kehidupannya. Realitas eksternal adalah objektif, dan karenanya, material. Agensi manusia, perannya sebagai khalifah, tidaklah untuk mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan melainkan untuk beribadah kepada Allah SWT dan mencipta kemakmuran dan keadilan bersama umat manusia.  Peran khalifah ini juga meliputi bagaimana menciptakan suatu politik kepemilikan (a political belonging) yang menghidupkan masyarakat dan menjadikan tanah – yaitu karunia dari alam – sebagai sumber kemakmuran bersama.

Namun, manusia kerap terjerumus dalam penyalahgunaan agensi ini. Dalam gerak laju sejarah, manusia perlahan membangun sistem dan struktur dengan mekanisme internal yang destruktif, atau bahasa lazimnya, zalim, dan istilah operasionalnya: menindas. Menurut Hasan Hanafi, kepemilikan pribadi adalah salah satu penyebab ketidakadilan, dan ikatan manusia terhadap prinsip transendensi tersebut akan membentengi manusia dari mengakumulasi kepemilikan pribadi karena menyadari bahwa semua yang dimilikinya adalah titipan yang harus dipertanggungjawabkan dan amanat yang harus dipelihara.

هَٰذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ (٣٢)

“Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya).” (50:32)

Lukisan tentang Nabi Muhammad SAW (disimbolkan sebagai cahaya api yang menunggang unta) memasuki Kota Mekkah dan menghancurkan berhala-berhala. Ditemukan di Hamla-i Haydari, karya MIirza Muhammd Rafi’ Bazil (1808). sumber: commons.wikimedia.org

Surga telah dijanjikan kepada setiap orang yang awwab dan hafiz. Awwab mengacu pada orang yang kembali kepada Allah atau secara spesifik, siapa saja yang berbalik kepada-Nya dalam dosa pertobatan. Sayyidna ‘Abdullah Ibn Masud RA dan Sha’bi dan Mujahid RH mengatakan bahwa Awwab mengacu pada seseorang yang mengingat dosa-dosanya dalam kesendirian, pribadi dan rahasia, dan mencari pengampunan Allah. ‘Ubaid Ibn ‘Umair berkata bahwa Awwab adalah orang yang mencari pengampunan Allah dari dosa-dosanya di setiap duduk. Hafiz menurut ‘Abdullah Ibn ‘Abbas RA, adalah orang yang mengingat dosa-dosanya, agar ia kembali kepada Allah dalam taubat dan bertaubat. Riwayat lain darinya mendefinisikan sebagai orang yang mengingat perjanjiannya dengan Allah, dan tidak melanggar atau mengkhianatinya.

مَّنْ خَشِىَ ٱلرَّحْمَٰنَ بِٱلْغَيْبِ وَجَآءَ بِقَلْبٍ مُّنِيبٍ (٣٣)

“(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat,” (50:33)

Abu Bakr Warraq mengatakan bahwa karakter dari “munib” adalah ia selalu menjaga rasa hormatnya pada Allah dan merendahkan diri pada-Nya dan mengesampingkan hasrat pribadinya. Selain bertobat secara tulus, kendali hasrat pribadi manusia di dalam kehidupan sosial menjadi penting sebagai rem spiritual dalam mengakumulasi harta, mengeksploitasi diri, mengeksploitasi pihak atau kaum lain, dan merusak alam. Revolusi transenden yang dimaksud Hasan Hanafi (2011) juga menunjukkan aspek revolusioner dari konsep ketauhidan Islam yang  mewujud pada dimensi masyarakat egaliter sebagai inti dari semangat solidaritas umat Islam. Egalitarian ini harus melampaui partisan, fanatisme, dan memberhalakan pemimpin bangsa–meski mereka dari kaum Muslim.

Egalitarianisme semacam ini, misalnya, ditunjukkan oleh Hasan al-Basri yang berani mengambil sikap di hadapan khalifah Yazid bin Abdul Malik yang berkuasa tahun 720-724 M.   Suatu hari, di tengah keberadaan khalifah Yazid bin Abdul Malik, Hasan al-Basri ditanya pendapatnya tentang dua pemberontak, Yazid bin al-Muhallab dan Ibnu al-Ash’ath. Ia lantas menjawab, “Jangan menjadi partisan dari kedua faksi itu.” Ia ditanya lagi, “bahkan tidak kepada Amirul Mukminin [Khalifah Yazid]?” Hasan al-Basri membalas dengan marah, “Ya, bahkan tidak kepada Amirul Mukminin!” . Sikap tanpa kompromi tersebut juga ia utarakan ketika ia mengkritik Hajjaj bin Yusuf, seorang gubernur daerah Hijaz yang zalim di bawah khalifah Abdul Malik dan memicu kaum Muslim melancarkan pemberontakan terhadapnya. Kezaliman Hajjaj bin Yusuf memakan lebih dari seratus ribu nyawa kaum Muslim selama periode pemberontakan, dengan 50,000 orang ditemukan tewas membusuk di penjara dan Hasan al-Basri tak gentar untuk mengatakan kebenaran dan keadilan dihadapannya (Nadwi 1976). 

Semangat egaliter umat Islam dengan menyatakan bahwa penguasa dan elit masyarakat tidak boleh dihormati secara berlebihan juga diimbangi oleh aspek spiritual pertobatan. Egalitarianisme berdasarkan prinsip tauhid berarti menyadari bahwa derajat manusia hanya ditentukan oleh ketakwaannya kepada Allah SWT. Proses ini membutuhkan hati yang merendah dan berjalan kembali kepada-Nya. Dikisahkan seseorang yang pernah menzalimi dan memfitnah Imam Hanbali kemudian bertaubat serta datang kepadanya untuk meminta maaf. Imam Hanbali menjawab bahwa ia telah memaafkannya bahkan sebelum sang pelaku meninggalkan tempat dimana insiden kezaliman itu terjadi. Setelah menjalani siksaan rezim akibat prinsip Imam Hanbali terkait keabadian al-Qur’an, ia telah memaafkan semua yang terlibat dalam proses penyiksaan terhadapnya, termasuk sang khalifah yang memerintahkan persekusi atas dirinya. Imam Hanbali meneguhkan prinsip maaf dan kelapangan hatinya dengan kalimat, “Apa untungnya jika seorang Muslim diseret ke neraka karena dirinya?” (ibid.).

Para pendahulu seperti Umar bin Abdul Aziz, Hasan al-Basri, dan Imam Hanbali adalah contoh penguasa dan ulama yang memiliki hati dan menggunakannya sepenuh kesadaran, hadir, sebagai saksi (syahid) untuk membela satu kebenaran dan menjadi gerbang penjaga bagi perpecahan dan kezaliman umat. Kini umat berhadapan dengan maraknya kehadiran gerakan yang kehilangan akar, menolak adanya kebenaran tunggal, demi kebenaran yang subjektif dan jamak mengisi langgam diskursus dan aktivisme publik. Untuk sesaat semua itu tampak seperti ruang demokratis yang agung. Islam menjunjung jihad melawan penindasan, tapi sebagai bagian dari membela kebenaran, bukan pluralisme kebenaran. Jihad spiritual dan jihad material terangkum dalam pandangan Hasan Hanafi tentang masyarakat egalitarian dan tugas sejati kaum ulama:

Masyarakat egaliter adalah masyarakat tanpa kelas. Masyarakat tanpa si kaya dan si miskin, tanpa kekenyangan dan kelaparan. Lapar adalah hal mendasar dalam hidup, dan bukan insiden. […] Kerja adalah satu-satunya sumber nilai. Kerja berarti usaha, energi dan keringat. Tidak boleh ada nilai lebih [surplus value]. Ini kenapa riba dilarang, karena riba adalah menerima untung tanpa usaha. […] Ulama adalah pengawal sejati. Mereka pendidik rakyat dan nurani penguasa. Mereka bisa menegur para tiran dan memobilisasi massa. Kata-kata mereka ditunjukkan oleh amal mereka. Pemikiran mereka sesuai dengan perasaan mereka. (Hanafi 2011: 35, 40).

Penutup

Pluralisme kebenaran memberi legitimasi pada politeisme sekuler dengan menyatakan bahwa “kebenaran sejati” itu mutlak, tetapi kita harus “toleran” pada orang lain maupun sistem atau struktur yang hegemonik. Gagasan-gagasan mereka kerap atas nama demokrasi, yang tentu saja, selalu bisa dimaknai apapun asal itu diklaim sebagai “suara massa”, “suara mayoritas”, ataupun “suara beragam kelompok”. Konon katanya, kebenaran sejati hanya milik Tuhan dan bukan hak kita untuk merasa paling tahu apa itu kebenaran sejati. Sekularisme menuntut kita untuk meletakkan apa yang kita yakini sebagai kebenaran menjadi bagian dari kebenaran-kebenaran lain yang akarnya ialah pemujaan berlebihan terhadap rasionalitas. Itupun jika memang benar bahwa yang dianggap “rasionalitas” adalah sungguh-sungguh hasil dari akal budi, bukan dari kesesatan hawa nafsu atau kesesatan berpikir. Kita bergelut dengan ragam perjuangan dan pembebasan yang tujuannya bukan mengandaikan pertanggungjawaban di akhirat, melainkan hanya untuk dunia. Ia selesai tepat saat napas kita berhenti serta tubuh ini terkubur.

Kita perlu merujuk pada tradisi dan ortodoksi tentang tauhid dan menarik problem ketidakamanan material dan ketidakamanan eksistensial manusia ke dalam dimensi yang progresif untuk perjuangan umat hari ini. Praktik Islam tradisional di sini bukanlah taklid buta atau romantisme membangkitkan aturan-aturan baku dari Islam abad pertengahan yang anakronistik ke era modern, melainkan suatu sikap “kembali pada sikap epistemologi-akar yang dihormati sepanjang zaman, usul, dan penggunaan kebijaksanaan kumulatif abad Muslim dalam semua jangkauannya (mazhab, tasawuf, kalam, dan lainnya) untuk memperluas narasi yang berkelanjutan, tradisi keumatan, di sini mencoba untuk menyusun teori kepemilikan Islam yang tidak kenal kompromi…” (Murad 2020:3). Aspek progresif di sini dapat merujuk pada aspek revolusioner dalam pemahaman kita tentang dimensi metafisik sebagaimana ulasan Hasan Hanafi hingga Ali Syariati.

Penindasan semakin merajalela. Akan tetapi, manusia justru disibukkan dengan berjuang mengikuti keinginan pribadinya dan membungkukkan badan di hadapan kelas berkuasa, alih-alih berjuang untuk membasmi kemiskinan dan eksploitasi yang lebih mendasar. Perjuangan ini bukanlah pesta atau parade hura-hura. Ia membutuhkan disiplin, pembersihan jiwa secara terus menerus, pembelajaran yang keras, dan pengorganisasian kolektif yang tekun. Oleh karenanya tidak ada jalan mudah, apalagi jalan pintas untuk mencapainya. 

***

*Penulis berterima kasih pada Ayu Rikza atas masukan dan diskusinya.

**Bagian pertama tulisan ini bisa dibaca di tautan berikut

Referensi

Asad, Talal. Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modernity. Stanford University Press, 2003.

El-Tobgui, Carl Sharif. Ibn Taymiyya on Reason and Revelation: A Study of Dar’ ta’arud al-’aql wa-l-naql. Brill, 2020.

Hanafi, Hasan. “The Revolution of The Transcendence”, Kanz Philosophia, Volume 1, No. 2, Augustus-Desember 2011.

Horgan, John. “Pluralism: Beyond the One and Only Truth”. Scientificamerican.com. September 9, 2019. Link: https://blogs.scientificamerican.com/cross-check/pluralism-beyond-the-one-and-only-truth/ 

Hisyam, Ibnu. Sirah Nabawiyah JIlid 1. Darul Falah, 2019.

al-Husayni, Abdulllah Sirajuddin. Tafsir of Sura Qaf. Wasila Press, 2020.

Katsir, Ibnu. Tafsir Al-Qur’an Jilid 7. Pustaka Imam Asy-Syafii, 2006.

Khan, Maulana Wahiduddin. Tazkirul Quran.

Luk, Johnny. “Why ‘woke’ became toxic”. AlJazeera.com. June 24, 2001. Link: https://www.aljazeera.com/opinions/2021/6/24/what-is-woke-culture-and-why-has-it-become-so-toxic 

Malik, Faizan. “Differences in Approaching History Between Reform Oriented and Traditionalist Muslims”, Traversingtradition.com. 10 Mei 2022. Link: https://traversingtradition.com/2022/05/10/differences-in-approaching-history-between-reform-oriented-and-traditionalist-muslims/

Maududi, Sayyid Abul Ala. Tahfim al-Qur’an.

Misbach, H.M. Haji Misbach Sang Propagandis: Aksi Propaganda di Surat Kabar Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Kendi & Octopus, 2016.

Murad, Abdal Hakim. Travelling Home: Essays on Islam in Europe. Quilliam Press, 2020.

Nadwi, Abul Hasan Ali. Saviours of Islamic Spirit Volume 1. Academy of Islamic Research and Publications: 1976.

Nasr, Syed Hussein. The Study Quran: A New Translation and Commentary. HarperOne, 2015.

Pew Research Center, “Why do levels of religious observance vary by age and country?”. Pewresearch.org. June 13, 2018. Link: https://www.pewresearch.org/religion/2018/06/13/why-do-levels-of-religious-observance-vary-by-age-and-country/

Qutb, Sayyid. Fi Zhilalil Qur’an. Gema Insani Press, 2000.

Rodgers, Jordan. “A Modern Polytheism? Nietzsche and James”, Journal of Speculative Philosophy, Vol. 34, No.1, 2020.

Shafi, M.M. Muhammad. Ma’ariful Qur’an: A Comprehensive commentary on the Holy Quran Vol.8. Maktaba-e-Darul-’Uloom, 2004.

Shah, Anup. “Consumption and Consumerism”. Globalissues.org. January 5, 2014. Link: https://www.globalissues.org/issue/235/consumption-and-consumerism

Shariati, Ali. On the Plight of the Oppressed People. Link: https://www.al-islam.org/articles/plight-oppressed-people-ali-shariati

Syafi’i, Imam. Tafsir Al-Qur’an Jilid 3. Almahira, 2007.

Usmani, Mohammad Taqi. An Approach to the Qur’anic Sciences. Darul Isha’at, 2007.

Von Denffer, Ahmad. ‘Ulum al-Qur’an: An Introduction to the Sciences of the Qur’an. The Islamic Foundation, 2011.

Tamir, Christine, Aidan Connaughton dan Ariana Monique Salazar. “The Global God Divide”. Pewresearch.org. July 20, 2020. Link: https://www.pewresearch.org/global/2020/07/20/the-global-god-divide/

Related Posts

Comments 3

  1. usman hidayat says:

    Sangat menambah wawasan. Serius ini bkn semacam komen2 netijen. soal otoritas tubuh, soal pemberdayaan mustadhafin yg bkn sekedar pencahariannya, juga soal dualisme etimologis islam yg bkn cuma menyangkal tp melawan kekuasaan non transenden. cuman contoh egaliter kurang cocok kalo umar raja, meski raja yg saleh tetap tdk egalite. umar rasyidun yg dihunus pedang pembaiatnya jika khianat, manggul gandum sendiri utk si miskin dan kekagetan utusan raja akan “istananya” lbh mendekati egaliter nya baginda Nabi.

  2. usman hidayat says:

    Monoteisme sakral dan kebenaran yang maha tunggal
    Menarik untuk mencermati tiga tesis yang ditawarkan tulisan ini : pemujaan individualisme, pemujaan akumulasi kekayaan dan pemujaan thd idea. Dua yang awal sebetulnya bisa direduksi ke tesis yg ke tiga : idea. Untuk itu menarik membaca Martin S tentang Materialisme dan Ketuhanan yang Maha Esa yang mentesiskan Tuhan materialis dan antitesisnya dari M. Ridha Tuhan Sebagai Eksepsi. Dalam Martin, Tuhan ada secara metafisika sejau ia merupakan entitas yg dapat dikatakan ada oleh ontologi matematika. Sedang dalam M. Ridha, Tuhan ditarik ke realitas sebagai kekosongan ontologis yang imanen dalam realitas itu sendiri. Atau dalam Cantor apa yg disebut himpunan kosong. Sebetulnya kita bisa mensintesiskan dua tesis-antitesis ini. Dalam tataran teoritis, Tuhan adalah yang ontologis sedang iman adalah epistemologis. Dalam M Ridha, kekosongan ontologis atau himpunan kosong bukanlah Tuhan melainkan iman, sebab Tuhan tidak setara kedudukannya dengan kategori2 dalam realitas. Apabila dalam Martin, iman tidak cukup dgn mencari tau lebih dan membangun sains dan penyembahanNya juga tidak cukup dengan memikirkanNya, dalam M. Ridha, iman sudah offside karena masuk ke tataran praksis/aksiologis yang harusnya iman hanya sebatas motivasi. Motivasi menjadi penting sebagai pendorong emansipasi bagi subjek sejauh ia terlepas dari segala tendensi idealis, antirealis dan subjektivitas. Rasionalitas subjektif tidak cukup untuk menilai kebenaran. Harus ada tolak ukur yang objektif. Itulah kenapa kredo caknur yang inclusive dan plural tidak relevan sebab bertendensi idealis. Inilah sebetulnya yg hedak dilawan dalam tulisan Rizki. Iman meng-ada sebagai pengetahuan yg belum terjustifikasi kebenarannya atau iman adalah keyakinan akan kebenaran yg belum aktual. Dengan kata lain iman adalah aksioma untuk mencapai kebenaran actual dalam metapolitik Badiousian. Karena teori situasi masyarakat yang mensyaratkan suatu aksioma dapat dijelaskan ke tingkat matematika himpunan Cantor oleh Badiou, maka epistemologi iman kita memenuhi kriteria epistemologi realis Bhaskarian. Jadi iman itulah yang sebenarnya himpunan kosong atau kekosongan ontologis, atau kebenaran pra-peristiwa nya Badiou. Mengikut Rizki, kita akan mematerialkan QS. anNur 55 untuk masuk ke tataran aksiologis/praksis bahwa setelah iman ada amal salih, bahwa iman mengondisikan pengujian berupa amal salih atau amal salih membutuhkan prasyarat berupa keimanan. Meski secara etimologis salih artinya mendamaikan dua seteru, atau kontradiksi, amal salih hampir selalu merupakan perintah kolektif atas orang2 beriman. Amal salih sebagai bentuk pengabdian atau kebajikan inilah yang dalam peristiwa Badiousian merupakan kebenaran yang mengaktualisasi secara material, bahwa pra amal salih tidak ada sorga egalitarian. Maka kredo iman materialis bersintesis menjadi:
    ‘Aku percaya akan Tuhan, himpunan dunia yang mungkin dan tak mungkin;
    yang ditemukan secara logis dari rekonstruksi atas sifat semesta fisik;
    yang mewujud-nyata sebagai hukum fisika
    dan tampil sebagai tendensi gerak sejarah sosial
    yang mengajarkan pengetahuan tentang kebenaran objektif
    yang ajaranNya diimani sebagai kekosongan ontologi materialis
    yang disembah dengan mengaktualisasikan ajaranNya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.