Apakah Kaudengar Nyanyian Kaum Buruh?

764
VIEWS

Do you hear the people sing?

Singing the song of angry men?

It is the music of the people

Who will not be slaves again!

Les Miserables

Saya tidak bisa tidak terpukau oleh arak-arakan massa kaum buruh. Di mana pun kaum buruh berbaris, berarak-arakan, membawa panji-panji serikatnya dan meneriakkan slogan-slogan, maka di situ saya akan selalu tergugah dan merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari arak-arakan itu.

Kadang saya tidak terlalu ambil pusing apakah arak-arakan kaum buruh itu dimobilisasi oleh organisasi buruh berhaluan radikal atau konservatif. Mereka semua, sebagaimana saya, adalah bagian dari kelas pekerja yang sehari-hari dipelintir, dipaksa melentur-patuh oleh jerat-kuasa modal. Setiap sendi-sendi tubuh kaum buruh, hingga ruas-ruas jemarinya, hingga setiap tarikan otot di wajahnya, semuanya terbiasa untuk dipelintir, serba diatur dan dikondisikan oleh jerat-kuasa modal. Arak-arakan massa kaum buruh bagi saya adalah suatu pertunjukan tentang cita-cita dan harapan pembebasan dari dalam tubuh yang telah terbiasa dipelintir dan dipaksa melentur-patuh itu. Dari dalam arak-arakan itulah para buruh menyuarakan tuntutan yang barangkali sama sekali berseberangan dengan kepentingan para majikan. Selama yang dituntut adalah perbaikan kesejahteraan dan kesetaraan, maka itu sudah cukup bagi saya sebagai suatu awalan.

Pada 1 Mei kemarin, saya kembali dihinggapi perasaan terpukau dan tergugah—sebagaimana pada tiap 1 Mei yang sebelumnya. Saya baru bisa bergabung dalam iring-iringan massa di bilangan Thamrin dekat Patung Kuda menjelang siang. Suasana jelang pemilu mulai terasa pada 1 Mei tahun ini. Sebagian massa menggunakan kaus dan atribut Partai Buruh berwarna oranye, beberapa mobil komando juga mengibarkan bendera Partai Buruh. Namun tampak juga beberapa yang menunjukkan antipati terhadap Partai Buruh. Sebuah banner “Gerakan Buruh Bukan Partai Buruh” dibentangkan dalam iring-iringan sebuah konfederasi serikat. Sementara dari iring-ringan konfederasi lainnya seorang demonstran menggunakan kaus bertuliskan: Gue Golput! Masalah Buat Lu?!

Perhatian saya pada fragmentasi politik yang mulai mengemuka itu kemudian teralihkan oleh kedatangan massa aksi dari GEBRAK, aliansi serikat-serikat sayap kiri. Barisan terdepan dari arak-arakan tersebut membentangkan spanduk-spanduk yang menuntut pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja. “Buruh Bukan Tumbal Resesi”, begitu bunyi salah satu spanduk. “Rapatkan barisan! Mari kita nyanyikan bersama! Sebab di hadapan kita telah nampak gedung-gedung pimpinan kapitalisme dan oligarki!” seru orator dari atas mobil komando. Sambil menyanyikan Lagu Buruh Tani, arak-arakan massa aksi GEBRAK berjalan menuju Istana Negara.

Buruh, tani, mahasiswa, rakyat miskin kota

Bersatu-padu rebut demokrasi

Gegap-gempita dalam satu suara

Demi tugas suci yang mulia…

Hari-hari esok adalah milik kita…

***

1 Mei kemarin merupakan pertama kali saya kembali menghadiri arak-arakan Hari Buruh di Jalan Thamrin menuju Istana Negara setelah tiga tahun diinterupsi pandemi. Pada 1 Mei 2019, perayaan Hari Buruh terakhir sebelum pandemi menghantam, saya bertemu dua orang jurnalis dari Tiongkok mengikuti arak-arakan di Jalan Thamrin. Saya mengobrol dengan keduanya cukup lama dan bertukar akun media sosial. Salah seorang dari mereka di media sosialnya mengunggah video para buruh dari serikat-serikat kiri menyanyikan lagu Internasionale, dengan caption bernada guyon: sekarang kita tahu orang-orang di gerakan kiri Indonesia kurang mahir dalam hal tarik suara.

Dalam urusan lagu dan nyanyian, gerakan kiri Indonesia memang bisa dibilang bapuk dan kurang berkembang. Lagu protes yang paling sering dinyanyikan masih merujuk pada lagu-lagu PRD dari era perlawanan terhadap rezim Orde Baru Suharto. Lagu Buruh Tani yang dinyanyikan massa GEBRAK misalnya, merupakan lagu lawas gubahan aktivis PRD Safi’i Kemamang pada 1996 yang kemudian dipopulerkan kembali oleh Band Marjinal. Lagu Darah Juang yang lebih khidmat dan sering dinyanyikan dalam demonstrasi mahasiswa malah lebih lawas lagi. Lagu tersebut dikarang John Tobing ketika aktif di PRD pada 1991. Selain Buruh Tani dan Darah Juang, terdapat pula lagu-lagu demonstrasi dengan lirik sederhana yang kurang jelas asal-usulnya seperti lagu Bergerak dan Bersatu dan lagu Buruh Ditindas. Kemungkinan dua lagu ini dibuat secara spontan dalam suatu demonstrasi lantaran terdapat kemiripan nada dengan lagu anak-anak.

Massa buruh menyanyikan lagu Buruh Tani dalam pawai Hari Buruh 2023. Kredit video: Azhar Irfansyah

Saya bukan pakar musik atau pengamat lagu protes, jadi ini sekadar pengamatan awam saja. Tapi jika kita menyimak lagu-lagu yang dinyanyikan dalam berbagai demonstrasi, seolah setelah reformasi dinamika lagu-lagu protes membeku begitu saja. Walaupun sebenarnya tidak adil juga kalau disebut tidak ada dinamika atau geliat sama sekali.

Terdapat sederet band dan artis yang menyanyikan lagu-lagu berlirik-nada tajam bagi telinga penguasa. Marjinal yang beraliran punk sempat populer pada 2005 hingga 2017. Selain mempopulerkan kembali Lagu Buruh Tani dan Darah Juang, Marjinal juga menciptakan lagunya sendiri seperti Negeri Ngeri dan Mafia Hukum. Reputasi Marjinal sebagai band perlawanan hacur-lebur setelah pada 2018 beredar foto Mike Marjinal bersalaman dengan mantan Panglima TNI Moeldoko. Band-band lain dari Teknoshit hingga Efek Rumah Kaca juga menyanyikan lagu-lagu sarat kritik, namun lagu-lagu mereka tak pernah pernah benar-benar populer di kalangan massa demonstran. Begitu pula musikalisasi puisi Widji Thukul yang dibawakan Fajar Merah yang sempat populer di kalangan gerakan Puisi-puisi Widji Thukul cukup populer, namun tetap lagu-lagu musikalisasinya tak diadopsi menjadi lagu protes di jalanan.

Dari Thamrin saya dan beberapa kawan kemudian berpindah ke Istora Senayan, bergabung bersama massa Partai Buruh yang menggelar Mayday Fiesta di sana. Dalam Mayday Fiesta itulah saya dibuat terhenyak oleh nyanyian para buruh yang membuat perasaan saya menjadi campur-aduk.

Baca Juga:

Sesampainya di Istora Senayan, kondisi di dalam gedung berkapasitas kurang-lebih 10.000 orang itu telah padat oleh para buruh dari berbagai daerah Jabodetabek dan sekitarnya. Jika dibandingkan dengan Mayday Fiesta jelang Pemilu 2014 yang digelar KSPI di Stadion Gelora Bung Karno, tampak kapasitas mobilisasi buruh sudah jauh menurun. Meskipun terdapat pula kemungkinan banyak buruh belum kembali dari mudik di kampung halaman. Kebanyakan massa buruh pada Mayday Fiesta kemarin dimobilisasi oleh KSPI yang dipimpin Said Iqbal, KSPSI Andi Gani, KPBI yang merupakan unsur kiri dalam Partai, dan KSBSI sebagai perintis Partai. Terdapat pula beberapa Federasi yang tergabung dalam Partai. Jadi dapat dibilang, terdapat berbagai kecenderungan politik dari massa buruh yang dimobilisasi di Istora pada 1 Mei lalu: mulai dari konservatif, reformis, hingga sosialis.

Lagu pertama yang menyambut kami adalah modifikasi dari lagu TNI berjudul Tinggalkan Ayah Tinggalkan Ibu. “Jangan kembali pulang, sebelum kita yang menang. Walau harus mati di medan juang, demi rakyat ku rela berkorban,” begitu bunyi penggalan modifikasi lagu TNI yang paling saya ingat. Lagu yang juga diadopsi sebagai Mars Banser ini dalam pengamatan saya memang kurang populer di serikat-serikat kiri, tapi lebih populer di KSPI yang berhaluan reformis. Setelah modifikasi Tinggalkan Ayah Tinggalkan Ibu selesai dinyanyikan, para buruh kemudian dihibur penampilan live music band.

Seorang kawan di samping saya yang telah lama bergelut di sektor perburuhan kemudian mengenang dan berkomentar. “Dulu gua nggak setuju nih sama perayaan Hari Buruh kayak Mayday Fiesta gini.. Kok bukannya demo malah pesta-pesta? Tapi kalau dipikir-pikir ya buruh juga berhak joget,” ujar kawan tersebut. Suara kawan saya itu timbul tenggelam ditelan hingar-bingar lagu Jika Kami Bersama yang sedang dibawakan band di panggung. Sementara para buruh yang memadati tribun dan berkumpul di arena tengah Istora melonjak-lonjak antusias. Jika diamati, banyak dari massa buruh memang dalam usia baru lulus SMK dan langsung didisiplinkan dalam pabrik. Banyak muda-mudi seusia mereka rajin pergi ke konser musisi lokal hingga internasional. Di sela hari-hari suram di pabrik dan tekanan lembur wajib, mereka juga tentunya ingin merasakan berjingkrak dalam konser untuk melepas kepenatan.

Seusai membawakan lagu Jika Kami Bersama, band di panggung kemudian membawakan lagu Separuh nafas yang dipopulerkan Dewa. Saat lagu itu baru memasuki intro, khalayak buruh sudah bersorak kegirangan. Seisi Istora kemudian menyanyi bersama, bendera-bendera serikat dikibarkan. Beberapa yang berada di arena tengah menari dalam lingkaran-lingkaran kecil. Suasana begitu semarak hingga lagu itu benar-benar selesai dibawakan.

Peserta Mayday Fiesta menyanyikan lagu Separuh Nafas milik grup musik Dewa 19. Kredit video: Azhar Irfansyah.

Said Iqbal dan jajaran pimpinan Partai Buruh kemudian maju ke panggung dengan iringan lagu Halo-Halo Bandung. Setelah Iqbal selesai berorasi, muncul ajakan menyanyikan lagu Internasionale dari panggung. “Nah gitu dong! Berani nyanyi Internasionale!” seru seorang kawan yang duduk tepat di depan saya. Saya kemudian dengan antusias berdiri dan mengepalkan tangan kiri. Saya berdebar membayangkan khidmatnya Internasionale yang dinyanyikan ribuan buruh! Tapi kemudian saya harus menanggung kecewa. Internasionale ternyata hanya dinyanyikan tidak sampai sepersepuluh dari khalayak yang sebelumnya ikut menyanyi dalam lagu Separuh Nafas. Sisanya hanya bergumam karena tidak bisa mengikuti liriknya, atau malah terdiam sama sekali. Suasana tidak terlalu semarak dan massa buruh tampak kurang antusias. Sebagian besar massa buruh di Istora saat itu tidak ikut menyanyikan Internasionale barangkali bukan lantaran takut dicap komunis, melainkan karena memang tidak familiar dengan lirik dan nadanya.

Setelah Internasionale yang mengecewakan itu, saya jadi merenungi lebar-curamnya kesenjangan antara cara pandang intelektual dan pegiat gerakan dengan suara dari basis akar rumput. Seringkali, intelektual dan pegiat gerakan yang mengenyam pendidikan tinggi (mungkin saya termasuk dalam golongan ini) mengasumsikan aspirasi dan suara dari basis akar rumput secara romantik. Seolah kerentanan dan penderitaan berlapis-lapis yang dialami massa buruh, petani, nelayan, dan kaum miskin kota secara otomatis menanamkan pula sikap radikal dan keberanian revolusioner. Jika asumsi ini benar, massa akar rumput seharusnya sudah bergolak sejak dulu dan kita sudah terbebas dari cengkeraman kekuasaann dan kecurangan oligarki modal. Kenyataannya, kecenderungan feodal, patriarkis, pandangan cupet, hingga sikap kontra-revolusioner dapat dengan mudah kita jumpai bahkan di basis akar rumput organisasi kiri sekalipun. Terkadang, misalnya, berbaur dengan basis artinya mengamalkan setidaknya selemah-lemahnya iman (yaitu dengan tidak ikut tertawa) di hadapan guyonan yang merendahkan perempuan.

Seringkali justru dari basis akar rumput yang paling tertindas itu pula mengalir dukungan terhadap oligarki modal. Jika reaksi intelektual dan pegiat pergerakan langsung memunggungi basis akar rumput yang telah dimanipulasi sedemikian rupa dalam hubungan kekuasaan, niscaya kita akan selalu terjepit dan gagal dalam membangun kekuatan. Maka di sini menjadi penting bagi intelektual dan pegiat pergerakan untuk tidak hanya berkumpul dan berkegiatan dengan lingkar kawan-kawannya sendiri yang sudah sepemahaman. Tanpa agenda-agenda yang mendorong pembauran intelektual dan pegiat pergerakan dengan basis massa yang aspirasi dan perspektifnya beraneka ragam, maka gerakan kiri akan selalu gagal memahami suara basis akar rumput.

Lebar-curamnya kesenjangan antara cara pandang intelektual dan pegiat gerakan dengan suara basis akar rumput juga seringkali ditingkahi oleh ekspektasi sepihak tentang bagaimana seharusnya sikap radikal dan keberanian revolusioner itu. Perasaan kecewa saya ketika massa buruh tidak menyanyikan Internasionale adalah contoh kasus dari kesenjangan akibat ekspektasi sepihak ini. Dengar bekal teori-teori revolusioner, intelektual dan pegiat gerakan yang optimistik kemudian berekspektasi terlalu tinggi terhadap massa basis akar rumput tentang bagaimana bersikap radikal dan revolusioner. Akibatnya, bukannya membangun sikap radikal dan keberanian revolusioner secara bersama-sama, intelektual dan pegiat gerakan kerap justru terjebak dalam prioritas absurd—di mana menjaga “kemurnian sikap radikal” menjadi prioritas utama dan upaya membangun kekuatan basis akar rumput untuk meraih kemenangan akhirnya ditinggalkan sama sekali.

Intelektual dan pegiat gerakan harus mampu, pertama-tama, menerima basis akar rumput sebagaimana adanya tanpa ekspektasi berlebihan. Bahwa para petani dan kaum miskin kota tidak secara otomatis bersolidaritas dengan sesamanya ketika terancam perampasan ruang hidup, atau basis massa buruh masih banyak yang bersikap feodal dan bersedia mendukung rezim yang telah mencurangi mereka, itu semua kenyataan sosial-politik yang harus kita hadapi. Untuk mendorong agenda-agenda yang lebih radikal dan revolusioner, intelektual dan pegiat pergerakan harus mampu menjadi pendengar yang baik bagi suara dan nyanyian dari basis akar rumput. Betapa pun seringkali nyanyian itu bukan nyanyian kemarahan yang revolusioner seperti Internasionale, melainkan nyanyian lagu-lagu putus cinta seperti Separuh Nafas.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.