“Di ambang pintu kiamat,” begitulah peringatan yang dikeluarkan oleh Bulletin of the Atomic Scientists (BOAS) di awal tahun 2022 lalu. Perubahan iklim, dampak pandemi Covid-19 dan ancaman perang nuklir telah membuat mereka merancang ‘Jam Kiamat’ (Doomsday Clock). Tujuannya adalah untuk menggugah kesadaran publik terutama para pemimpin dunia akan dekatnya manusia pada kehancuran bumi akibat teknologi yang kita ciptakan sendiri. Meskipun Jam Kiamat ini adalah suatu metafora, keresahan tersebut merupakan seruan kepada pengambil keputusan di tingkat global untuk segera mencari solusi radikal menyelamatkan nasib kehidupan umat manusia.
Tahun lalu, terlepas dari upaya yang patut dipuji oleh beberapa pemimpin dan publik, tren negatif dalam senjata nuklir dan biologi, perubahan iklim, dan berbagai teknologi yang mengganggu—semuanya diperburuk oleh ekosistem informasi yang korup yang menghambat pengambilan keputusan yang rasional—membuat dunia tetap sepelemparan batu menuju kiamat. Para pemimpin global dan publik tidak bergerak dengan kecepatan atau kesatuan yang mendekati langkah yang diperlukan untuk mencegah bencana.
(BOAS, 20 Januari 2022)
Apa yang bisa dikatakan dari ragam fenomena itu di tahun 2023? Rasionalitas dan sekulerisme semata terbukti gagal sebagai basis epistemologi kolektif menyelamatkan bumi. Para kapitalis global – mungkin semakin ingin mempertahankan kenikmatan duniawi sebelum ‘kiamat’ – mengira mereka takkan terdampak oleh azab sehingga terus mengabaikan kaum miskin (The Economist, 1 November 2022). Dimensi metafisik hanya dianggap sebagai pelipur lara di garis marjin atau ekspresi kaum kalah terhadap persoalan duniawi. Data dari survei global oleh Pew Research tahun 2020 menunjukkan dari 34 negara di enam benua hanya sekitar 45% responden yang mengatakan percaya kepada Tuhan diperlukan untuk bermoral dan memiliki nilai-nilai yang baik. Data yang menonjol justru datang dari Indonesia dan Filipina, dengan penduduk yang paling banyak percaya pada Tuhan dan korelasinya dengan nilai moral. Hampir semua orang yang disurvei di Indonesia – mayoritas Muslim – dan Filipina – mayoritas Katolik – masing-masing 96% percaya kepada Tuhan dan korelasinya dengan memiliki nilai-nilai yang baik.
Terkait dengan ekspresi keimanan tersebut, analisis Pew Research sebelumnya di 2018 menyimpulkan bahwa orang-orang di bagian dunia yang lebih miskin dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung lebih religius. Hal ini, menurut mereka, didorong oleh adanya ‘ketidakamanan eksistensial’ (existential insecurity) dalam kehidupan masyarakatnya. Asumsi itu menyatakan orang yang kerap menghadapi ancaman kematian dini karena kelaparan, perang atau penyakit cenderung mendorong orang kepada agama untuk harapan dan mengurangi kecemasan. Hubungan antara ketidakamanan eksistensial dengan dimensi keimanan dan eskatologis dari agama ini memang penting, tapi kesimpulan survei tersebut seolah menyatakan bahwa umat yang beriman sulit untuk berkembang di tengah masyarakat yang maju dan sejahtera karena faktor-faktor religiusitas itu sendiri. Seolah rasionalitas secara ‘alami’ menjauhkan manusia dari agama. Oleh karena itu, ada banyak hal yang harus dibedah dari pembacaan survei tersebut. Refleksi ini berargumen bahwa hal-hal terkait kemiskinan, perang dan rendahnya tingkat pendidikan adalah problem ketidakamanan material yang juga dipengaruhi oleh problem ketidakamanan eksistensial di aspek lain. Disini kita perlu memposisikan dimensi keimanan dan eskatologis ke dalam praktik beragama di dalam tatanan sistem yang lebih luas, yang punya relasi terhadap relasi sosial sekaligus kondisi kesadaran individu.
Di tengah krisis iman dan alam yang melanda umat manusia, World Council of Churches (WCC) merespon momentum COP27 di Mesir pada bulan November lalu dengan merilis pernyataan pers yang ditandatangani oleh sekitar 50 perwakilan pemuka agama Kristen. Pernyataan mereka secara tegas dan tanpa basa-basi turut merepresentasikan kelompok Selatan global dan menyerukan negara-negara kaya untuk membatalkan utang, menyediakan keuangan baru yang memadai dan memfasilitasi kerugian dan kerusakan (Loss and Damage/L&D) dimana pembiayaan harus berbasis hibah, bukan sebagai pinjaman seperti yang lazim dilakukan oleh lembaga internasional. Mereka juga menuntut agar kebijakan pendanaan tersebut harus memiliki lensa interseksional dengan perhatian terhadap pengetahuan adat dan hak asasi manusia, serta memposisikan kaum perempuan sebagai agensi garda depan bagi solusi permasalahan iklim. Pernyataan progresif seperti ini memberi harapan bahwa tokoh agama dapat berbaris bersama untuk isu lingkungan dengan analisis kritis menggunakan pengetahuan aktual tentang bagaimana neoliberalisme bekerja. Kesadaran kritis dan keberanian kolektif seperti yang ditunjukkan oleh WCC bisa menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh Muslim di tingkat dunia untuk merapatkan barisan dan mengambil posisi keberpihakan yang tegas terkait problem riil umat manusia.
Ketika kapitalisme masih berjaya mengeksploitasi jutaan manusia, mencipta masyarakat berkelas dengan jurang yang semakin dalam antara si kaya dan kaum miskin di tingkat global, serta mempercepat kerusakan lingkungan hidup, manusia mulai mengalami disorientasi dan krisis eksistensial. Tanpa jangkar dan kompas ilahiyah, manusia terdampar di samudera posmodernisme, masing-masing memuja keunikan dan ekspresi diri, menuntut validasi dan berujung pada kebingungan kolektif. Kondisi inilah yang menjadi titik tekan dari tulisan ini, yang hendak mengunjungi kembali salah satu surah dalam al-Qur’an, yaitu Qaf. Inti pesan tauhid dan aspek eskatologis dari surah ini penting sebagai pengingat akan kondisi kebingungan dan kacau balau umat yang tercerai berai di berbagai pemikiran, aksi, gerakan dan fragmentasi kelompok di tengah krisis global dan imaji hari kiamat. Surah Qaf diturunkan sebagai peringatan bagi kaum yang ngeyel, nyinyir dan arogan untuk menerima kebenaran. Ayat-ayat dalam surah ini menunjukkan argumen rasional dalam wahyu, suatu undangan untuk mempelajari siklus alam sebagai bukti kekuasaan Allah SWT. Di akhir Bagian Dua nanti, artikel ini hendak menengok gagasan revolusi transenden Hasan Hanafi dan egalitarianisme Ali Syariati untuk merespon seruan soal solusi radikal menyelamatkan dunia.
Metodologi
Artikel ini memberi refleksi terhadap Surah Qaf dalam artian hendak menggali inspirasi dari ayat-ayat yang terkandung di dalamnya secara tematis dari berbagai penafsir klasik dan modern dan dijahit dengan analisis material dan spiritual. Tujuannya adalah sebagai pijakan dan analogi untuk merespon berbagai persoalan yang telah disampaikan di latar belakang sebelumnya. Pengetahuan dan analisis terhadap problem kapitalisme, politik identitas, liberalisme, sekulerisme dan posmodernisme seolah muncul sebagai fenomena yang murni ‘modern’ sehingga tampak jauh dari konteks kehidupan masyarakat Arab jahiliyah disaat Surah Qaf ini turun di Mekkah. Namun, justru kekuatan yang khas dari surat-surat Makkiyah menunjukkan pesan universal yang penuh peringatan tentang kehidupan, kematian, dan balasan di Hari Akhir yang melampaui dimensi ruang dan waktu. Tema seperti ini, terutama dengan gaya bahasa al-Qur’an yang ritmik dan menggugah, perlu diselami karena berbagai problem kontemporer yang dihadapi umat punya akar spiritual yang sama sebagaimana kaum yang direspon melalui surah-surah Makkiyah: orang-orang yang merasa benar dengan akal maupun ego sendiri, kelas penindas yang semakin lihai menjerat, ruang ‘demokrasi’ dan sosial media yang membangun budaya mengolok-olok serta melemahkan akal sehat, hingga penciptaan berbagai berhala baru hasil oplosan modernitas, sekulerisme dan kapitalisme yang membuat orang merasa inilah hidup satu-satunya yang harus dikejar, sehingga menyangkal (atau lupa) akan adanya Hari Pembalasan.
Ruang antara refleksi dan pintu kontekstualisasi mengartikan bahwa al-Qur’an tetap terbuka untuk direnungkan dan dimaknai kembali makna tersiratnya hingga Hari Akhir. Hal yang yang membuat para penafsir al-Qur’an ada di setiap era untuk memberikan pandangan mereka terhadap realitas baru di periode mereka adalah karena kedalaman al-Qur’an sebagai panduan segala masa dan epos peradaban manusia yang terus berdialektika. Akal menjadi sumber keenam dalam melakukan penafsiran atas al-Qur’an, dengan syarat penalaran tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agama dan lima sumber utama sebelumnya. Jika penalaran atas al-Qur’an dideduksi dengan mengabaikan aturan tafsir, maka akan tertolak (Usmani 2007).
Refleksi terhadap al-Qur’an menunjukkan pentingnya umat Islam mengembangkan filosofi sejarah yang kuat yang berakar pada tradisi eskatologis kita dengan mengkonseptualisasikan ide-ide linier, dialektis, idealis, materialis, dan eskatologis tentang perkembangan, kemajuan, keruntuhan sejarah manusia (Malik 2022). Pengamatan material semacam itu harus dikontekstualisasikan dalam filosofi sejarah Islam yang lebih luas, menggabungkan bersama sejarah aktual (peristiwa yang telah terjadi), filosofi sejarah kita (dengan mekanisme apa Tuhan mendorong sejarah maju secara metafisik maupun sosial), dan sejarah yang akan datang (ibid.). Refleksi ini kemudian menggunakan gagasan Hasan Hanafi dan Ali Syariati terutamanya karena kecenderungan mereka sebagai cendikia Muslim dalam melihat signifikansi kritik atas kapitalisme.
Artikel ini dibagi ke dalam dua bagian. Bagian Satu akan membahas dua hal: pertama, paparan tentang konteks diturunkannya (asbab al-nusul) beberapa ayat surah Qaf dan bentuk ketidakamanan eksistensial manusia di era kontemporer lewat politeisme sekuler dan pluralisme kebenaran. Kedua, membedah topik tentang pembelaan kaum tertindas serta praksis dari tauhid, taubat dan prinsip egaliter. Artikel ini akan bersambung ke Bagian Dua di terbitan berikutnya.
Asbab al-Nuzul Surah Qaf
Surah Qaf merupakan surat ke-50 dalam al-Quran yang terdiri dari 45 ayat. Ini adalah surah panjang yang diturunkan bertahap di Mekkah dan secara rutin dibaca oleh Nabi Muhammad SAW saat pertemuan besar serta saat shalat Idul Adha dan saat khutbah Jumat. Wahyu ini diturunkan pada tahap kedua dari kehidupan Nabi Muhammad SAW di Mekkah, yang berlangsung dari tahun ketiga kenabian sampai tahun kelima. Surah ini memiliki pesan inti terkait makna langsung dan implikasinya dari ayat-ayat yang tertuang sekaligus juga situasi historis di masa Nabi Muhammad SAW dan perkembangan masyarakat Muslim awal, termasuk beberapa ayat yang diturunkan untuk merespon kaum Yahudi dan para politeis. Menurut Sayyid Abul Ala Maududi dalam Tahfim al-Qur’an, surat ini mungkin telah diturunkan sekitar tahun kelima, ketika antagonisme orang-orang kafir telah menjadi sangat kuat tetapi belum mencapai proporsi tirani. Surah Qaf melengkapi Surah Saad sebagai surah yang memiliki keunikan karena dinamai dengan kata pertamanya yang hanya terdiri dari satu kata (Qaf dan Saad). Jika Surah Saad membahas rukun iman yang pertama, menyoal tauhid, maka Surah Qaf ini memperkuat rukun iman kedua, yaitu iman kepada Hari Akhir, terutamanya dalam membahas tentang akidah yang berpusat pada Hari Kebangkitan. Imam Syafi’i meriwayatkan bahwa Ummu Hisyam binti Haritsah bin Nu’man mendengar seringnya Nabi Muhammad SAW membaca surah Qaf ketika khutbah Jumat sehingga Ummi Hisyam hafal. Hal ini menunjukkan betapa mendalamnya pesan universal di dalam surah Qaf.
Karakteristik surah yang diturunkan di Mekkah menunjukkan masa-masa awal dakwah Islam dan periode kritis ketika kaum Muslim masih lemah. Nabi Muhammad SAW harus berhadapan dengan dominasi kaum politeis dan kafir Quraisy serta beberapa kaum Yahudi. Oleh karena itu, surah Makkiyah umumnya berupa pesan yang langsung atau konfrontatif terhadap mereka, disertai oleh gaya bahasa dan pesan-pesan akbar dengan metafora dan alegori. Surah Qaf merupakan salah satunya. Secara umum terdapat enam tema utama di dalam surah Qaf: penolakan atas Hari Kebangkitan, pengingat atas kaum terdahulu yang dibinasakan akibat menolak kebenaran, penciptaan manusia, kematian serta siksaan di hari akhir, balasan kenikmatan bagi kaum yang beriman, dan ancaman bagi mereka yang menolak Hari Kebangkitan.
بَلْ كَذَّبُوا۟ بِٱلْحَقِّ لَمَّا جَآءَهُمْ فَهُمْ فِىٓ أَمْرٍۢ مَّرِيجٍ (٥)
“Bahkan mereka telah mendustakan kebenaran ketika (kebenaran itu) datang kepada mereka, maka mereka berada dalam keadaan kacau-balau.” (Qaf:5)
Keadaan kacau balau (mariij) ini, dalam The Study Quran: A New Translation and Commentary, istilah lainnya adalah marija, yaitu sesuatu yang telah sepenuhnya tercampur baur sehingga keadaan sejatinya tidak bisa dilihat atau dipahami. Hal ini juga diartikan ketidakmampuan untuk membedakan kebenaran dengan kesalahan, sehingga keadaan kacau balau yang dimaksud menunjukkan situasi ambigu dan rentan karena mereka percaya pada berbagai hal yang berbeda-beda (Nasr 2015). Dalam tafsir Maariful Qur’an karya Maulana Mufti Mohammad Shafi, Abu Hurairah menerjemahkan kata marij sebagai “korup”, yaitu penyimpangan dan degradasi. Ad-Dahhak, Abu Qatadah, Hasan Basri dan lain-lain mengartikan kata marij berarti “dalam keadaan kacau balau”. Inilah keadaan orang-orang yang mengingkari kenabian Nabi Suci SAW: apa pun yang mereka katakan dan ucapkan tidak lebih dari kebingungan. Mereka bahkan tidak konsisten dalam klaim mereka. Kadang-kadang mereka menyebut Nabi Suci SAW sebagai tukang sihir, di lain waktu seorang penyair; namun di lain waktu, mereka menyebutnya sebagai peramal. Mereka begitu bingung sehingga mereka tidak bisa melepaskan diri dari kebingungan mereka.
Penjelasan tentang ayat ke-5 dibahas secara lebih umum dalam Tazkirul Quran oleh Maulana Wahiduddin Khan. Konteksnya tentang sejarah para nabi yang menunjukan bahwa orang-orang sezamannya belum siap menerima mereka. Dalam peristiwa kenabian Muhammad SAW, bagi para politeis dan kaum Yahudi, Nabi Muhammad SAW tampak di hadapan orang-orang sezamannya sebagai ‘seseorang seperti mereka sendiri’. Mereka merasa heran bahwa orang yang selama ini mereka anggap setara tiba-tiba menjadi lebih mulia dan mulai menasehati mereka. Di mata orang-orang yang meragukan kenabian utusan Allah, segala sesuatu tentang Nabi Muhammad SAW menjadi diragukan. Bantahan kaum politeis terhadap Hari Kebangkitan, yaitu hari dimana semua jasad yang telah terkubur di dalam tanah dibangkitkan kembali di hari kiamat untuk dimintai pertanggungjawabannya mendapat peringatan dalam Surah Qaf.
Dalam buku yang didedikasikan khusus untuk tafsir Surah Qaf, Syaikh Abdullah Sirajuddin al-Husayni (2020) menyatakan bahwa dalam kitab al-Nihaya karya Ibnu Athir, kata ‘maraj’ berarti bercampur baur dengan konteks ‘kebingungan’, ‘kontradiksi’ dan ‘kontroversi’. Artinya, tidak saja yang hak bercampur dengan yang bathil, melainkan situasi dimana umat dihadapi berbagai fitnah dan perselisihan. Dalam hadits sunan Ibnu Majah diriwayatkan,
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ، قَالاَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ حَزْمٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ قَالَ ” كَيْفَ بِكُمْ وَبِزَمَانٍ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ يُغَرْبَلُ النَّاسُ فِيهِ غَرْبَلَةً وَتَبْقَى حُثَالَةٌ مِنَ النَّاسِ قَدْ مَرِجَتْ عُهُودُهُمْ وَأَمَانَاتُهُمْ فَاخْتَلَفُوا وَكَانُوا هَكَذَا ” . وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ قَالُوا كَيْفَ بِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا كَانَ ذَلِكَ قَالَ ” تَأْخُذُونَ بِمَا تَعْرِفُونَ وَتَدَعُونَ مَا تُنْكِرُونَ وَتُقْبِلُونَ عَلَى خَاصَّتِكُمْ وَتَذَرُونَ أَمْرَ عَوَامِّكُمْ ” .
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda:
“Bagaimana keadaan di masa yang akan datang [dekat kiamat], ketika orang-orang baik akan meninggal dan hanya orang-orang terburuk yang tersisa, yang akan mengingkari janjinya dan mengkhianati amanahnya, dan mereka akan berselisih padahal sebelumnya mereka bersama seperti ini.” – dan beliau menjalin jari-jarinya. Mereka berkata: “Apa yang harus kami lakukan, wahai Rasulullah, ketika hal itu terjadi?” Beliau berkata: “Ikuti apa yang engkau tahu benar, dan tinggalkan apa yang engkau tidak sukai. Uruslah urusanmu sendiri dan jauhilah massa.”
Disini kata marajat (مَرِجَتْ) diartikan saling berkontradiksi dan berselisih, dan seiring dengan hadits-hadits lain yang serupa, Syaikh Abdullah Sirajuddin al-Husayni menyatakan kecenderungan berselisih, bercampur baur hak dan bathil dan penuh kontradiksi adalah peringatan agar manusia tidak tenggelam pada tanda-tanda fitnah zaman, yaitu sikap tamak, mengikuti hasrat pribadi, cinta dunia, dan memuja diri dan opini diri sendiri. Ini adalah fenomena yang lazim ditemui ketika era posmodernisme di media sosial, konsumerisme, dan kapitalisme mendorong individu untuk merasa berhak sepenuhnya atas apa yang dilisankan dan dipamerkan oleh mereka tanpa akuntabilitas. Kultur narsisme di media sosial – memuja diri dan opini diri bukan fenomena terpisah dari fakta bahwa teknologi komunikasi ini dikuasai oleh oligarki kapitalis dan di dalam pengawasan (surveillance) negara-negara hegemonik yang hendak mengontrol psikologi populasi. Hal ini dilakukan sembari mereka mengeruk keuntungan dan dominasi geopolitik dari massa.
Surah Qaf juga memiliki konteks sejarah terkait dengan perilaku sebagian kaum Yahudi terhadap penyampaian wahyu dan kenabian Nabi Muhammad SAW. Dalam Asbabun Nuzul, Abi Al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wahidi an-Naisaburi menunjuk bagaimana ‘kebingungan’ ini juga dilakukan secara sengaja untuk meragukan Nabi Muhammad SAW.
اليهود أتت النبي, فسألت عن خلق السموات والأرض, فقال: “خلق الله الأرض يوم الأحد والإثنين, وخلق الجبال يوم ثلاثاء, وخلق السموات يوم الاربعاء والخميس, وخلق يوم الجمعة النجوم والشمس والقمر” قال اليهود: ثم ماذا يا محمد؟ قالوا: “ثم استوى على العرش” قال: قد أصبت لو تممت ثم استراح. فغضب رسول الله غضباً شديداً, فنزلت: [سورة ق آية ٣٨-٣٩]
“Orang-orang Yahudi mendatangi Nabi Muhammad SAW dan bertanya tentang penciptaan langit dan bumi, dan beliau berkata: “Tuhan menciptakan bumi pada hari Minggu dan Senin, Dia menciptakan gunung pada hari Selasa, Dia menciptakan langit pada hari Rabu dan Kamis, dan pada hari Jumat Dia menciptakan bintang-bintang, matahari dan bulan.” Orang-orang Yahudi berkata: Kemudian apa, wahai Muhammad? Dia berkata: “Kemudian Dia naik ke Arsy.” Dia (orang Yahudi) berkata: “Saya benar jika [dikatakan] Dia telah selesai dan kemudian beristirahat.” Rasulullah menjadi sangat marah, sehingga turunlah wahyu [Surah Qaf ayat 38-39]: “Dan sungguh, Kami telah menciptakan langit dan bumi, dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, dan Kami tidak merasa letih sedikit pun. Maka bersabarlah engkau (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan…”
Kisah ini serupa dengan kemunafikan kaum Yahudi sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, ketika mereka mendakwahkan hal yang sama. Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah menuliskan kisah yang sampai padanya dari Salamah bin Salamah bin Waqqasy,
“Orang Yahudi bercerita tentang hari kiamat, hari kebangkitan, hari perhitungan, timbangan, suarga, dan neraka. Ia ceritakan itu semua kepada orang-orang musyrikin penyembah patung-patung yang tidak mempercayai kebangkitan setelah kematian. Orang-orang musyrikin berkata, ‘celaka engkau, apakah engkau berpendapat bahwa manusia setelah kematian mereka akan dibangkitkan kepada negeri yang di dalamnya terdapat surga dan neraka, kemudian mereka diberi balasan sesuai dengan amal perbuatan mereka?’ [Orang Yahudi tersebut mengiyakan]. Mereka berkata, ‘Apa tanda-tandanya?’ Orang Yahudi tersebut berkata, ‘Nabi yang diutus dari negeri-negeri ini – sambil menunjuk ke arah Makkah dan Yaman.’ Demi Allah, malam dan siang terus berjalan hingga Allah Ta’ala mengutus Muhammad SAW di tengah-tengah kami, kemudian kami beriman kepada beliau, sedang orang Yahudi tersebut ingkar kepadanya karena dengki kepada beliau. Kami berkata padanya, ‘Celaka engkau, hai Si Fulan, bukanlah engkau yang berkata ini dan itu kepada kami?’ Orang Yahudi itu menjawab, ‘Ya, betul, namun Nabi itu bukan dia.” (Ibnu Hisyam 2019:117)
Perilaku dengki dan arogan dalam menolak kebenaran tersebut mengartikan mereka yang menyangkal kebenaran setelah sebelumnya telah mendapatkan peringatan dan pengetahuan. Ini adalah kondisi yang dimaksud dengan kebingungan dan kacau balau, karena penolakan terhadap kebenaran tidak dilandasi oleh ketiadaan pengetahuan atas kebenaran, melainkan karena penyangkalan, keangkuhan dan dengki. Hal ini direpresentasikan oleh kaum musyrikin (politeis) dan kaum Yahudi di Mekkah. Kaum politeis mewakili mereka yang percaya pada Sang Pencipta atau objek pemujaan lainnya, namun menyangkal kehidupan setelah mati dan balasan surga neraka. Sementara itu, kaum Yahudi mewakili mereka yang percaya pada Sang Pencipta, kehidupan setelah mati dan balasan surga neraka, namun menyangkal kebenaran karena merasa kaum mereka lebih superior. Kedua kaum ini merasa terancam oleh kedatangan Nabi Muhammad SAW yang secara riil kemudian menggoyahkan struktur dan kelas berkuasa di jazirah Arab, secara perlahan tapi pasti memberi mereka ancaman ketidakamanan eksistensial dan material.
Politeisme sekuler dan pluralitas kebenaran
Ketidakamanan eksistensial lebih tepatnya diekspresikan lewat ‘politeisme sekuler’ dan ‘pluralitas kebenaran’. Di masa Nabi Muhammad SAW, politeis adalah para penyembah yang menggunakan berbagai patung sebagai perantara terhadap Tuhan. Selain itu, kaum Arab jahiliyah juga tidak memiliki konsep tentang Hari Kebangkitan atau hari pembalasan dalam kehidupan setelah mati. Di masa modern, politeis tidak sekadar dimaknai sebagai orang yang menyembah menggunakan perantara berhala atau beberapa representasi Tuhan atau dewa, melainkan suatu wujud spiritualitas atau keber-agama-an yang lebih ‘sekuler’. Filsuf Richard Rorty misalnya, menganggap Nietzsche dan William James sebagai seorang politeis karena pandangan pluralis mereka tentang nilai kemanusiaan. Politeis modern bisa didefinisikan sebagai mereka yang “mendorong suatu kehidupan terhadap keterbukaan dan penerimaan atas melimpah ruahnya sumber inspirasi yang jamak dan potensial di luar kendali kesadaran kita” (Rodgers 2020).
Sekulerisme adalah suatu doktrin politik dimana negara sekuler liberal bergantung pada ‘kebajikan publik’ seperti kesetaraan, toleransi dan kebebasan yang dilandasi oleh mitos politik terkait moralitas publik dan privat (Asad 2003:56). Konsep sekuler itu sendiri “tidak berlanjut dengan agama yang seharusnya mendahuluinya atau pemutusan sederhana darinya, tetapi sebuah konsep yang menyatukan perilaku, pengetahuan, dan kepekaan tertentu dalam kehidupan modern. Sekuler tidak tunggal asal-usulnya atau pun stabil dalam identitas historisnya, meskipun ia bekerja melalui serangkaian oposisi tertentu.” (ibid.:25). Jika sekuler bukanlah esensi yang mengecualikan sakralitas maupun bukan fase terakhir dari asal mula yang sakral, maka ketidakstabilan identitas historisnya ini juga ditandai oleh oposisi yang kontradiktif antara agama (sakral)-sekulerisme (profan), privat-publik, rasionalitas-wahyu, monoteisme-politeisme, dan kebenaran tunggal-kebenaran jamak.
Ketidakstabilannya terlihat dari bagaimana politeisme sekuler muncul sebagai bentuk jamak pemujaan baru non-ilahiyah lewat simbol-simbol atau istilah tertentu. Posisinya menjadi konstruksi kesadaran, poros nilai, dan rujukan berperilaku manusia. Politeisme yang sekuler ini tumbuh seiring dengan pluralisme kebenaran, dan inilah sumber ketidakamanan eksistensial yang riil. Setidaknya ada tiga bentuk politeisme sekuler saat ini yang saling bertautan dan menimbulkan kekacauan dan kebingungan:
Pertama, pemujaan terhadap individualisme. Fenomena modern di sosial media menunjukkan maraknya bentuk pemujaan atas diri sendiri, yaitu manusia yang mengidap narsisme atau narcissistic personality disorder, suatu bentuk patologi mental yang menganggap diri paling penting dan perlu menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sementara itu, semua pihak bisa mengklaim penderitaan dan pengalaman subjektifnya adalah benar, atau “setara” benarnya dengan yang lain. Kedua, pemujaan terhadap akumulasi harta dan gaya hidup. Sementara itu, akumulasi harta mempercepat laju konsumerisme telah berkontribusi pada perusakan lingkungan dan meningkatnya ketidaksetaraan global. Ketiga, pemujaan terhadap konsep dan gerakan. Lewat berbagai term dengan selubung ideologis tertentu, kita didorong untuk ‘menyembah’ atau menyerahkan diri pada konsep dengan berbagai bungkusan istilah yang di permukaan sulit ditolak secara ‘akal sehat’: hak asasi manusia, demokrasi, toleransi, keberagamaan, anti-kekerasan, kesetaraan gender, reformasi, modernitas, dan sederet istilah lainnya.
Industri dan budaya hiburan yang serba instan dan konsumtif, ditambah akselerasi dari komodifikasi narsisme ini dilestarikan dan ditopang oleh kapitalisme di bidang fashion, gaya hidup, hingga politik, yang mengeruk keuntungan dari komodifikasi individu dengan kultur pemujaan terhadap selebritis dan hasrat berkompetisi untuk mendapat audiens atau followers. Di sisi lain, ada “Wokeisme” – istilah untuk menunjukkan wujud dari kelompok yang menganggap diri mereka ‘tercerahkan’ (woke) dari selubung penindasan yang beroperasi di balik sistem dan struktur sosial. Awalnya, istilah ini lahir sebagai agregat dari berbagai gagasan, filsafat dan gerakan perlawanan interseksional: anti-rasisme, anti-kolonialisme, feminisme, dan politik identitas. Dalam perjalanannya, wokeisme menjadikan supremasi identitas sebagai basis perjuangan mereka dan cancel culture menjadi strategi yang kontraproduktif. Banyak yang kemudian menyandingkan gerakan wokeisme dan ateisme sebagai agama baru yang tak bertuhan.
Konsekuensi dari politeisme sekuler dan pluralisme kebenaran ini adalah kontradiksi: suatu bentuk arogansi yang eksklusif, meski berjargon inklusi dan keberagaman. Sementara internet meruntuhkan sekat-sekat warga dunia untuk menimba ilmu dari berbagai sumber yang tidak bisa mereka dapatkan karena keterbatasan akses ke lembaga pendidikan yang elitis, sebaliknya juga internet telah menjadi ruang aktivisme dan propaganda yang membabi buta, penuh klaim kebenaran dan kompetisi untuk saling berbangga diri dan mencela lainnya. Aktivisme wokeisme yang marak advokasinya di sosial media misalnya, beresiko jatuh pada kolektif narsistik dengan solipsisme, yaitu suatu ‘kepercayaan yang menganggap pengalaman dan eksistensi diri sendiri yang paling penting dan bisa dipahami’. Jika semua dari massa solipsis ini berkumpul di dunia maya dan dunia riil, yang goyah adalah hakikat kemanusiaan itu sendiri.
تَبۡصِرَةً وَّذِكۡرٰى لِكُلِّ عَبۡدٍ مُّنِيۡبٍ ( ٨)
“Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang kembali (tunduk kepada Allah).” (50:8)
Di Surah Qaf ayat 8, tanda-tanda kekuasaan Allah ini diabaikan oleh metode riset kontemporer atas nama ‘ilmiah’, dan bahkan dihilangkan, sebab menurut Sayyid Qutb dalam tafsirnya, sains dikendalikan oleh orang-orang yang telah terbutakan oleh kesesatan bernama ‘metode ilmiah’, suatu metode yang tidak mengakui tautan antara alam semesta dengan semua makhluk yang hidup di dalamnya. Kritik Sayyid Qutb atas pemujaan terhadap rasionalitas manusia sehingga memutuskan ikatan dengan dimensi ilahiyah ini mewakili fase sejarah dimana umat Muslim baru saja lepas dari penjajahan Eropa dan tertatih membangun kedaulatan baru dalam bentuk negara-bangsa. Kitab tafsirnya ditulis, dan sebagian ditulis ulang, selama lebih dari 15 tahun, yang sebagian besar dihabiskan oleh Sayyid Qutb di penjara Mesir, selama tahun 1950-an dan 1960-an. Ia dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer yang didirikan oleh Gamal Abdel Nasser, penguasa Mesir saat itu. Menulis adalah jihadnya melawan jahiliyah yang ia lihat di sekelilingnya. Ia menyaksikan secara langsung dampak yang dialami rakyat Mesir dari kebrutalan kolonialisme Inggris dan modernitas yang diperkenalkan paksa oleh proses kapitalisme.
Di surah Qaf, Allah SWT menarik perhatian manusia kepada kekuasaan-Nya yang tak terbatas yang Dia tunjukkan dengan menciptakan apa yang lebih besar dari apa yang mereka pikirkan dan kemungkinannya mereka abaikan. Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya menarik perhatian pada keajaiban ciptaan Allah, rancangan yang indah di alam semesta, dan cakrawala langit yang sempurna. Jika ini dibuat oleh manusia, akan ada tambalan, retakan, celah, atau keretakan. Tapi tidak ada yang bisa menemukan tambal sulam atau jahitan di langit.
أَفَلَمْ يَنظُرُوٓا۟ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَـٰهَا وَزَيَّنَّـٰهَا وَمَا لَهَا مِن فُرُوجٍۢ (٦)
“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?” (50: 6)
Manakah yang lebih baik penciptaannya, manusia ataukah alam semesta? Kurang lebih Allah mengajukan pertanyaan retoris seperti ini beberapa kali di al-Qur’an untuk mengingatkan kita akan lemahnya dan angkuhnya kita dalam memahami segala yang ada dalam kehidupan.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَـٰنَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِۦ نَفْسُهُۥ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ (١٦)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (50: 16)
Ayat ke-16 memberikan dimensi dualisme yang menyatu dalam kedekatan Allah dengan manusia, yaitu fisik dan transendental. Allah SWT memberi tahu manusia betapa dekatnya Allah dengan makhluk immaterial dan fisik kita, bahwa kedua elemen tersebut saling menginformasikan keberadaan dan akuntabilitas satu sama lain. Fisik adalah ketika kedekatan itu dirujuk spesifik dengan ‘urat leher’ dan transendental ditandai oleh ‘apa yang dibisikkan oleh hatinya’.
Sang Pencipta yang dekat dengan jiwa raga manusia juga menjadi penegasan iman dalam relasi sosial. Keyakinan yang mengharuskan berjuang di bawah satu bendera dan tidak meminta aliansi pada pihak lain yang membuat solidaritas terpecah-belah. Pada salah satu periode kritis di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, ayat ini dikutip oleh sang khalifah ketika ia mendapat kabar bahwa beberapa pemimpin suku dan aristokrat Ummayad telah membangkitkan adat era berhala dengan bersekutu menggunakan berbagai semboyan atas nama solidaritas kesukuan selama mereka berkonflik. Adat ini menggoyahkan akar solidaritas dari persaudaraan Islam yang telah dibangun oleh Nabi Muhammad SAW dan para khulafa ar-rasyidin. Menyadari ancaman itu, Umar bin Abdul Aziz kemudian mengeluarkan surat panjang untuk disebarkan meminta para pemimpin suku dan aristokrat Ummayad menghentikan manuver mereka.
“Telah disampaikan kepada saya bahwa beberapa suku sedang bersekutu untuk saling membantu melawan musuh mereka sebagaimana mereka lakukan di masa jahiliyah yang telah lampau, meski Nabi SAW telah melarang aliansi tanpa syarat untuk saling membantu. Nabi SAW bersabda ‘tidak ada partisan dalam Islam’. Di masa jahiliyah, para sekutu berharap bantuan dari satu sama lain di tiap sebab yang tidak adil, tak peduli apakah itu mengarah pada penindasan atau dosa, pelanggaran dari perintah Tuhan dan Nabi. Saya peringatkan semua orang yang membaca atau mendengar isi surat ini dari berlindung kepada selain Allah Yang Maha Kuasa dan Nabi-Nya. Saya peringatkan semua orang dengan penekanan pada perintah saya untuk menjadikan Allah saksi saya melawan orang-orang seperti ini, karena kekuasaan-Nya melampaui setiap makhluk dan Dia lebih dekat kepada siapapun daripada urat lehernya.” (Nadwi 1976)
Berhala-berhala kapitalisme dan rasionalisme-humanisme yang disahkan oleh pluralisme kebenaran melahirkan perbudakan baru yang menyasar kelas pekerja dan kaum tertindas, sementara umat dibuat tercerai berai. inilah juga yang telah diwanti-wanti oleh Ali Syariati dalam artikelnya On The Plight of the Oppressed,
“Pikiran, hati, dan kekuatan kehendak kita diperbudak. Atas nama sosiologi, pendidikan, seni, kebebasan seksual, kebebasan finansial, cinta eksploitasi, dan cinta individu, keyakinan pada tujuan, keyakinan pada tanggung jawab kemanusiaan, dan keyakinan pada aliran pemikiran sendiri sepenuhnya dirampas dari hati kita! Sistem telah mengubah kita menjadi pot kosong yang menampung apapun yang dituangkan di dalamnya! Sekarang, kita atas nama partai, darah, tanah, dan sistem melawan sistem, mengalami perpecahan sehingga masing-masing dari kami dapat dengan mudah diperdaya untuk mengabdi. Pengikut mazhab didorong untuk berperang satu sama lain. Mengapa, di bawah pengaruh global, mereka harus menganggap satu sama lain sebagai musuh?”
Jika diandaikan kiamat terjadi dalam waktu dekat akibat kegagalan menyelamatkan bumi dari bencana iklim sebagaimana prediksi para ilmuwan, maka kapitalisme dan segala akrobat hermeneutika posmodernitas kita akan berhenti dan kita akan mengabu menjadi debu dan lenyap. Makna berhenti sampai disitu. Namun, yang terjadi sebaliknya: surah Qaf memperingatkan manusia dengan keras tentang sakratul maut yang menyakitkan dan tiupan sangkakala yang memekakkan, ketika manusia dibangkitkan kembali dengan segala rekaman lisan dan perbuatan mereka dihadapan Sang Hakim.
Di masa kini ada kesan kalau bicara ‘Kebenaran’ itu seolah ‘otoriter’, intoleran dan ofensif terhadap mereka yang berbeda pandangan dengan kita. Namun, kita perlu merenungkan kembali lebih dalam ancaman ketidakadilan dan kekacauan sosial yang muncul akibat kehilangan makna dari prinsip kebenaran ilahiyah. Tentunya, memaknai kebenaran ini harus disertai sikap yang bijak, kritis dan penuh rahmah, tapi bukan juga berarti ikut kemana angin berhembus. Menurut Syaikh Al-Shaarawi dalam tafsirnya atas surah Qaf, kebenaran adalah tunggal, pasti, dan tetap atau tidak berubah seiring zaman. Hal ini berbeda dengan hukum sekuler atau hukum yang berkembang dalam peradaban Barat yang merupakan produk rasionalitas dan humanisme, karena perceraiannya dengan agama. Prinsip soal kebenaran yang tetap dan utuh ini menjadi penting ketika umat didera kebingungan akibat ragam versi ‘kebenaran-kebenaran kecil’ ketika bercampur dengan berbagai konsep yang memikat. Jalan menuju kebenaran ada banyak, sebanyak jiwa-jiwa manusia, namun pada prinsipnya Kebenaran bukan dan tak pernah plural. Kebenaran adalah mutlak, dan bersisian dengan sejauh mana manusia mempraktikkan keadilan lah kebenaran itu akan diperhadapankan, yang menjadi fokus bahasan bagian 2 berikutnya.
Bersambung ke Bagian 2
Yg pasti dulu, tulisannya sgt bagus. cuman aneh mengutip qutb tp melewatkan ibn rusyd. pahitnya begini, penulis bisa menulis sebuah refleksi ayat spt ini berkat kerja2 ibn rusyd: burhani. penulis jg ikut merumuskan “manifesto” islam bergerak secara materialistik (jihad kita) dlm kerangka memutar haluan “maalim fit thariq” nya qutb yg dijadikan manifesto kebanyakan geraan islam. qutb benar soal keterikatan makhluk dgn alam tinggalnya. tp metode ilmiah itu utk mengungkap rahasia cara alam bekerja alias cara berfikir Tuhan secara epistemologis. itu brti menjalankan dualisme relasi hablum minallah tadi yg ketika di alam fisik, Tuhan adalah alam materi semesta raya itu sendiri. sama sekali tdk menafikan kekuasaan Tuhan.