Pengantar
Data sensus BPS Banyuwangi berjudul Kecamatan Licin dalam Angka menunjukkan sebanyak 626 orang penduduk Pakel (dari total 2760 jiwa) bekerja sebagai petani, sementara 51 orang di bidang industri, 181 orang di sektor perdagangan, dan 19 orang di sektor angkutan. Sisanya, yakni sebanyak 1883 orang, tidak tidak diketahui bekerja apa. Data tersebut senada dengan catatan Walhi Jawa Timur yang menyebutkan seribu orang lebih yang bekerja sebagai buruh tani, buruh kebun, dan buruh informal. Seribu lebih orang ini hidup di areal Desa Pakel yang memiliki luasan lahan mencapai 1309,7 ha. Ditilik dari sudut luasan panen, masih menurut data sensus yang sama, Pakel memiliki 300-400 ha areal padi dan 30 ha areal palawija yang secara berurutan menyumbang 3000-4000 ton dan 185-200 ton per tahunnya.Selain padi dan palawija, terdapat perkebunan rakyat berupa kopra seluas 136 ha, kopi 51 ha dan cengkeh seluas 7 ha. Jika dibandingkan dengan wilayah lain, produktivitas dari kedua sektor di Pakel ini tergolong paling rendah.
Apa yang melatarbelakangi rendahnya produktivitas dan minimnya lahan pertanian dan perkebunan rakyat di Desa Pakel? Mengapa hanya 800an orang yang tercatat bekerja di pertanian dan perkebunan rakyat? Kemana dan untuk siapa seribu orang ‘samar’ lainnya itu bekerja? Tulisan ini akan mengurai secara persoalan ekonomi politik agraria di Desa Pakel melalui penelusuran historis dan analisis singkat mengenai upaya pendudukan lahan kembali (land reclaiming—selanjutnya akan disebut sebagai ‘reclaiming’) yang dilakukan oleh warga dalam memperjuangkan hak dasar mereka. Tulisan ini akan ditutup dengan refleksi mengenai bagaimana reforma agraria seharusnya berjalan dan diimplementasikan di Desa Pakel dan juga wilayah-wilayah konflik agraria lainnya.
Ketimpangan Penguasaan Lahan dan Konflik Agraria di Desa Pakel
Minimnya lahan pertanian dan rendahnya serapan tenaga kerja di Desa Pakel tidak dapat dilepaskan dari ketimpangan penguasaan lahan yang terjadi pada wilayah tersebut. Untuk mengetahui bagaimana ketimpangan yang sampai menyempitkan akses warga kepada lahan di Desa Pakel, kita dapat memulainya dari sejarah panjang ketimpangan agraria di Pakel. Sejarah ini dapat dibaca dari sebuah pola ketimpangan, yakni munculnya “commodity frontier” di Kabupaten Banyuwangi—yang sudah menubuh dengan konflik yang ada sekarang. Pola ini dimulai saat ekspansi kapital berbarengan dengan upaya penguasaan satu wilayah pasca perang, terutama pasca perang Puputan Bayu, yakni saat kolonial Belanda merangsek menjamah ujung timur Pulau Jawa tersebut. Runtuhnya Blambangan membuka gerbang eksploitasi yang terutama berarti dengan membuka kawasan hutan menjadi perkebunan skala luas, sebagaimana dituliskan Sri Margana (2012) dalam “Ujung Timur Pulau Jawa.” Proses tersebut telah menyebabkan peminggiran atau eksklusi melalui serangkaian perampasan terhadap penduduk setempat.
Merujuk pada Jason. W. Moore (2015), commodity frontiers mengacu pada perluasan pasar kapitalis dan penggabungan wilayah dan sumber daya baru ke dalam jaringan produksi global. Proses ini terjadi juga di Banyuwangi, melalui penguasaan kolonial yang telah menyebabkan peminggiran dan perubahan kondisi sosial, ekonomi dan kultural. Proses tersebut dapat dibaca sebagai transformasi agraria yang mengacu pada proses di mana daerah pedesaan dan populasi diintegrasikan ke dalam ekonomi kapitalis, yang konsekuensinya seringkali melibatkan perubahan kepemilikan lahan, hubungan kerja, dan praktik pertanian. Lebih lanjut Moore berpendapat bahwa commodity frontiers telah menjadi episentrum perkembangan kapitalisme karena mereka menyediakan sumber bahan baku baru, tenaga kerja murah, dan investasi yang menguntungkan.
Proses peminggiran penduduk, serta bagaimana penegasan kuasa atas wilayah, diperkuat melalui serangkaian proses pengambilalihan akses dan aset melalui legitimasi dan legalisasi ruang. Akibatnya terjadi proses transformasi penguasaan kawasan, dari sebelumnya kawasan hutan yang dikelola oleh rakyat, kemudian berganti menjadi perkebunan dan peruntukkan lainnya, untuk memfasilitasi unit-unit usaha kapitalis (Bachriadi, 2020:19) dalam memaksimalkan keuntungan dari produksi perkebunan. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar penduduk tersubordinasi dari kawasan yang telah mereka kelola sebelumnya. Dampaknya kemudian mereka menjadi buruh perkebunan karena tidak memiliki alat produksi. Pola penguasaan tersebut bertahan hingga saat ini. Negara, melalui perangkat legal dan legitimasinya, masih memberikan penguasaan pada kapitalis untuk menguasai suatu kawasan, meskipun di sana terdapat wargayang tak bertanah.
Kolonial Belanda mencoba memperluas pasar komoditas kebun untuk menambah jumlah ekspor ke pasar Eropa. Kondisi tersebut memantik berkembangnya perkebunan kolonial di wilayah sekitar lereng Ijen untuk komoditas rempah seperti cengkeh dan juga komoditas lain seperti kopi. Implikasi dari perluasan tersebut kemudian membawa pola pengaturan baru terutama dalam pengelolaan ruang, di mana masyarakat awal yang mendiami wilayah tersebut harus mengikuti pola yang diterapkan. Proses pembukaan perkebunan baru ini juga dibarengi dengan serangkaian kedatangan penduduk yang kebanyakan berasal dari wilayah miskin seperti Madura. Mereka menjadi buruh perkebunan kolonial, bermukim dan beranak pinak hingga membentuk unit sosial yang sekarang dikenal dengan sebuatan ‘desa.’ Dalam pola ini, mereka tetap menjadi buruh inferior yang terus menerus dieksploitasi. Pola ini dilanggengkan untuk merawat “power” agar tetap bisa mengekploitasi mereka, dan telah menubuh menjadi sebuah kultur.
Catatan di atas menunjukkan bagaimana sejarah pola berkembangannya relasi kuasa tentang siapa yang menguasai apa serta siapa yang harus tunduk dan kehilangan akses atas kawasan. Dari catatan tersebut kita dapat menarik sebuah garis besar bagaimana proses ketimpangandan peminggiran yang terus terjadi hingga hari ini seturut dengan sejarah ekspansi kapital itu sendiri. Dalam konteks Pakel, hal tersebut berasal dari bagaimana kuasa perkebunan diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi akar penting dalam perampasan hak bagi warga Pakel. Ini dapat dilihat dari kemunculan perkebunan seperti perkebunan Pakoeda, sampai perkebunan Sri Widodo(sejarah perkebunan versi Bumisari), sejak kolonial menguasai lahan. Memang terdapat sebuah catatan bahwa warga Desa Soemberedjaa ‘Alas Pakel’ mengajukan pembukaan lahan hutan pada Bupati Banyuwangi kala itu dan disetujui (melalui Akta 1929). Tetapi, pengakuan ini batal seketika setelah wilayah itu dilanda tragedi berdarah 1965. Sejak saat itu, warga tak kunjung diakui secara sah penguasannya, sehingga menyebabkan warga Pakel, yang secara turun temurun sudah menjadi tunakisma, terpaksa tetap menjadi buruh sampai sekarang. Apa yang terjadi di Pakel memiliki kemiripan dengan catatan Mochamad Tauchid (2009:276-278) tentang warga Rawa Lakbok di Ciamis yang awalnya juga mendapatkan hak membuka lahan melalui sebuah surat ‘Cap Singa’ tahun 1927. Baik Cap Singa 1927 maupun Akta 1929 sama-sama surat pemberian hak kelola hutan. Akan tetapi, mereka tak kunjung dapat pengakuan hingga mereka harus tersisih akibat regulasi onderneming.
Sejarah panjang ketimpangan telah mengkonfigurasi kondisi Pakel sekarang ini. Dari total luas lahan desa Pakel, yakni 1.309,7 hektar, warga desa hanya berhak mengelola lahan kurang lebih seluas 321,6 hektar. Ini diketahui setelah ada proses telaah penguasaan lahan di Pakel melalui overlay peta kawasan. Dalam penguasaan lahan tersebut, jika dirinci, terdapat HGU PT Bumi Sari seluas 271,6 hektar, serta ada 716,5 hektar yang dikuasi oleh Perhutani KPH Banyuwangi Barat. Tentu dengan penduduk 2.760 jiwa, dengan lahan hampir mayoritas dikuasai pihak lain, lalu apa yang dapat diusahakan secara mandiri oleh warga Pakel? Hasil telaah ini memberi clue atas kebingungan saya pada bagian awal tulisan, yakni mengapa jumlah pekerja utama di Pakel menurut sensus BPS tidak sampai separuh dari total penduduk, serta mengapa jumlah lahan pertanian pangan serta produktivitasnya sangat rendah dibandingkan desa lain di Kecamatan Licin.
Ketimpangan agraria inilah yang menjadi salah satu faktor atau boleh dikatakan akar dari munculnya konflik agraria di Pakel. Merujuk Gunawan Wiradi(2009:44), akar konflik agraria adalah: 1) ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah, 2) ketimpangan dalam hal “peruntukan” tanah, dan 3) incompatibility dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria. Atau dalam hal ini dapat dibaca sebagai ketimpangan penguasaan lahan, ketidaksesuaian penguasaan dengan realitas di lapangan, dan ketidaksesuaian kebijakan yang dibayangkan di level nasional dengan kondisi di perdesaan.
Ketimpangan yang mencolok dalam konflik agraria, merujuk Shohibudin (2019), berarti kesenjangan distribusi dan alokasi sehingga turut mendorong kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari adanya suatu wilayah yang banyak penduduknya tidak bertanah, tetapi di sisi lain ada pemberian HGU pada perkebunan, serta secara tata ruang memasukkan kawasan perkebunan sebagai alokasi ruang. Tentu, hal ini menyebabkan kesenjangan serta diskriminasi yang mendorong warga di suatu wilayah tersebut terjerembab dalam kemiskinan, serta mendorong konflik agraria yang bertahan selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Hal tersebut juga menunjukkan bagaimana kuasa atas kawasan dipertahankan secara turun temurun serta membiarkan warga Pakel terpinggirkan menjadi buruh kebuh, buruh tani dan perantau selama bepuluh-puluh tahun.
Penjelasan tersebut mempertegas konflik agraria di Pakel yang berakar dari ketimpangan penguasaan lahan serta alokasi penguasaan lahan yang tidak sesuai, seperti pemberian HGU, yang tidak mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi. Penerbitan HGU telah merampas hak warga Pakel yang kebanyakan sudah menjadi tunakisma sejak masa kolonial Belanda. Penerbitan HGU atas nama PT. Bumisari oleh BPN Jawa Timur dan Banyuwangi telah merampas hak warga negara, terutama hak untuk menguasai dan mengelola kawasan desanya secara mandiri, dan tidak sejalan dengan amanah dalam UUD NKRI Pasal 28 secara keseluruhan dan pasal 33 ayat 3, karena ada penerbitan HGU di tengah kondisi kemisikinan akut di suatu wilayah yang disebabkan oleh banyak warga tidak bertanah.
Reclaiming sebagai Cara Mendapatkan Hak atas Tanah
Atas penguasaan yang timpang itu, maka salah satu cara logis untuk merebut kembali akses dan aset atas lahan adalah dengan melakukan reclaiming. Perjuangan warga Pakel untuk mendapatkan kembali haknya bukan dibangun sehari atau dua hari, tetapi sudah dilakukan sejak lama. Merujuk pada kronologi yang penulis susun, mengambil dari arsip serta catatan kronologi WALHI Jawa Timur, perjuangan warga Pakel sudah dimulai sejak tahun 1925, di mana sekitar 2956 orang warga yang diwakili oleh tujuh orang(salah satunya seorang yang tekun berjuang bernama Doelgani), mengajukan permohonan pembukaan Hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi, kepada pemerintah kolonial Belanda. Berselang empat tahun, pada tanggal 11 Januari 1929, permohonan tujuh orang tersebut dikabulkan. Tujuh orang tersebut diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4000 bahu (3000 hektar) oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo. Pemberian hak ini dikenal dengan nama “Akta 1929.” Dalam perjalanannya, meski memiliki Akta 1929, Doelgani dkk. saat itu kerap menghadapi berbagai intimidasi dan tindakan kekerasan dari pihak pemerintah kolonial Belanda. Ini yang berlanjut hingga era Jepang. Meski begitu, Doelgani dkk, terus mempertahankan lahan dan bercocok tanam di lahan Akta 1929 tersebut.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, Doelgani dkk. mencoba memperjuangkan hak mereka atas pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam Akta 1929 pada pemerintah Republik Indonesia, melalui Bupati Banyuwangi. Hingga diterbitkannya Undang-undang Pokok Agraria 1960, upaya landreform belum mencapai wilayah Banyuwangi, namun petani tetap menunggu dan melakukan aktivitas pertanian. Pada bulan September 1965 meletus peristiwa naas tragedi berdarah, dan masyarakat Sumberejo Pakel terkena imbasnya. Mereka dituduh PKI. Beberapa orang seperti Doelgani tiba-tiba menghilang. Beberapa orang lainnya lagi tidak bisa bersuara, karena ada ancaman bahwa setiap orang yang memperjuangkan haknya dituduh PKI.
Pada tahun 1970-an, kawasan Akta 1929 di Desa Pakel, yang secara historis diusahakan petani, telah diklaim menjadi milik perkebunan PT Bumi Sari. Lebih jauh jika melihat SK Kementerian Dalam Negeri, tertanggal 13 Desember 1985, nomor SK.35/HGU/DA/85, PT Bumi Sari disebutkan hanya mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dengan luas 11.898.100 meter persegi atau 1189,81 hektar, yang terbagi dalam 2 sertifikat, yakni: Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing, seluas 1.902.600 meter persegi dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon, seluas 9.995.500 meter persegi. Dua SK tersebut ternyata menjelaskan bahwa Desa Pakel sebetulnya tidaklah termasuk dalam kawasan HGU PT Bumi Sari. Di tengah iklim politik rezim otoritarian Orde Baru yang represif, klaim HGU PT Bumi Sari ini pada kenyataannya terus merambah hingga ke Desa Pakel. Warga Pakel hanya memilih diam dan tidak melakukan perlawanan secara gamblang.
Pasca lengsernya Soeharto, warga Pakel menduduki lahan di kawasan Akta 1929. Akibatnya, pada tanggal 17 Agustus 1999, warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami berbagai tindakan kekerasan fisik dari aparat keamanan. Tak patah arang, pada tahun 2001 warga Pakel kembali menduduki kawasan Akta 1929. Dampaknya, seluruh pondok dan tanaman di atas lahan tersebut dibumihanguskan oleh aparat keamanan negara. Peristiwa ini menyebabkan sebagian besar pemuda Pakel putus sekolah. Beberapa kaum laki-laki dewasa juga terpaksa meninggalkan Desa Pakel untuk menghindari penangkapan dan kejaran aparat keamanan.
Terakhir, pada 24 September 2020, warga yang sebelumnya telah membangun organisasi bernama Rukun Tani Sumberejo Pakel, melakukan aksi reclaiming yang diklaim oleh PT Bumi Sari. Aksi ini merupakan penegasan bahwa mereka berhak atas lahan tersebut. Hampir sepuluh tahun mereka berjuang dengan memohon “kebaikan” pemerintah, namun tidak membuahkan hasil. Mereka diabaikan, tidak dianggap sebagai warga negara yang benar-benar punya hak kelola atas lahan dan hak untuk hidup. Hingga akhirnya mereka sadar bahwa reclaiming merupakan jalan satu-satunya untuk mendapatkan kembali hak yang terampas, sambil memperjuangkan pengakuan. Pilihan warga Pakel tersebut menunjukkan bahwa kebijakan agraria hari ini masih belum bisa menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terus berlanjut hingga sekarang. Kondisi ini tidak hanya di Pakel, tetapi juga di wilayah lainnya termasuk Kampung Bongkoran, Wongsorejo, Banyuwangi.
Apa yang dipilih oleh warga Pakel melalui ‘reclaiming’ adalah usaha atau upaya untuk mendapatkan hak mereka kembali. ‘Reclaiming’ adalah bentuk dari ‘landreform by leverage’ yang menurut Wiradi (dalam Sutaryono, Nugroho & Afifi, 2014) merupakan sebuah usaha dan upaya untuk mendorong perubahan struktur penguasaan lahan tertentu yang diprakarsai langsung oleh petani secara terorganisir. Warga yang mengajukan agar tanah yang mereka kuasai diakui oleh negara, sebagai bagian dari janji negara untuk memprioritaskan reforma agraria bagi mereka para petani. Merujuk pada rumusan tersebut, idealnya persoalan konflik agraria di Pakel dapat diselesaikan dengan memberikan hak penuh pada warga Pakel. Terlebih, sebagaimana dijelaskan oleh Shohibuddin (2018), secara garis besar UUPA 1960 mengupayakan kemakmuran rakyat melalui usaha yang berkaitan dengan agraria. Karena itu, maka dalam UUPA 1960, negara harus menjamin pemberian akses dan aset pada petani gurem dan buruh tani sebagai upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat agar mencapai kesejahteraan bersama.
Sayangnya yang terjadi malah sebaliknya. Warga Pakel tidak pernah diakui haknya dan diusir dari lahan yang seharusnya menjadi hak. Sampai saat ini warga Pakel malah banyak mengalami teror, intimidasi, represi dan terakhir kriminalisasi pada dua petani yang dituduh memasuki, menguasai dan merusak perkebunan yang (dianggap) sudah mendapatkan izin kelola kawasan. Bayang-bayang kekerasan dan jeruji besi kini kembali menghantui perjuangan warga Pakel.
Reforma Agraria dan Masa Depan Kehidupan Warga Pakel
Sudah sangat jelas bahwa warga Pakel mengalami defisit lahan atau ketimpangan dalam penguasaan lahan. Hal tersebut merujuk pada perbandingan jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian yang tersedia dan dibandingakan dengan luas total desa. Dari total populasi yang beprofesi sebagai petani, hampir separuhnya (jika diambil angka tengah sekitar 1000 orang) rata-rata hanya menguasai lahan tak lebih dari 0,3 ha. Tentu lahan tersebut sangat jauh dari kriteria ideal, sebab seperempat hektar pun tak sampai. Lantas bagaimana seribu yang lainnya? Tentu ada yang merantau, menjadi migran di luar negeri, ada pula yang menjadi buruh tani dan perkebunan. Artinya mayoritas warga Pakel adalah petani gurem dan buruh tani/kebun. Kondisi tersebut telah menjelaskan bahwa PT. Bumisari-lah yang sebetulnya menjadi penguasa lahan hingga hampir seribu hektar sampai mencaplok wilayah Desa Pakel. Tindakan dari PT. Bumisari, oleh karena itu, tak lain dan tak bukan adalah praktik monopoli yang menyebabkan golongan ekonomi lemah tersingkirkan dan mengalami kerentanan.
Secara aturan, sesuai dengan UUPA 60, PT. Bumisari seharusnya dievalusi HGU-nya dan proses enclave harus segera didorong untuk mengembalikan lahan HGU itu kepada negara dan negara harus mempercepat proses pengembalian lahan itu ke warga melalui Desa Pakel. Landasan tersebut sesuai dengan penjelasan pasal 11 ayat (1) dan (2) UUPA 1960, yang secara garis besar mengungkapkan bahwa terkait penguasaan suatu lahan, tidak diperbolehkan penguasaan yang melampaui batas, apalagi sampai menyebabkan ketimpangan. Pasal tersebut sangat menegaskan bahwa penguasaan tanah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional, terutama dalam upaya menjamin mereka yang merupakan golongan ekonomi lemah.
Pemerintah seharusnya patuh dan taat pada konsensus bersama bila merujuk pada aturan dasar dalam hukum agraria yang berlaku. Sudah sepatutnya warga Pakel, tanpa harus bertele-tele, mendapatkan kembali hak atas kelola lahan, misalnya melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Sumardjono (2018:63) mengatakan bahwa dalam konflik agraria terutama merujuk pada ketimpangan penguasaan lahan, maka negara harus hadir dan harus terlibat dalam penataan untuk menyelesaikan persoalan penguasaan dan pengelolaan tanah yang timpang, sebab esensi reforma agraria adalah perombakan aset dan akses, sehingga menciptakan rasa adil. Kehadiran negara dalam membuat dan menjalankan aturan merupakan sebuah keharusan. Apalagi jika merujuk pada sebuah kalimat “mengapa negara ini hadir,” hal ini sudah terjawab pada pasal 28 UUD NKRI yang di dalamnya merangkum secara keseluruhan apa itu yang dinamakan “hak asasi manusia”, khususnya untuk mendapatkan hak hidup yang baik dan layak serta terjamin hingga masa yang akan datang.
Berdasarkan uraian di atas, merujuk Gunawan Wiradi (2009: 114), reform dalam reforma agraria bukan sekedar redistribusi atau penataan akses dan aset, tetapi juga perubahan watak yang menelurkan kebijakan dan regulasi agraria. Artinya reforma agraria adalah perubahan keseluruhan baik secara politis maupun praktiknya. Dari pembuat kebijakan sampai pelaksananya, dalam hal ini secara politis, harus memiliki kemauan dan kemampuan, agar benar-benar menerapkan prinsip adil, yakni pemenuhan aset, akses, produksi hingga distribusi yang berkeadilan, dan mengedepankan mereka yang tak bertanah seperti yang dialami warga Pakel. Dengan demikian, sudah seharusnya reforma agraria berpihak pada warga Pakel yang termarjinalkan, karena ada usaha monopoli lahan yang menyebakan semakin tingginya ketimpangan dan kemiskinan. Reforma agraria harus memberikan dan menjamin hak secara utuh pada warga Pakel, terutama dalam mengelola lahan mereka, memberikan jaminan kelola, akses produksi dan pasar serta menjamin keberlanjutannya.
Pakel adalah contoh di mana banyak hak warga yang terampas, mulai intimidasi, kekerasan sampai kriminalisasi. Jika kemudian kasus Pakel dan konflik-konflik lainnya tetap berlarut-larut hingga mengakibatkan korban nyawa atau menyebabkan konflik sosial akut, maka negara seharusnya hadir untuk menciptakan keadilan, melalui keberpihakan kepada orang-orang lemah, sesuai dengan nilai falsafah sila ke 5, yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”Tetapi yang terjadi sebaliknya, semua itu jauh dari harapan, karena hari ini Pakel adalah contoh bagaimana “keadilan sosial bagi tuan tanah di seluruh Indonesia” masih ditegakkan dan dilanggengkan.
Referensi
Aprianto, T. C. (2016). Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim, dan Konflik Agraria di Jember. Yogyakarta: STPN Press.
Bachriadi, Dianto. (2020). 24.2 Manifesto Penataan Ulang Penguasaan Tanah Kawasan Hutan. Bandung: ARC.
BPS. 2017. Kecamtan Licin Dalam Angka. BPS Kabupaten Banyuwangi
BPS. 2019. Kecamtan Licin Dalam Angka. BPS Kabupaten Banyuwangi
BPS. 2022. Kecamtan Licin Dalam Angka. BPS Kabupaten Banyuwangi
Ghazali, Imam. (2022). Hikayat Tanah Pakel: Dari Blambangan, Perkebunan, Hingga Konflik Agraria di Desa Sumberejo Pakel, 1925-1943. Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta.
Margana, S. (2012). Ujung timur Jawa, 1763-1913: perebutan hegemoni Blambangan. Pustaka Ifada.
Moore, J. (2015). Capitalism in the Web of Life: Ecology and the Accumulation of Capital. Verso Books.
Nawiyanto, N. (2012). Berakhirnya Frontir Pertanian: Kajian Historis Wilayah Besuki, 1870-1970. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 14(1), 77-98.
Shohibuddin, M. (2019). Memahami dan Menanggulangi persoalan ketimpangan agraria (1). BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 5(1), 1-12.
Shohibuddin, M. (2018). Perspektif agraria kritis: teori, kebijakan, dan kajian empiris. Sajogyo Institute and STPN Press.
Sutaryono, Nugroho, Tarli & Afifi, Irfan. (2014). Ilmu Agraria Lintas Disiplin Tinjauan Filsafat Ilmu. Yogyakarta: STPN Press.
Sumardjono, M. S. (2018). Regulasi pertanahan dan semangat keadilan agraria. Yogyakarta: STPN Press
Wiradi, G. (2009). Reforma Agraria: Perjalanan yang belum berakhir (rev). Konsorsium Pembaruan Agraria, Sajogyo Institute.