Menuju Pembangkangan Sipil Radikal: Argumentasi Melawan UU Cipta Kerja dan Negara Kapitalis

5.2k
VIEWS
Dokumentasi Aksi Mahasiswa di Makassar

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”

Qs. Ash-Shaff: 4

Jakarta, 8 Oktober 2020. Waktu baru menunjukkan pukul empat sore. Di depan Kedutaan Amerika Serikat dan Balai Kota Jakarta, para demonstran aksi penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja (Ciptaker) mulai menyemut, tapi belum terlalu padat. Sinyal internet di tempat tersebut tidak menunjukkan tanda perlambatan, laiknya terjadi dalam demo-demo besar di Indonesia belakangan. Dari gawainya, salah satu editor kami yang sedang berada di sana, menerima telepon WhatsApp dari seorang kawan yang sedianya turut turun aksi bersamanya. “Aku tidak bisa ke depan Balai Kota,” katanya, “di Jalan Abdul Muis dihadang polisi.” Ia menutup telepon, duduk-duduk santai di trotoar di depan balai kota, sembari menyimak seseorang berorasi di atas mobil komando Gerakan Aliansi Bersama Rakyat (Gebrak) yang sebelumnya mengajak massa aksi menyanyikan Ibu Pertiwi. Tiba-tiba, seseorang berteriak, “di depan mulai keos!!”

Asap hitam mengepul ke atas langit. Bau gas air mata menguar di udara. Kerumunan mahasiswa dan pelajar SMA, berlari ke depan. Kembang api mulai ditembakkan ke udara, entah oleh siapa. Situasi selanjutnya bisa ditebak, massa kocar-kacir. Puluhan orang terluka dan pingsan, beberapa di antara mereka perempuan. Teriakan panik mahasiswa terdengar di tengah dentuman tembakan gas air mata—mereka meminta jalan untuk evakuasi korban.  Tidak jelas bagaimana nasib puluhan massa petani sepuh, yang juga turut berkumpul di depan balaikota, turut berhamburan. Setelah serangan polisi mereda, massa aksi sedikit emosional. Di bawah jembatan layang kereta api mereka mulai membakar pembatas jalan.

Waktu hampir menunjukkan jam 5 sore. Kemarahan massa aksi nampak mereda. Kelompok-kelompok mahasiswa mulai pulang, berjalan kaki, dan menumpang bis kota. Sekelompok kecil massa nampak baru datang, tapi mayoritas bersiap membubarkan diri.

(Sore, sekitar pukul 5 sore, 8 Oktober 2020 ketika demonstran di sekitar Gambir, Jakarta Pusat mulai membubarkan diri sebelum diserbu trail dan tembakan gas air mata/Muhammad Azka Fahriza)

Beberapa menit kemudian satu keributan lebih besar datang tak terduga. Kira-kira tak sampai pukul lima sore lebih lima belas menit, kerumunan massa di sekitar Tugu Tani berteriak-teriak panik dan marah. “Polisi!” kata mereka. 

Dari arah Kebon Sirih sepasukan polisi mengendarai trail sambil menggeber-geber mesin. Setelah itu dentuman dan hujan bom asap yang lebih besar datang. Massa menjadi tidak terkendali hingga larut malam. Pos Polisi Tugu Tani gosong terbakar, demikian pula dua mobil milik pemerintah di sekitar Kali Pasir. Malam itu pula tersiar berita pembakaran beberapa fasilitas umum dan bangunan di Jakarta, Jogja, dan di beberapa tempat luar Jawa. Berita-berita yang mengutip pernyataan otoritas keamanan tanpa jejak kekritisan mulai bermunculan—salah satunya oleh Kompas.com yang menuding kelompok anarko di balik semua aksi perusakan. 

Di Semarang, aksi demo tolak pengesahan RUU Cipta Kerja terjadi pada Rabu (7/10/2020) dimulai siang hari sehabis zuhur. Berbagai rombongan dari mahasiswa, buruh, pelajar, dan lembaga masyarakat bersatu di bawah Gerakan Rakyat Menggugat (Geram). Aneka yel-yel dan orasi disuarakan massa di depan kantor DPRD Jawa Tengah. Lautan manusia membanjiri Jalan Pahlawan di depan kantor gubernuran.

Pagar besi menghalangi para demonstran masuk ke halaman kantor DPRD. Massa, sebagian besar terdiri dari kaum muda, merobohkan pagar yang dijaga polisi. Seorang mahasiswa perempuan berteriak, “Timbang duwek di-enggo korupsi, mending di-enggo ndandani pager!” (Daripada uang untuk korupsi, mending untuk memperbaiki pagar!).

Menjelang sore, massa bertambah banyak. Lagu mars aksi terus dinyanyikan. Teriakan revolusi, rezim bangsat, dan agen neolib menggelegar. Para pelajar SMK/SMA menyuarakan ke-pekok-an DPR. Lagu Lir-Ilir karangan Sunan Kalijaga yang diubah liriknya guna menolak UU Cipta Kerja dinyanyikan. Seruan sholawat yang dikumandangkan oleh orator dari UIN Walisongo Semarang turut memberi kesan transenden pada aksi jalanan yang lebih besar daripada demonstrasi #ReformasiDikorupsi pada September 2019 lalu. Beberapa massa juga ada yang memanjat pagar tembok tebal warna hitam DPRD Jateng sembari mendandani tembok itu dengan berbagai macam tulisan. Salah seorang buruh yang berorasi mengatakan: “Saya buruh, saya tidak takut virus. Lebih takut masyarakat terinjak.”

(Aksi demo tolak pengesahan RUU Cipta Kerja di Semarang, Rabu, 7 Oktober 2020/Isma Swastiningrum)

Aksi kekerasan terjadi. Saat itu sekitar jam setengah empat beberapa massa melempar batu, botol, dan bambu ke arah gedung DPRD. Semakin sore, lempar-lemparan itu semakin deras. Deretan polisi, dengan piranti lengkap mereka, mengusir massa untuk bubar. Kejar-kejaran pun tak bisa dielakkan, para pelajar dan mereka yang dianggap biang kerusuhan ditangkap. Tak hanya itu, semprotan mobil water canon dan suara keras tembakan gas air mata mengubah suasana Kota Lumpia ini menjadi bergejolak. 

……..

Fragmen cerita di atas adalah gambaran tentang bagaimana peserta aksi massa mengalami berbagai bentuk kekerasan—yang berbeda dengan versi media arus utama yang hanya mengutip otoritas keamanan. Melalui editorial ini, Islam Bergerak akan memberikan argumentasi tentang munculnya tindakan kekerasan yang terjadi dalam aksi-aksi politik jalanan di Indonesia. Kami juga akan menguraikan perlunya aksi-aksi pembangkangan sipil yang radikal untuk menolak UU Cipta Kerja dan melawan praktik otoritarianisme—dalam bentuk represi terbuka terhadap oposisi politik (Power, 2018) dan manipulasi institusi demokrasi untuk mempersempit peluang berkompetisi dalam politik elektoral (Mietzner, 2019)—yang sedang dilakukan oleh negara. Oleh karena itu, argumen naif yang mengutuk aksi massa semata karena melakukan perusakan fasilitas publik menunjukkan kenyamanan ‘penonton’ dalam menuding aksi kelas pekerja. Pada saat yang sama, para penonton ini abai atau tidak bersuara atas normalisasi kekerasan yang dialami oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari.   

Melalui penelusuran historis yang singkat mengenai kekerasan dan elaborasi konseptual pembangkangan sipil, Islam Bergerak berargumentasi bahwa dalam konteks yang spesifik, kekerasan bukan menjadi satu hal yang membatalkan aksi pembangkangan sipil—mengingat terminologi ini, dalam terbitan-terbitan populer sangat melekat dengan prinsip non-kekerasan (lihat misalnya dalam tautan ini dan ini). Melihat bagaimana kemudian gelombang aksi penolakan RUU Cipta Kerja yang berpuncak pada 8 Oktober 2020 lalu dirusak oleh negara atau antek kapitalis-neolib dengan dituduh sebagai tindakan ‘anarkis’, melanggar hukum dan tidak beradab, satu pertanyaan penting terkait dengan sejauh mana pembangkangan sipil terkait dengan tindakan kekerasan menjadi penting untuk dijawab. Editorial ini juga akan mengulas aksi-aksi pembangkangan sipil yang mungkin dilakukan dalam merespon situasi sosial-ekonomi-politik di Indonesia, yang bukan tidak mungkin makin keruh dan mencekik leher kelas pekerja dan kelompok tertindas.

Akar dan Konteks Kekerasan dalam Gerakan Politik di Indonesia

Menurut kami, kekerasan yang terjadi pada aksi massa menolak UU Cipta Kerja muncul dari tiga konteks yang saling berkelindan: akumulasi penindasan struktural, sejarah kekerasan oleh negara beserta centengnya, serta situasi belum terorganisirnya gerakan sipil di Indonesia. Kami akan menjelaskan konteks tersebut dalam tiga sub-bagian berikut:

  • Gerakan sipil yang belum terorganisir

Sebagian orang mungkin akan menggunakan contoh gerakan #BlackLivesMatter untuk menegasikan aksi kekerasan di Indonesia. Mereka akan bilang, Black Lives Matter berhasil mengubah banyak hal dengan menggunakan upaya-upaya kampanye simpatik dan defensif dalam menghadapi represi aparat. Riset Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED) menunjukkan bahwa 93% aksi BLM berjalan dengan damai. Insiden seperti penjarahan dan perusakan yang minim ditengarai disusupi oleh pihak luar, dan perlawanan yang bersifat kekerasan terjadi sebagai reaksi dari tekanan aparat keamanan yang bertindak represif. Namun, jelas tidak adil membandingkan BLM di Amerika Serikat dengan gerakan massa menolak RUU Cipta Kerja di Indonesia. Di Amerika Serikat, gerakan anti-rasisme sudah terbangun sejak lama. Tercatat sepanjang medio 1950-1970 akhir perjuangan para Afro-Amerika dan orang Asia sudah terbangun secara cukup solid. 

Contoh lain gerakan non-kekerasan yang dianggap berhasil adalah Extinction Rebellion di Inggris yang mencuat sejak tahun 2018 lalu. Gerakan aksi protes terhadap perubahan iklim yang diinspirasi oleh Greta Thunberg ini mengusung pembelaan lingkungan hidup dan keadilan sosial anti-kapitalisme. Mereka melakukan praktik pembangkangan sipil yang bersifat non-kekerasan. Meski anggotanya mayoritas adalah kaum muda, beberapa tokoh senior yang terdiri dari akademisi dan tokoh agama turut berada di dalamnya. Beberapa strategi mereka yang paling menonjol adalah parade demonstrasi skala besar, serta aksi pendudukan dan blokade tempat-tempat strategis. Di setiap aksinya, mereka membawa poster-poster artistik, diselingi tampilan musisi jalanan, dan yel-yel kreatif. Motto mereka ‘rebel for life’ memiliki makna ganda yang menegaskan perjuangan hingga akhir hayat dan perlawanan demi keberlangsungan kehidupan. Strategi non-kekerasan, persuasif, dan artistik Extinction Rebellion berhasil membuat geram pemerintah konservatif Inggris. Awal tahun 2020, polisi Inggris memasukkan Extinction Rebellion ke dalam kategori kelompok dengan ideologi yang berbahaya (ekstrem), bersisian dengan kelompok neo-Nazi dan pro-terorisme ‘Islam’. Belakangan ini Extinction Rebellion dikeluarkan dari daftar tersebut akibat banyaknya dukungan terhadap mereka.

Sejarah perlawanan gerakan hak-hak sipil di AS dan gerakan kontemporer anti perubahan iklim di Inggris ini berbeda dengan situasi di Indonesia. Dua gerakan sipil di AS dan Inggris tersebut tidak mempunyai dua variabel penting yang hanya ada di Indonesia: warisan genosida politik (politisida) pada tahun 1965 dan mengguritanya jejak-jejak otoritarianisme Orde Baru. Selepas peristiwa politisida 1965 diikuti dengan tumbangnya Orde Baru tahun 1998, gerakan Indonesia belum pernah kembali terkonsolidasi secara kuat. Semenjak itu, imajinasi perjuangan rakyat menjadi sangat terpecah belah sementara oposisi politik ditabukan (Hadiz, 1997). Di sisi lain, praktik korporatisme terhadap gerakan-gerakan sosial di Indonesia pada masa Orde Baru (Schwartz, 1994) membuat upaya pengorganisasian masyarakat sipil sulit berkembang dan bergantung pada subsidi negara (Heryanto dan Hadiz, 2004). Akibatnya, gerakan-gerakan sipil yang ada saat ini sangat mudah ditumpangi oleh kekuatan kontra progresif seperti Pemuda Pancasila (Lee-Bettinger, 2013). Gelombang besar gerakan yang muncul pun—seperti pada Reformasi 1998 dan #ReformasiDikorupsi 2019—masih bersifat sangat sporadis dan spontan. Gerakan 212, yang cukup terorganisir dengan rapi dan berpotensi merangkul kepentingan masyarakat luas untuk pesan keadilan sosial, pesannya masih menonjolkan sentimen identitas yang belum melampaui sekat-sekat ‘kebhinekaan’ rakyat dengan realitas majemuknya.

Menurut kami, inilah konteks terjadinya kekerasan dalam aksi-aksi massa di Indonesia. Kekerasan tersebut adalah cermin dari belum terorganisirnya gerakan massa di Indonesia sebagai akibat dari warisan politisida 1965 dan otoritarianisme Orde Baru. Naif jika orang berpikir gerakan massa di Indonesia bisa mereplikasi BLM yang damai sementara syarat materialnya belum terpenuhi. Secara keseluruhan, gerakan rakyat di Indonesia masih surut visi perjuangan yang sistematis dan berjangka panjang. Berkaca dari sana, kita perlu memahami lebih jauh kondisi aksi penolakan UU Cipta Kerja dalam konteks sekarang ketika gerakan rakyat masih belum terorganisir dan terkonsolidasi. Kekerasan pun tampil sebagai artikulasi politik. Gerakan perlawanan massa dalam ruang demokratis juga kerap melingkupi spektrum non-kekerasan dan kekerasan, sehingga mustahil menyematkan kategori-kategori normatif dan moralis serta membuat pemisahan baku dari keduanya. Kondisi sejarah dan material dari epos relasi rakyat dan negara harus ditelisik.  

  • Sejarah penindasan struktural terhadap kelas pekerja

Banyak pejabat negara cum politisi “menyayangkan” aksi demonstrasi UU Cipta Kerja yang berujung ricuh. Seperti lagu lama kaset-kusut, mereka selalu mengulangi ungkapan normatif yang sama: “menyampaikan aspirasi boleh, asal tidak anarkis.” Tindakan anarkis, menurut ungkapan ini, biasanya dimotori oleh “oknum” atau “dalang”, yang merujuk pada seseorang/sekelompok orang yang melakukan tindakan provokasi. Mungkin benar terdapat oknum dalam kericuhan kemarin. Namun, ungkapan ini menyiratkan konsekuensi logis yang lebih besar dan berbahaya, yaitu penghilangan aspek penindasan struktural sebagai prakondisi terjadinya tindakan-tindakan kekerasan selama aksi. Padahal, lebih dari sekedar oknum, tindakan anarkis dalam aksi menolak UU Ciptaker adalah buah dari penindasan struktural yang terakumulasi. Bagaimana tidak, sejak masa pandemi menceraikan jutaan kelas pekerja dari mata pencahariannya, negara justru bermain api dengan memberikan insentif dana, relaksasi pajak, dan berbagai kemudahan bagi para pebisnis.

Sudah merumahkan dan mem-PHK-kan para pekerja, ditambah dengan penanganan pandemi yang semakin memburuk, bukannya memberi perhatian lebih pada masyarakat miskin, negara justru cepat-cepat mengetuk palu RUU Ciptaker yang, dilihat dari substansi pasalnya, memihak betul pada pebisnis-pebisnis besar. Jangan heran, di tengah pandemi dan kesengsaraan banyak orang, negara malah memberi peluang segelintir pebisnis untuk meraup keuntungan gila-gilaan. Pebisnis ini masuk dalam 1 persen penduduk super-kaya Indonesia yang menguasai 45,4 persen kekayaan nasional (Credit Suisse, 2017). Jangan heran pula, kalau kondisi ini membakar amarah para demonstran yang memang sebagian besar mereka adalah segmen sosial yang dikorbankan! Mereka sudah muak, dan kemuakan itu memuncak setelah RUU Ciptaker disahkan. Marx (1992: 799) pernah berujar, “akumulasi kekayaan di satu sisi, pada saat yang sama merupakan akumulasi penderitaan, yaitu penyiksaan … terhadap kelas pekerja.” Ujaran ini benar. UU Ciptaker memberikan percepatan akumulasi kekayaan bagi segelintir pebisnis (buruh murah, bahan mentah murah, keuntungan berlipat), sementara di saat yang sama mempercepat akumulasi penderitaan bagi jutaan buruh, buruh tani, nelayan, dan lain sebagainya. Akumulasi penderitaan inilah yang diwujudkan dalam berbagai aksi pengrusakan kemarin.

Selama ini, rakyat dari Sabang hingga Merauke justru sering menjadi sasaran kekerasan dan pemerasan oleh aparat negara hanya karena membela hak-hak mereka yang terampas atau ketika mereka mengadukan nasib mereka ke lembaga yang seharusnya ‘mengayomi’. Oleh karena itu, praktik kekerasan pada aksi jalanan merupakan cerminan kemuakan akan penindasan oleh negara. Penghancuran fasilitas umum oleh rakyat yang tumpah ruah ke jalan secara serentak adalah ekspresi dari pembangkangan terhadap pemerintah yang telah berulang kali memeras tenaga kerja, merampas tanah, merendahkan harga diri, hingga memberangus kebebasan berpendapat mereka. Tindak kekerasan ini jelas merupakan bentuk pembangkangan karena rezim pemerintahan kapitalis tetap berkeras mengesahkan UU Cipta Kerja di tengah pandemi yang mencekik rakyat. Dalam hal ini, kami bersepakat dengan kawan-kawan gerakan bahwa UU Cipta Kerja semakin merundung masa depan rakyat di hadapan para investor korporat raksasa yang akan memeras habis upah dan merampas alam mereka di hari depan.

Akan tetapi pemerintah berusaha untuk mendepolitisasi seluruh aksi massa yang dilakukan oleh rakyat dengan memobilisasi opini publik melalui BuzzeRP dan media arus utama. Para oligarki mempropagandakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh rakyat terjadi karena disinformasi (hoaks) yang direkayasa oleh segelintir orang demi memecah belah persatuan. Pada faktanya, disinformasi justru dilancarkan oleh para elit itu sendiri, karena secara sistematis membuat tuntutan/kritisisme dari masyarakat ditolak sebagai hoaks. Pada tanggal 9 Oktober 2020, Jokowi menampik kritikan dan tuntutan yang muncul di banyak forum, media, dan demonstrasi dengan mengatakan bahwa tuduhan pennghilangan perlindungan pekerja dan lingkungan dalam UU Cipta Kerja tidaklah benar dan merupakan kabar burung belaka. Disinformasi ini adalah upaya pemerintah untuk menjaga hegemoninya yang tengah goyah. Terlebih, kesimpangsiuran informasi yang hadir pun diakibatkan oleh tidak transparannya rezim terhadap draft RUU Cipta Kerja.

Pengerdilan terhadap kemarahan rakyat yang dilakukan oleh rezim ini pun turut diperkuat dengan hujatan dari kelompok ideologis lain. Kelompok liberal dan konservatif mendiskreditkan gerakan rakyat dengan menuduhnya sebagai mob rule. Mereka seakan berhak mendikte kemarahan rakyat dengan berhenti melakukan pengrusakan terhadap fasilitas umum dan menyalurkan tuntutan secara lebih “beradab”, “manusiawi”, “rasional”, dan sebagainya, tanpa mau memahami realitas penindasan yang dialami langsung oleh rakyat selama ini.

  • Kekerasan oleh negara beserta centengnya

Vigilantisme pada aksi jalanan juga bisa dibaca sebagai respon sipil atas kekerasan sistematis yang dilakukan oleh negara. Argumen tersebut bisa dikaitkan dalam konteks yang lebih besar, misalnya dalam akar dan konteks kekerasan komunal di Indonesia. Van Klinken berpendapat bahwa kekerasan komunal yang meledak pasca berakhirnya Orde Baru lahir dari sebuah proses panjang; krisis yang dicicil dalam “tiga dekade modernisasi” di bawah Soeharto. Proses ini melibatkan akumulasi kekayaan yang timpang oleh elit-elit politik, militerisme dan militerisasi di setiap struktur pemerintahan dan birokrasi, penggusuran dan perubahan radikal ruang hidup akibat penetrasi kapital dan pembangunan industrialisasi—yang pada akhirnya memicu kekerasan baik dalam skala komunal maupun jalanan, baik dalam konteks kekerasan antar kelompok atau respon terhadap pemerintah atau elit, seiring dengan konflik internal yang diciptakan dan terbangunnya kesadaran politik (lih. Selengkapnya dalam Van Klinken 2007, bab 2; bandingkan dengan Wilson 2015).

Penting dicatat bahwa aparatus represif negara seperti tentara dan polisi bukan merupakan satu-satunya aktor kekerasan terhadap rakyat. Studi-studi mengenai kasus-kasus kekerasan terhadap rakyat pasca Orde Baru, menunjukkan bahwa pengerahan dan pembiaran tindakan represif dilakukan oleh negara melalui aparatus kekerasan non-negara yang memiliki varian mulai dari preman, ormas-ormas vigilante, milisi, geng-geng, pemeras, centeng, penjahat kecil, keamanan swasta, dan tentara bayaran. Peranan aparatus kekerasan non-negara ini selain berfungsi sebagai ‘anjing penjaga’ dan perpanjangan tangan alat kontrol negara, juga merupakan instrumen kekuatan ekstra ekonomi yang dilanggengkan dalam rangka mengiringi proses pembangunan kapitalisme. (Mudhoffir 2017; Wilson 2018). Dari pengamatan kami, pengerahan aparatus represif non-negara atau kombinasi kedua aparatus kekerasan pada saat demonstrasi penolakan terhadap UU Cipta Kerja masih dilakukan dengan tujuan untuk menghalangi massa aksi, melakukan tindakan intimidasi, atau terlibat sebagai provokator. 

Dari sini, kita bisa melihat negara mempunyai kecenderungan untuk mengkooptasi para aparatus kekerasan non-negara. Ini disebabkan dari suatu keadaan koeksistensi teritorial antara aparatus keamanan negara dan non-negara dengan skala ekonomi yang berbeda. Koeksistensi territorial yang dimaksud di sini seperti yang dijelaskan oleh Wilson bahwa pada kondisi tertentu aparatus kekerasan negara hanya hadir secara parsial yang artinya memberikan ruang bagi aparatus kekerasan non-negara untuk beroperasi di tingkat yang telah disepakati. Artinya, pilihan untuk mengeksekusi atau mengkooptasi aparatus kekerasan non-negara ini sangat dinamis dan bergantung pada kemampuan negara itu sendiri. Jika aparatus kekerasan negara dapat menjangkau secara penuh, aparatus kekerasan non-negara tentu tidak diperlukan. Berbeda jika negara menghadapi krisis legitimasi dan pergolakan seperti sekarang, kombinasi penggunaan strategi kekerasan baik oleh aparatus negara sekaligus aparatus non-negara seperti Pemuda Pancasila atau geng preman menjadi pilihan yang tidak terelakkan dari kondisi elit yang kepentingannya sedang terancam (Wilson, 2018).

Dalam situasi ini, relasi kepentingan negara otoritarianisme yang berkelindan dengan aparatus kekerasan negara dan non-negara berfungsi untuk mempertahankan kekuatan ekonomi-politik kapitalisme. Selain itu, pengerahan aparat represif negara juga memperpanjang rantai penindasan rasial (Schenwar et. al, 2016). Sementara di Indonesia, rezim pemerintahan otoriter Soeharto juga menggunakan kekerasan sebagai sumber daya sebagai basis pembentukan kelas oligark (Robison dan Hadiz, 2004), yang dimulai dengan pembantaian berskala besar pada 1965-1966. Selama 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa, kekerasan adalah sumber daya utama mereka untuk mempertahankan relasi kuasa.

Pembangkangan Sipil: Teori dan Praktiknya

Baca Juga:

Situasi gerakan sipil yang belum terorganisir di tengah represi negara di atas membuat kami merasa perlu untuk menguraikan bentuk-bentuk pembangkangan yang mungkin. Sebagai sebuah gagasan maupun praktik politik, pembangkangan sipil mulai berkembang dan dipraktikkan sejak Thoreau (1849) menulis “Perlawanan terhadap Pemerintahan Sipil”. Setelah Thoreau, tokoh dan pemikir utama dari gerakan ini di antaranya adalah Tolstoy, Gandhi, dan Rawls. Meskipun konsep ini telah berusia lebih dari satu setengah abad, sebagai sebuah strategi gerakan, pembangkangan sipil baru memperoleh gaung yang luas sejak sejak 1960-an seiring dengan naiknya gerakan menuntut hak-hak sipil di Amerika Serikat dan Perang Vietnam (Carter 1998: 29).

Di tengah panjang dan luasnya korpus akademik dan praktik politik tersebut, satu perdebatan penting muncul, yakni sejauh mana tindakan kekerasan dan anti-kekerasan dibenarkan dalam praktik pembangkangan sipil. Bisa dikatakan bahwa sebagian besar korpus akademik menyepakati ketidakabsahan (not justifiable) penggunaan kekerasan dalam pembangkangan sipil.  Bedau dan Wasserstrom, misalnya, menganggap bahwa aspek non-kekerasan secara fundamental mendefinisikan tindakan pembangkangan sipil—dengan demikian suatu tindakan menjadi batal secara kategoris sebagai pembangkangan sipil jika terdapat tindakan kekerasan di dalamnya. Sementara Brown, Martin, dan Bayles, meski mengamini kemungkinan adanya kekerasan yang tidak secara otomatis membatalkan aksi pembangkangan sipil, tetap menganggap bahwa tindakan kekerasan tidak bisa dibenarkan (Morreall 1976: 35; bandingkan dengan tujuh ciri pembangkangan sipil dari Rawls dalam Smart 1978: 258 dan amatan Zashin dalam Herr 1974: 87).

Konsepsi pembangkangan sipil yang demikian terkait dengan gagasan non-kekerasan, bagaimanapun, telah bergeser jauh dari konsep awal yang diserukan oleh Thoreau. Ia bahkan tidak pernah menyebut tindakan yang dia lakukan sebagai pembangkangan sipil—Gandhi-lah yang secara luas mempopulerkan istilah tersebut, dan mendefinisikannya dalam kerangka/kategori kekerasan dan non-kekerasan. Satu dari tiga tindakan yang dianggap sebagai manifestasi terbaik dari pembangkangan sipil yang dilakukan Thoreau, malahan, memuat satu legitimasi atas tindakan kekerasan yang terang: yakni pembelaannya atas penyerangan gedung pengadilan Boston dalam rangka membebaskan budak pelarian yang tertangkap (Herr 1974: 87–88).

Apapun itu, lekatnya konsep pembangkangan sipil dan prinsip non-kekerasan membuat kami kesulitan mencari contoh historis tentang bagaimana gerakan ini dilakukan. Satu-satunya tokoh Indonesia yang muncul dalam perdebatan soal pembangkangan sipil di media sosial pasca RUU Cipta Kerja (lihat tautan status Facebook di bawah) adalah Samin Surosentiko. Muncul sekitar 1905, pertama-tama sebagai perlawanan kultural terhadap dominasi pemuka agama dan komunitas Islam di Blora, Samin dianggap mempelopori perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda dengan tidak membayar pajak (Benda and Castles 1969: 220-213).

APA ITU PEMBANGKANGAN SIPIL. Pembangkangan sipil (civil disobedience) adalah satu bentuk protes warga negara terhadap…

Posted by Farid Gaban on Tuesday, 6 October 2020

Sayangnya, betapapun telah memberikan pijakan historis penting bahwa tindakan pembangkangan sipil di Indonesia tidak berakar pada nilai dan budaya asing atau impor (terdengar mirip dengan nosi Islam Nusantara?), tindakan Samin dan pengikutnya sama sekali tidak menyediakan landasan konseptual yang melegitimasi konteks pembangkangan sipil yang terjadi pasca disahkannya RUU Cipta Kerja pada 8 Oktober 2020 lalu, yakni laku pembangkangan sipil yang muncul bersamaan dengan tindakan kekerasan. Meskipun demikian, satu amatan dari Haksar (1976: 156–57) tentang perbedaan mendasar secara konseptual antara pembangkangan sipil ala Rawls dan Gandhi barangkali menyediakan jalan ke arah sana. Sama-sama dianggap “nabi” anti-kekerasan, Gandhi secara mengejutkan membuka kemungkinan pada aksi yang lebih radikal karena menyerukan pembangkangan sipil dalam skala besar dengan melibatkan pengorbanan kolosal laiknya “domba-domba yang mendatangi rumah pemotongan hewan”. Hal ini tentu berbeda tajam dengan narasi yang sepintas terlihat usang dan cupu dari Rawls yang mendefinisikan pembangkangan sipil sebatas dorongan moral dan aksi hampir serupa teatrikal.

Meskipun demikian, ulasan Rivett tentang Gandhi dalam konteks pembangkangan sipil barangkali merupakan tafsir yang paling mengejutkan. Dengan meyakinkan, Rivett menyajikan satu gambaran “yang lain” dan nampak “radikal” tentang Gandhi—yang sekali waktu pernah dituding Roy (2017) sebagai tokoh yang turut melanggengkan sistem kasta dan manipulatif ini. Menurut Rivett,  Gandhi berhasil membawa gagasan tanpa kekerasan Tolstoy ke arah lebih jauh dengan menggunakannya sebagai alat, sebagai cara untuk melakukan perlawanan. Berbeda dengan Tolstoy, Gandhi menggunakan cara-cara anti-kekerasan secara aktif untuk melawan kekuasaan tiran (Rivett 1988: 32–34).

Tolstoy, yang mendasarkan keyakinannya atas prinsip non-kekerasan dari teks biblikal, meyakini bahwa setiap tindakan kekerasan, termasuk yang dilakukan oleh negara, bertentangan dengan ajaran Yesus Kristus. Konsekuensi dari pembacaan ini membawa Tolstoy menolak segala bentuk tindakan penentangan aktif atas negara, yang menurutnya merupakan pemaksaan sehingga masuk dalam kategori kekerasan, betapapun itu dilakukan tanpa menggunakan kekerasan. Alih-alih, Tolstoy menganjurkan tindakan yang pasif dengan menolak segala kerjasama dengan pemerintah—misalnya tidak membayar pajak, tidak mentaati aturan, dlsb (Rivett 1988: 31).

Gandhi sendiri, meskipun kukuh pada nilai anti-kekerasan yang ia pegang, tidak pernah mengklaim bahwa gerakan anti-kooperatif non-kekerasan adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh tujuan politik (dalam pembangkangan sipil). Bagi Rivett, ini bisa diartikan bahwa  Gandhi mengakui nilai pragmatis kekerasan (Rivett 1988: 47–48). Lebih jauh, Rivett bahkan menunjukkan fragmen historis ketika Gandhi pernah menyuruh anak tertuanya melakukan kekerasan untuk melindungi keselamatannya, pasca percobaan pembunuhan terhadap Gandhi di Durban pada 1897. Gandhi, juga pernah tercatat menyerukan para perempuan di India melakukan segala bentuk perlawanan yang mengorbankan nyawa. Ajaran ahimsa Gandhi mengizinkan penggunaan “pentungan dan senjata-senjata tidak mematikan  lainnya (other clean weapon)” (Rivett 1988: 49–50).

Sementara itu Morreall, dalam tinjauan yang lebih filosofis, berpendapat bahwa praktik pembangkangan sipil senantiasa mensyaratkan adanya elemen kekerasan, setidaknya dalam bentuk paksaan. Dengan argumen yang sama, Morreall menyatakan bahwa kekerasan fisik juga masih bisa dianggap absah pada situasi tertentu dalam tindakan pembangkangan sipil. Kekerasan fisik yang mengakibatkan kematian, menurut Morreall, bahkan bisa dibenarkan dalam situasi hidup dan mati—ia mencontohkan ini dalam praktik penghalangan fisik terhadap para tuan yang mengejar budak-budak pelarian di Amerika Serikat pada 1850-an. Bagi Morreal, tindakan semacam itu secara moral benar—satu hal yang sering dijadikan dalih penolakan aksi kekerasan dalam pembangkangan sipil—karena bertujuan mencegah aksi kekerasan yang lebih besar. Meskipun demikian, Morreall menggaris bawahi bahwa aksi kekerasan mesti diletakkan dalam satu tindakan revolusioner untuk tujuan mendongkel kebijakan atau aturan hukum yang immoral (Morreall, 1976: 35 dan 41-45).

Berbagai Bentuk Pembangkangan Sipil: Strategi Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Justifikasi teoritis penggunaan kekerasan dalam aksi pembangkangan sipil, sebagaimana ditunjukkan di atas, penting untuk memberikan satu pembelaan terhadap segala bentuk perisakan dan pensetanan terhadap setiap bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh kelas pekerja dan kaum tertindas. Justifikasi tersebut juga memiliki implikasi taktis dan strategis terkait pada gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan itu sendiri karena membebaskan kita dari jebakan anakronisme akut, sehingga membuka horizon imajinasi atas bentuk perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan. Bagaimanapun, pembangkangan sipil, yang tidak terbonsai dalam kerangka prinsip non-kekerasan, adalah laku politik yang berumur tua, jauh lebih tua dari Thoreau, dan melampaui batas teritorial dan tradisi, termasuk tradisi keagamaan.

Dalam fase awal sejarah Islam kita bisa mengenali model pembangkangan politik yang dilakukan oleh Ahlul Bait, dipimpin oleh Sayyidina Husain rahimahullah yang kemudian gugur dalam peristiwa Karbala. Contoh lain yang lebih radikal, dalam arti lebih terorganisasi, berumur panjang, dan memiliki dimensi perjuangan kelas, ditemukan dalam pemberontakan Zanj (255-270H/868-883M) dan Qaramitha  (260-297 H/873-907 M) pada era Dinasti Abbasiyah. Kedua pemberontakan yang memiliki keterhubungan ideologis dan historis tersebut dilakukan oleh budak-budak dan petani miskin yang diorganisasi oleh Ali bin Muhammad (Zanj) dan Hamdan Qarmat (Qaramithah) untuk menentang dominasi dan represi elit kekhalifahan Abbasiyah (Waines 1977: 301-306).

Aksi-aksi pembangkangan sipil di dunia Islam ini, terbukti tidak pernah berhenti dan senantiasa menemukan kontekstualisasi dan relevansinya seturut konjungtur ekonomi politik yang tersedia. Satu dekade yang lalu revolusi Arab Spring meletus di Timur Tengah dan Afrika Utara. Revolusi Arab Spring melibatkan perlawanan berkelanjutan para buruh, petani (fellahi), kaum miskin kota dalam menentang pemerintahan diktator—ini tentu mematahkan narasi para analis Barat dan liberal Arab yang membingkai revolusi Arab Spring sebagai gerakan demokrasi liberal yang dimotori semata-mata oleh para pemuda yang melek teknologi (Ayeb & Bush, 2019). Kemarahan rakyat tersebut menunjukkan pembangkangan terhadap rezim neoliberalisme yang berpuncak pada aksi-aksi anti-pemerintah di beberapa tempat. Kelompok buruh, petani, dan kaum miskin kota menggalang perlawanan dengan beragam cara, mulai dari aksi damai hingga aksi bersenjata. Pembangkangan rakyat saat revolusi Arab Spring merupakan puncak akumulasi kemarahan menyusul krisis ekonomi dan politik berkepanjangan akibat liberalisasi perdagangan, perampasan tanah, mekanisasi pertanian, monopoli air, hingga kriminalisasi.

Di Indonesia sendiri, sebagai salah satu bagian besar dari dunia Islam, sejak era kolonial Belanda sampai hari ini, pembangkangan sipil telah muncul dalam aneka bentuk, yang tidak hanya pasif lama ala Samin Surosentiko. Petani di Cilegon, Banten, memberontak terhadap kolonialisme Belanda pada 1888 (lih. Lebih jauh dalam Kartodirdjo 2015), dengan perjuangan fisik dan bersenjata yang keras dan berdarah-darah.  KH Zainal Mustafa di Sukamanah, dalam penolakannya terhadap kyujo yohai (penghormatan kepada istana kaisar Jepang) memberikan satu teladan historis bahwa, jika memang diperlukan, pembangkangan sipil tanpa kekerasan mesti ditempuh dengan cara paling radikal yang bisa mengorbankan nyawa. Tokoh-tokoh buruh pada fase awal pembentukan gagasan Bangsa Indonesia sampai pada awal-awal fase kemerdekaan (tentu saja dari kelompok kiri), secara lebih maju dan revolusioner, memberikan teladan pada kita tentang perlunya mengorganisasi diri dan masyarakat dalam satu gerakan yang berkelanjutan, yang memiliki visi politik jernih tentang perlunya mendongkel sistem setan bernama kolonialisme melalui aksi-aksi pendudukan pabrik (bisa dibaca misalnya dalam Suryomenggolo 2013 dan Scherer 1977).

Pada era yang lebih kiwari (setidaknya dalam 15 tahun terakhir) demikian banyak aksi-aksi pembangkangan sipil radikal terjadi baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Graeber mengulas aksi-aksi radikal, cemerlang, lucu, kreatif dan tanpa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Anarko di Eropa dan Amerika Utara—salah satunya dengan membuat jebakan raksasa berbahan benang serupa sarang laba-laba untuk menangkap pasukan polisi bermotor layaknya kerumunan lalat (Graeber 2020, 66–67). Di antara semua aksi pembangkangan sipil global kiwari, salah satu kemenangan paling berhasil terjadi di  Nantes, Paris. Menentang pembangunan Aéroport du Grand Ouest Project yang akan menggusur wilayah Notre-Dame-des-Landes, gerakan progresif-revolusioner di Perancis berhasil mengorganisasi front pembangkangan sipil yang militan dengan komposisi yang beragam dalam satu komune sekaligus medan tempur yang kemudian dikenal sebagai zone à défendre. Setelah melakukan pembangkangan sipil selama lebih dari satu dekade, rakyat memperoleh kemenangan ketika pemerintah Perancis memutuskan untuk menghentikan proyek tersebut setelah gagal mendongkel benteng perlawanan warganya, meski telah melibatkan aparatus kekerasan negara (lebih lengkap tentang gerakan ini bisa dilihat di sini). Di Indonesia sendiri, salah satu aksi pembangkangan sipil radikal berskala besar dan dianggap menuai keberhasilan yang signifikan terjadi pada tahun 2012 ketika buruh-buruh di Bekasi melakukan grebek pabrik memaksa para pengusaha untuk mengakhiri status outsourcing.

Berbagai tinjauan teoritis dan praktik di atas kiranya dapat menjadi bahan rujukan oleh kawan-kawan sekalian demi memperbesar perjuangan kita membatalkan UU Ciptaker. Dalam jangka pendek, kita perlu mengadakan konsolidasi seluruh elemen perlawanan baik secara taktik-praksis maupun analisis-teoritis. Ini juga mencakup upaya membingkai tuntutan dan menandingi narasi yang anti-perlawanan. Di samping itu, perhatian kita juga tidak boleh terkuras pada panggung depan (front stage) seperti turun ke jalanan, tetapi juga perlu mempertimbangkan panggung belakang (backstage) seperti menyediakan perlengkapan protokol kesehatan, obat-obatan, makanan, minuman, dan lain sebagainya selama aksi berlangsung. Ini demi mereproduksi, memperpanjang, sekaligus memperbesar daya tahan perlawanan kita.

Penggunaan strategi kekerasan baik yang dilakukan oleh aparatus kekerasan negara dan non-negara tidak boleh diabaikan begitu saja oleh gerakan. Penggunaan strategi kekerasan sebagai kekuatan kelas pekerja yang terorganisir dapat menjadi kebutuhan mendesak untuk saat ini jika berbagai prakondisi dan prasyaratnya telah dipenuhi. Keterlibatan dan aliansi pekerja dan kelas-kelas sosial yang tertindas lintas organisasi diperlukan untuk memukul mundur aparatus kekerasan, mencegah demoralisasi, dan menjadi sarana untuk mempertahankan diri.

Aksi pembangkangan sipil dengan menyasar objek vital nasional yang tersebar di berbagai wilayah seperti tol, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik, stasiun kereta, atau pemogokan umum di lantai pabrik, perkebunan, dan sabotase pada proyek-proyek strategis nasional tempat pekerja berada di sana barangkali juga patut dipertimbangkan. Pandangan ini didasari oleh keterbatasan dampak dan resonansi dari aksi-aksi pembangkangan sipil kekerasan yang dilakukan sebelumnya, termasuk demo tanggal 8 Oktober 2020 kemarin. Kami memahami bahwa pusat-pusat pemerintahan seperti Istana Negara dan Gedung DPR RI adalah simbol kekuasaan pemerintahan kapitalis, sehingga wajar belaka jika menjadi sasaran ekspresi kemarahan publik. Namun, kami melihat signifikansi aksi-aksi tersebut masihlah kecil. Penting kiranya memahami bagaimana kapital bekerja.

Karena kapital beroperasi di atas prasyarat buruh dan bahan mentah murah, maka mengarahkan aksi kekerasan pada situs-situs produksi vital menjadi penting. Situs-situs produksi itu adalah domain inti, di mana komoditas murah dan eksploitasi cum akumulasi keuntungan berlangsung. Jika kita berhasil mengganggu operasi produksi, tentu secara sistematis, maka kita sesungguhnya telah menggoyangkan sendi-sendi kapitalisme dan efeknya secara lebih signifikan. Namun, strategi pembangkangan sipil radikal ini tidak bisa dilepaskan dari proses pembangunan organisasi hingga partai pekerja sebagai bagian dari perjuangan politik. Kerja-kerja pendidikan, advokasi dan kampanye solidaritas melalui artikel, pamflet, surat kabar, poster, dan sarana-sarana lain juga diperlukan di berbagai tingkat mulai lokal, nasional, hingga internasional.

Sebagai penutup, menghadapi rezim pemerintahan kapitalis Jokowi dan Ma’ruf Amin yang kuat dan terkonsentrasi sangat memerlukan kekuatan dan keterlibatan seluruh kelas pekerja—baik itu buruh pabrik, pekerja informal, atau pekerja kantoran, di desa dan di kota. Kita semua terjerat di dalam alienasi dan eksploitasi kapitalisme. Terlebih lagi, sebab perjuangan ini adalah urusan seluruh kelas pekerja tanpa mengenal ras, gender, agama, warna kulit, status di tempat kerja atau lainnya. ‘Don’t leave me out. I must be there. Victory is in sight’. 

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri.”

Qs. Ar-Ra’d: 11

Daftar Pustaka:

Ayeb, Habib & Bush, Ray. 2019. Food Insecurity and Revolution in The Middle East and North Africa: Agrarian Question in Egypt and Tunisia. London: Anthem Press.

Beittinger-Lee, Verena. 2010. “(Un)Civil Society and Political Change in Indonesia: A Contested Arena /  Verena Beittinger-Lee.” Routledge studies on civil society in Asia 2. London: Routledge. https://www.taylorfrancis.com/books/9780203868799.

Benda, Harry J., and Lance Castles. 1969. “The Samin Movement.” Bijdr taal land volkenkd 125 (2): 207–40.

Carter, Alan. 1998. “In Defence of Radical Disobedience.” Journal of Applied Philosophy 15 (1): 29–47.

Dodd, Vikram. Jamie, Grierson. 2020. “Terrorism police list Extinction Rebellion as extremist ideology”. The Guardian. 10 Januari. Link: https://www.theguardian.com/uk-news/2020/jan/10/xr-extinction-rebellion-listed-extremist-ideology-police-prevent-scheme-guidance

Graeber, David. 2020. “The New Anarchists.” New Left Review Jan-Feb (13): 61–73.

Hadiz, Vedi R. 1997. “Workers and the State in New Order Indonesia.” London: Routledge.

Haksar, Vinit. 1976. “Rawls and Gandhi on Civil Disobedience.” Inquiry 19 (1-4): 151–92.

Herr, William A. 1974. “Thoreau: A Civil Disobedient?” Ethics 85 (1): 87–91.

Heryanto, Ariel, and Vedi R. Hadiz. 2005. “Post-Authoritarian Indonesia.” Critical Asian Studies 37 (2): 251–75. doi:10.1080/14672710500106341.

Kartodirdjo, Sartono. 2015. “Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya, Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia.” Depok: Komunitas Bambu.

Karunia, Ade M. 2020. “Imbas Corona, Lebih dari 3,5 Juta Pekerja Di-PHK dan Dirumahkan”. Kompas.com. 4 Agustus. Link: https://money.kompas.com/read/2020/08/04/163900726/imbas-corona-lebih-dari-3-5-juta-pekerja-kena-phk-dan-dirumahkan?page=all

Klinken, Geert Van. 2007. Perang kota kecil: Kekerasan komunal dan demokratisasi di Indonesia.  KITLV-Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mansoor, Sanya. 2020. “93% of Black Lives Matter Protests Have Been Peaceful, New Reports Finds”. Time.com. 5 September. Link: https://time.com/5886348/report-peaceful-protests/

Marx, Karl. 1992. “Capital: A Critique of Political Economy Volume I.” Translated by Ben Fowkes. Penguin Classics.

Morreall, John. 1976. “The Justifiability of Violent Civil Disobedience.” Canadian Journal of Philosophy 6 (1): 35–47.

Mudhoffir, Abdil M. 2017. “Islamic Militias and Capitalist Development in Post-Authoritarian Indonesia.” Journal of Contemporary Asia 47 (4): 495–514. doi:10.1080/00472336.2017.1336564.

Power, Thomas P. 2018. “Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline”. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54:3, 307-338.

Quraish, M. Shihab. 2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran. Jakarta: Lentera Hati.

Rivett, Kenneth. 1988. “Gandhi, Tolstoy and Coercion.” South Asia: Journal of South Asian Studies 11 (2): 29–56.

Roy, Arundhati. 2017. “The Doctor and the Saint: Caste, Race, and the Annihilation of Caste: The Debate Between B.R. Ambedkar and M.K. Gandhi/ Arundhati Roy.” Chicago: Haymarket Books.

Related Posts

Comments 1

  1. usman hidayat says:

    PA 212 turun ke jalan soal uu cilaka hampir bisa kita pastikan hanya karena berseberangan dgn penguasa. kalau sekubu hampir mustahil mereka turun. selayaknya nu yg menyarankan utk mengusut dalang demo. pun muhammadiyah tdk bersuara soal pengesahan uu tsb. sampai di titik saya menyesalkan knp gusdur gagal mencabut tap mprs. yg lbh saya sesalkan knp gusdur tdk menanam pondasi yg kuat bagi para gusdurian utk konsisten di jalur itu alih2 merecoki terus geraan radikal tanpa mampu merumuskan basis material radikalisme utk menemukan akarnya. dipaksa orang utk menerima keragaman tanartinya, selain islam progresif, tdk ada yg menaruh perhatian thd kezaliman ekonomi politik. bhw partai itu melakukan kesalahan dan harus dilarang, iya. tapi sosialis ilmiah sbg ilmu pengetahuan tdk perlu ikut dilarang. akibatnya rakyat sngt mudah diperdaya penguasa, tdk mampu akalnya utk menjabarkan argumentasi mengenai kezaliman ekopol shg tdk masuk ruh perjuangan ekopol ke suasana batinnya.
    tren hijrah yg harusnya positif pun bisa dibilang cuma salah masuk pengajian krn ajaran puritan utk menaati pemimpin -yg sgt jauh dari misi pembangkangan sipil. dlm konteks apa utk menaati pemimpin? tentunya bkn soal prinsipil macam kezaliman ekopol. cuman memang para da’i itu menyempitkan soal2 prinsip ke soal aqidah tok. sebab panutan mrk ulama besar Imam Ahmad ra mencontohkan pembangkangan thd penerapan mazhab aqidah resmi negara oleh Al Ma’mun. penerapan mazhab aqidah resmi tidak salah, justru bagus utk pengembangan filsafat, sains dan kebudayaan dgn baitul hikmahnya. yg salah memaksakan warga negara utk ikut mazhab tsb. akibatnya bnyk sipil yg ikut pembangkangan hingga memaksa raja berikutnya membatalkan peresmian mazhab aqidah tsb sekaligus memindahkan episentrum sains ke barat, dari baghdad ke cordova terus naik ke sorbone dan oxford.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.