Bagaimana umat manusia merasakan “akhir dunia”? Akhir kehidupannya secara serentak, kolapsnya pelan-pelan pranata kehidupan yang menopangnya? Eskatologi di sini bukan tentang “Akhirat”, tentang dunia di sana (the World of Thereafter), melainkan tentang “akhir” yang di sini, dunia ini, yang imanen kepada kita saat ini.
Lebih dari sekadar kisah tentang “akhir”, ramalan, prediksi, nubuat, atau pelampiasan ketakutan-ketakutan, hal yang secara umum terstigma sebagai produk “irasionalitas”, eskatologi diperlakukan di sini sebagai hal yang rasional dan diskursif, sebagai seperangkat ekspresi khas berpikir suatu generasi umat manusia menanggapi suatu perubahan dramatis dalam kehidupan yang bisa dipelajari, dihayati, dan produktif melahirkan tindakan-tindakan yang mengubah (transformatif). Sebagai seperangkat ekspresi pemikiran, eskatologi dapat menjadi suatu kritik atas paradigma dan ideologi yang hegemonik pada suatu masa. Bagi kita hari ini, kesadaran eskatologis dapat menjadi penjarakan kritis atas tatanan hari ini, yang ada, eksis dengan segala akar permasalahannya.
Namun, sejauh mana pandemi dalam sepuluh bulan terakhir memunculkan letupan-letupan kengerian akan “akhir dunia”, sensasi kiamat pada peradaban yang kita bangun dengan susah-payah ini? Sebelum menjawab pertanyaan ini, hal yang menggelitik barangkali adalah pertanyaan apakah “akhir dunia” itu benar-benar nyata adanya? Apa parameter dan indikasinya? Di sisi lain, pertanyaan lebih mendasar juga perlu diajukan: mengapa sebagian orang cenderung berpikir bahwa keadaan “baik-baik” saja dan tertangani dengan baik? Bahwa tidak ada “krisis”, dan kehidupan akan tetap berlangsung baik-baik saja?
Kesenjangan kesadaran, berikut reaksi turunannya, atas pandemi dalam kaitannya dengan persepsi umum tentang “normalitas” keadaan atau “normalitas” sistem yang berlaku di seputar keadaan-keadaan saat ini, tidak lepas dari kesenjangan pengalaman akan krisis itu sendiri. Bahwa krisis dialami tidak secara seragam. Ketidakseragaman ini memberikan petunjuk awal: bahwa “kita” terpapar terhadap krisis tidak dengan kepekaan dan kemampuan persepsi yang sama sedemikian rupa hingga kita tiba pada ambang paling tak tertolak, batas terjauh dari kehidupan biologis itu sendiri: yaitu bahwa krisis itu merenggut nyawa “kita”, membunuh “kita”.
Krisis tertentu, yang kejadiannya dapat diamati dan dipelajari oleh disiplin-disiplin geografi, statistik, dan ekonomi, merenggut prasyarat-prasyarat kehidupan sosial, seperti krisis politik (revolusi atau kudeta) yang memunculkan ketidakstabilan ekonomi pada suatu periode tertentu. Suatu krisis biologis yang disertai dengan krisis yang meluas pada kehidupan sosial menghantam dan merenggut tak hanya prasyarat-prasyarat kehidupan sosial, tapi juga menghabisi dan melenyapkan kehidupan biologis itu sendiri—prasyarat agar kehidupan disebut kehidupan.
Dari sudut pandang ini, berbagai bencana dan malapetaka yang pernah dikenali manusia dalam beberapa abad terakhir memiliki kekhasan dan cirinya sendiri yang dapat dikenali sebagai faktor pemengaruh imajinasi umat manusia tentang kiamat, lantaran eskalasi dan tingkat kematian yang ditimbulkan, artinya pengaruhnya yang destruktif terhadap kehidupan biologis. Namun, berbagai bencana dan malapetaka tersebut secara umum bersifat lokal/regional dan insidentil, meski dalam kasus tertentu memiliki skala mematikan yang luas. Kecuali kita sepakat dengan tesis Naomi Klein[1] bahwa kapitalisme, sebagai sistem, terkategorikan sebagai bencana dan malapetaka, alih-alih akar penyebab bencana, maka nyaris tidak ada bencana dan malapetaka yang memiliki skala mematikan secara global selain dua Perang Dunia di awal dan pertengahan abad 20, antara lain dengan mewabahnya pandemi flu tahun 1918[2] dan kini Covid-19. Satu-satunya memori kolektif umat manusia mengenai bencana yang mengungguli pandemi Covid-19 dalam eskalasinya yang mematikan terhadap kehidupan biologis adalah banjir bandang Nabi Nuh di era pra-sejarah, satu-satunya bencana global yang mengubah wajah kehidupan di muka bumi.
Apa yang katastrofik pada suatu masa, dengan demikian, tidak mesti eskatologis. Suatu bencana, bahkan suatu serangan kolonial kepada suatu wilayah penduduk, suatu genosida dan berbagai kekejaman kemanusiaan lainnya, dapat saja meluluh-lantakkan perkampungan dan membunuh ribuan orang dalam sekejap, demikian pula suatu bocoran radiasi nuklir dapat membakar hangus sebuah provinsi atau negara, namun ia memunculkan kiamat sesaat, dan bukan kiamat permanen yang memenuhi sepenuhnya kriteria peristiwa eskatologis dalam kesadaran umat manusia. Hanya pada suatu titik dan level, ketika apa yang katastrofik sekaligus adalah eskatologis, yaitu ketika bencana dan malapetaka tersebut benar-benar sedang membawa krisis kehidupan biologis ke ambang liminalnya yang terbawah, titik nadirnya terjauh, yang tiada lagi apa-apa di baliknya kecuali imaji ketiadaan.
Yang katastrofik menjadi eskatologis ketika memenuhi kriteria-kriteria berikut:
- terjadi secara global
- berlangsung terus-menerus
- tidak terjadi sekaligus
- melumpuhkan
- mematikan
- acak atau sporadis
- menimbulkan kepanikan atau rasa takut permanen atau relatif permanen
- mengaburkan batas antara normalitas dan abnormalitas
- sistemik
- mengatasi kemampuan manusia untuk mengelola dan mengaturnya.
Sensasi “kiamat”, menilik kriteria-kriteria di atas, dengan demikian bukan sekadar manifestasi halusinasi, produk fobia, atau racauan psikotik segelintir orang yang menyebar secara mimetik menjadi histeria massal. Sensasi itu memiliki jangkar epistemiknya yang kukuh dalam acuan yang menjadi satu-satunya acuan bagi pranata-pranata dan sistem turunannya dalam kehidupan umat manusia, yaitu ambang kehidupan biologis. Ketika ambang tersebut telah didekati secara ceroboh oleh perilaku manusia, maka imaji kiamat dengan seketika terkuak dengan kedalaman yang mengantar manusia kepada realitas Ketiadaan, melalui citra kemusnahannya sendiri sebagai makhluk hidup.
Mungkin terlalu bergurau jika ditanyakan apakah pandemi Covid-19 telah memenuhi semua kriteria di atas, dan apakah pandemi ini dapat dinyatakan sebagai contoh kiamat kontemporer. Seperti umum diketahui, tapi tak selamanya disadari, pandemi ini terjadi secara global, meski skala penetrasinya tidak merata; ia sedang berlangsung, dan tampaknya masih akan lama; mematikan, melumpuhkan, acak dan sporadis; dan tampaknya dari hari ke hari, makin mengaburkan batas antara normalitas dan abnormalitas, sehingga semakin sulit untuk dikelola dengan aparatus-aparatus pendisiplinan yang biasa. Namun, di sini kita tiba pada suatu pertanyaan elementer yang tidak mudah dijawab: jika pandemi Covid-19 adalah suatu kiamat kontemporer, apa artinya bagi kita? So, what’s next?
Jawaban atas pertanyaan terakhir ini bergantung pada posisi epistemik dan moral yang kita anut: apakah setelah dinyatakan bahwa pandemi ini merupakan kiamat, kita mengambil langkah-langkah ekstra (“langkah-langkah radikal”) untuk menyelamatkan apa yang tersisa agar kiamat ini segera berakhir, atau setidaknya tak sekatastrofik sebelumnya? Atau sebaliknya, bersikap abstain, masa bodoh (karena percaya “badai pasti berlalu”), atau mengikuti arus dominan tanpa melakukan koreksi atas keterbatasan-keterbatasan kebijakan yang diambil atas nama penanganan wabah?
Pentingnya mendalami makna kiamat ini, dan sensasi “akhir dunia” yang digetarkannya, didasarkan pada pemikiran bahwa kita hanya dapat bertindak tepat dan benar, serta mendasar, hanya jika memahami suatu krisis secara mendasar, hingga kedalaman kenyataannya dan potensialitasnya yang terjauh. Jika pandemi Covid-19 adalah suatu fenomena kiamat kontemporer, atau proses menuju kiamat, maka seyogyanya secara politis dan sosial umat manusia mengambil langkah yang mendasar baik terhadap pandemi yang sedang terjadi maupun potensialitas bencana yang akan terjadi. Hal itu hanya dimungkinkan jika kita membongkar ilusi-ilusi “normalitas” semu yang menghalangi kita mengalami bencana apa adanya, lantaran kepercayaan bahwa keadaan dapat dipulihkan dengan langkah-langkah, pola pikir, dan habitus yang telah biasa, seperti dalam situasi “normal”.
Mendefinisikan Ulang Kedaruratan
Kepercayaan akan “normalitas” keadaan, akan status quo, menjadi tampak alamiah dan wajar, meski krisis bertubi-tubi mengancam di depan mata, bukan semata manifestasi hilangnya kepekaan, matinya hati nurani, atau korupsi moral, hal yang oleh sosiolog seperti Bauman pernah disinyalir sebagai ciri kehidupan modern, di samping berkembangnya rasa takut dan kecemasan,[3] tapi juga akibat kegagalan kita mendefinisikan kedaruratan. Selama ini, kita menerima taken for granted parameter-parameter kedaruratan yang didefinisikan secara ekstrenal dan partisan-parsial.
Eksternal, artinya: kedaruratan itu didefinisikan dengan mengacu kepada pertimbangan-pertimbangan di luar kehidupan biologis. Kita dapat menyebutnya, “pertimbangan non-biotik”. Sebagai misal, kedaruratan yang didefinisikan oleh para ekonom moneter akan memahami kedaruratan hanya jika telah terjadi krisis serius pada krisis moneter. Kedaruratan yang didefinisikan oleh aparat sipil atau militer memahami kedaruratan hanya jika terjadi gangguan pada kestabilan politik di dalam sebuah negeri. Akibatnya, suatu kawasan negeri dapat dianggap stabil dan tidak mengalami darurat sipil atau militer, seperti sejumlah negara di Uni-Eropa atau Asia, meski kawasan itu menjadi tempat suaka korban-korban perang, seperti para keluarga pengungsi perang di Timur Tengah atau Rohingya. Kedaruratan yang didefinisikan dalam kerangka batas-batas geo-politik terbukti tidak mampu menangkap krisis kemanusiaan berupa krisis kehidupan biologis, karena acuan kedaruratan itu murni pada pertimbangan kestabilan makro suatu negeri, bukan pertimbangan kehidupan.
Pengertian-pengertian kedaruratan yang dianut dalam filsafat politik pun tidak luput dari dua atribut ini—eksternal dan partisan-parsial. Walter Benjamin, filsuf masyhur, memahami “keadaan darurat” (state of exception) hanya muncul secara eksklusif kala terjadi krisis kekuasaan dan otoritas, yakni pada momen-momen revolusi, kudeta, perang, atau pemberontakan.[4] Ini karena acuan kedaruratan Benjamin adalah konsep “kekuasaan”, konsep kunci dalam politik. Benjamin tidak melekatkan kedaruratan kepada pertimbangan kehidupan yang sedang dipertaruhkan, baik dalam situasi revolusioner atau perang maupun dalam situasi “normal”; misalnya, kala berlangsung penghancuran terhadap kehidupan biologis sekelompok manusia tertentu atas nama hukum atau undang-undang.
Pengertian kedaruratan semacam ini memberi legitimasi dan dukungan bagi aktor yang memiliki kepentingan partisan untuk secara sepihak menetapkan kedaruratan, atau sebaliknya menyangkalnya demi menetapkan “normalitas”. Siapapun aktor itu—ekonom, sosiolog, politisi, pengusaha, birokrat, militer—kedaruratan selalu khas hari-hari ini: ditetapkan dari mulut pihak penguasa atau pemodal, dan jarang diakui dari sudut pandang pihak korban yang mengalami krisis itu sendiri. Kita jadi memahami mengapa terjadi kesenjangan antara wacana dan keadaan nyata, kondisi riil kehidupan, ketika dalam wacana ditetapkan “normalitas”, meski keadaan nyata memperlihatkan sebaliknya.
Menjadi pertanyaan: apakah kedaruratan membutuhkan konvensi atau kesepakatan? Apakah kiamat membutuhkan persetujuan umat manusia, konsensus para politisi, atau suara koor setelah percekcokan di ruang publik? Petaka datang tidak membutuhkan kesepakatan dan kesepahaman, karena pada momen ketika bencana itu datang, wacana diinterupsi, bahasa kehilangan dayanya, dan akal terbungkam oleh drama kehidupan yang dibuka oleh teror dan kengerian realitas petaka itu sendiri. Seperti ombak tsunami yang tiba-tiba menerjang, manusia tidak akan sempat untuk berdebat apakah kita harus berdiam atau lari; naluri spontan mendorong manusia untuk menyelamatkan diri. Kedaruratan, karena berlangsung terus-menerus, otomatis memaksa kita untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan yang bersifat kolektif, lantaran didorong untuk kemendesakan keadaan yang tak dapat ditoleransi atau ditangguhkan lagi jika tak ingin semakin banyak jatuh korban.
Persoalannya kemudian, atas dasar apa langkah-langkah penyelamatan kolektif tersebut dilakukan? Bagaimana umat manusia tergerak melakukan penyelamatan kolektif, di tengah fragmentasi kepentingan, budaya, gaya hidup, pandangan, dan ideologi? Bersandar kepada pijakan “hati nurani” dan panggilan etis saja terbukti tidaklah memadai, karena kearbitreran manusia modern hari ini yang terombang-ambing antara pertimbangan rasio dan naluri takut akan kematian dalam menghadapi petaka di depan mata. “Hati nurani”, betapapun abstrak dalam konsep namun sederhana dalam praktiknya, atau panggilan etis secara umum, dapat menjadi sabuk kekuatan bagi individu-individu yang tergerak untuk membangun suatu mata rantai penyelamatan kolektif, hanya jika terdapat suatu acuan pokok kedaruratan yang tidak terikat dan tidak membutuhkan prasyarat konvensi atau konsensus apapun, yaitu terancamnya kehidupan biologis itu sendiri, kematian dan kemusnahan umat manusia itu sendiri. Kita dapat menyebut acuan kedaruratan ini sebagai parameter biotik, parameter yang penolakannya adalah langkah kita menuju kehancuran diri kita sendiri.
Salah satu ciri khas yang dapat dikenali dari acuan kedaruratan semacam ini adalah bahwa kedaruratan ini meleburkan pembedaan khas ala masyarakat modern antara dunia-kehidupan dan sistem-kehidupan, yang dirumuskan Habermas sebagai pembedaan antara lifeworld dan system.[5] Dunia-kehidupan menyangga survivalitas biologis, sedangkan sistem-kehidupan menyangga perkembangan sosial melalui pemekaran institusi-institusinya. Kedaruratan yang mengacu pada kelangsungan kehidupan biologis mengembalikan perkembangan masyarakat kepada prasyarat dasar kehidupan, yang tanpanya kehidupan akan binasa. Dalam skema kedaruratan ini, semua sistem-kehidupan harus dirombak dan ditata ulang demi satu-satunya tujuan, yaitu menyelamatkan dunia-kehidupan demi menyelamatkan kehidupan:[6] nyawa manusia dan makhluk di muka bumi.
Refleksi Pandemi
Kekacauan penanganan dan penyikapan atas pandemi Covid-19, yang terjadi di banyak negara—yang paling telanjang di antaranya adalah di Indonesia, tanah air kita—bersumber dari beberapa faktor:
- Akar persoalan pandemi pada komodifikasi alam dan binatang, perusakan ekosistem, dan kapitalisme global tidak dilacak dan disikapi secara tuntas;[7]
- Tumpang tindihnya kepentingan antara Negara dan industri kesehatan mengakibatkan kebingungan kebijakan antara penyelamatan kehidupan dan eksploitasi profit ekonomi, dan menyuburkan birokrasi yang korup di segala level.
- Kebingungan opini publik, akibat absennya kesepakatan yang dibangun secara sukarela atas dasar demokrasi yang fair dan kesetaraan, menimbulkan pro-kontra penyikapan atas pandemi yang berlarut-larut dan mengalihkan perhatian dari agenda darurat penyelamatan kehidupan.
Pandemi menandai kedaruratan pada kehidupan, dan kini, ia diperburuk oleh kekacauan reaksi atas kedaruratan itu. Muncul wacana yang menutupi-nutupi kedaruratan dengan jargon“New Normal”. Wacana “normalitas baru” dimunculkan untuk menjamin sistem ekonomi yang ada tetap berlangsung, namun melupakan prasyarat kehidupan biologis di baliknya. Di sisi lain, retorika eskatologis yang berkembang mengeksploitasi sentimen kedaruratan dan ketakutan atas kematian, tanpa mampu memberikan harapan bagi pentingnya penyelamatan kehidupan.
Pada gilirannya, semua penyikapan itu berujung pada dua kutub yang bertolak belakang, karena berangkat dari pendirian yang berbeda atas kehidupan: anti-biotik versus pro-biotik, anti-kehidupan dan pro-kehidupan. Negara, korporasi, dan sebagian kelompok beragama kerap berada di kutub anti-kehidupan. Sedangkan rakyat, warga negara, masyarakat adat, dan sebagian lagi kalangan beragama (mayoritas) berdiri di kutub pro-kehidupan. Selama pandemi, tak terhitung aksi sukarela yang dilakukan sesama warga dan ummat,[8] ketika Negara terbukti lamban dan acuh terhadap mereka yang terdampak, dan industri kesehatan, korporasi, didukung birokrasi yang korup terus mengambil keuntungan dari situasi krisis.
Dalam situasi ini, kesadaran eskatologis seperti apa yang perlu dimunculkan? Tampaknya ada paradoks pada eskatologi. Di satu sisi, ia mengajarkan bahwa kiamat tidak tertolak, bahwa umat manusia akan segera menemui ajalnya dan tiba pada kehancurannya, karena demikian Takdir Ilahi atas kehidupan di muka bumi. Di sisi lain, manusia diberi oleh Tuhan tanggung jawab untuk tetap menyelenggarakan kehidupan, tugas yang wajib selalu diemban, seberat apapun tantangannya. Kesadaran eskatologis dalam situasi krisis semacam ini, dengan demikian, harus merangkul kedua sisi yang tampak bertolak belakang, tetapi sebenarnya sama-sama berakar dari keyakinan spiritual yang sama: ajaran bahwa kematian dan kehidupan adalah dua sisi Takdir Ilahi yang wajib diemban.
Kesadaran eskatologis yang anti-kehidupan, akan memperburuk situasi krisis dan membawa kepada kehancuran umat manusia, akibat kecerobohan manusia sendiri. Tindakan-tindakan ekstrem bisa diambil untuk mempercepat kehancuran ini, seperti terorisme atas nama agama. Tak butuh agama untuk memupuk eskatologi semacam ini. Sains yang digunakan culas, seperti manipulasi teknologi nuklir, bisa membunuh ratusan kali lipat daripada satu butir ajaran agama teroristik. Kesadaran eskatologis yang diperlukan adalah kesadaran yang melihat kehidupan dan kematian sebagai dua tanggung jawab, dua imperatif, yang sama-sama niscaya: kehidupan untuk mewujudkan potensi terbaik kemanusiaan, kematian untuk menjadi pengingat batas kemampuan terjauh manusia dan takdir perjalanan kemanusiaan.
Dirumuskan secara lain, kesadaran eskatologis ini bersifat dialektis: ia meyakini adanya akhir kehidupan, namun menghindari bahwa kehidupan segera berakhir, dengan ikhtiar terbaik menyelamatkan kehidupan. Kesadaran terus-menerus akan “akhir kehidupan”, akan kiamat, ditimpali dengan sikap responsif memuliakan kehidupan yang tersisa di “akhir kehidupan”; tidak menyia-nyiakan satu kehidupan pun lantaran keyakinan bahwa hanya inilah satu-satunya kehidupan yang dititipkan Tuhan, yang karenanya harus dijaga dengan sekuat tenaga.
Kesadaran eskatologis semacam ini terinspirasikan dari tradisi agama-agama yang bertolak dari ajaran dasar pemuliaan kehidupan. Melihat sikapnya kepada kehidupan, Ia tidak bertentangan dengan sains, sejauh sains terbaktikan juga untuk memuliakan kehidupan, alih-alih menghancurkannya. Kritik para sejarawan liberal seperti Yuval Noah Harari atas agama sebagai “mekanisme pertahanan” yang usang dan digantikan oleh sains, tampak terlalu simplistik.[9] Eskatologi hanya dilihat sebagai pelarian dari Dunia menuju Akhirat, dan kehancuran dunia sebagai skenario Tuhan yang harus ditolak dan dianggap irasional karena bertentangan dengan optimisme keabadian manusia. Bagi kesadaran eskatologis yang dialektis, “akhir dunia” adalah masa depan dunia itu sendiri. Karena kefanaan dunia, maka alih-alih menjadi tempat pelarian, dunia adalah tempat bermukim satu-satunya umat manusia yang harus dilestarikan demi mempersiapkan “akhir dunia” yang sesungguhnya (Kiamat) dengan cara sebaik-baiknya.
Hanya dengan berpikir tentang “akhir” kehidupan, umat manusia dapat memikirkan “awal” kehidupan dengan lebih tepat. Kesadaran eskatologis memungkinkan kita memikirkan kehidupan alternatif sebagai ganti atas akumulasi pengalaman kehidupan umat manusia di planet ini selama beberapa abad terakhir. Hanya dengan berpikir tentang “akhir” kehidupan, kita dapat memandang kehidupan dengan mata baru, yang lebih segar karena tidak terbebani keharusan melanjutkan mode of being yang keliru dan telanjur menjadi sistemik, mendarah-daging dalam sistem kehidupan sehari-hari. Beberapa hal dapat dicatat:
- Dengan memikirkan “akhir” kehidupan, kita dapat mengevaluasi dan mengoreksi tata penyelenggaraan kehidupan umat manusia yang dibangun di atas hegemoni modernisme, kapitalisme, dan globalisasi—yang keberlangsungannya terbukti meningkatkan degradasi kualitas kehidupan, antara lain mewabahnya penyakit (epidemi dan pandemi).
- Dengan memikirkan “akhir” kehidupan, kita akan selalu dipaksa keluar dari waham-waham normalitas dan normalisasi semu yang membuat kita serampangan menyikapi krisis atau potensi krisis. Teori Butterfly Effect memberi pelajaran berharga: persoalan kecil di suatu tempat yang terpencil dapat menjadi pemicu persoalan besar di tempat lain. Bahwa dunia adalah semesta kompleks jalinan di antara hal besar dan hal-ihwal kecil dan remeh-temeh. Nanoteknologi, fisika kuantum, atau biologi molekuler menunjukkan kemustahilan kita mengabaikan hal yang kecil sebagai fundamen kehidupan. Patogen dan virus, contohnya.
- Dengan memikirkan “akhir kehidupan”, muncul mode of being, formasi berkehidupan, yang dibangun atas keseimbangan antara menjalani kehidupan dan menghadapi risiko terburuk dalam kehidupan. Cara berpikir antisipatif muncul, meredam cara berpikir instan-oportunistik yang lebih sering membawa bahaya bagi kehidupan.
- Karena bayang-bayang kiamat menimpa siapa saja tanpa memandang latar belakang, dan perilaku sekecil apapun dari seorang individu bisa mencelakakan orang banyak,
maka alih-alih bertahan sendiri-sendiri secara individualistik, umat manusia memerlukan mode of being yang dijiwai oleh kebertahanan bersama-sama (co-survivality), untuk dapat bertahan sebaik mungkin bersama-sama. Secara naluriah, bertahan sendiri-sendiri tidak menjamin keselamatan yang permanen kecuali sementara, sebagai pelarian sesaat. Dengan bertahan bersama-sama, ada rasa kesetiakawanan dan senasib-sepenanggungan yang memberikan kekuatan psikis untuk menghadapi ancaman bencana dengan kesiagaan yang lebih baik. Hal ini lebih dari sekadar solidaritas. Solidaritas cenderung bersifat insidentil pada saat-saat kritis. Kebertahanan bersama-sama adalah suatu mode of being, cara-mengada yang dipilih secara sadar untuk selalu bersama-sama dalam situasi sulit dan normal.
Pasca-pandemi?
Agar tidak terjebak kembali dalam siklus normalitas yang semu, kita tidak perlu membayangkan situasi pasca-pandemi sebagai situasi normal yang baru saja lepas dari “kutukan” wabah. Andai pandemi Covid-19 nantinya akan berakhir, dunia belum tentu lebih baik daripada sebelum pandemi, selama kehidupan sedang dalam ancaman pemusnahan oleh sistem dan daya-daya penghancur yang mengintai setiap saat. Di sini kita sedang berbicara tentang masih eksisnya teknologi dan teknokrasi yang mengancam kehidupan (anti-biotik), seperti terus dikembangkannya teknologi persenjataan, teknologi ekstraktif,[10] nuklir, serta berbagai industri polutan yang mempertaruhkan nyawa manusia dan makhluk hidup di muka bumi.
Pasca-pandemi, dengan kesadaran bahwa citra kiamat masih akan terus membayangi ufuk peradaban, umat manusia memerlukan dua hal sekaligus: kebijakan yang menghentikan berkembangnya teknologi yang anti-kehidupan, dan mode of being yang berintikan perawatan dan pemeliharaan atas kehidupan. Kecerdasan dan inteligensia terbaik manusia memiliki dorongan imperatif untuk terarah kepada keduanya, jika masih diangggap bermanfaat untuk menyangga kehidupan itu sendiri. Tanpa imperatif ini, kecerdasan dan inteligensia manusia hanya memperbudak diri di hadapan rasionalitas instrumental atas nama modal dan kekuasaan praktis yang, pelan atau cepat, menghancurkan kehidupan, karena tekanan antagonisme kepentingan yang niscaya dibawanya.
Beberapa butir pemikiran alternatif untuk kehidupan pasca-pandemi dapat disebutkan di sini:
- Mengingat kedaruratan pemulihan pasca-pandemi, semua proyeksi mengenai pemikiran peradaban dan kemanusiaan mesti didasarkan kepada pertimbangan dan wawasan kosmik, sehingga diperlukan disiplin-disiplin lintas batas, seperti kemungkinan melahirkan disiplin sosio-kosmologi atau antropo-kosmologi. Pada level yang lain, perlu didorong juga disiplin-disiplin keilmuan baru yang berorientasi kehidupan dan survivalitas kehidupan, seperti bio-sosiologi, bio-antropologi, dan seterusnya.
- Pada ranah ekonomi, sebagai basis dari suprastruktur kebudayaan dan politik, mendesak imperatif membangun sistem ekonomi yang berasumsikan “kelangkaan” (scarcity), yaitu bahwa semua sumber daya ekonomi berupa bahan-bahan alam maupun karyacipta manusia (kreatif-artifisial) bersifat terbatas, berhingga, dan langka, sehingga mesti digunakan dengan sehemat-hematnya dan seproporsional mungkin. Namun demikian, ekonomi kelangkaan ini tidak membolehkan terjadinya kompetisi, melainkan dibangun atas dasar kepercayaan timbal balik (mutual trust) untuk kepentingan bersama. Semua bencana sosial-ekologis yang menjadi bencana biologis pada satu abad terakhir dipupuk oleh mitos “kemelimpahan sumber daya alam” yang melegitimasi eksploitasi tanpa batas, atau mitos kelangkaan atas dasar kompetisi.
- Pada tingkat kebijakan dan pengaturan biopolitik, statistik tradisional yang selama ini menggunakan angka kelahiran (birth rate) dan harapan hidup (mortality rate) tidak lagi memadai. Ia juga memerlukan pengetahuan tentang tingkat potensi kemusnahan kehidupan (extinction rate) pada suatu masa di suatu lokasi tertentu. Pengetahuan semacam ini bersifat publik, dapat dipertanggungjawabkan, dan dapat diuji terus-menerus.
Ada atau tidak adanya kebaruan pada kehidupan pasca-pandemi bergantung pada cara kita menempatkan pandemi kali ini: sebagai insiden, interupsi sejenak, kejutan sesaat, atau suatu gerbang untuk memasuki corak berkehidupan baru yang dipersyaratkan oleh keberlangsungan kita sebagai manusia.
Catatan Kaki:
[1] Naomi, Klein. 2007. The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalisme. New York: Metropolitan Books.
[2] Wibowo, Priyatno dkk. 2009. Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda. Jakarta: Departemen Sejarah UI, Unicef, Komnas FBPI. Hal: 27 dst.
[3] Bauman, Zygmunt. Donskis, Leonidas. 2013. Moral Blindness: The Lost of Sensitivity in Liquid Modernity. London: Polity Press. Hal: 94 dst.
[4] Sudibyo, Agus. 2019. Demokrasi dan Kedaruratan. Jakarta: Marjin Kiri. Hal: 96.
[5] Habermas, Jurgen. 1985. The Theory of Communicative Action, Vol.2. Boston: Beacon Press.
[6] Mengenai pembedaan antara dunia-kehidupan dan kehidupan, dari tinjauan fenomenologi, lihat Al-Fayyadl, Muhammad. 2020. Filsafat Negasi. Hal: 75. Secara umum, dunia-kehidupan adalah kehidupan sosial itu sendiri, di mana interaksi antarmanusia terjadi dan berlangsung, sedangkan kehidupan adalah kelangsungan vitalistik jasmani manusia dalam aktivitas biologis dan reproduksinya sehari-hari seperti makan, minim, tidur, dst. Dan yang terpenting, keberadaanya di tengah-tengah manusia yang lain.
[7] Mushoffa, In’amul. et. al. 2020. Pandemi Covid-19, Kapitalisme, dan Sosialisme. Malang: Intrans Institute.
[8] Affiat, Rizki. 2020. People to People: Covid-19 and Reimagining Solidarity among the Working Class in Jakarta. http://covid-19chronicles.cseas.kyoto-u.ac.jp/post-036-html/
[9] Harari, N. Yuval. Et. al. 2020. Wabah, Sains, dan Politik. Yogjakarta: Antinomi.org.
[10] Arboleda, Martin. 2020. Planetary Mine: Territories of Extraction Under Late Capitalism. London: Verso.