Memantau aktivitas di Jakarta belakangan ini, yang secara sepihak merancang Otonomi Khusus Papua jilid II demi menghindari tekanan publik berkaitan dengan rasisme yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua dan gema kelanjutannya di Papua yang telah berakibat munculnya kembali perlawanan akar rumput, kita harus mengingat bahwa tujuan dan kerangka pembangunan Negara Indonesia di Papua telah kental dengan superioritas etnis sejak awal.
Sejak 1963, keberadaan negara Indonesia sebagai pemicu terjadinya diskriminasi rasial yang disusul dengan jatuhnya rezim otoritarianisme Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia pada 1998 menghadirkan kesempatan bagus dan angin segar untuk kebangkitan seluruh rakyat Papua, untuk menentukan hak politik untuk merdeka dan lepas dari Republik Indonesia.
Tuntutan rakyat Papua untuk merdeka dari negara Indonesia rupaya disambut dengan kekerasan aparat kepolisian dan militer yang dilancarkan oleh pemerintah Indonesia yang menyebabkan jatuhnya banyak korban sebanyak setengah rakyat Papua.
Demi menghentikan kekerasan negara oleh aparat kepolisan dan militer Indonesia, jalur damai dan bermartabat sepakat untuk ditempuh oleh kedua belah pihak: pemerintah Indonesia dan rakyat Papua–yakni Undang-Undang Otonomi Khusus No. 21 tahun 2001.
UU Otonomi Khusus 2001 memuat pasal-pasal yang menghadirkan jaminan dan harapan bagi rakyat Papua. Janji dan kesepakatan tersebut dimuat dalam mandat hukum negara Indonesia sebagai berikut: perlindungan, pengakuan hak penduduk asli Papua, penguatan, dan tindakan afirmatif justru menemui kegagalan dan hanya melahirkan kekecewaan mendalam dan kecemasan bagi penduduk asli Papua. Saat otonomi khusus banyak penduduk asli Papua terbunuh di tangan aparatus keamanan (militer dan kepolisian) dan pelakunya tidak pernah diadili demi keadilan keluarga korban pembunuhan. Partai politik lokal tidak pernah terbentuk. Mengibarkan bendera Bintang Kejora dilarang. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC) gagal dilaksanakan.
RASISME dan KETIMPANGAN semakin tumbuh dan meluas di era Otonomi Khusus. Terbukti peristiwa RASISME yang terjadi pada 15-17 Agustus 2019 di Semarang, Malang dan Yogyakarta dilancarkan oleh organisasi radikal seperti: Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila (PP), punggawa militer dan Forum Komunikasi Putra/Putri Purnawirawan (FKPP).
Terdapat 4 akar permasalahan Papua dalam Otonomi Khusus menurut penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang diajukan kepada Negara Indonesia untuk diselesaikan. (1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; (2) Kekerasan negara dan pelanggaran HAM serius sejak tahun 1965 yang belum terselesaikan; (3) Diskriminasi dan marjinalisasi rakyat Papua di tanahnya sendiri ; (4) Kegagalan pembangunan termasuk di sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi bagi rakyat Papua.
Dawan Gereja Papua Barat menyimpulkan bahwa empat akar tersebut datang dari RASISME dan KETIDAKADILAN.
Akar dari permasalahan rakyat Papua adalah RASISME dan KETIDAKADILAN. Ini terbukti dengan GAM di Aceh menjadi rekan dialog dengan negara Indonesia yang dimediasi oleh pihak ketiga di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Partai lokal Aceh didirikan dan bendera GAM dikibarkan.
Berdasarkan realitas tersebut, Dewan Gereja Papua meminta Republik Indonesia secepatnya mengentaskan 4 akar permasalahan di Papua, selanjutnya Dewan Gereja Papua akan menegaskan kembali tuntutan Surat Pastoral kami tertanggal 26 Agustus 2019 dan 13 September 2019 sebagai berikut:
- Kami menuntut keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan masalah di Papua sepertihalnya yang dilakukan dengan GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan aktif dalam mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi secara internasional. Selanjutnya, kami menuntut pemerintah Indonesia membuka dialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga. (Isi Surat tertanggal 26 Agustus 2019)
- Kami menuntut pemerintah Indonesia untuk secepatnya membuka negosiasi dengan ULMWP seperti dengan GAM di ACEH dengan menjadikannya rekan negosiasi yang dimediasi pihak ketiga; Ini adalah satu-satunya solusi terbaik untuk membawa kedamaian di Tanah Papua, dan ini sesuai dengan Seruan Pastoral pada 26 Agustus 2019 yang ditujukan langsung ke Komandan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Indonesia di Hotel Swiss-Bell Jayapura. (Isi Surat tertaggal 13 September 2019).
Jayapura, Minggu, 5 Juli 2020
DEWAN GEREJA PAPUA (WPCC)
- Pendeta Andrikus Mofu, M.Th.
- Pendeta Dorman Wandikbo, S.Th. 3. Pendeta Dr. Benny Giay, Ph.D.
- Gembala Dr. Socratez S.Yoman,MA.