Dua Tanah Suci Umat Islam: Menggugat Kembali Kepengurusan atas Makkah dan Madinah

2.3k
VIEWS

Pada akhir Maret lalu beredar rilis dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi terkait rencana ibadah haji tahun 2020 atau 1441 Hijriah. Melalui Menteri Urusan Haji, mereka menyarankan agar calon jamaah haji dari seluruh dunia memikirkan ulang rencana keberangkatannya sampai ada pemberitahuan resmi dari pemerintah Arab Saudi. Situasi ini muncul sebagai respon atas semakin meluasnya wabah Corona hingga dinyatakan sebagai pandemik. Rilis tersebut melengkapi dari maklumat penghentian sementara pelaksanaan ibadah Umrah beberapa waktu sebelumnya.

Bagi beberapa kalangan, kebijakan penutupan atas dua tanah suci dan kemungkinan ditiadakannya ibadah haji tahun ini dikaitkan dengan tanda-tanda semakin dekatnya hari kiamat. Bahkan beberapa pesan yang penulis terima dalam grup-grup media sosial seperti WhatsApp menyebutkan bahwa apabila tidak ada lagi yang melakukan thawaf di Makkah niscaya dunia akan hancur. Apabila kita membaca catatan sejarah, peristiwa ditutupnya dua tanah suci termasuk peniadaan ibadah haji pernah terjadi beberapa kali. Latar belakang penutupan tersebut bermacam-macam mulai dari banjir besar pada abad ke-17, wabah penyakit pada abad abad ke-19, dan berkali-kali pergolakan politik hingga yang terakhir terjadi pada tahun 1979.

Terlepas dari itu semua, sebagaimana yang disebutkan Arundhati Roy (2020) bahwa pandemi ini bisa dilihat sebagai sebuah portal atau pintu gerbang untuk membayangkan suatu tatanan dunia yang baru. Senafas dengan ide tersebut, tulisan ini mengajak untuk memikirkan kembali bagaimana sebuah negara bangsa bisa memiliki wewenang begitu besar atas tanah suci termasuk dengan melakukan penghentian atas ibadah Umrah dan juga kemungkinan ibadah haji. Memang sudah tampak kegelisahan di kalangan umat Islam atas ketidakpastian berlangsungnya ibadah haji pada tahun ini seperti yang disuarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Melalui Ketua Dewan Pertimbangannya, MUI mendesak agar Organisasi Kerjasama Islam (OKI) agar segera melangsungkan sidang darurat untuk membahas terkait persoalan ini dan meminta agar Kerajaan Arab Saudi memperhatikan masukan dari negara-negara lainnya.

Apa yang disuarakan oleh MUI tersebut memang adalah suatu hal yang wajar. Apalagi dengan penduduknya yang mayoritas Islam dan calon jamaah hajinya telah mengantri hingga belasan tahun ke depan, tentu aspirasi Indonesia juga harus tersampaikan. Masalahnya adalah seberapa efektifkah desakan ataupun jika ada resolusi dari OKI kepada Kerajaan Arab Saudi terhadap keputusan pelaksanaan ibadah haji? Apalagi jika menilik dari beberapa kajian terkait organisasi ini salah satu kelemahan terbesar dari OKI adalah tidak adanya kekuatan supranasional yang dimiliki sehingga tidak dapat melakukan intervensi apapun terhadap kebijakan yang diambil oleh negara anggotanya (Hossain, 2012). Maka seharusnya kita bisa membayangkan solusi yang lebih baik daripada sekedar menyampaikan aspirasi melalui OKI.

Salah satu alternatif untuk membayangkan solusi tersebut adalah dengan membaca ulang kembali sejarah dua tanah suci dan kaitannya dengan kerajaan Arab Saudi yang hingga kini menguasainya. Mungkin bagi sebagian besar dari umat muslim dewasa ini adalah suatu hal yang wajar menganggap bahwa Makkah dan Madinah identik dengan Arab Saudi. Ketika kita hendak berkunjung ke sana melaksanakan ibadah Umrah maupun Haji, kita membutuhkan visa dari Kerajaan Arab Saudi ataupun paspor khusus. Pengurusan visa tersebut tentu saja tidak cuma-cuma, ada biaya yang harus kita bayarkan ke kerajaan Saudi. Sama dengan ketika kita hendak bepergian ke negara-negara lainnya. Selain dari ongkos visa, banyak keuntungan yang mengalir ke dalam kas kerajaan itu seperti pajak dari apa yang kita belanjakan di sana, baik untuk keperluan ibadah, kebutuhan hidup sehari-hari, hingga belanja beraneka ragam buah tangan.

Sejak berkuasanya Dinasti Saud atas Hijaz tahun 1926, arus jamaah haji yang tiap tahun terus bertambah memiliki fungsi ekonomi penting yang vital. Uang yang dibawa dan dibelanjakan oleh para jamaah haji merupakan sumber pendapatan utama negeri itu. Tak heran segera setelah kekuasaan atas Hijaz terkonsolidasi, Kerajaan Saudi Arabia menjalin hubungan baik dengan negara-negara muslim termasuk Indonesia yang masih menjadi jajahan Belanda.

Berbagai cara dilakukan dengan dalih macam-macam untuk melegitimasi penguasa baru dua tanah suci. Raja Ibnu Saud menentang kegiatan pan-Islamisme maupun kegiatan nasionalis di antara jamaah haji. Tentu kebijakan ini akan menyenangkan negara-negara penjajah seperti Inggris, Perancis, Belanda dan lainnya.
Cara lainnya adalah memperketat jalur pengamanan jamaah haji. Dalam catatan-catatan masa lalu dengan mudah bisa didapatkan bagaimana bahaya yang harus ditempuh seorang calon jamaah haji sedari awal keberangkatannya di tanah air hingga berbagai ancaman di kawasan Hijaz sendiri.

Menurut Snouck Hurgronje yang pernah mengamati secara langsung situasi di sana, jamaah haji dari Indonesia merupakan umpan yang paling empuk bagi pemeras dan penipu. Dari seluruh orang asing yang, kelompok inilah yang paling dihabisi harta bendanya. Wiranatakoesoema, bupati Bandung yang berhaji pada tahun 1924 juga menyatakan bahwa para jamaah haji dari Indonesia kerap ditipu dengan pelbagai cara baik oleh pedagang, pemandu jalan, dan kelompok-kelompok lainnya. Setelah berkuasa, Kerajaan Saudi Arabia terus menerus berupaya meminimalisir hal tersebut agar jamaah haji tetap berdatangan.

Selain itu rejim tersebut juga berusaha mendorong minat terhadap umat Islam di seluruh dunia melalui propaganda. Secara berkala dikirim agen-agen dakwah yang berfungsi sekaligus propagandis ke berbagai negara termasuk Hindia Belanda. Media cetak yang pro kerajaan Saudi mendukung propaganda tersebut. Naiknya presentase jamaah haji dari Hindia Belanda pada akhir tahun 1920an yang menyumbang sekitar 40% dari seluruh jamaah haji bisa menjadi salah satu indikator keberhasilan (Vredenbregt, 1962). Kerajaan Saudi juga mengatur kegiatan para syekh yang tugas utamanya sebagai pembimbing jamaah haji dan memberikan pajak khusus yang lebih tinggi daripada yang pernah dikenakan sebelumnya. Maka, tentu bisa dilihat bagaimana kesejajaran kepentingan antara pemerintah kolonial khususnya masalah politik, pihak perantara jamaah haji baik para syekh maupun perusahaan-perusahaan pelayaran dengan rejim Saudi yang menggantungkan sumber pendapatannya dari ibadah haji. Situasi ini baru berubah pasca Perang Dunia Kedua dimana pendapatan Kerajaan Saudi dari minyak bumi jauh melampaui pendapatan dari ibadah haji.

Setelah mengalami booming minyak selama beberapa dekade, tampaknya sektor tersebut tidak bisa terus menerus menjadi sumber pendapatan utama Saudi Arabia. Kembali rejim Saudi melirik ibadah haji sebagai strategi untuk mengantisipasi hal tersebut. Dalam kajian termutakhir yang dilakukan Quranshi (2019), industri pariwisata menyumbang 2,4 % dari produk domestik bruto Kerajaan Arab Saudi dan diprediksi menyentuh angka 5,7 % pada tahun 2020. Pada tahun 2015, jumlah total jamaah yang melawat ke Makkah dan Madinah mencapai 19 juta orang lebih yang terdiri atas 2,95 juta orang jamaah Haji dan 14 juta lebih jamaah Umrah. Hanya pada tahun 2013 dan 2016 saja terdapat penurunan angka kunjungan yang kemungkinan terjadi karena masifnya pembangunan infrastruktur di sekitar Masjidil Haram Makkah. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi sendiri telah melansir “Vision 2030” dimana terdapat serangkaian strategi untuk meningkatkan perekonomian negara tersebut termasuk di dalamnya mengatur tentang ibadah Haji dan Umrah.

Berkaca dari hal tersebut, maka tak heran proyek-proyek pembangunan dilancarkan secara besar-besaran di kedua tanah suci tersebut. Bagi mereka yang berkesempatan untuk melaksanakan ibadah Haji ataupun Umrah sebelum tahun 2010 kemudian kembali lagi ke sana beberapa tahun belakangan ini niscaya akan merasakan berbagai perubahan drastis khususnya di wilayah Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah. Mungkin hal yang paling mencolok adalah berdirinya menara pencakar langit termasuk hotel berbintang dan pusat perbelanjaan persis di seberang (atau bahkan menyatu) dengan Masjidil Haram. Tentu dari fenomena ini tak sulit untuk melihat bagaimana urusan ekonomi berkelindan erat dengan urusan ibadah yang sakral.

Gelar Khadim al-Haramayn al-Syarifayn atau Pelayan Dua Tanah Suci yang dipakai oleh Raja Arab Saudi pun bisa dibaca bahwa selain melayani urusan-urusan peribadatan, sang pelayan juga harus melayani kepentingan-kepentingan ekonomi. Titel Pelayan Dua Tanah Suci sendiri bukanlah hal yang baru. Kembali membuka lembaran sejarah ke masa yang lebih lampau, kita bisa mendapati bahwa gelar tersebut telah dipakai jauh sebelum adanya Dinasti Saud. Ada pendapat yang menyebutkan gelar ini pertama kali dipakai oleh Shalahuddin Al-Ayyubi atau Saladin ketika terlibat dalam Perang Salib. Sebutan ini kemudian disematkan juga kepada Sultan Selim I dari Turki Utsmani pada saat ia berkuasa. Menurut Soleimani (2016) gelar ini dipakai untuk meneguhkan statusnya sebagai khalifah yang tidak berasal dari Arab. Dalam sejarah Kerajaan Arab Saudi sendiri, gelar Pelayan Dua Tanah Suci baru benar-benar dipropagandakan oleh Raja Fahd pada tahun 1987 khususnya setelah terjadi gugatan dari Iran atas insiden yang terjadi pada saat pelaksanaan ibadah Haji di tahun yang sama.

Gugatan atas kepengurusan Dua Tanah Suci oleh dinasti Saud tidak hanya dilakukan oleh rejim Syiah saja. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pada tahun 1979 terjadi penutupan atas tanah suci Makkah. Gerakan bersenjata yang diinisiasi oleh Jamaa al-Salafiya al-Muhtasiba berhasil melakukan pengepungan atas Masjidil Haram dan menguasainya selama dua minggu. Pencetus gerakan ini adalah Juhayman al-Utaybi yang mengklaim bahwa sang Mahdi telah datang seperti dijanjikan oleh Rasulullah SAW. Menurut Juhayman dan pengikutnya, sosok al-Mahdi terdapat pada diri Muhammad bin Abdullah al-Qahtani yang juga saudara iparnya. Bersamaan dengan pengepungan Masjidil Haram, kelompok ini mengumumkan kehadiran al-Mahdi kepada seluruh jamaah yang ada di dalam masjid dan sekitar Ka’bah. Seiring dengan hadirnya sosok Mahdi, maka raja Khalid yang saat itu berkuasa dari Dinasti Saud juga harus disingkirkan kekuasaannya atas Makkah dan Madinah.

Dari aspek teologis, apa yang diyakini dan dijalankan oleh kelompok yang dipimpin oleh Juhayman tidak berlawanan dengan penguasa Kerajaan Arab Saudi. Lebih lagi keluarga Juhayman termasuk dekat dengan keluarga Saud sejak masa perjuangan mendirikan Kerajaan Arab Saudi. Juhayman sendiri sebelumnya merupakan anggota dari Garda Nasional dan murid dari Syekh Abdul Aziz bin Baz yang kemudian menjadi Mufti Besar Kerajaan Arab Saudi. Alasan utama yang memicu berdirinya gerakan ini adalah anggapan Juhayman terhadap perkembangan kehidupan sosial negara tersebut yang semakin menjauh dari ajaran Islam. Menurutnya berkah kemakmuran yang didapatkan dari hasil minyak bumi menyebabkan terjadinya kemerosotan moral masyarakat. Konsumerisme semakin tidak terbendung sehingga menyingkirkan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama Islam. Maka kedatangan sang Mahdi akan memulihkan kembali tatanan masyarakat sesuai dengan Quran dan Hadits Nabi.

Pada akhirnya, gerakan yang dipimpin oleh Juhayman ini dapat ditumpas oleh Kerajaan Arab Saudi. Dengan dukungan utama dari Perancis, Juhayman beserta para pengikutnya diringkus dan dieksekusi satu persatu. Meski demikian, cita-cita gerakan ini untuk mengembalikan tatanan masyarakat sesuai dengan Quran dan Hadits Nabi justru mendapat sambutan. Pasca insiden tahun 1979, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Kerajaan Arab Saudi lebih memberi ruang terhadap ajaran yang konservatif seperti membatasi eksistensi perempuan di ruang publik, penutupan bioskop serta tempat-tempat hiburan, dan lainnya. Lantas apakah dengan kebijakan-kebijakan tersebut konsumerisme yang disasar oleh Juhayman juga ikut menghilang?

Pertanyaan ini seakan hanya sebatas retoris melihat perkembangan yang terjadi belakangan ini di Dua Tanah Suci tersebut. Maka kembali lagi kepada penjelasan sebelumnya bahwa urusan ekonomi berkelindan erat dengan urusan ibadah. Sebagaimana yang diteroka oleh Harvey (2020) bahwa ekonomi kapitalisme kontemporer dimotori oleh kecenderungan konsumerisme sebesar 70 hingga 80 persen. Kerajaan Arab Saudi tidak lagi bisa menikmati legitnya kemakmuran hanya dari komoditi minyak bumi belaka. Konsumerisme perlu dan harus terus digalakkan termasuk apapun yang terkait dengan Dua Tanah Suci umat Islam. Situasi itu terus berlangsung hingga datangnya wabah Corona yang mau tidak mau membuat beragam aktivitas konsumsi berhenti termasuk ibadah Umrah dan bisa jadi ibadah Haji tahun 2020.

Di titik inilah maka kita, umat Islam, harus bisa melihat suatu dunia baru pasca pandemi ini khususnya terkait dengan pelaksanaan ibadah Haji yang merupakan salah satu dari Rukun Islam. Tidak bisa lagi kita hanya menggantungkan kepengurusan atas Dua Tanah Suci kepada suatu negara-bangsa saja. Adanya satu negara yang mendominasi kepengurusan tersebut tentu sangat rawan untuk dimanfaatkan berbagai kepentingan termasuk kepentingan ekonomi global yang ditopang oleh konsumerisme.

Lembaga semacam OKI tentu tidak bisa memaksakan adanya transparansi pengelolaan kepengurusan atas Makkah dan Madinah apabila terdapat satu negara-bangsa yang menguasainya secara mutlak seperti saat ini. Lantas adakah alternatif terhadap kepengurusan atas Makkah dan Madinah?

Terdapat banyak alternatif yang bisa diajukan. Sekali lagi menengok kembali pada catatan sejarah, salah satu pemikir besar Islam pada abad ke-20, Muhammad Iqbal menyatakan bahwa konsep “Umat” yang ada dalam Islam sendiri bisa mengatasi konsep “bangsa” atau “nation” yang berasal dari Barat dan kemudian mendunia seiring dengan posisi mereka yang dominan. Memang untuk saat ini, saya sendiri masih meyakini bahwa eksistensi negara-bangsa atau nation-state tetap susah untuk digoyahkan dalam beberapa waktu ke depan. Seperti yang dijelaskan oleh Hirschi (2012) bahwa organisasi seperti Persatuan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia, hingga FIFA yang merupakan federasi olahraga tidak menandakan pudarnya kekuatan negara-bangsa dan justru memperlihatkan kulminasi dari konstelasi negara-bangsa. Tetapi susah bukan berarti tidak mungkin bukan?

Sejarah telah mengajarkan pula bagaimana umat Islam dari Nusantara baik pada masa dikenal dengan nama Ulama al-Jawi hingga Komite Hijaz pernah berkontribusi besar dalam sejarah kepengurusan Dua Tanah Suci. Tidak sedikit ulama khususnya setelah abad ke-17 berperan penting baik di Makkah dan Madinah. Abdul Rauf dari Singkil dan Syeh Yusuf dari Makassar merupakan contoh ulama pionir bagaimana hubungan antara Dua Tanah Suci dengan Nusantara menjadi begitu intens. Disusul beberapa waktu kemudian hadirnya sosok seperti Syekh Nawawi dari Banten, Kyai Mahfudz dari Termas, Ahmad Khatib dari Minangkabau menjadi pengajar yang dihormati di Makkah. Pada abad kedua puluh, para ulama yang tergabung dalam Komite Hijaz mendesak Raja Ibnu Saud agar tetap menjamin kemerdekaan umat Islam dari berbagai mazhab di Makkah dan Madinah.

Berkaca dari pengalaman sejarah tersebut, konsep Umat seharusnya tetap relevan untuk dijadikan alternatif terhadap tatanan global saat ini. Setidaknya dalam hal pengelolaan atas Dua Tanah Suci bagi umat Islam kita bisa memulainya. Umatlah yang bertanggung jawab mengelola Haramayn, bukan satu negara-bangsa tertentu. Umat Islam harus menjadi pelayan sekaligus yang dilayani dalam melaksanakan ibadah Haji maupun Umrah. Konsep Umat sebagai pengelola Dua Tanah Suci melampaui gugatan yang berulang kali disampaikan negara seperti Iran dan disusul oleh Suriah serta Qatar beberapa tahun belakangan. Umat ini bukan mewakili kepentingan negara-bangsa tertentu melainkan umat Islam keseluruhan. Banyak contoh dari berbagai belahan dunia bagaimana pergerakan-pergerakan Islam tetap berjalan otonom dari kekuasaan negara-bangsa. Tentu gerakan seperti yang dilakukan dalam Islam Bergerak ini bisa menjadi pionir untuk memunculkan forum semacam World Social Forum agar konsep Umat ini bisa dijadikan alternatif pengelolaan Makkah dan Madinah.

Di titik inilah saya mengundang sidang pembaca yang terhormat untuk membayangkan beragam pendekatan terkait bagaimana Umat Islam untuk mengelola Dua Tanah Suci tersebut di luar kerangka negara-bangsa. Beberapa contoh dari masa lalu seperti yang disampaikan sebelumnya memperlihatkan bagaimana ulama dari berbagai bangsa dan mazhab bisa berkontribusi aktif atas Dua Tanah Suci. Bukan tidak mungkin dalam beberapa saat ke depan kita bisa melihat Imam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dari lintas mazhab, pusat perbelanjaan seperti Zamzam Tower beralih fungsi menjadi perguruan Islam internasional yang terakses bagi para pelajar dan sarjana Islam dari seluruh dunia hingga terwujudnya Tanah Suci tersebut sebagai tempat yang termuliakan seperti yang disampaikan Allah dan Rasulullah.

Baca Juga:

Memang sekilas tampak utopis tetapi seharusnya momen ini bisa kita manfaatkan untuk bergerak kembali ke sana.

 

***

 

Daftar Bacaan:

Hirschi, Caspar. 2012. The Origins of Nationalism: an Alternative History from Ancient Rome to Early Modern Germany. Cambridge: Cambridge University Press.

Hossain, Ishtiaq. 2012. The Organization of Islamic Conference (OIC): Nature, Role, and The Issues dalam Journal of Thirld World Studies. Vol. 29, No. 1. Hlm. 287-314.

Quranshi, Jahanzeeb. 2019. The Hajj: Crowding and Congestion Problems for Pilgrims and Hosts dalam Rachel Dodds and Richard Butler (eds.) Overtourism: Issues, realities and solutions. Munchen, Wien: De Gruyter Oldenburg.

Soleimani, Kamal. 2016. Islam and Competing Nationalisms in the Middle East, 1876-1926. New York: Palgrave MacMillan.

Vredenbregt, Jacob. 1962. The Haddj: Some of its Features and Functions in Indonesia dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde 118.

Website:

Roy, Arundhati. 2020. The Pandemic is a Portal. Diakses pada 4 April 2020. https://www.ft.com/content/10d8f5e8-74eb-11ea-95fe-fcd274e920ca

Harvey, David. 2020. Anti-Capitalist Politics in the Time of COVID-19. Diakses pada 2 April 2020. https://jacobinmag.com/2020/03/david-harvey-coronavirus-political-economy-disruptions/

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.