No Result
View All Result
No Result
View All Result
Islam Bergerak

Politik Anti-Kapitalis di Masa COVID-19

David Harvey Oleh: David Harvey
7 April 2020
Kategori: Internasional, Kritik, Nasional
0
Politik Anti-Kapitalis di Masa COVID-19

Pekerja ojek online berhenti di depan sebuah informasi tentang pencegahan virus corona, di Medan, Sumatra Utara. Sumber gambar: benarnews.org

380
Berbagi
FacebookTwitter

Diterjemahkan oleh Ahmad Thariq
Pada saat mencoba menafsirkan, memahami, dan menganalisis arus berita sehari-hari, saya cenderung menempatkan apa yang terjadi dengan latar belakang dari dua model cara kerja kapitalisme yang berbeda namun saling berhubungan. Level pertama adalah memetakan kontradiksi internal dari sirkulasi dan akumulasi kapital sebagaimana aliran nilai uang terus-menerus mencari keuntungan di dua “momen” berbeda (sebagaimana Marx menyebutnya) yakni dari produksi, realisasi (konsumsi), distribusi, dan reinvestasi. Ini adalah model ekonomi kapitalis sebagai pusaran ekspansi dan pertumbuhan tanpa akhir. Ini akan cukup rumit apabila coba untuk dielaborasi, misalnya, melalui lensa pertentangan geopolitik, ketimpangan pembangunan geografis, lembaga finansial, kebijakan negara, rekonfigurasi teknologi dan pembagian kerja dan hubungan sosial yang terus berubah.

Akan tetapi, saya membayangkan model ini dalam konteks reproduksi sosial yang lebih luas (pada rumah tangga dan kelompok), dalam hubungan metabolisnya dengan alam yang terus-menerus dan selalu berkembang (termasuk “alam kedua” dari urbanisasi dan lingkungan buatan) dan beragam aspek kebudayaan, ilmu pengetahuan (berlandaskan keilmuan), agama, dan kesatuan formasi sosial yang dibuat oleh manusia melintasi ruang dan waktu. “Momen” terakhir ini menggabungkan ekspresi aktif manusia yakni keinginan, kebutuhan, hasrat, nafsu akan ilmu pengetahuan dan makna dengan berkembangnya tuntutan pemenuhan tehadap latar belakang perubahan pengaturan lembaga, kontestasi politik, konfrontasi ideologis, kerugian, kekalahan, rasa frustrasi, dan alienasi, semuanya bekerja di atas dunia yang memiliki batas geografis, kebudayaan, sosial dam keberagaman politik. Secara kebetulan, model kedua ini merupakan cara pandang saya dalam memahami kapitalisme global sebagai formasi sosial tersendiri, sementara model pertama lebih berfokus untuk mengulas tentang kontradiksi internal mesin ekonomi yang memotori formasi sosial ini sepanjang rentang sejarah tertentu dan evolusi geografis.

Pemusaran

Pada 26 Januari, 2020 Saya pertama kali membaca tentang Virus Korona yang mendarat di Cina, Seketika saja saya langsung terpikirkan tentang dampaknya terhadap dinamika global dari akumulasi modal. Saya mengetahui dari studi saya tentang model ekonomi bahwa penyumbatan dan disrupsi dari keberlangsungan aliran modal akan berdampak pada devaluasi dan apabila devaluasinya terus meluas dan semakin dalam maka akan menjadi isyarat terjadinya krisis. Saya juga menyadari bahwa Cina adalah negara perekonomian terbesar kedua di dunia dan telah secara efektif menopang kapitalisme global pada fase 2007–8, sehingga segala goncangan ekonomi yang melanda Cina dapat berdampak serius terhadap perekonomian global yang bahkan saat ini tengah berada di kondisi kritis. Model akumulasi kapital saat ini, dalam hemat saya, telah mengidap banyak masalah. Gerakan protes terjadi hampir dimana-mana (dari Santiago hingga Beirut), banyak dari mereka memfokuskan perhatian pada fakta bahwa model ekonomi dominan tidak berjalan dengan baik bagi rata-rata populasi. Model neoliberal ini semakin bergantung pada modal buatan serta ekspansi luas melalui suntikan uang dan pembuatan utang. Model ini sudah menghadapi permasalahan dalam hal ketidakcukupan permintaan efektif untuk menciptakan nilai yang mampu diproduksi modal. Jadi, bagaimana mungkin model ekonomi dominan, dengan legitimasinya yang kian menurun dan kesehatannya yang rentan, menyerap dan bertahan hidup dari dampak tak terelakkan dari (virus) yang mungkin akan mernjadi pandemik? Jawabnnya sangat tergantung pada seberapa panjang distrupsi berlangsung dan menyebar, seperti halnya yang Marx tunjukan, devaluasi tidak terjadi karena komoditas tidak terjual, namun karena mereka tidak bisa terjual pada waktu yang tepat.

Saya sudah sejak lama menolak ide “alam” sebagai sesuatu yang diluar dan terpisah dari kebudayaan, ekonomi, dan kehidupan sehari-hari. Saya beranjak dari pandangan yang lebih dialektis dan relasional terhadap hubungan metabolis dengan alam. Kapital memodifikasi kondisi lingkungan demi reproduksi dirinya namun cara tersebut dilakukan dalam konteks yang justru berujung konsekuensi yang tidak diinginkan (seperti perubahan iklim) dan melawan kekuatan evolusioner yang otonom dan independen yang melatarbelakangi terjadinya perubahan alam-secara-terus-menerus. Dari titik pijak ini, Tidak ada yang benar-benar sebatas bencana alam. Virus bermutasi sepanjang waktu. Akan tetapi keseluruhan kondisi yang membuat mutasi menjadi sangat mengancam nyawa adalah hasil ulah manusia.

Terdapat dua aspek yang relevan di sini. Pertama, kondisi lingkungan yang memungkinkan peningkatan kemungkinan mutasi secara hebat. Sebagai contoh, adalah hal yang masuk akal untuk menuding sistem pasokan pangan yang intensif dan sulit dikendalikan di wilayah subtropis lembab bersumbangsih terhadap itu. Sistem itu terdapat di banyak tempat, termasuk di selatan Cina dari Yangtse dan Asia Tenggara. Kedua, kondisi yang memungkinkan cepatnya proses penularan ke tubuh banyak orang sangatlah beragam. Tempat dengan populasi manusia tinggi kiranya akan mudah tersasar. Sebagai contoh, lumrah diketahui bahwa epidemik campak hanya berkembang pada pusat urban yang berpopulasi tinggi namun cepat menghilang di daerah berpopulasi rendah. Bagaimana manusia berinteraksi dengan sesamanya, bergerak, mendisiplinkan drinya, atau lupa mencuci tangan mereka akan mempengaruhi transmisi virus. Terakhir kali SARS, flu burung, dan flu babi tampaknya muncul dari Cina atau Asia Tenggara. Cina juga telah sangat menderita akibat flu babi tahun lalu, yang mengharuskan dilakukannya pejagalan massal terhadap babi dan menaikkan harga daging babi. Saya tidak mendakwakan semua ini kepada Cina. Terdapat cukup banyak tempat lainnya di mana risiko lingkungan untuk mutasi dan penyebaran juga virus terhitung tinggi. Flu Spanyol pada 1918 tampaknya muncul di Kansas dan Afrika yang mungkin telah menetaskan HIV/AIDS dan tentunya telah menginisasi virus West Nile dan Ebola, sementara demam berdarah sepertinya menyebar di Amerika Latin. Namun dampak ekonomi dan demografis dari penyebaran virus bergantung pada retakan yang sudah ada sebelumnya dan kerentanan dari model ekonomi yang hegemonis.

Saya tidak terlalu terkejut mengetahui COVID-19 ditemukan di Wuhan (walauapun tidak diketahui apakah itu memang berasal dari sana tidak). Jelas pengaruh di wilayah setempat akan sangat besar dan mengingat ini adalah pusat produksi inti tentunya bisa saja berdampak secara global (meski saya sendiri belum mengetahui seberapa besar goncangannya). Pertanyaan besarnya adalah bagaimana penularan dan penyebaran bisa terjadi dan berapa lama akan berlangsung (sampai vaksin ditemukan). Pengalaman sebelumnya telah menunjukan bahwa sisi buruk dari bertambahnya globalisasi ialah tidak mungkin untuk menghentikan penyebaran yang terjadi dalam skala internasional dan secara cepat. Kita hidup di dunia yang serba terhubung di mana hampir setiap orang berlalu-lalang. Keterhubungan manusia yang memungkinkan potensi terjadinya penyebaran terbuka lebar. Celakanya adalah (secara ekonomi dan demografis) distrupsi bisa saja akan terjadi selama setahun bahkan lebih.

Saat kabar pertama pecah tentang anjloknya pasar saham global, secara mengejutkan itu diikuti dengan tingginya pertumbuhan pasar selama sebulan atau lebih. Kabar beredar seakan mengindikasikan bisnis secara normal tetap berjalan kecuali di Cina. Kepercayaan yang muncul adalah, tampaknya kita akan mengalami kembali SARS yang dapat dikendalikan dengan relatif cepat dan memiliki dampak global yang rendah meski memiliki catatan rata-rata kematian yang tinggi dan menciptakan (kalau diingat-ingat kembali) kepanikan di pasar finansial. Saat COVID-19 muncul, reaksi dominan menggambarkannya seperti wabah SARS sebelumnya, memicu panik berlebihan. Faktanya epidemi tersebut mengamuk di Cina, yang sontak saja membuat mereka mengambil respons cepat dan tanpa tebang pilih untuk mengendalikan dampaknya sehingga membuat seluruh dunia secara keliru memperlakukannya sebagai permasalahan yang terjadi “diluar sana” dan karenanya tidak dilirik dan dipikirkan (disertai juga dengan  xenophobia sikap anti-Cina di beberapa bagian dunia). Lonjakan virus yang telah memutarbalikan kisah sukses pertumbuhan Cina disambut gembira oleh beberapa lingkaran pemerintahan Trump.

Akan tetapi, kabar gangguan rantai produksi global yang melintasi Wuhan mulai beredar. Sebagian besar mencampakan kabar ini atau menganggapnya hanya sebagai masalah lini produksi atau perusahaan tertentu (seperti Apple). Devaluasinya bersifat lokal dan partikular dan tidak sistemis. Isyarat anjloknya permintaan konsumen pun dianggap remeh, meskipun beberapa perusahaan mereka, seperti McDonald’s dan Starbucks, yang beroperasi secara luas di pasar domestik Cina harus menutup pintu mereka untuk sementara. Tahun Baru Cina yang datang dalam waktu bersamaan dengan pecahnya virus menutupi dampaknya sepanjang bulan Januari. Respons yang tidak mawas diri tersebut merupakan kesalahan .

Tersebarnya kabar pembuka terkait penyebaran virus secara internasional terjadi secara tak teratur dan episodik dimulai dengan kabar dari pecahnya virus di Korea Selatan dan beberapa titik api lainnya seperti Iran. Baru pada saat pecahnya virus di Italia reaksi keras pertama muncul. Anjloknya pasar saham yang dimulai saat pertengahan Februari mulai mengombang-ambing yang kemudian pada pertengahan Maret memicu devaluasi bersih sebesar 30 persen pada pasar saham global.

Meningkatnya eskalasi infeksi virus direspons oleh khalayak dengan kebingungan dan terkadang oleh rasa panik. President Trump berlagak layaknya Raja Canute saat menghadapi potensi meningkatnya penyakit dan angka kematian. Beberapa respons yang dilakukan meninggalkan kejanggalan tersendiri. Melihat Federal Reserves justru menurunkan suku bunga di saat krisis virus tentu merupakan hal yang janggal, bahkan saat itu berusaha dipahami sebagai upaya untuk meringankan krisis terhadap pasar dibanding dengan membedung laju penyebaran virus.

Otoritas publik dan sistem kesehatan nyaris di segala tempat mengalami kekurangan tenaga. Empat puluh tahun neoliberalisme di sepanjang Amerika Utara hingga Selatan dan Eropa telah melemahkan lembaga publik dan membuatnya sama sekali tidak siap menghadapi krisis kesehatan publik hari ini, meskipun pengalaman buruk SARS dan Ebola terdahulu telah memberikan banyak peringatan dan pelajaran berharga tentang apa yang seharusnya dilakukan. Di banyak belahan dunia negara “maju”, pemerintah setempat dan wilayah/otoritas negara, sebagai pihak yang selalu menempati garis terdepan dalam menggalang kesehatan publik dan keamanan kondisi darurat, mengalami kekurangan anggaran berkat kebijakan perampingan yang dirancang untuk memotong pajak dan subsidi dari perusahaan dan orang kaya.

Pengusaha farmasi besar memiliki sedikit atau bahkan tidak sama sekali perhatian untuk melakukan riset yang tidak menguntungkan untuk menangani infeksi virus (seperti melakukan riset tentang keseluruhan golongan Virus Korona yang telah banyak diketahui semenjak 1960-an). Farmasi besar jarang berinvestasi dalam hal pecegahan. Mereka memiliki sedikit kepentingan untuk mempersiapkan publik dalam menghadapi krisis kesehatan. Mereka lebih suka mendesain obat. Semakin sakit kita, bertambah pula pendapatan mereka. Pencegahan tidak berkontribusi untuk penambahan nilai bagi pemegang saham. Model bisnis yang digunakan untuk penyediaan kebutuhan kesehatan publik mengeliminsasi surplus kapasitas penanganan yang sangat dibutuhkan pada saat darurat. Bahkan pencegahan bukanlah wilayah kerja yang cukup menarik untuk menjamin terjalinnya kerjasama publik-swasta. Presiden Trump telah memotong anggaran untuk Pusat Pengendalian Penyakit dan membubarkan kelompok kerja yang bertugas menangani pandemik dalam Dewan Keamanan Nasional dengan semangat yang sama seperti halnya saat ia memotong anggaran penelitian, termasuk juga soal perubahan iklim. Apabila saya mencoba untuk mengungkapkanya secara atronpomorfis dan metaforis, Saya akan berkesimpulan bahwa COVID-19 adalah pembalasan dendam dari alam setelah empat puluh tahun diperlakukan secara kasar dan kejam oleh tangan-tangan kasar ekstraktivisme neoliberal.

Mungkin terlihat simptomatis melihat negara yang kurang berwatak neoliberal, Seperti Cina dan Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, berhasil menangani pandemik dengan lebih baik dibanding Italia, meskipun Iran akan mengingkari argumen ini sebagai prinsip universal. Sementara sudah banyak bukti bahwa Cina menangani SARS dengan cukup buruk dengan diwarnai banyak pertikaian dan penolakan pada awalnya, saat ini Presiden Xi bergerak cepat untuk memandatkan transparansi baik dalam hal pelaporan maupun pengujian, begitupula dengan Korea Selatan. Meski demikian, Cina telah kehilangan banyak waktu berharga (sebab baru dalam hitungan hari perbedaan tersebut terjadi). Akan tetapi, hal yang patut dicatat dari Cina ialah upaya pembatasan laju epidemik di Provinsi Hubei dengan Wuhan sebagai pusatnya. Epidemik tidak bergerak menuju Beijing atau ke Barat atau ke bagian Selatan lebih jauh. Tindakan yang diambil untuk membatasi virus secara geografis terbilang keras. Cukup tidak mungkin untuk mereplikasinya di tempat lain mempertimbangkan alasan politik, ekonomi, dan kebudayaanya. Laporan yang beredar ke luar Cina menunjukan bahwa perlakuan dan kebijakan yang mereka ambil berlandaskan pada kepedulian. Lebih jauh dari itu, Cina dan Singapura juga mengerahkan kekuasaanya untuk melakukan pengawasan per individu hingga pada tingkatan yang invasif dan otoriter. Meski sempat mendapat tentangan sebelumnya, namun cara mereka tersebut terlihat sangat efektif secara keseluruhan, cara tersebut menunjukkan banyak kematian dapat dihindarkan. Ini adalah informasi penting: dalam setiap proses pertumbuhan terus-menerus selalu terdapat titik balik terjauh yang dimana peningkatan massa benar-benar terjadi diluar kendali (sekali lagi, perlu dicatat, makna dari massa selalu berhubungan dengan nilai). Faktanya sikap Trump yang berleha-leha selama berminggu-minggu telah terbukti harus dibayar dengan banyak nyawa.

Hari ini efek ekonomi berpusar tidak terkendali baik di Cina maupun tempat lainnya. Distrupsi sepanjang rantai nilai perusahaan dan di sektor tertentu terjadi secara lebih sistemik dan substansial dibanding yang semula dipikirkan. Efek jangka panjang yang terjadi bisa saja memperpendek atau mendiversifikasi rantai pasokan selagi perlahan bergeser ke bentuk produksi yang kurang padat karya (yang dapat berimplikasi serius pada pekerjaan) dan sektor produksi yang lebih mengandalkan sistem kecerdasan buatan. Distrupsi rantai produksi mengharuskan terjadinya pemecatan atau pemberian cuti terhadap pekerja, yang dapat mengurangi permintaan akhir, sementara permintaan barang mentah dapat mengurangi konsumsi produktif. Dampak terhadap permintaan tersebut dapat berakibat pada terjadinya resesi ringan.

Akan tetapi kerentanan terbesar terjadi di tempat lain. Mode konsumerisme yang mengalami pembludakan pasca krisis 2007–8 telah berujung pada konsekuensi yang serius. Mode ini berdasarkan pada upaya pengurangan waktu konsumsi seminim mungkin ke angka nol. Suntikan aliran besar investasi terhadap bentuk konsumerisme tersebut erat hubungannya dengan upaya penyerapan secara maksimal volume modal yang terus meningkat bertahap ke dalam bentuk konsumerisme tersebut sehingga memungkinkan terjadinya waktu pergantian yang sesingkat mungkin. Turis mancanegara merupakan contoh gamblangnya. Kunjungan mancanegara bertambah dari 800 juta menjadi 1.4 milyar sepanjang 2010 hingga 2018. Bentuk konsumerisme yang sangat instan tersebut memerlukan investasi yang besar untuk pembangunan infrastruktur untuk bandara dan atau perusahaan penerbangan, hotel dan atau restoran, taman hiburan dan atau hiburan kebudayaan, dll. Situs akumulasi modal tersebut hari ini telah mati tenggelam: perusahaan penerbangan nyaris bangkrut, hotel sepi, dan pengangguran massal di sektor industri perhotelan sudah di depan mata. Makan di luar bukanlah ide yang bagus dan restoran juga bar telah tutup di banyak tempat. Bahkan sekedar mengambil makanan pesanan pun tampak berisiko. Para pekerja di sektor gig economy atau jenis pekerja rentan lainnya telah diberhentikan tanpa jaminan apapun. Acara seperti festival kebudayaan, turnamen sepakbola dan basket, konser, rapat bisnis dan para profesional, dan bahkan pertemuan politik seputar pemilu dibatalkan. Bentuk konsumerisme pengalaman “berbasis acara” tersebut telah ditutup. Pendapat pemerintah daerah mengalami kemerosotan. Sekolah dan universitas ditutup.

Banyak bentuk mutakhir dari konsumerisme kapitalisme kontemporer tidak dapat beroperasi dalam kondisi seperti ini. Dorongan menuju, apa yang disebut oleh André Gorz sebagai “konsumerisme kompensasional” (manakala para pekerja yang mengalami alienasi harus memulihkan semangat bekerja mereka dengan paket liburan ke pantai tropis) tidaklah terbukti.

Akan tetapi ekonomi kapitalisme kontemporer dimotori oleh kecenderungan konsumerisme sebesar 70 hingga 80 persen. Perasaan dan sentimen konsumen telah lebih dari empat puluh tahun menjadi kunci memobilisasi permintaan efektif dan modal yang semakin didorong oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Sumber tenaga ekonomi ini belum pernah mengalami fluktuasi yang liar (dengan beberapa pengecualian seperti erupsi vulkanik di Islandia yang menghalangi penerbangan lintas Alantik dalam beberapa pekan). Akan tetapi Covid-19 tidak menyebabkan terjadinya fluktuasi liar melainkan hantaman mahadahsyat yang menghantam jantung dari konsumerisme yang mendominasi negara-negara makmur. Pusaran akumulasi modal tanpa akhir itu hancur terperosok dari satu bagian dunia ke yang lainnya. Satu-satunya yang dapat menyelamatkan adalah konsumerisme massal yang didanai dan diarahkan oleh pemerintah. Sebagai contoh, ini memerlukan sosialisasi seluruh perekonomian di Amerika Serikat, tanpa menyebutnya sebagai sosialisme.

Para Garda Terdepan

Terdapat sebuah mitos yang umum dipercaya bahwa penyakit menular tidak mengenal batas kelas ataupun dinding dan batas sosial lainnya. Seperti yang banyak orang katakan, terdapat kebenaran tertentu di sini. Saat epidemi Kolera di abad 19, penyebarannya yang melampaui batas kelas terjadi secara cukup dramatis sehingga memicu lahirnya sanitasi publik dan gerakan kesehatan (yang kemudian mengalami profesionalisasi) yang bertahan sampai hari ini. Apakah gerakan ini dirancang untuk melindungi semua orang atau kelas atas saja tidak selalu cukup jelas. Akan tetapi perbedaan kelas juga sebab dan akibat sosial menghadirkan kita kisah yang berbeda hari ini. Dampak ekonomi dan sosial disaring melalui “pelaziman” diskriminasi yang terjadi terbukti dimana-mana. Sebagai awalan, tenaga kerja yang diharapkan akan menangani jumlah pasien yang melonjak di seluruh bagian dunia acap kali diperlakukan secara bias gender, rasial, dan etnis. Ini merupakan cerminan dari perbedaan kelas yang terbentuk diantara pekerja yang juga terjadi, contohnya, pada para pekerja di sektor penerbangan dan logistik.

Baca Juga:

Keretakan Metabolisme Alam Menyebabkan Bencana Banjir di Kalimantan

Keretakan Metabolisme Alam Menyebabkan Bencana Banjir di Kalimantan

22 Januari 2021
Negeri Halmahera Tengah bukan Untuk Industri Ekstraktif

Negeri Halmahera Tengah bukan Untuk Industri Ekstraktif

20 Januari 2021

“Kelas pekerja baru” adalah para garda terdepan dan yang paling besar menanggung risiko tertular virus dalam pekerjaan mereka atau mengalami pemecatan akibat perampingan ekonomi yang disebabkan oleh virus. Sebagai contoh, terdapat pertanyaan menyangkut siapa saja yang dapat bekerja di rumah dan tidak. Ini mempertajam kesenjangan sosial yang terjadi sebab ini serupa dengan pertanyaan menyangkut siapa saja yang dapat melakukan isolasi atau karantina (dengan atau tanpa dibayar) saat terjadi penularan atau infeksi. Ini cara yang persis saya gunakan untuk menyebut gempa bumi di Nikaragua (1973) dan Kota Meksiko (1995) sebagai “class-quakes,” sebagaimana perkembangan COVID-19 telah menunjukan karateristik pandemik yang bias kelas, gender, dan rasial. Sementara upaya mitigasi telah secara seksama dikaburkan oleh retorika “kita hadapi ini bersama,” pada praktiknya, justru lebih banyak menunjukan itikad keji, khususnya di sebagian jajaran pemerintahan nasional. Kelas pekerja kontemporer di Amerika Serikat (yang sebagian besar terdiri dari orang Afro-Amerika, Latin, dan para pekerja perempuan) dihadapkan pada pilihan yang buruk antara memilih terkontaminasi atas nama kepedulian dan menjaga pusat penyediaan kebutuhan (seperti toko grosir) tetap buka atau menjadi pengangguran tanpa jaminan apapun (seperti jaminan kesehatan yang memadai). Personil yang digaji (seperti saya) bekerja dari rumah dan mendapat bayaran seperti biasanya sementara para CEO terbang bebas dengan jet dan helikopter pribadi.

Para pekerja di banyak belahan dunia telah lama dijinakan secara sosial untuk bertingkah sebagai subjek neoliberal yang baik (yang berarti mereka menyalahkan diri mereka sendiri atau Tuhan apabila sesuatu yang salah terjadi namun tidak pernah berani menunjuk kapitalisme sebagai biang keladinya). Akan tetapi bahkan subjek neoliberal yang baik dapat melihat sesuatu yang salah dalam hal merespons pandemik ini.

Pertanyaan besarnya adalah: berapa lama ini akan berlangsung? Ini bisa saja terjadi dalam satu tahun dan semakin lama terjadi, semakin parah devaluasinya, termasuk bagi kelas pekerja. Tingkat pengangguran akan meningkat seperti pada tahun 1930-an dengan tidak hadirnya intervensi besar negara yang tentu saja melawan aturan main neoliberal. Konsekuensi ekonomi dan sosial akan terus berlipat ganda. Namun tidak semuanya akan buruk. Pada taraf tertentu mengingat bahwa konsumerisme kontemporer yang semakin berlebihan telah mendekatkan kita pada prediksi Marx yang berbunyi “overkonsumsi dan konsumsi gila-gilaan, akan menandakan, seiring dengan semakin dahsyat dan luar biasanya mereka, pada sebuah kejatuhan” dari seluruh sistem yang ada. Kecerobohan dari overkonsumsi telah berokntribusi besar terhadap degradasi lingkungan. Pembatalan penerbangan dan pembatasan radikal transportasi dan pergerakan berkonsekuensi positif terhadap gas emisi rumah kaca. Kualitas udara di Wuhan membaik, begitupula dengan banyak kota di AS. Situs-situs ekoturis akan memiliki waktu untuk pemulihan dari injakan kaki. Angsa telah kembali ke kanal di Venice. Hingga pada taraf di mana selera overkonsumerisme yang ceroboh dan tidak masuk akal berhasil dibatasi, kita akan mendapatkan keuntungan jangka panjang. Berkurangnya kematian di Gunung Everest merupakan hal yang baik. Dan ketika tak satupun mengatakannya dengan lantang, bias demografis dari virus mungkin akan mempengaruhi piramida usia yang akan berakibat jangka panjang terhadap beban Jaminan sosial dan masa depan “industri perawatan” Rutinitas harian akan melambat, yang untuk sebagian orang, akan menjadi sebuah berkah. Aturan soal pembatasan sosial, apabila situasi darurat berlangsung cukup lama, tapi memicu pergeseran budaya. Bentuk konsumerisme yang hampir akan selalu mendapat untung adalah apa yang aku sebut sebagai ekonomi “Netflix” yang bagaimanapun selalu melayani para “penggila film”

Pada garda ekonomi, beragam respons telah dikondisikan sebagai upaya eksodus dari hantaman krisis tahun 2007–8. Ini mensyaratkan kebijakan moneter yang sangat renggang ditambah dengan memberikan suntikan dana kepada bank, dan ditambah juga oleh upaya peningkatan konsumsi produktif dengan perluasan masif investasi infrastruktur di Cina. Yang terakhir tidak dapat diulangi pada skala yang dibutuhkan. Paket bailout yang dipersiapkan pada tahun 2008 difokuskan alokasinya terhadap bank tetapi juga mensyaratkan dilakukannya nasionalisasi terhadap General Motor secara de facto. Dalam menghadapi ketidakpuasan para pekerja dan jatuhnya permintaan pasar, barangkali merupakan hal yang penting bagi tiga perusahaan mobil Detroit untuk menutup produksi mereka, setidaknya barang sementara.

Apabila Cina tidak bisa lagi mengulangi perannya pada tahun 2007-08, maka beban dunia untuk mengeluarkan kita dari krisis ini sekarang bergerser ke Amerika Serikat dan justru inilah ironi besarnya: satu-satunya kebijakan yang akan berhasil, baik secara ekonomi maupun politik, haruslah jauh lebih sosialistis ketimbang apapun yang selama ini mungkin ditawarkan oleh Bernie Sanders dan seluruh program darurat penyelamatan ini harus diinisiasi di bawah pengawasan Donald Trump, barangkali dengan mengambil kedok Membuat Amerika Berjaya Kembali.

Para Republikan yang menentang dengan keras bailout pada tahun 2008 harus berani menurunkan ambisinya atau menentang Donald Trump. Yang terakhir, apabila ia cukup bijak, maka ia akan membatalkan pemilu dikarenakan situasi darurat dan mendeklarasikan kembali misi kepresidenannya yang imperial untuk menyelamatkan kapital dan dunia dari “kerusuhan dan revolusi.”

*Artikel ini merupakan terjemahan dari tulisan David Harvey bertajuk “Anti-Capitalist Politics in the Time of COVID-19” yang dimuat di Jacobin Magazine 3 Maret 2020. Dimuat di Islam Bergerak demi tujuan pendidikan.*

 

380
Berbagi
FacebookTwitter
Tagar: Anti-kapitalismeCoronavirusCovid-19Disrupsi EkonomiEkologikapitalismeSosialisme
Sebelumnya

Tugas Kita adalah Tidak Tumbang oleh Virus dan Menumbangkan Kapitalisme

Selanjutnya

Dua Tanah Suci Umat Islam: Menggugat Kembali Kepengurusan atas Makkah dan Madinah

David Harvey

David Harvey

David Harvey adalah guru besar antropologi dan geografi di Graduate Center of the City University of New York. Karya terbarunya ialah The Ways of the World.

Selanjutnya
Dua Tanah Suci Umat Islam: Menggugat Kembali Kepengurusan atas Makkah dan Madinah

Dua Tanah Suci Umat Islam: Menggugat Kembali Kepengurusan atas Makkah dan Madinah

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Unduh Gratis

Terpopuler

  • Amir Sjarifuddin: Seorang Komunis Sekaligus Kristen Taat (Bagian 1)

    Amir Sjarifuddin: Seorang Komunis Sekaligus Kristen Taat (Bagian 1)

    Share 0 Tweet 0
  • Apa Itu Islam Progresif?

    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan dalam Budaya Patriarki: Menengok Kembali Pemikiran Nawal el Saadawi

    Share 0 Tweet 0
  • Puisi Kemiskinan

    Share 0 Tweet 0
  • Negeri Halmahera Tengah bukan Untuk Industri Ekstraktif

    Share 0 Tweet 0
  • Menggemakan Islam Sebagai Teologi Pembebasan

    Share 0 Tweet 0
  • Kehidupan dari “Akhir Dunia”: Eskatologi sebagai Kritik Kebudayaan

    Share 0 Tweet 0
  • Keretakan Metabolisme Alam Menyebabkan Bencana Banjir di Kalimantan

    Share 0 Tweet 0
  • Pandangan Aliansi Pelajar Terhadap Omnibus Law dan Pendidikan

    Share 0 Tweet 0
  • Melampaui “Negara Kelas” dengan Islam Progresif: Pikiran-Pikiran Baru tentang Hubungan Islam dan Negara

    Share 0 Tweet 0
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kirim Tulisan
  • Kontak

(ɔ) 2019 Islam Bergerak - Wajah Islam Progresif Indonesia

No Result
View All Result
  • Tentang
    • Tentang Islam Bergerak
    • Redaksi Islam Bergerak
    • Panduan Pengiriman Tulisan
  • Editorial
  • Reportase
    • Liputan
    • Saksi Mata
  • Pergerakan
  • Rahim
  • Analisis
    • Nasional
    • Internasional
  • Polemik
  • Kritik
  • Islam
    • Fikih
    • Tafsir
    • Tarikh
    • Tasawuf
    • Khutbah Jumat
    • Mimbar
  • Antar-Agama
  • Penggerak
    • Sosok
    • Wawancara
  • Tabuh
  • Estetika
    • Prosa
    • Puisi
  • Ulasan
    • Buku
    • Film
  • Terjemahan
  • English

(ɔ) 2019 Islam Bergerak - Wajah Islam Progresif Indonesia