Wajah Industri Ekstraktif Flores dalam Ekonomi Politik Ruang Kapitalisme

714
VIEWS
Demo warga menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi di Wae Sano, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Februari 2019 (Sumber: mongabay.co.id/Sunspirit for Justice and Peace)

Tulisan ini merupakan upaya menggugat dan membongkar kerja kapitalisme dalam politik pembangunan ekspansi industri pertambangan dan geothermal di Flores. Melalui tulisan ini, kami mengajukan beberapa pertanyaan untuk menantang narasi-narasi arus utama yang digunakan oleh negara bersama pemodal (kapitalisme) dalam isu serapan tenaga kerja, kemajuan, penurunan kemiskinan, dan kesejahteraan pada masyarakat yang melingkupi kebijakan dan praktik ekspansi industri pertambangan dan geothermal. Apa sesungguhnya latar, praktik, dan misi dari ekspansi pembangunan seperti pertambangan dan geothermal yang masif selama ini di pulau Flores? Mengapa negara selalu mengabaikan penolakan warga bahkan cenderung bertindak represif terhadap mereka? Siapa yang diuntungkan dari pembangunan industri ekstraktif yang berbasis pada nafas kapitalisme itu?

Menjawab pertanyaan di atas, tulisan ini akan dibagi ke dalam empat bagian pembahasan. Pertama, kami akan menjelaskan peran negara dan kapitalisme dalam menjalankan kerja, pola dan teknik pelaksanannya untuk pembangunan industri ekstraktif dan geothermal di Flores. Kedua, kami akan menerangkanbagaimana proses akumulasi kapitalisme  dan kerja saling menopang dalam industri pertambangan dan geothermal di Flores. Ketiga, kami akan menunjukkan fakta kehidupan masyarakat lingkar tambang dan geothermal yang jauh dari “janji” industri kapitalisme dan negara. Sebagai penutup, kami menyeru kepada seluruh titik perlawanan dari berbagai simpul untuk membangun  proyek gerakan bersama ke depan.

Negara dan Kapitalisme

Tak ditampik bahwa kapitalisme kini memiliki relasi intim dengan negara. Kendati keduanya tampak memiliki ruang lingkup kerja berbeda, tetapi mereka memiliki satu tujuan besar bersama. Sementara pemodal ingin meraup keuntungan dari sumber daya alam yang dieksploitasinya,  negara melalui politisi dan pejabatnya bertujuan memperbesar kekuasaan atau mempertahankan status quo. Tugas negara dalam relasi ini misalnya memberi ruang dan kenyamanan melalui regulasi kepada para pemodal (kapitalis) agar mereka bisa bekerja dalam iklim yang kondusif.[1] Negara pun akan bekerja meredam perlawanan masyarakat dengan mengerahkan aparat keamanan berdalih menjaga stabilitas pembangunan sosial.

Relasi intim antara negara dan kapitalisme tak terbatas pada penyediaan regulasi saja.[2] Dalam situasi yang lebih spesifik, relasi kapitalisme dan negara bisa terlihat dalam praktik ijon politik.[3] Negara, khususnya para politisi dan pejabatnya yang sedang berkuasa, saling bertukarkepentingan. Politisi dan pejabat memberi ruang untuk investasi khususnya dalam bidang pertambangan seperti keluarnya Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan sejenisnya. Sedangkan para kapitalis bergerilya menyokong kerja politisi dan pejabat dengan, misalnya, mendanai kampanye politik dan proyek pemenangan suara lainnya.

Selama ini, dukungan terhadap industri pertambangan dan geothermal seringkali ditopang oleh narasi penciptaan lapangan pekerjaan, pembangunan maju, penurunan kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan. Tak ayal banyak kebijakan pertambangan di Indonesia yang mendasarkan alasannya dengan menempatkan aktivitas korporasi sebagai jawaban atas kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat lokal. Masyarakat lokal dianggap kurang mampu mengembangkan sendiri kehidupan ekonominya.[4] Narasi ini dipertegas dalam Undang-Undang No 3 Tahun 2020 sebagaimana perubahan dari Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba yang menyebutkan bahwa tujuan pertambangan adalah untuk meningkatkan pendapat masyarakat lokal, daerah dan negara serta menciptakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat.

Terjemahan konkret dari kebijakan negara untuk masyarakat dari pertambangan dapat dilihat dalam istilah Dana Bagi Hasil (DBH) yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase sesuai peraturan perundang-undangan. Seperti pelaksanaan desentralisasi, dalam aspek perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, kontribusi sosial ditandai oleh adanya pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Tentu di samping itu juga dengan mewajibkan pemegang IUP dan IUPK agar menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM) serta mewajibkan pihak penambang untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial dengan melakukan kegiatan reklamasi dan kegiatan pascatambang.[5]

Dengan kata lain, kerja negara dan korporasi melalui industri pertambangan dan geothermal terikat dalam dua hal. Pertama melalui syarat formal dan prosedural, seperti adanya sumbangan untuk negara dari eksploitasi sumber daya alam. Kedua, secara informal, adanya sumbangan perushaan kepada aparatus negara dalam mempermudah kerja-kerja politik dari para politisi dan pejabat untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal ini setidaknya dijelaskan dalam bahasa yang selama ini kita kenal dengan “riders pasal titipan” dalam pembuatan regulasi dan juga ijon politik.

Proses Akumulasi Pertambangan dan Geothermal

Rezim pembangunan Indonesia—baik itu old maupun neodevelopmentalism—menempatkan investasi pertambangan berskala besar sebagai bagian dari perluasan produksi modal dalam skala global. Modal pertambangan yang diinvestasikan di dalam territorial Indonesia ini merupakan ekspor modal atau investasi asing langsung (foreign direct investment), yang berasal dari modal yang secara umum dikuasai oleh perusahan-perusahan transnasional asal negara kapitalis maju.[6] Banyak kalangan marxis pun menempatkan tambang dan geothermal sebagai “proto kapitalisme”ketika tambang lokal dieksploitasi oleh tuan-tuan pengekstraksi surplus yang kuat (global).[7]

Sebagai contoh, salah satu kekuatan kapitalisme yang menghadirkan pendanaan lembaga keuangan global di Flores, yakni Bank Dunia, mendanai pembangunan geothermal di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat.[8] Begitu juga dengan pengembangan PLTP Ulumbu di Poco Leok yang didanai oleh bank Kreditanstalt für Wiederaufbau di mana bank tersebut merupakan bank pembangunan terbesar ketiga di dunia[9] dan salah satu perusahaan dengan neraca keuangan terbesar ketiga di Jerman.[10] Bank-bank yang kaya ini akan mendanai Indonesia melalui perusahan swasta dan perusahan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk pengembangan geothermal di Flores.

Kerja dari korporasi pertambangan dan geothermal ini dapat dipahami sebagai kerja/proses berlangsungnya akumulasi primitif. Korporasi-korporasi membeli tanah masyarakat setempat lalu berjanji akan mempekerjakan masyarakat di perusahan tersebut.[11] Sepanjang sejarahnya, akumulasi primitif, yakni pemisahan petani dari sarana produksinya (salah satunya lahan garapan), dilakukan dengan pengusiran, perampasan, dan perampokan yang disahkan peraturan resmi.[12] Dalam konteks Flores, akumulasi primitif dijalankan dengan cara yang tak jauh berbeda. Para pemodal membeli tanah masyarakat lokal dengan janji akan mempekerjakan orang lokal atau anak-anak dari pemilik tanah yang mana dinarasikan proses pembelian tanah ini kembali untuk kesejahteraan masyarakat Flores sendiri. Cara ini oleh Tania Li disebut sebagai “eksklusi melalui legitimasi”.[13]

Selain pola akumulasi primitif dari kerja pertambangan dan geothermal, dua industri ini pada kenyatannya saling menopang satu sama lain. Industri tambang tidak dapat berjalan tanpa geothermal. Akibatnya, proses akumulasi keuntungan dan sentralisasi kekayaan di tangan pemodal semakin kuat.[14] Sejak tahun 2017, melalui Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor: 2268 K/30/MEM/2017 perihal pembaptisan Flores sebagai the geothermal island/pulau panas bumi. Daerah Wae Sano, Ulumbu (Poco Leok), Wae Pesi, Goa Inelika, Mengruda, Mataloko, Komandaru, Ndetusoko, Sokoria, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Atedai, Bukapiting, Roma – Ujelewung dan Oyang Barang resmi menjadi target pembangunan dan penambangan panas bumi di Flores.[15] Padahal,  kondisi listrik Pulau Flores yang saat ini memiliki daya sebesar 104,1 Megawatt (MW), dengan beban puncak untuk melayani pelanggan total sebesar 71,6 MW[16], masih mampu melayani kebutuhan energi masyarakat bahkan surplus. Maka, muncul pertanyaan, untuk keperluan apa dan siapa energi tenaga panas bumi ini dibangun?

Ibu-Ibu-dari-Wae-Sano-dalam-aksi-tolak Geothermal 4 Maret 2022 (sumber: floresa.co)
Ibu-Ibu-dari-Wae-Sano-dalam-aksi-tolak Geothermal 4 Maret 2022 (sumber: floresa.co)

Jawabannya ialah untuk industri tambang. Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi NTT mencatat total 75 jenis IUP di Pulau Flores yang dalam operasi produksi.[17] Khusus di Manggarai Raya, sejak 1980-2014 kegiatan pertambangan sangat marak, dengan total luasan lahan yang dikuasai perusahaan swasta mencapai 76.656 ha.[18] Berdasarkan catatan Justice Peace and The Integrity of Creation Flores, lebih dari 26.000 ha areal tambang berada di bagian utara Kabupaten Manggarai, terutama di Kecamatan Reok dan Reok Barat. Ribuan hektar areal tambang berada dalam penguasaan 22 pemegang IUP. Di antara 22 IUP tersebut ada beberapa IUP yang dikuasai hingga tahun 2029. Data tersebut menunjukkan bahwa perusahaan tambang yang eksis saat ini masih banyak dalam tahap “rencana eksplorasi”. Jumlah industri tambang yang cukup besar itu memerlukan energi listrik yang besar. Industri geothermal inilah yang pada akhirnya menjadi industri penopang berjalannya tambang-tambang di Flores.

Antara Janji dan Kenyataan

Janji serapan tenaga kerja, kemajuan, penurunan kemiskinan dan kesejahteraan dari negara dan industri kapitalismepada akhirnya hanyalah omong kosong belaka. Namanya janji, ia bisa direalisasikan bisa juga tidak. Kami telah merangkum bagaimana masyarakat Flores menelan pil pahit dari janji negara dan industri kapitalisme ini. Pertama, kendati kerja dalam masyarakat Flores khususnya di Manggarai sering diasosiasikan dengan buruh kantoran, tetapi dalam telusur empiris terhadap serapan tenaga kerja di industri geothermal menunjukkan lapangan kerja yang tersedia bagi masyarakat lokal tersedia terbatas pada pekerjaan-pekerjaan seperti  pengamanan (satpam/security) dankebersihan (cleaning service). Sementara untuk industri pertambangan, warga hanya dipekerjakan sebagai tukang pungut bahan mentah hasil tambang.

Jika mengacu pada analisis Marx dalam bukunya Capital, kerja memiliki posisi paling strategis dalam analisis tentang kapitalisme karena kapitalisme memperoleh keuntungannya dari tenaga kerja (sekalipun Marx hanya membatasi analisis pada kapitalisme industrial, bukan dalam konteks sumber daya alam).[19] Ketika petani melepaskan tanahnya untuk industri pertambangan dan geothermal maka mereka pun beralih menjadi pekerja tukang pungut bahan mentah tambang,satpam,dan tukang bersih kantor. Di sinilah alienasi itu terjadi . Selain mereka teralienasi dari sektor pertanian yang lebih menghasilkan karena hilangnya alat produksi, masyarakat juga berakhir bekerja di industri yang membuat mereka kehilangan ruh kerja dan keahlian bertani yang telah membesarkan dan menghidupi mereka selama bertahun-tahun.

Kedua, penekanan angka kemiskinan melalui DBH, CSR atau sejenisnya dari perusahan menuai ironi. Di Manggarai, sumbangsih untuk daerah dari perusahan untuk menekan kemiskinan melalui konsep sirkulasi kemakmuran tidak memiliki implikasi signifikan bagi masyarakat lingkar tambang.[20] Masyarakat lingkar tambang justru dihimpit kemiskinan karena terjadinya degradasi ekologis, pencemaran lingkungan, kekurangan air dan bahkan kehilangan mata air.[21] Begitu juga dengan kehadiran geothermal di Mataloko, setelah pengeboran panas bumi, sumburan air panas keluar dan membuat lahan warga semakin rusak. Di Ulumbu, korosit senk, longsor bahkan amblesan di daerah dekat kawah paska pengeboran geothermal juga terjadi.[22]

Namun, bagaimana menjelaskan tambang dan geothermal yang dijanjikan akan menekan kemiskinan justru menghadirkan backlash karena berbagai persoalan lingkungan dan sumber nafkah bagi warga di lingkar industri tersebut? Singkatnya, dalam kondisi ekspansi tambang dan geotheremal, warga lingkar tambang tidak hanya dieksploitasi dari alat produksi semata, tetapi juga ketika lingkungan yang menyatu dengan mereka mengalami kerusakan maka pada momen inilah warga kehilangan harapan hidup. Hal itu dikarenakan sejarah, kebiasaan, kebudayaan dan semua hal dalam hidup mereka, yang sangat berkaitan dengan lingkungan setempat, perlahan hilang satu persatu. Warga pun berakhirtercerabut dari akar kehidupannya.

Ketiga, janji kemajuan seperti adanya akses jalan dan perbaikan jalan jauh panggang dari api. Kenyataanya, akses jalan ke beberapa lokasi pertambangan di Flores sangat parah. Begitu juga dengan akses listrik. Di Flores—dengan kapasitas listrik yang besar, justru masih terdapat perkampungan yang belum dialiri listrik. Di lain sisi, logika kemajuan yang dijalankan oleh negara dan kapitalisme itu harus karena sifatnya yang transaksional. Logika ini berarti bahwa sebuah daerah bisa diakses jalan atau infrastruktur yang baik hanya selama daerah itu memiliki potensi yang bisa menguntungkan bagi negara dan pemodal, bukan bagi masyarakat luas.

Keempat, seperti apakah sebenarnya kesejahteraan itu? Petanyaan ini harus dijawab untuk melawan narasi kesejahteraan dari kapitalisme dan negara melalui industri pertambangan dan geothermal di Flores. Jika kesejahteraan hanya diukur dari adanya pembangunan jalan, listrik, dan menekan angka kemiskinan maka—untuk memenuhi syarat atau tolok ukur demikian—pertambangan dan geothermal diberi karpet merah. Tentu kata kesejahteraan versi kapitalisme dan negara itu harus dibuang. Logika transaksional kesejahteraan memaksa masyarakat menjual tanahnya  sehingga mereka harus kehilangan alat produksi dan identitas mereka sebagai petani. Kemiskinan pun mulai menghantui mereka. Hal ini menandakan bahwa watak dasar kapitalisme yang eksploitatif dan hanya bertujuan untuk meraup keuntungan telah meminggirkan masyarakat dari kehidupan yang sebelumnya utuh menjadi tercerai-berai dari tanah sebagai alat produksi serta tanah dan lingkungan sebagai ruang hidup yang layak. Puncak dari industri ini adalah kemiskinan dan penderitaan permanen masyarakat sekitar tambang dan geothermal.

Seruan Membangun Agenda Perlawanan Kolektif

Baca Juga:

Di tengah masifnya pertambangan dan geothermal selama ini yang sering diobral oleh negara, perlawanan warga di tapak pertambangan dan geothermal rupanya muncul. Berbagai media selama ini sudah mempublikasikan tentang perlawanan rakyat menolak pertambangan dan geothermal di Flores. Hal ini setidaknya sudah menjadi fundasi perlawanan di masa yang akan datang kedepannya. Setidaknya, warga sudah sadar tentang watak dasar kapitalisme yang sangat eksploitatif.

Untuk itu, ada benarnya apa yang disampaikan oleh Taussig bahwa orang-orang yang tinggal di pinggiran dunia kapitalis memiliki sudut pandang kritis terhadap kapitalisme dan mereka mengartikulasikan kritik dengan ungkapan kultural mereka sendiri.[23] Perlawanan warga lingkar tapak selama ini, yang sering diucapkan dalam bingkai antropologis mengenai dignitas dari masyarakat setempat, merupakan suatu bentuk kritik terhadap kata kemajuan, kemakumaran dan semacamnya dari industri pertambangan dan geothermal.

Kekuatan-kekuatan yang berada di setiap titik tapak tambang dan geothermal harus disatukan menjadi suatu kekuatan besar. Oleh karena itu, gerakan melawan industri pertambangan dan geothermal bukan urusan masing-masing setiap tapak, melainkan urusan bersama. Di sisi lain warga juga harus diberikan pengetahuan dan gambaran mengenai bahaya laten dari negara dan kapitalisme dalam industri pertambangan dan geothermal yang hanya mengakumulasi keuntungan semata tanpa mempertimbangkan susbsitensi kehidupan masyarakat.


[1] Hiariej, Eric (2007). “Pemulihan Kekuasaan Kelas Dominan dan Politik Neoliberalisme,” Global: Jurnal Politik Internasional: Vol. 9 : No. 2 , Article 1.

[2]Virtuous Setyaka. 2013. “Ruang dan Waktu Dalam Pemikiran David Harvey.” https://indoprogress.com/2013/05/ruang-dan-waktu-dalam-pemikiran-david-harvey/ 

[3]Jatamnas, 2018. Tambang Tunggangi Politik Indonesia. https://www.jatam.org/seruan-aksi-tambang-tunggangi-politik-indonesia-tolak-politik-elektoral-yang-tidak-menjamin-keselamatan-rakyat-dan-lingkungan/

[4] Hendra Try Ardianto. 2016. Mitos Tambang Untuk Kesejahteraan, Pertarungan Wacana Kesejahteraan dalam Kebijakan Pertambangan. Polgov. 2016.

[5] Laporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), 2018. “Ringkasan Eksekutif (Flexible Report).” Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia.

[6] Sangadji Arianto, 2019. “Akumulasi Primitif: Pengalaman Industri Pertambangan di Indonesia” et Krisis Biosfer Antroposen: Memikirkan Ulan Strategi Perjuangan Nilai dan Kelas. Jurnal IndoProgress, Vol. II. No.01.2022

[7] Jeannette Graulau. The Underground Wealth of Nations, On The Capitalist Origins of Silver Mining. Yale University Press

[8] Floresa.co. 2022. Dikunjungi Bank Dunia, Warga Wae Sano Desak Batalkan Pendanaan Proyek Geothermal. https://floresa.co/2022/05/09/dikunjungi-bank-dunia-warga-wae-sano-desak-batalkan-pendanaan-proyek-geothermal/

[9] Tribun Manggara. 2023. Jerman Dukung Transisi Energi PLN Kembangkan Geothermal Poco Leok-Ulumbu di Manggarai NTT. https://flores.tribunnews.com/2023/03/03/jerman-dukung-transisi-energi-pln-kembangkan-geothermal-poco-leok-ulumbu-di-manggarai-ntt?page=all

[10]Untuk mengetahui bank Kreditanstalt für Wiederaufbau, silakan lihat lebih lengkapnya di: https://www.kfw.de/About-KfW/

[11] Ibid

[12] Mulyanto Dede,  “Konsep Proletarisasi dan Akumulasi Primitif, dalam Teori Kependudukan Marxis” Jurnal Kependudukan Padjadjaran, Vol. 10, No, 2, Juli 2008.

[13] Hall, Derek, Philip Hirsch, Tania Li. 2011. Kuasa Eksklusi: Dilema Pertanahan di Asia Tenggara. Yogyakarta: Insist Press.

[14] Harvey David. 2010. A Companion to Marx’s Capital. Verso. London. New York

[15] Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). 2017. Penetapan Pulau Flores Sebagai Pulau Panas Bumi. https://ebtke.esdm.go.id/post/2017/07/04/1697/penetapan.pulau.flores.sebagai.pulau.panas.bumi

[16] Kementerian ESDM. 2021. Perkuat Keandalan Listrik di Indonesia Timur, Tol Listrik Flores Sepanjang 864 kms Beropersi.https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/perkuat-keandalan-listrik-di-indonesia-timur-tol-listrik-flores-sepanjang-864-kms-beropersi

[17] Badan Pusat Statisik Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2018-2020. Jenis Ijin Usaha Pertambangan Menurut Kabupaten/Kota 2018-2020. https://ntt.bps.go.id/indicator/10/635/1/jenis-ijin-usaha-pertambangan-menurut-kabupaten-kota.html

[18]Kompas.com 2013. “Tambang di Manggarai, Belum Disertai Smelter.” https://regional.kompas.com/read/2013/01/09/02353966/tambang-di-manggarai-belum-disertai-smelter

[19] Marx Karl. CAPITAL A Critique of Political Economy, Volume III The Process of Capitalist Production as a Whole. Penguin Classics 1991. Untuk huruf miring tambahan penulis sendiri, karena Marx belum mendalami mengenai keuntungan kapitalisme dalam industri pertambangan dan geothermal. Namun konsep ini dipakai oleh penulis mengenai keterasingan masyarakat dari alat produksinya seperti tanah yang dijualkan kepada pihak perusahan.

[20] Regus Max. 2019. Tambang dan Resistensi Lokal di Manggarai, Flores. PT. Kanisius.

[21] Ibid

[22] Tempo, 2021. Kubangan Petaka dari Bawah Tanah. Majalah Tempo, 29 November, 2021.

[23] Stanley Khu. 2014. Michael Taussig, Fetisisme, Mimesis dan Keliyanan. et “Pengantar Pemikiran Tokoh-Tokoh Antropologi Marxis” Marjin Kiri. 2014.


Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.