Tahun 2008, kita dihadapkan pada krisis pangan global ketika harga gandum meningkat 127 persen, beras 170 Persen, jagung melonjak hingga tiga kali lipat harga semula, dan 963 juta orang diprediksi menjadi korban kelaparan dunia (FAO, 2008). Sebagai respon atas krisis pangan tersebut, pemerintah Indonesia menjatuhkan pilihan kebijakannya pada program perluasan lahan pertanian dalam skala masif atau ekstensifikasi, salah satunya melalui Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). MIFEE diproyeksikan akan membawa rentetan keuntungan bagi perekonomian daerah maupun nasional: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Merauke akan terdongkrak menjadi Rp124,2 juta per tahun pada 2030 dan anggaran negara akan dihemat hingga Rp4,7 triliun melalui pengurangan impor pangan (Zakaria, 2011). Ada 36 perusahaan raksasa seperti Medco, Wilmar International, Rajawali, Murdaya yang akan berebut konsesi di atas tanah adat Marind. Alokasinya akan terbagi antara industri makanan (50%), industri kelapa sawit (20%), dan industri tebu (30%) (Ibid). Awal Februari 2010, bertepatan dengan HUT Merauke ke-108, MIFEE diresmikan oleh Bupati Merauke.
Dalam konteks global, MIFEE – yang diumumkan sebagai bagian dari jawaban terhadap krisis pangan dan energi – terhubung dengan konteks perampasan tanah skala luas. Borras dan Franco (2010) mendiskusikan dinamika politik perampasan tanah di Asia Tenggara dengan membandingkan Indonesia, Filipina, dan Kamboja. Mereka berpendapat, resolusi krisis pangan dan energi global sangat bergantung pada keberadaan lahan terlantar, marjinal dan tidak berpemilik di selatan global. Wacana kebijakan MIFEE sendiri berdiri di atas asumsi serupa, bahwa tanah adat Marind Anim jatuh pada kategori tanah ‘terlantar’, sehingga layak menjadi situs baru bagi solusi atas krisis pangan dan energi global (Ito et al., 2014, 32).
Beberapa dokumentasi dan penelitian sebelumnya telah mendiskusikan dampak multidimensi MIFEE bagi masyarakat di sekitarnya. Savitri (2013), Muntaza (2014), dan Zakaria (2011) menunjukkan dengan jelas bagaimana proyek ini benar-benar meminggirkan dan menempatkan masyarakat Marind ke dalam krisis sosio-ekologis alih-alih memberdayakan mereka ke dalam gagasan pembangunan. Sementara literatur lain membuka tabir kebijakan dan legitimasi hukum yang membenarkan proses tersebut (Ito et al., 2014). Kajian lebih baru mendedah bagaimana proyek pembangunan ini menciptakan ekosida (pemusnahan ekologis) bagi pribumi (McDonnel, 2020). Sementara itu, perhatian dampak raksasa lumbung pangan dan energi ini terhadap keseharian perempuan Marind Anim belum banyak dibongkar, padahal mereka memainkan peran sentral dalam skala rumah tangga: memastikan semua proses reproduksi sosial berlanjut dan tanpa henti.
Tulisan ini bersumber dari riset lapangan yang dilakukan penulis selama beberapa tahun terakhir ini secara khusus menangkap bagaimana perubahan ini juga terkait dengan dinamika reproduksi sosial yang dialami oleh rumah tangga dan komunitas masyarakat adat Marind-Anim.
Tujuan tulisan ini hendak menyoroti dinamika yang dialami oleh perempuan adat Marind Anim dalam menghadapi proyek pangan dan energi skala besar dengan menggunakan lensa teori reproduksi sosial untuk mengungkap bagaimana proyek pangan dan energi kapitalistik mengakumulasi keuntungan dari aktivitas reproduksi tak berbayar perempuan.
Dari Rumah ke Bevak: Kisah Rekonsentrasi Aktivitas Reproduksi Sosial Perempuan Marind
Petang itu, Helena Ndiken terlihat baru kembali dari wilayah perkebunan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik Medco Group di Kampung Zanegi. Dengan bertelanjang kaki, ia membawa satu karung berwarna putih bermuatan 50 kg di pundaknya. “Ini biji akasia,” ujarnya, saat ditanya apa yang ada di dalam karung berukuran setengah kuintal tersebut. Ia masuk ke dalam rumah, mengambil satu terpal biru dan satu ember hijau muda. Ia membentangkan terpal biru yang berukuran cukup besar dan mengeluarkan sebagian dari isi karung tadi di tengah-tengah terpal. Dibantu oleh dua orang anak perempuan atau cucunya, mereka duduk mengelilingi terpal tersebut dan mulai membelah daun kering tadi menjadi dua, mengeluarkan biji-biji akasia yang berukuran sangat kecil, hampir menyerupai biji semangka.
Mencari biji akasia adalah salah satu mata pekerjaan musiman yang tersedia bagi para perempuan di Kampung Zanegi saat ini. Musim panen berlangsung antara September hingga Oktober. Perempuan Kampung Zanegi akan berduyun-duyun, baik secara individual maupun kelompok, berjalan kaki ke wilayah HTI, sembari membawa karung-karung besar bermuatan hingga 50 kg. Di sana mereka memiliki dua cara untuk merontokkan daun-daun yang berisi biji akasia. Pertama dengan cara menebang langsung pohonnya hingga tumbang, dan memetiknya saat terjatuh di tanah. Kedua, dengan memanjat pohon dan memetiknya langsung dari atas pohon. Cara kedua lebih berisiko secara keamanan dan keselamatan kerja, sebab pohon-pohon tersebut umumnya dikelilingi oleh semut api, yang terkenal ganas dan memiliki gigitan yang menyakitkan. Namun cara pertama juga bukan tanpa risiko, beberapa pihak perusahaan menegur dan melarang warga untuk menebang pohon.
Daun-daun kering akasia yang telah dipetik tadi dimasukkan ke dalam karung hingga penuh. Dengan karung-karung penuh tersebut, mereka kembali berjalan kaki ke kampung atau di bevak. Sesampainya di tempat, karung dibuka, dedaunan kering dikeluarkan dari dalamnya dan dimasukkan di dalam wadah seperti ember atau kadang dihambur di tanah begitu saja. Setelah dipilah, biji dibersihkan dari serat-seratnya dan dijemur di bawah sinar matahari, lalu biji akasia siap dijual. Pekerjaan ini dapat memakan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari. Ini sangat tergantung dari jumlah tenaga yang diperbantukan.
Dalam kasus Mama Helena, ia dibantu oleh anak-anak perempuannya yang berjumlah 3 hingga 4 orang, sehingga pekerjaan itu keesokan harinya sudah dapat dirampungkan. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah beban kerja domestik yang harus diselesaikan di rumah tangga. Padatnya aktivitas domestik yang menjadi tanggung jawab perempuan Suku Marind di Kampung Zanegi membuat mereka harus pandai membagi waktu antara kerja domestik dan kerja mencari nafkah. Mama Helena sendiri baru memulai berjalan ke hutan dan mencari biji akasia ketika ia sudah memastikan semua pekerjaan domestik selesai. Jika dihitung, waktu yang ia tempuh dari sejak awal berjalan kaki ke HTI hingga biji siap dijual kepada pengepul, mencapai kurang lebih dua hingga tiga hari.
Dari satu karung bermuatan 50 kg, biasanya Mama Helena berhasil mendapatkan 1 kg biji akasia siap jual. Lantas berapa harga untuk pekerjaan yang sangat melelahkan, penuh resiko dengan waktu kerja yang panjang ini? Beberapa tahun silam, pengepul membeli biji akasia dengan harga yang cukup baik, yakni 300-an ribu rupiah per kilogram. “Sekarang harga su turun jauh,” kata Mama Helena. Hari ini pengepul membelinya dengan harga miring, yakni 75 ribu rupiah saja per kilogramnya.
Pada waktu-waktu di mana biji akasia belum siap panen, para perempuan di kampung melakukan berbagai aktivitas penghidupan lainnya di hutan-hutan milik mereka. Pada musim hujan misalnya, yang terjadi antara November dan Maret, mereka memancing ikan dengan menggunakan mata kail di kali-kali tersisa di sekitar kampung. Sementara pada musim kering bulan Juni hingga Juli, mereka tetap mencarI ikan hanya saja dengan menggunakan tali nilon. Jika suami mereka masih aktif berburu, maka perempuan dan anak-anaknya akan ikut pergi ke hutan, memasang jerat babi dan rusa, mencari telur kasuari, dan memangkur sagu selama beberapa hari.
Namun, bagi perempuan yang suaminya bekerja upahan di perkebunan HTI, PT Selaras Inti Semesta (SIS), Medco Group, mereka juga harus ikut dan tinggal di bevak-bevak untuk memastikan penyediaan pangan bagi seluruh anggota keluarga yang terlibat dalam kerja tersebut. Bevak adalah pondok-pondok kayu yang digunakan dan dibangun sendiri oleh masyarakat setempat sebagai tempat tinggal sementara untuk pekerjaan leles. Leles adalah jenis pekerjaan yang dilakukan secara manual dengan cara memotong kayu-kayu kecil dan sisa hasil panen dan pembukaan lahan perkebunan industri, PT. SIS mengalokasikan jenis pekerjaan ini untuk penduduk setempat, yakni orang-orang Marind. Sedangkan pekerjaan lain seperti pemanenan kayu dan pembukaan lahan yang menggunakan alat berat dilakukan oleh badan usaha kecil (kontraktor) dari luar kampung. Di bevak-bevak tersebut, satu hingga beberapa keluarga inti dan keluarga besar tinggal dan berbagi tugas. Perempuan ditugaskan untuk memastikan ketersediaan makanan dan air bersih, serta mengurus dan bersosialisasi dengan anak-anak. Para lelaki bekerja di perkebunan kayu: membersihkan, memotong, menumpuk kayu.
Kehadiran perusahaan perkebunan HTI milik raksasa Medco ini menyebabkan dinamika perubahan aktivitas reproduksi sosial perempuan di tingkat rumah tangga dan komunitas. Kerja perempuan Marind meningkat dan terkonsentrasi di wilayah perkebunan (bevak). Ia harus terlibat baik secara langsung sebagai tenaga bantuan tanpa upah dalam kerja leles, maupun tidak langsung sebagai penyedia pangan dan perawat anak-anak di dalam situs HTI.
Keterlibatan perempuan dalam kerja-kerja upahan di perkebunan kayu tidak pernah bernilai moneter karena tenaga perempuan hanya dianggap sebagai ‘tambahan belaka’ dan tidak dihitung sebagai utama. Ini menyebabkan perempuan (dan bahkan anak-anak) dianggap wajar jika tidak diupah dalam kerja-kerja di kebun kayu tersebut. Sementara itu, setelah bertungkus lumus kerja tanpa upah, mereka juga harus tetap menjalankan peran domestiknya seperti menyediakan pangan dan merawat anak.
Berubahnya kondisi hutan alam juga melemahkan kemampuan untuk menghasilkan pangan secara subsisten. Anggota rumah tangga yang lain, yang biasanya diperbantukan untuk kerja subsistensi, memangkur sagu misalnya, sudah tidak tersedia dan terserap di kerja-kerja upahan di HTI. Padahal dalam aktivitas memangkur sagu, tenaga laki-laki diperlukan untuk merobohkan dan memotong pohon sagu. Perempuan Marind di Kampung Zanegi juga harus memikirkan bagaimana pangan rumah tangga harus tetap terpenuhi. Maka pilihan yang masuk akal adalah, pertama, ikut melakukan kerja pencarian nafkah lain, dan yang kedua, adalah berutang.
Salah satu sumber penghasilan yang khas dilakoni oleh perempuan adalah kerja mencari biji akasia, yang telah dideskripsikan sebelumnya. Kerja tersebut penuh resiko, upah murah dan memiliki jam kerja yang panjang. Akan tetapi mereka tidak memiliki banyak pilihan selain menjalaninya. Mereka harus mendapatkan sumber uang tambahan untuk memastikan kebutuhan rumah tangganya terpenuhi.
Kapitalis Perkebunan Mengambil Manfaat dari Aktivitas Reproduksi Sosial Perempuan Marind
Dengan menggunakan konsep social necessary and labor time, Marx menyediakan alat analisis dalam melihat bagaimana waktu untuk menghasilkan nilai berkorespondensi dengan nilai yang diperlukan untuk mereproduksi dirinya sendiri. Lensa ini membantu kita melihat bagaimana eksploitasi kelas pekerja di pabrik-pabrik untuk penciptaan nilai lebih berlangsung (Bhattacharya 2017:7). Bhattacharya berpendapat, “bentuk upah tidak lain adalah nilai yang diperlukan untuk mereproduksi tenaga kerja pekerja”. Oleh karena itu, pembahasan tentang penciptaan kekayaan dalam pengertian Marxian harus memusatkan gagasannya pada reproduksi sosial, yang dapat dipicu oleh serangkaian pertanyaan seperti: ‘jika kelas pekerja kita menghasilkan nilai, lalu siapa dan bagaimana kelas pekerja diciptakan?’
Dalam mendefinisikan ‘reproduksi sosial’, Marx (1976 dikutip dalam Rao 2021:99) menggambarkannya sebagai proses budaya, ekonomi dan politik yang diperlukan untuk mempertahankan hubungan sosial produksi masyarakat saat ini. Marx tentu menyadari betul sentralitas dan keunikan tenaga kerja di mana ia dapat diproduksi dengan cara non-kapitalistik, tepatnya di lokus ‘berbasis kinship’ (Vogel 2013). Namun, penekanannya pada gagasan ini masih terfokus pada produksi dan kurangnya elaborasi tentang bagaimana kedua situs ini terintegrasi satu sama lain (Hartman 2010, Bhattacharya 2017).
Kritik dan debat konseptual feminis telah memberikan kontribusi untuk memperluas definisi reproduksi sosial. Wells (2009: 206) menunjukkan reproduksi sosial sebagai ‘upah sosial’, di mana kegiatan seperti penyediaan makanan, perumahan, pakaian, sosialisasi, pendidikan, dan lain-lain berkontribusi pada praktik material dan diskursif yang memungkinkan reproduksi formasi sosial masyarakat. Kegiatan ini sebagian besar dianggap sebagai pekerjaan domestik atau rumah tangga yang masyarakat patriarki cenderung mengaitkannya dengan pekerjaan perempuan.
Dalam konteks masyarakat agraris, konsep yang lazim dikaitkan dengan kontekstualisasi pengertian reproduksi sosial adalah generasi. Konsep generasi akan membantu kita untuk memahami proses yang diperlukan rumah tangga agraris dalam mereproduksi diri mereka sendiri setiap hari dan mempelajari dinamika dan perubahan dalam masyarakat agraris (White, 2021). Dalam situasi perampasan tanah besar-besaran di selatan global, kerja-kerja pertanian dapat menjadi poin kunci untuk mempelajari keuntungan dari kapitalisme agraria serta kelangsungan hidup dan reproduksi pekerja di seluruh dunia (Rao 2021). Penetrasi besar-besaran terhadap tanah-tanah yang dianggap terlantar dan marjinal di selatan global, yang saat ini berlangsung, mengandalkan akumulasi keuntungannya dari situs-situs reproduksi sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Naidu dan Ossome (2016) bahwa kapitalis dalam tata rancang masyarakat agraris mengakumulasi keuntungannya dari formasi sosial non-kapitalis rumah tangga dan tenaga kerja keluarga yang terdiri dari jenis tenaga kerja produktif dan reproduktif tak berbayar.
Pembangunan perkebunan industri di Desa Zanegi, Merauke, Papua, sebagai bagian dari proyek perkebunan energi MIFEE telah membawa perubahan besar-besaran pada tataran lanskap ekologis dan relasi sosial (McDonnel, 2020). Perempuan Marind berperan sentral dalam reproduksi rumah tangga dan komunitas: memastikan ketersediaan pangan rumah tangga melalui pekerjaan subsisten, mengambil air dan obat-obatan, mengasuh dan mensosialisasikan anak, menjaga hutan dan lingkungan. Perempuan Marind sejak dulu menduduki posisi sentral dan penting dalam proses reproduksi sosial masyarakat adat (Boelaars, 1986). Kerja ini di masa-masa lampau memang semata dimaksudkan untuk memastikan keberlangsungan dan kebertahanan rumah tangga dan masyarakat, namun pada konteks komunitas yang berhadapan dengan ekspansi HTI.
Tentu kerja-kerja reproduksi sosial tersebut menyokong proses akumulasi modal dan keuntungan oleh perusahaan. Perempuan dalam hal ini memastikan pangan, gizi, nutrisi, kesehatan, kewarasan, dan faktor-faktor pendukung lainnya, dari seorang pekerja upahan, untuk dapat bekerja secara maksimal agar mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi kelas yang mempekerjakannya.
Masuknya proyek pembangunan yang berdampak pada kondisi lingkungan juga memengaruhi kerja-kerja perempuan. Mereka kehilangan tempat penting bagi kerja reproduksi sosial mereka seperti hutan, rawa sagu dan sungai-sungai kecil. Mereka mengalami hambatan akses pangan, air bersih dan obat-obatan tradisional, sehingga mereka juga kehilangan kemampuan untuk menjamin kelangsungan hidup keluarga dan masyarakat. Dalam konteks proyek pangan dan energi MIFEE baru-baru ini, perempuan harus menghadapi situasi di mana mereka mengalami peningkatan beban kerja rumah tangga yang berat dan terkonsentrasi di bevak-bevak perkebunan.
Perubahan lanskap ekologis dan lokasi penghidupan serta mobilisasi masyarakat lokal untuk pekerja upahan di perkebunan kayu berdampak pada kemampuan perempuan untuk menghasilkan makanan secara subsisten. Waktu untuk memproduksi makanan secara mandiri diganti dengan waktu mereka dalam melakukan kerja reproduksi tak berbayar di bevak, semata-mata untuk memastikan ‘tenaga kerja utama’ – pekerja leles – agar tetap bugar dan sehat untuk melakukan kerja upahan. Sementara itu, kondisi kerja yang rentan dan berupah murah memaksa rumah tangga ini mencari cara untuk menambal sulam pendapatannya. Oleh karena itu, selain melakukan pekerjaan reproduktif yang tidak dibayar, perempuan dipekerjakan untuk membantu suaminya melakukan pekerjaan leles tanpa menerima upah dari perusahaan dan melakukan kerja lainnya, seperti mencari biji akasia.
Tantangan lain yang dialami oleh keluarga-keluarga ini adalah problem sosialisasi anak-anak dari rumah tangga. Melalui beberapa wawancara lapangan, mereka mengakui bahwa selama ‘musim puncak’ (pembukaan lahan, panen), mereka tidak punya pilihan selain membawa anak-anak mereka ke bevak dan meninggalkan sekolah, sebab perempuan yang selama ini mengemban beban pengasuhan anak juga harus turut pindah ke pondok-pondok kayu tersebut. Alhasil, anak-anak kehilangan waktu-waktu penting pendidikannya di sekolah.
Bantuan tak kasat mata dari kaum perempuan ini, dalam bentuk kerja reproduktif yang tidak dibayar dan kerja produktif di lapangan leles, telah menguntungkan perusahaan untuk mengambil kayu dan mengekspornya sebagai komoditas global. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua, jumlah ekspor serpih kayu oleh Grup Medco yang beroperasi di desa ini mencapai Rp12,737,250 per meter kubik (Savitri, 2013), sedangkan upah pekerja leles hanya berkisar Rp 60,000 per meter kubik. Mereka tidak memiliki ikatan kontrak dengan perusahaan, juga tidak memiliki hak sebagai pekerja yaitu asuransi kesehatan, cuti, atau bahkan jaminan mendasar seperti keamanan dan keselamatan. Penghasilan mereka bergantung pada kemampuan untuk menghasilkan kubikasi kayu serpih sebanyak mungkin dalam masa kerja tertentu. Mereka tidak punya pilihan selain melibatkan pekerja tambahan dari anggota keluarga tanpa upah, untuk mencapai target. Sementara itu, apa yang terjadi pada rumah tangga? Mereka mengalami perubahan dan tekanan dalam reproduksi sosial, terutama bagi perempuan, yaitu menurunnya kemampuan penyediaan pangan secara subsisten akibat perubahan lingkungan yang masif, meningkatnya beban kerja di rumah tangga dan bevak, masuknya tenaga kerja tidak tetap di perkebunan kayu, dan masalah sosialisasi anak.
Daftar Pustaka
Bhattacharya, T. (2017b). Introduction: Mapping social reproduction theory, in Social Reproduction Theory: Remapping Class, Recentering Oppression. London: Pluto Press.
Boelaars, Jan. (1986). Orang Irian Jaya, dahulu , sekarang dan masa depan. Jakarta : Penerbit Gramedia.
Hartmann, H. (2010), The unhappy marriage of Marxism and feminism: Towards a more progressive union, in Sitton, J.F. (ed.), Marx Today: Selected Works and Recen Debates, New York: Palgrave Macmillan, 201–228
Ito, T., Rachman, N. F., & Savitri, L. A. (2014). Power to make land dispossession acceptable: a policy discourse analysis of the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), Papua, Indonesia. The Journal of Peasant Studies, 41(1), 29– 50. https://doi.org/10.1080/03066150.2013.873029
McDonnell, J. E. (2020). The Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE): An Ecologically Induced Genocide of the Malind Anim. Journal of Genocide Research, 1– 22. https://doi.org/10.1080/14623528.2020.1799593
Naidu, S. C., & Ossome, L. (2016). Social Reproduction and the Agrarian Question of Women’s Labour in India. Agrarian South: Journal of Political Economy, 5(1), 50– 76. https://doi.org/10.1177/2277976016658737
Rao, S. (2021).Labour and Social Reproduction, in A.H. Akram-Lodhi et al. (eds) Handbook of Critical Agrarian Studies. Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing, pp. 99–108.
Savitri, L. A. (2013). Korporasi & politik perampasan tanah. Yogyakarta : Insist Press. Vogel, L. (2013). Marxism and the Oppression of Women: Toward a Unitary Theory. BRILL
White , B. (2021). Generation , in A.H. Akram-Lodhi et al. (eds) Handbook of Critical Agrarian Studies. Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing, pp. 150–156.
Wells, K. (2009), Childhood in a Global Perspective, Cambridge: Polity Press.Zakaria, R. Yando, Emilianus Ola Kleden, dan Y.l Franky. (2010). MIFEE: Tak Terjangkau Angan Malind. Jakarta: Yayasan Pusaka.