Tata Kelola Pemerintahan yang Baik: Suatu Rayuan Maut (Bagian 2)

273
VIEWS

Baca Juga:

Kredit gambar: panoramas.pitt.edu

Tulisan ini diterjemahkan oleh Rizki Affiat dari bab ‘The Seductiveness of Good Governance’ oleh Rita Abrahamsen dalam ‘Is Good Governance Good for Development?’ oleh Jomo Kwame Sundram et al. (ed.). Bloomsbury Publishing PLC, 2012.

Membebaskan Masyarakat Sipil

Dalam diskursus tata kelola pemerintahan yang baik (TKPB), masyarakat sipil muncul sebagai kunci penghubung antara liberalisasi ekonomi dan demokratisasi; keduanya merupakan lokus dari pertumbuhan dan vitalitas ekonomi, serta lahan subur untuk demokrasi. Kelemahan dari masyarakat sipil di benua Afrika disalahkan pada statisme dari strategi pembangunan di masa lalu. Dominasi negara dianggap telah mencegah pertumbuhan dari organisasi-organisasi otonom, yang kemudian memampukan para pejabat negara di berbagai negara untuk melayani ‘kepentingan mereka sendiri tanpa takut dimintai pertanggungjawaban’ (Bank Dunia 1989: 60). Masyarakat sipil dianggap sebagai ‘kekuatan tandingan’ dari negara, suatu cara untuk mengatasi praktik otoritarianisme dan korupsi; sehingga masyarakat sipil harus diperkuat dan dibina. Bank Dunia menyatakan bahwa TKPB ‘membutuhkan upaya sistematis untuk membangun struktur kelembagaan yang pluralistik’ (Bank Dunia 1989: 61), dan organisasi-organisasi penghubung dianggap memiliki peran penting. Mereka ‘dapat menciptakan penghubung baik secara vertikal ke atas maupun ke bawah dalam masyarakat dan menyuarakan aspirasi lokal lebih efektif ketimbang lembaga akar rumput. Dengan melakukan ini, mereka bisa membawa spektrum gagasan dan nilai yang lebih luas ke dalam pembuatan kebijakan’ (Bank Dunia 1989: 61). Organisasi-organisasi penghubung ini juga diharapkan mampu menekan pejabat publik untuk meningkatkan performa dan akuntabilitas mereka. Singkatnya, ‘dengan mendukung pembangunan struktur kelembagaan yang plural, agensi-agensi eksternal bisa membantu menciptakan suatu lingkungan yang akan menghadang penyalahgunaan kekuasaan politik’ (Landell-Mills dan Serageldin 1991: 313).

Menurut diskursus TKPB, cara terbaik untuk memperkuat masyarakat sipil adalah dengan mengurangi peran negara dan memperluas cakupan dari kekuatan-kekuatan pasar seperti yang disarankan oleh program penyesuaian struktural (SAP/Structural Adjustment Programmes). Hal ini diharapkan akan mendesentralisasi pembuatan keputusan dari negara dan membuka ruang-ruang baru bagi organisasi akar rumput dan inisiatif-inisiatif swasta. Dengan konteks ini, yang menjadi perhatian adalah pertumbuhan organisasi informal dan sukarela seperti koperasi simpan pinjam, asosiasi tani, kelompok perempuan dan asosiasi profesional di benua Afrika selama satu dekade terakhir (Bank Dunia 1989: 61; 1992a; 25; Landell-Mills 1992). Pertumbuhan dari asosiasi-asosiasi sukarela macam ini merupakan satu cerminan dari perlucutan layanan negara yang sesuai dengan SAP. Seiring dengan ketidaksanggupan atau ketidakinginan negara Afrika untuk memberikan layanan dan infrastruktur dasar kepada warganya, lebih banyak orang akan semakin tergantung pada inisiatif-inisiatif swasta, seringkali berpusat pada asosiasi tradisional dan etnis namun juga melibatkan kelompok-kelompok swadaya sukarela baru. Kevakuman yang ditinggalkan oleh pengunduran negara ini telah diisi oleh inisiatif-inisiatif swasta, dan dengan adanya representasi diskursus TKPB bahwa negara adalah penindas yang asing, maka pembangunan macam ini dianggap meningkatkan prospek demokrasi. Dalam kalimat Landell-Mills (1992: 563), ‘pertumbuhan asosiasi-asosiasi di semua tingkatan mendukung tren ke arah ‘politik yang lebih partisipatoris, akuntabilitas publik yang lebih besar, dan demokrasi yang mendasar’.

Sementara menjamurnya kehidupan berasosiasi di benua ini dalam tahun-tahun belakangan tidak dapat disanggah, representasi diskursus TKPB bahwa pembangunan semacam ini secara inheren demokratis adalah hal yang sangat problematis. Representasi ini secara erat terikat dengan konseptualisasi dari masyarakat sipil di dalam diskursus pemerintahan. ‘Masyarakat sipil’ adalah konsep yang samar dan ambigu, karena tidak didefinisikan di dalam diskursus Bank Dunia. Bahkan, dua dokumen utama yang diteliti dalam artikel ini tidak menggunakan konsep itu sama sekali, melainkan merujuk pada pluralisme kelembagaan dan organisasi penghubung serta akar rumput. Hanya di dalam laporan bertajuk Governance: The World Bank’s Experience tahun 1994 konsep ini muncul, namun disini maknanya diambil terlalu eksplisit dan familiar untuk menyertakan suatu definisi atau diskusi lanjutan. Perlakuan atas masyarakat sipil sebagai konsep yang tidak problematis telah dianut secara umum di banyak literatur kontemporer tentang pembangunan, dimana masyarakat sipil digunakan sebagai term menyeluruh yang merujuk pada ragam asosiasi, institusi, dan relasi budaya, sosial, ekonomi dan politik sukarela di luar negara. Ini juga digunakan oleh Bank Dunia, dan dampaknya, rujukan ke institusi dan organisasi penghubung serta akar rumput dalam dua dokumen utama tersebut menjadi definisi masyarakat sipil ala Bank Dunia. Dalam diskursus TKPB, masyarakat sipil setara dengan kehidupan berasosiasi.

Konseptualisasi agenda masyarakat sipil berlanjut dari suatu konsepsi khusus tentang negara dan masyarakat, dimana negara diasosiasikan dengan kekuasaan dan masyarakat sipil adalah milik ranah kebebasan. Dengan tafsiran ini, kekuasaan dan eksploitasi menjadi kepemilikan eksklusif negara dan sektor publik/formal, sedangkan tiap perlucutan atas negara beserta layanan ekonomi dan sosial yang diberikannya dapat dianggap sebagai ekspansi demokrasi dan kebebasan. Konsepsi kedaulatan yang sempit tentang kekuasaan semacam ini memunculkan representasi romantik terhadap masyarakat sipil sebagai sesuatu yang demokratis secara implisit, dan keberadaan organisasi-organisasi di luar negara diasumsikan cukup untuk membatasi kekuasaan negara dan memperkuat transisi demokrasi. Ini merupakan representasi yang reduksionis pada titik ekstrim. Kemunculan beragam kelompok dan asosiasi sukarela tidak dapat secara otomatis diharapkan untuk membangun basis dari masyarakat sipil yang aktif, berpengetahuan, dan artikulatif, maupun untuk diterima begitu saja bahwa aktivitas politik dengan dimensi strategis akan dibangkitkan oleh organisasi dan gerakan di masyarakat. Banyak asosiasi di masyarakat sipil tidak melibatkan semacam keinginan atau aksi politik dari internal dan tidak berupaya membatasi cakupan negara atau pengaruh dari kebijakannya. Sebaliknya, kelompok lain mungkin memiliki ideologi otoritarian dan memiliki strategi serta tujuan yang tidak demokratis. Oleh karena itu, masyarakat sipil tidak bisa dilihat memiliki nilai inheren yang demokratis maupun tidak demokratis; melainkan memiliki karakter yang beragam lintas ruang dan waktu.

Pengamatan macam ini relevan khususnya di banyak negara-negara berkembang, dimana asosiasi informal tumbuh sebagai hasil dari ketidakmampuan negara dalam memberikan layanan dasar. Masyarakat telah menarik diri dari negara yang semakin menindas dan eksploitatif, dan beralih pada jejaring komunitas untuk kesejahteraan sosial mereka. Dengan cara yang sama, pasar gelap atau paralel telah menyediakan cara efektif untuk menghidari pajak yang tinggi  dan harga rendah bagi produk pertanian yang dibuat-buat oleh iklan dari badan negara. Strategi keluar dan bertahan ini mungkin telah melemahkan negara, namun kemampuan untuk menghindari negara tidak serta-merta digabungkan dengan kemampuan untuk menyokong demokratisasi dengan cara konstruktif dan signifikan karena ini tidak berarti mengimplikasikan suatu aliansi politik atau relasi dengan aktivitas atau partai politik. Bahkan, strategi-strategi ini umumnya menandai ketidakpercayaan yang mendalam atas negara dan persepsi bahwa institusi-institusinya tidak relevan dengan kehidupan dan perjuangan sehari-hari. Sikap seperti itu justru berdampak negatif bagi demokratisasi, yang membutuhkan asosiasi masyarakat sipil untuk terlibat dengan institusi-institusi negara demi meraih tujuan mereka dan meningkatkan kondisi bagi keberadaan mereka.

Perlu diwaspadai juga watak masyarakat sipil yang heterogen dan tersegmentasi dengan definisi yang menganggapnya sebagai demokratis secara inheren. Masyarakat sipil di Afrika (dan dimanapun) memiliki seperangkat tradisi, etnik, profesi, kelas, serta kepentingan lokal, regional dan nasional yang beragam. Heterogenitas memang tidak sendirinya menghambat asosiasi sukarela dari mobilisasi untuk demokrasi, namun meningkatkan peluang atas menjadikan sebagian mereka menjadi agen bagi kepentingan etnis dan parokial, khususnya dimana batasan negara masih diperselisihkan dan pembangunan-bangsa masih dalam proses yang belum utuh. Ini bisa jadi kasus di banyak negara berkembang, dan konflik-konflik macam ini menjadi pengingat akan potensi bahaya dalam masyarakat yang heterogen secara budaya. Sementara penarikan mundur negara yang menyisakan kevakuman dapat memberi ruang bagi organisasi sukarela untuk memobilisasi demokrasi, situasi ini juga memunculkan hantu perpecahan dan partikularitas yang terus menegang.

Interpretasi semacam ini mungkin tampak terlalu pesimistik, namun cukup jelas bahwa representasi diskursus TKPB tentang masyarakat sipil yang demokratis secara inheren juga terlalu romatis dan optimistik. Keberadaan belaka (atau ketiadaan) dari masyarakat sipil, meski penting, tidaklah memadai untuk menjelaskan keberhasilan atau kegagalan demokrasi. Masyarakat sipil dan relasinya dengan demokratisasi tidak dapat dipahami secara abstrak, melainkan membutuhkan analisis spesifik dari beragam kelompok dan kepentingan yang terlibat di dalam perjuangan ini. Intinya, ini bukan soal menggarisbawahi watak diferensiasi dari masyarakat Afrika, baik dalam aspek etnisitas maupun kekayaan, yang harus dipertimbangkan dalam melihat potensi demokrasi di dalam kemunculan masyarakat sipil. Melainkan mengajukan pertanyaan penting terkait dampak dari diskursus yang mengabaikan pengamatan jeli tentang kualitas masyarakat sipil yang heterogen dan berpotensi tidak demokratis. Aksi dan praktik apa saja yang dilegitimasi oleh diskursus ini, dan tipe kekuasaan apa saja yang dipertanggungjawabkan? Jawaban singkatnya adalah bahwa diskursus TKPB mengonstruksikan liberalisme ekonomi sebagai kekuatan untuk demokrasi. Persamaannya sederhana: kekuasaan koersif dianggap berada secara eksklusif dalam negara dan lembaga-lembaga publik, dan setiap perlucutan dalam ukuran dan cakupan negara dianggap sebagai hal yang kondusif untuk demokratisasi. Penyesuaian struktural membatasi aktivitas negara dan diasosiasikan dengan pertumbuhan dari kelompok dan organisasi sukarela, dan karenanya, penyesuaian menjadi suatu ‘perusahaan’ demokratik bagi kebebasan masyarakat sipil.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.