Proyek penelitian lembaga berplat merah menghadapi persoalan kontrak kerja dengan calon buruhnya. Si Calon buruh memilih menumpahkan keluh kesahnya di media sosial. Menurut penuturan si calon buruh ada beberapa masalah dari proyek tersebut. Pertama, sampai tanggal pelatihan pada 29 September 2022 baru beberapa tim yang diberitahu mengenai keputusan mereka yang akan dipekerjakan dan pada sore harinya si calon buruh baru dikabari kalau pelatihan diundur tanggal 30 September 2022. Si calon buruh mendadak mencari tiket pesawat & uang transportas idengan kantung pribadi, meskipun ada janji akan diganti oleh penyelenggara.
Kedua, kenyataannya kemudian pelatihan dimulai secara daring disebabkan banyak calon buruh yang belum sampai tempat pelatihan akibat dari informasi mendadak. Ketiga, menurut pengakuan si calon buruh bahwasanya aplikasi untuk kepentingan riset sendiri belum final dan mereka belum dibekali peralatan penelitian kecuali tanda pengenal. Keempat, kontrak kerja yang disampaikan saat pelatihan berjanji memberikan pembiayaan atas uang harian sebesar 70% dari uang harian sesuai Standar Biaya Masukan per hari; biaya transportasi dari tempat asal menuju lokasi survei dan sebaliknya; biaya penginapan sebesar Rp 150.000,00/hari; honorarium pemutakhiran satu blok sensus sebesar Rp 12.500,00; dan honorarium pewawancara sebesar Rp 8.000,00/responden dengan hasil akhir kunjungan dengan status respon dan approved. Saat penutupan pelatihan, menurut si calon buruh uang penginapan dipotong menjadi Rp 50.000/hari.
Menurut si calon buruh, setelah mencoba mencari kejelasan bersama rekan lainnya sampai 7 November 2022 justru mereka mendapatkan kondisi yang semakin sulit. Honor mereka dipotong menjadi Rp 150.000/hari tanpa uang makan, penginapan, dan tak ada asuransi kesehatan. Si calon buruh merasa beruntung belum menandatangani kontrak kerja. CNN Indonesia (Selasa, 8 November 2022) melaporkan bahwa semua calon buruh dari Indonesia Timur memilih mengundurkan diri, sementara yang di Jawa hanya tersisa mereka yang berasal dari Jember dan Lumajang.
CNN Indonesia (Rabu, 9 November 2022) lebih lanjut memberitakan ketu alembaga plat merah justru membantah adanyap emotongan honorarium calonb uruh. Menurut ketua lembaga plat merah itu disebabkan belum ada penandatangan kontrak kerja, maka tidak bisa dikatakan sebagai “pemotongan honorarium” karena menurut pihaknya belum ada nominal yang disampaikan. Pihaknya juga membantah adanya mundur massal calon buruh dengan dalih lembaganya sedang menyeleksi calon buruh baru (cnnindonesia.com, 9 November 2022).
Realitas ini menunjukan nestapa buruh yang dikategorikan sebagai kognitariat seperti yang digambarkan Antonio Negri (2006) untuk menggambarkan orang-orang yang terperosok dalam situasi kerja yang “fleksibel” dengan kualifikasi kapasitas pengetahuan, tetapi berada dalam celah kerentanan antara sengkarut modal, pemerintahan dan dunia pendidikan. Seorang kognitariat seperti yang dialami oleh calon buruh di atas pada dasarnya terpaksa harus “menjual dirinya sendiri” untuk dapat memperoleh penghidupan dengan menawarkan kapasitas pengetahuan dan tenaganya. Akses pendidikan memang tak lantas membuat seorang kognitariat mampu “membebaskan dirinya,” sebaliknya justru membuat dirinya semakin rentan di tengah keterbatasan sumber penghidupan (Negri, 2006).
Setidaknya menurut Newfield (2014) terdapat beberapa jenis kognitariat berkaitan dengan dayatarik kapasitas pengetahuan yang mereka jual ke pasar tenaga kerja. Pertama, commodity skills yakni keterampilan yang mudah diperoleh dan mudah dipertukarkan oleh majikannya. Tipe pertama ini meliputi keterampilan dasar seperti mengetik dan menjadi administrator yang bertugas menjalin komunikasi untuk kepentingan majikannya.
Kedua, leveraged skills yakni keterampilan pengetahuan yang membutuhkan akses pendidikan lanjutan dan nilai tambah seperti kemampuan pencatatan dan penelaahan, namun mudah didapatkan di banyak buruh terutama lulusan kampus. Mereka adalah sebagian besar kognitariat yang bersaing dalam pasar tenaga kerja. Ketiga, proprietary skills yaitu keterampilan pengetahuan khusus pada level middle maupun top management yang mengambil bagian pada pengambilan keputusan dalam produksi konten/wacana pengetahuan (Newfield, 2014).
Calon buruh yang menghadapi situasi kontrak kerja tak jelas seperti dalam lembaga plat merah pada dasarnya adalah kognitariat jenis kedua yang mudah menjadi sasaran dari manajer pengetahuan/kognitariat tipe ketiga dalam relasi kerja yang penuh kerentanan dan ketidakpastian. Hal tersebut yang menyebabkan calon buruh lembaga plat merah mudah diganti dengan calon buruh yang lain, karena pilihan manajer pengetahuan untuk mencari pengganti terbilang mudah.
Kognitariat pada dasarnya tak berbeda dengan buruh lainnya yang menggunakan tenaga dan pengetahuannya secara bersamaan untuk menciptakan dan menggunakan pengetahuan sebagai produk kerja mereka. Apa yang terjadi pada relasi kerja dengan lembaga plat merah dengan calon buruhnya memiliki konteks struktural berupa komodifikasi sektor publik yang mengubah kerja pengetahuan menjadi komoditas yang menguntungkan dengan relasi kerja yang “fleksibel”sebagai bagian dari proses liberalisasi sejak tahun 1980-an (Voulvouli, 2019).
Menurut Voulvouli (2019), krisis finansial global tahun 2008 memperparah logika tersebut dengan mendorong pengetatan audit keuangan produksi pengetahuan, kuantifikasi dan penghitungan untung-rugi dalam pelaksanaan penelitian. Pengelolaan dana penelitian diubah menjadi “investasi kompetitif,” sehingga menghasilkan manajemen produksi pengetahuan yang membatasi kemungkinan suara keresahan dari buruh-buruhnya. Hal tersebut lah yang menyebabkanketentuan honorarium bisadiubah-ubah “seefisien” mungkin menurut kemauan si manajer pengetahuan.
Bates (2021) lebih lanjut dengan melihat realitas seperti itu kemudian membangun dua kategori kelas kognitariat yakni precariat (buruh dengan kontrak jangka pendek dengan ketiadaan jaminan penghidupan) dan salariat (buruh dengan sumber pendapatan tetap serta dengan keberlanjutan profesi yang lebih aman). Kategori kelas tersebut dibuat untuk menunjukkan bahwa di antara para kognitariat ada yang paling tereksploitasi yakni bentuk kerja penelitian seperti yang dihadapi si calon buruh di atas.
Kabar dari konteks .co.id (11 November 2022) menunjukkan bahwa lembaga plat merah justru memilih membuka kembali lowongan riset dengan target mahasiswa semester 3 sampai 7 dengan dalih mendapatkan “pengalaman riset” (konteks.co.id, 11 November 2022). Kondisi seperti ini dapat kita pahami sebagai upaya seorang salariat seperti pengelola lembaga untuk memainkan kuasanya dalam hirarki sosial untuk mendapatkan “biaya buruh yang semakin murah,” namun dengan nilai lebih yang tetap sama. Artinya alih-alih peduli dengan nasib si precariat, si salariat karena sudah memiliki “keamanan” memilih untuk menghisap kelas di bawahnya.
Salariat punya kepentingan untuk mengintensifkan eksploitasi atas precariat, demi mempertahankan kedudukan mereka termasuk dalam pemanfaatan aset lembaga untuk kepentingannya. Upaya salariat menurunkan gaji si calon buruh pada lembaga plat merah dapat dipahami sebagai upaya untuk menekan pengeluaran dalam belanja tenaga kerja, sehingga memaksimalkan ekstraksi nilai lebih/efisiensi dalam operasional proyek penelitian (Bates, 2021). Hirarki baik secara kelembagaan maupun pandangan secara sosial yang memengaruhi mental calon buruh menyebabkan calon buruh tak berdaya menghadapi salariat. Hal tersebut disebabkan calon buruh membutuhkan pekerjaan di tengah fleksibilitas pasar tenaga kerja.
Apalagi pilihan untuk membuka lowongan kepada mahasiswa semester 3 sampai 7 justru menjadi wujud tekanan sosial dari lembaga plat merah untuk memastikan calon buruh tidak macam-macam dan fokus pada persaingan dengan dalih “memberikan pengalaman penelitian.”Pasokan calon buruh akademik tentu menguntungkan mereka yang ingin mengeksploitasi tenaga kerja. Kelebihan pasokan tersebut juga menjadi pertimbangan salariat untuk menekan biaya bagi pengadaan buruh dengan alasan “masih banyak yang butuh.” Banyaknya pesaing membuat calon buruh harus mengasah keterampilannya sendiri, situasi tersebut semakin menguntungkan pasar produsen pengetahuan untuk memangkas bahkan meniadakan biaya penyiapan keterampilan. Akibatnya mereka dengan leluasa memilih calon buruh yang sesuai dengan keinginan mereka. Persaingan di antara calon buruh semakin ketat, padahal jumlah kesempatan yang tersedia terbatas.
Perubahan ketentuan secara tiba-tiba oleh lembaga plat merah menunjukkan bahwa pasar produsen pengetahuan memiliki mekanisme kerja yang ketat. Calon buruh yang enggan mencapai standar yang diinginkan dengan mudah dapat diganti oleh orang lain dan seringkali dengan gaji rendah. Kedudukan calon buruh berada dalam keadaan lemah dan harga murah, tetapi dituntut dengan kualifikasi tinggi, apalagi karir akademik sangat ditentukan dengan kemauan mengikuti kepentingan institusi dan akses terhadap koneksi (Bates, 2021). Calon buruh lembaga plat merah sebenarnya tak semua berasal dari mereka yang baru lulus dari perguruan tinggi, melainkan ada juga peneliti senior yang telah berkeluarga seperti dilansir Kompas.com (10 November 2022). Kala mereka berupaya memperjuangkan nasibnya, pihak panitia proyek justru marah dan menutup kanal komunikasi pada Zoom Meeting maupun kanal informasi lainnya (kompas.com, 2022).
Masalah muncul juga disebabkan hubungan perburuhan dalam kerja akademik yang bersifat bipartit dan kontraktual. Bipartit artinya hanya berdasarkan hubungan antara pemberi kerja dalam hal ini lembaga maupun salariat dengan calon buruh. Pembayangan yang muncul adalah calon buruh dapat terlibat tawar-menawar dengan pemberi kerja dengan “leluasa,” sehingga mampu membangun kesepakatan kerja (Sappey, 2005). Kontraktual artinya kerja hanya dilakukan berdasar pembentukan kesepakatan sampai dengan proyek penelitian selesai, akan tetapi calon buruh disebabkan tidak memiliki perlindungan dari negara dan sokongan serikat tak bisa leluasa terlibat dalam membangun kesepakatan. Calon buruh hanya bisa memilih menandatangani atau menolak menandatangani kontrak kerja yang telah dibuat oleh salariat.
Keberadaan kerja kontraktual sendiri adalah upaya untuk memastikan para salariat dapat mempertahankan posisinya. Mereka yang menjadi bagian dari tentara cadangan pekerja seperti kerja enumerator sengaja dipelihara untuk memudahkan menggunakan mereka sesuai kemauan salariat demi kepentingan kelasnya dan melepas mereka setelah “tak dibutuhkan.” Segmentasi kelas sosial dalam kerja akademik dipelihara sebagai strategi penurunan upah dan memastikan standar kualitas buruh di pasar tenaga kerja. Hal tersebut didasarkan pada beberapa kondisi yang mengikutinya (Bauder, 2005).
Pertama, pasar tenaga kerja akademik harus dipastikan merupakan pasar yang terpisah dari sektor ketenagakerjaan lainnya. Hal tersebut dikondisikan untuk memastikan buruh pengetahuan yang terampil dan memiliki pendidikan memadai kesulitan untuk beralih ke pekerjaan lain, sehingga buruh pengetahuan terampil hanya akan mencari pekerjaan yang sama tugasnya dan gaji yang menyejahterakan di tempat lain (Bauder, 2005).
Memang kerja akademik sepertinya punya aturan mainnya sendiri, di mana harus memiliki kualifikasi tinggi untuk mendapatkan pekerjaan tetap misalnya setidaknya bergelar doktor atau yang setara. Keadaan seperti itu yang membuat buruh akademik harus berkomitmen untuk menginvestasikan waktu, tenaga dan uang untuk mendapatkan pendidikan sampai S3; sehingga mereka tidak mungkin berpaling dari investasi tersebut dan berpindah pada pekerjaan yang kurang relevan (Bauder, 2005).
Kedua, kondisi hubungan patron-klien yang sengaja dipelihara untuk mendapatkan kepastian penghidupan dalam kerja akademik sebagai pekerjaan tetap. Jaringan kerja akademik tidaklah benar-benar terbuka, melainkan siapa yang memiliki jaringan sosial dan tunduk pada salariat akan mendapatkan perlakuan berbeda dengan mendapatkan akses seperti menjadi bagian kelompok riset terkenal, diajak terlibat dalam publikasi jurnal bereputasi, dan lain-lain (Bauder, 2005).
Ketundukan pada ikatan patron-klien juga menjadi jalan bagi jalur karir akademik selanjutnya bagi siapa yang mau menjadi bagian di dalamnya. Mereka yang tak menjadi bagian atau setidaknya tidak ingin “tunduk” cenderung ditempatkan pada posisi precariat. Ketiga, persaingan di antara buruh pengetahuan pada dasarnya hanya terjadi di sesama precariat ataupun sesama salariat bukan di antara salariat dan precariat. Persaingan lintas kelas tak terjadi disebabkan tidak adanya solidaritas internal kelas dan hubungan patron-klien seperti dijelaskan sebelumnya (Bauder, 2005).
Padahal enumerator itulah yang akan melakukan sebagian besar atau bahkan semua pekerjaan lapangan dalam penelitian. Subkontrak atas proyek penelitian kepada enumerator tak dilepaskan pula dari kondisi peneliti yang mungki nkurang berkomitmen dalam kegiatan di lapangan. Perubahan ekopol dalam rezim penelitian dapat pula menjadi biang dari pola subkontrak dalam penelitian lapangan. Pertama, perubahan rezim pendanaan penelitian nasional di mana pemerintah menegaskan kontrol ketat atas penelitian, memperketat capaian output penelitian dan keharusan untuk mencapai target kerja tertentu (Sukarieh & Tannock, 2019). Hal tersebut telah menggeser peralihan dari pendanaan proyek-proyek kecil yang dijalankan secara individu ataupun tim kecil menuju hibah besar dengan kelompok peneliti bahkan lembaga untuk mengerjakan prioritas penelitian yang terpusat digerakkan oleh rezim.
Kedua, dorongan untuk melakukan penelitian secara lintas disiplin membuat peneliti utama harus mempekerjakan enumerator ataupun asisten peneliti. Peneliti utama memang buruht etap di lembaga, tetapi tetap terikat kontrak tersendiri dalam proyek penelitian (Sukarieh & Tannock, 2019). Di mana proyek penelitian yang didanai kemudian sebagian dananya dikelola oleh tim administrasi yang melakukan komunikasi dengan penyandang dana dan peneliti utama serta buruh yang disubkontrakkan kepada peneliti utama untuk melaksanakan tugas yang telah diberikan.
Ketiga, adanya budaya hibah yang mengubah struktur karir dan peran peneliti utama. Promosi kepada jenjang karier lebih tinggi kini sering dikaitkan dengan keberhasilan untuk mendapatkan pendanaan eksternal dan total pendapatan hibah penelitian sering dipandang sebagai indikator capaian kerja akademik. Akibatnya salariat saling bersaing untuk mendapatkan hibah (Sukarieh & Tannock, 2019). Mereka ditekan untuk mengajukan proposal pendanaan dan mencari setiap kesempatan. Perubahan kedudukan telah terjadi disebabkan mereka kini tak hanya berperan sebagai peneliti, melainkan juga sebagai manajer proyek.
Keempat, kampanye untuk memperluas akses pendidikan tinggi tanpa diikuti dengan pengembangan sektor manufaktur dan sumber penghidupan lainnya menyebabkan melimpahnya cadangan calon buruh yang berebut untuk menjadi pekerja kontrak dalam penelitian. Ketakutan terjebak dalam peningkatan pengangguran pada mereka yang bergelar sarjana membuat mereka tak punya pilihan untuk berebut pengalaman pekerja kontrak penelitian (Sukarieh & Tannock, 2019).
Gambaran di atas menunjukkan betapa rumitnya relasi kerja buruh pengetahuan, meskipun kognitariat memiliki kesamaan dengan buruh pada umumnya. Buruh pengetahuan pada dasarnya sama dengan buruh lainnya dalam hal penggunaan materi berwujud dan tak berwujud, tetapi memiliki hasil produk tenaga kerja yang khas yakni pengetahuan. Tak dapat dipungkiri masih ada akademisi yang tak sadar kedudukannya sebagai buruh dengan alasan dia menjalankan produksi ilmu sebagai “panggilan jiwa” yang dijalankan secara ikhlas dengan relasi kerja yang berpegang pada “meristokrasi.” Sebenarnya jaron seperti itulah yang digunakan oleh salariat untuk membungkam sesamanya maupun precariat untuk tidak bersama-sama membangun solidaritas kelas (Voulvouli, 2019).
Kompleksitas relasi perburuhan dalam kerja akademik yang terjadi penundukan dari salariat kepada precariat lah yang menyebabkan terjadinya peminggiran dan ketidakjelasan nasib seperti yang dihadapi calon buruh lembaga plat merah. Semestinya di tengah agenda neoliberal yang semakin merasuk ke berbagai lini kehidupan termasuk institusi pengkajian, salariat harus sadar akan kerentanan yang dihadapi dan membangun solidaritas dengan semua pekerja pengetahuan maupun buruh secara umum. Hal tersebut disebabkan di tengah semakin canggihnya agenda neoliberal yang semakin merasuk, kekuatan rakyat juga harus segera dibentuk untuk menandingi, memberangus dan menata tatanan baru yang lebih baik. Di mana dalam hal produksi keilmuan semestinya tidak didasarkan pada logika pabrik, patron-klien dan kompetisi; melainkan memastikan proses pembelajaran dapat terjadi dengan baik dengan menjamin kesejahteraan buruhnya juga menyediakan suplai pengetahuan bagi rakyat untuk terlibat dalam agenda publik.
DAFTAR PUSTAKA
Bates, D. (2021). Academic Labor and its Exploitation. Theory & Event, 24(4), 1090–1109.
Bauder, H. (2005). The Segmentation of Academic Labour: A Canadian Example. ACME: An International Journal for Critical Geographies, 4(2), 228–239.
cnnindonesia.com. (n.d.). BRIN Bantah Potong Honor Enumerator 80 Persen. Cnnindonesia.Com. Retrieved November 9, 2022, from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221109122401-20-871490/brin-bantah-potong-honor-enumerator-80-persen
kompas.com. (2022). Honor yang Ditawarkan BRIN Turun Terus, Calon Enumerator Protes lalu Dimarahi, Pilih Mundur. Kompas.Com. https://nasional.kompas.com/read/2022/11/10/15353581/honor-yang-ditawarkan-brin-turun-terus-calon-enumerator-protes-lalu-dimarahi
konteks.co.id. (2022). BRIN Butuh Ribuan Calon Peneliti Muda, Terlibat 7 Survei Nasional. Konteks.Co.Id. https://www.konteks.co.id/nasional/30051/brin-butuh-ribuan-calon-peneliti-muda-terlibat-7-survei-nasional/
Negri, A. (2006). Davos: The Communism of Global Capital. In R. V. Scelsi (Ed.), GOODBYE MR. SOCIALISM (pp. 165–188). Seven Stories Press.
Newfield, C. (2014). The structure and silence of the cognitariat. The Internationalisation of Higher Education, 7–22.
Sappey, J. (2005). The commodifi cation of higher education: Flexible delivery and its implications for the academic labour process. Reworking Work-AIRAANZ 19th Conference, 495–502.
Sukarieh, M., & Tannock, S. (2019). Subcontracting Academia: Alienation, Exploitation and Disillusionment in the UK Overseas Syrian Refugee Research Industry. Antipode, 51(2), 664–680.
Voulvouli, A. (2019). The vicious circle of precarity: cognitariats in the era of austerity and authoritarianism. Social Anthropology/Anthropologie Sociale, 27, 48–62.