Kolonialisme dan Kemunculan Kapitalisme Indonesia

9.2k
VIEWS

Robinson

Judul: The Rise of Capital
Penulis:
Richard Robinson
Hlm: 425
Penerbit: Allen & Unwin Pty Ltd, 1986.

MUNCULNYA kapitalisme di Indonesia harus dirunut dari kondisi-kondisi yang memungkinkan kelahirannya. Ia tidak mesti mengikuti alur dari kesejarahan yang terjadi di Eropa atau Amerika. Lebih-lebih, tidak mesti posisinya menempati spektrum subordinat dari kapitalisme global. Kapitalisme Indonesia yang memiliki akar kolonial, mewujud seturut dengan faktor kesejarahan yang melingkupinya. Secara umum, bentuk-bentuk revolusi kapitalis dikondisikan oleh: karakter pra-kolonial masyarakatnya, pengaruh kolonialisme terhadap masyarakat dan ekonomi, pembentukan dan perpecahan kelas-kelas di bawah pemerintahan kolonial, karakter konflik politik pasca kemerdekaan, posisinya dalam ekonomi internasional dan corak pemanfaatan sumber daya alamnya. Maka dari itu, buku Indonesia: The Rise of Capital (edisi Indonesia: Suharto dan Kebangkitan Kapitalisme Indonesia) adalah upaya sistematik dalam melihat bentuk lahirnya dan tumbuh kembang kapitalisme dalam lingkup sejarah dan kondisi sosial yang spesifik, yaitu Indonesia.

Dengan tujuan yang disebut di atas, Robison mulai melacak sejarah ekonomi politik kolonial pra-Indonesia. Pada bab pertama, “asal-usul kolonial kapitalisme Indonesia”, Robison mengetengahkan awal masuknya perdagangan kapitalistik pada abad ke-17 yang membawa serta kapital dari negeri belanda melalui perusahaan dagang yaitu VOC. Masuknya kapital mengambil pola yang beragam: melalui penaklukan atas penguasa lokal, aliansi politik dan pengaturan finansial, pemaksaan terhadap penguasa lokal atas ketersediaan hasil bumi melalui monopoli, akses terhadap tanah, tenaga kerja dan hasil bumi. Masuknya kapital yang dibawa oleh VOC tidak serta merta menyapu corak produksi subsisten di mana rakyat selain memenuhi kebutuhan mereka, juga membayar upeti kepada raja sebesar 40% dari total hasil bumi.

Kedatangan VOC dengan kapital yang masif justru banyak mengadopsi gaya produksi yang sudah ada. VOC selain memperkenalkan pertanian yang efisien dan pembukaan lahan secara besar-besaran, VOC juga tetap memakai gaya penguasa lokal yaitu mewajibkan rakyat untuk menyerahkan 20% lahannya dan 60 hari tenaga kerjanya sekaligus. Pasca bangkrutnya VOC pada tahun 1800 yang kemudian digantikan langsung oleh pemerintah Belanda, sistem produksi pertanian mengalami peningkatan. Hal ini berkenaan dengan peningkatan menejemen perkebunan melalui aparat-aparat pemerintah kolonial dan birokrasi lokal. Pada masa ini, kapital dengan skala besar nyaris sepenuhnya di bawah kontrol negara kolonial sehingga benar-benar menikmati monopoli perdagangan di Jawa dan berangsur-angsur merambah pulau-pulau lainnya.

Meluasnya lahan garapan serta semakin kompleksnya sistem ekonomi akibat dari kapital yang terus-menerus berakumulasi mendorong semakin menguatnya kelompok borjuasi industri dan finansial Belanda. Ini juga seiring dengan semakin kompleks pula bentuk pertukaran yang mengikutinya, seperti penyewaan tanah, rekrutmen buruh, penanaman hasil bumi, pembangunan pabrik dan lain sebagainya. Menguatnya kelompok borjuasi Belanda justru berhadapan dengan monopoli negara terhadap sarana produksi. Hal ini menghambat laju kapital. Guna meluaskan jangkauan kapital maka monopoli harus diakhiri dan modal swasta harus masuk. Setelah pasar dibuka, membanjirlah modal-modal swasta dari Inggris, Amerika dan Belanda masuk ke Jawa dan pulau-pulau lainnya melalui serangkaian peraturan-peraturan pemerintah kolonial yang sengaja dirancang guna memuluskan masuknya kapital swasta asing.

Ketika pemodal-pemodal swasta asing menikmati untung besar, para pengusaha lokal justru semakin tergencet. Ini belum termasuk rakyat yang juga sebagai petani penggarap yang semakin sengsara. Banyak di antara para petani yang dipaksa menyerahkan lahannya dengan menanami komoditas ekspor seperti tebu dan kopi, hingga relatif tidak mampu lagi mengurus tanah mereka yang menopang sumber hidupnya. Sedangkan para priyayi yang menguasai tanah justru tidak banyak berkembang, kerena tidak mampu bersaing dengan modal asing. Di sisi lain, dari tahun 1870 hingga tahun 1949 paling tidak muncul korporasi-korporasi swasta asing besar. Keberadaannya praktis mengubah banyak sekali struktur sosial ekonomi masyarakat kolonial pada waktu itu yang bahkan berlanjut hingga sekarang.

Secara singkat, Robison menyimpulkan perkembangan struktur sosial ekonomi Hindia Belanda dalam empat tahap. Pertama, abad 17 dan 18 adalah masa kekuasaan VOC yang memonopoli perdagangan hasil bumi melalui intensifikasi corak produksi yang sudah ada dalam masyarakat lokal. Kedua, awal abad 19 negara kolonial bertindak sebagai pemegang kuasa produksi hasil bumi, terutama kopi dan tebu, menggantikan VOC yang bangkrut. Ketiga, akhir abad 19 hingga tahun 1930 adalah masa depresi berat di mana ekonomi dunia goncang hingga menurunnya permintaan pasar atas hasil bumi yang turun drastis yang berakibat pada banyaknya pabrik pengolaan gula dan kopi di Hindia Belanda gulung tikar. Pemerintah kolonial akhrinya mengesahkan Undang-Undang Krisis yang membatasi impor bahan manufaktur. Hal ini berujung pada tumbuhnya industri subtitusi impor dalam bidang manufaktur pada masa itu. Perusahaan Amerika dan Inggris seperti General Motors, Goodyear, BAT, dan Unilever adalah perusahaan-perusahaan yang berdiri di Indonesia dalam kerangka produksi manufaktur untuk pengganti impor. Masa-masa ini juga menandai fase terakhir yang disebut oleh Robison yang beriringan dengan merorosotnya industri perkebunan yang banyak dikuasai oleh perusahaan Belanda.

Selain para pemodal asing macam orang Belanda, Amerika dan Inggris, ada kelas kapitalis pedagang dari etnis Cina yang sering bertindak sebagai broker perdagangan dalam sekala menengah. Kelas kapitalis Cina ini juga benyak beroperasi dalam sistem perbankan, seperti penyewaan dan pemberi kredit. Mereka diuntungkan dengan jaringan yang menggurita dari Singapura hingga negeri tiongkok. Selain kelas pedagang Cina, ada juga kelas penyewa tanah pribumi. Mereka berasal dari kelas priyayi yang memang memiliki tanah bejibun. Namun sayang, menurut Robison, kelas priyayi pribumi ini gagal memperlebar pasar, dan hanya berkutat pada sewa tanah. Menurut Robison, ini disebabkan oleh kelas priyayi terlalu menyandarkan pemasukan dari rakyat kebanyakan yang masih membayar upeti atas pengolahan lahan juga lebih memilih menjadi pekerja administratif di kantor-kantor pemerintahan kolonial.

Di masa-masa depresi besar yang mengikuti privatisasi perdagangan serta masuknya kapital asing non-perkebunan inilah kelas pedagang pribumi pelan-pelan mulai tampak bentuknya. Kebanyakan para pedagang pribumi ini adalah para priyayi minoritas yang mampu mendiverisfikasi pendapatan dari sewa tanah. Walaupun tidak secara langsung menguasai rantai produksi, kebanyakan para priyayi ini menjadi pedagang hasil-hasil bumi. Para pedagang pribumi ini juga harus bersaing dengan pedagang Cina, Timur tengah, Belanda, Inggris dan lainnya. Di tengah persaingan dagang ini, pemerintah kolonial menjadikan pedagang Cina sebagai perantara (collectors and operators) perdagangan antara produsen dengan pasar. Fakta tersebut menjadikan kelompok pedagang Cina rentan terhadap sentimen rasial masyarakat pribumi hingga menjadikan para pedagang Cina ini akan terus bergantung pada pemerintahan kolonial dalam hal perlindungan, sehingga menjadikan kontrol pemerintah kolonial terhadap para pedagang Cina ini relatif berjalan terus.

Maka dari itu pada masa-masa ini, kalangan pedagang pribumi relatif terpinggirkan dalam peta sirkuit kapital di Jawa dan tempat lainnya. Perlu diingat bahwa banyak para priyayi yang menjadi pedagang di masa sebelum kedatangan VOC. Selain kelompok priyayi ini, juga terdapat kelompok pedagang lain dari Cina dan Timur tengah. Namun, kedatangan VOC yang kemudian mengontrol jalur perdagangan internasional berikut pemberlakuan monopoli menjadikan para pedagang pribumi terancam. Belum lagi, banyak aturan-aturan kolonial yang kemudian menjadikan warga Cina menjadi klien dari pemerintah kolonial. Di sisi lain, para priyayi pedagang yang mulai tergerus, banyak yang memilih bekerja pada kantor administrasi kolonial dan menjadi penyewa tanah.

Tahun-tahun pasca kemerdekaan sebelum 1949, semua partai politik setuju untuk menasionalisasi perekonomian negara tetapi setelah tahun 1949 partai-partai politik mulai menunjukan sikapnya masing-masing atas arah kebijakan ekonomi ke depan Indonesia. Partai Komunis Indonesia (PKI) menghendaki model kepemilikan negara (state-ownership), Partai Nasionalis Indonesia (PNI) menghendaki sistem koperasi, Masyumi dan partai-partai Islam lainnya menghendaki perusahaan swasta tetap dibiarkan tumbuh dan berkembang tapi sistem perdagangan bebas harus dilarang. Selain itu, Masyumi dan partai-partai Islam juga akhirnya setuju dengan sistem koperasi sebagaimana PNI.

Meskipun beragam pemerintahan koalisi dibentuk dari 1949 sampai dengan 1959 tetap tidak bisa menciptakan selimut pelindung dari modal asing. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak memiliki modal ataupun sumber daya politik untuk menggantikan struktur ekonomi kolonial. Tidak ada satupun partai politik maupun kekuatan birokrasi yang mampu menetapkan dan menyusun arahan kebijakan atau mengorganisir atau merencanakan produksi dan formasi modal. Di kalangan kelas kapitalis domestik pun hanya mampu mengadakan perdagangan level kecil dan produksi komoditas.

Orang-orang Masyumi yang duduk dalam Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman yang selanjutnya berpartner dengan Kabinet Wilopo bergerak menentang secara masif modal asing dikarenakan empat (4) alasan dasar. Pertama, perekenomian Indonesia sangat tergantung dari inflow modal asing. Kedua, modal asing dirasa bisa dikontrol oleh regulasi pemerintah. Ketiga, orang-orang Masyumi melihat bahwa tidak ada tujuan dari program nasionalisasi karena selama program nasionalisasi tersebut digalakan ternyata modal asing tidak bisa digantikan perannya oleh perusahaan-perusahaan domestik dalam produktivitas dan efisiensi. Masyumi memandang bahwa strategi paling memungkinkan untuk menumbuhkembangkan kelas kapital domestik adalah dengan bantuan negara kepada para pedagang pribumi dan pengusaha kecil, dengan strategi bottom-up. Strategi yang hampir sama juga ditawarkan oleh orang-orang PNI yang duduk dalam kabinet, mereka mengusulkan sistem koperasi sebagaimana konsep yang ditawarkan oleh Hatta. Orang-orang PNI juga menghendaki perusahaan swasta domestik bisa tumbuh berkembang dalam proteksi negara dan bantuan negara. Seperti halnya nasionalisasi, indutrialisasi yang dicanangkan oleh PNI bukan dalam kerangka ekspor-impor tapi dalam asumsi bahwa industrialisasi akan lebih menguntungkan daripada impor komoditi, dan Wilopo selaku perdana menteri dari PNI mengatakan bahwa industrialisasi akan mengalami kesuksesan jika hanya jika (kita) mau bekerja sama dengan para ahli dan pemodal dari luar negeri.

Robison (1986) memberikan catatan menarik untuk dicermati bahwa pendekatan yang dilakukan ketiga Kabinet untuk menumbuhkan perusahan swasta domestik ini justru pelan-pelan melahirkan koneksi antara partai-partai politik, keluarga-keluarga kaya berpengaruh yang memiliki kepentingan bisnis, dan para ahli perancang pembangunan ekonomi. Pendekatan ekonomi pada awal-awal pemerintahan tersebut dirancang oleh orang-orang seperti Wilopo (PNI), Sumitro (PSI), dan Sjafrudin (Masyumi). Mereka sering dikenal sebagai teknokrat saat itu. Pendekatan pembangunan ekonomi yang mereka rancang ternyata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi neoklasik yang cirinya adalah menganggap penting modal asing dan kekuatan pasar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi domestik dan negara hanya melindungi dan membantu kelompok-kelompok ekonomi tertentu saja. Walaupun, struktur ekonomi yang terbentuk saat itu adalah struktur ekonomi warisan Belanda tetapi negara tetap memiliki posisi strategis karena negara lah yang hanya memiliki sumber daya politik dan keuangan untuk melawan dominasi modal asing dan borjuis Cina. Dalam wilayah politik, keinginan teknokrat agar negara meminimalisir perannya dalam mengatur ekonomi dilawan tidak hanya oleh para kaum sosialis maupun ekonom nasionalis tetapi juga ditentang oleh beragam kelompok politik dan kelompok bisnis yang mendapatkan keuntungan dari ketersediaan sumber daya negara dan kekuasaan ekonomi negara.

Program “Benteng” : Rahim Lahirnya Keluarga Konglomerat Pribumi

Kekuasaan negara yang saat itu dipegang oleh partai-partai politik memiliki peran yang sangat strategis terutama dalam menghadapi warisan struktur kapital kolonial, borjuis Belanda dan borjuis Tionghoa yang saat itu mendominasi struktur kapital Indonesia. Pada saat yang sama juga partai-partai politik juga melindungi dan membantu macam-macam elemen kapital domestik. Program Benteng yang muncul di era Kabinet Natsir merupakan salah satu strategi kebijakan untuk melindungi para pedagang pribumi dalam melakukan impor. Pedagang Tionghoa domestik tidak dimasukan dalam program tersebut karena sampai tahun 1955 mereka menjadi ‘alien” atau ancaman serius bagi eksistensi pedagang pribumi. Operasionalisasi program Benteng tersebut adalah dengan memberikan kemudahan izin impor, lalu memberikan kredit melalui Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai prepayment untuk membeli barang impor.

Menurut Robison (1986) Program Benteng mengalami progress yang masiv dalam memajukan pedagang importir pribumi, tetapi di sisi lain juga ada bias sasaran penerima manfaat dari program tersebut. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk dan diikutsertakan dalam program Benteng tersebut, terutama para keluarga yang powerfull dekat dengan para birokrasi dan partai-partai politik. Hak izin impor dan hak mendapatkan kredit dari pemerintah saat itu menjadi sesuatu sumber daya politik yang sangat langka, karenanya yang bisa mendapatkan hak izin impor dan hak mendapatkan kredit hanya orang-orang dan keluarga powerfull tertentu yang mendapatkan kedua hak tersebut. Banyak juga broker-broker yang lahir dari program Bentang, mereka memainkan sebagai mediator antara para borjuis domestik dengan birokrasi dan partai politik saat itu. Pemerintah sadar bahwa ada salah sasaran dalam program Benteng tersebut tetapi usaha pemerintah terlambat karena struktur sudah terlanjur terbentuk yang akhirnya para justru menciptakan sebuah struktur baru yaitu state corporatism dan birokrasi patrimonial. Di sisi lain, lahir juga para keluarga konglomerat awal di Indonesia pasca Kemerdekaan. Nama-nama keluarga konglomerat awal Indonesia tersebut tertera jelas dalam halaman 51.

Kapitalisme Indonesia Di Bawah Ekonomi Terpimpin

Usaha mentransformasikan kapital asing dan Cina ke tangan pribumi melalui program Benteng tidak berjalan mulus. Sebagai sebuah kebijkan ekonomi paska lepas dari negara kolonial, pemerintah berusaha menstimulasi tumbuhnya para pengusaha pribumi, dengan cara pemberian kredit khusus bagi pribumi. Pemerintah juga memberi hak monopoli impor kepada pengusaha-pengusaha lokal. Bank-bank pemerintah didirikan untuk mengucurkan kredit. Bank Java dinasionalisasi menjadi bank Indonesia yang kemudian menjadi bank sentral. Hasilnya, banyak pengusaha-pengusaha pribumi yang tiba-tiba muncul dengan macam-macam perusahaan, baik usaha sendiri maupun patungan. Akibatnya, tidak seperti yang dibayangkan semula yang mana akan tumbuh para pengusaha pribumi yang independen. Kebanyakan para pengusaha justru mendapatkan keistimewaan kredit bukan karena kemampuan bisnis dan kelayakan usaha, tapi karena memiliki hubungan patronase dengan para elit politik, khususnya yang berada di parlemen. Akibatnya keberadaan para penguasaha yang diuntungkan dari program Benteng ini sangat bergantung dengan dinamika hubungan patronase politik tersebut.

Baca Juga:

Kegagalan mentransformasikan kapital tersebut menyisakan pemerintah pada dua kemungkinan kebijakan. Pertama memberi ruang bagi masuknya kapital asing dan china atau kedua, negara sendiri yang mengambil alih segala bentuk kegiatan ekonomi. Akhirnya melalui dekrit presiden pada tahun 1957 yang menanggalkan kekuasaan legislatif dan menjadikan kekuasaan penuh pada presiden dan militer, setiap aktivitas ekonomi diambil oleh negara melalui konsep demokrasi terpimpin yang menurunkan kebijakan ekonomi terpimpin. Usaha pertama adalah menasionalisasi hampir seluruh perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Dari tahun 1957-58 beberapa perusahan dagang dan perkebunan milik Belanda dinasionalisasi. Menyusul setelah itu dari tahun 1963-65 berbagai perusahaan Inggris, Amerika dan perusahaan asing lainnya ikut dinasionalisasi. Nasionalisasi ini sendiri awalnya dilancarkan secara sepihak oleh serikat buruh pada tahun 1957 yang tak lama setelah itu diambil alih oleh militer dan setahun setelahnya disahkan oleh parlemen. Hilangnya kekusaan parlemen, menjadikan militer leluasa menancapkan pengaruhnya, termasuk dalam perekonomian. Banyak perusahaan asing yang kemudian dikelola oleh perwira militer.

Melalui ekonomi terpimpin ini pula kapital negara dikonsolidasikan. Semenjak Masyumi dan PSI dibekukan oleh presiden akibat dari para pemimpinnya yang mendukung beberapa pemberontakan antara 1958-59 (PRRI, Permesta), militer semakin kokoh sebagai institusi yang paling berkuasa. Artinya, kelompok Islam relatif sudah tidak lagi menjadi ancaman, walau di sisi lain masih tersisa PKI. Maka, negara semakin leluasa menerapkan kebijakan ekonominya yang kemudian menjadi Rencana Delapan tahun pada Agustus 1960 dan deklarasi ekonomi. Paling tidak secara esensial, ekonomi terpimpin mencakup tiga hal. Pertama, regulasi negara atas semua sektor ekonomi, baik yang dikuasai oleh swasta, negara maupun koperasi. Segala rantai ekonomi, dari produksi, pemberian kredit, distribusi dikuasai oleh negara melalui pembiyaan yang disokong negara. Kedua, melenyapkan segala anasir imperialisme termasuk kapital asing. Semua perusahaan asing diambil alih, lebih memilih hutang dengan skema pemerintah ke pemerintah, serta, jika terpaksa, usaha patungan tetap dimungkinkan. Ketiga, menggantikan sistem ekonomi eksport/import warisan kolonial dengan perekonomian yang mandiri dan terindustrialisasi.

Konsekuensi dari ekonomi terpimpin yang dilancarkan oleh Sukarno adalah kucuran kredit tidak lagi mengalir ke para pengusaha lokal, baik pribumi maupun china. Semua kredit mengalir ke perusahaan-perusahaan milik negara. Untuk mengatur perusahaan-perusahaan pribumi swasta, pemerintah menidirikan lembaga GPS (Gabungan Perusahaan Sejenis) dan OPS (organisasi perusahaan sejenis). Kedua lembaga tersebut mengatur alokasi bahan-bahan mentah yang diimpor yang dibutuhkan perushaan. Segala macam industri utama, di bawah kontrol GPS semisal perusahaan tekstil. Namun untuk industri yang bergerak di bidang sub-divisi semisal industri pemintalan dan pertenunan berada di bawah OPS. Namun, karena terlampau berkuasa dalam hal pengaturan produksi secara umum, kedua lembaga tersebut lebih condong menjadi tempat terjadinya pemerasan oleh para elit-elit politik atas pelaku-pelaku usaha yang dapat memuluskan alokasi bahan-bahan mentah yang sangat vital bagi produksi.

Semua perusahaan belanda yang diambil alih diubah menjadi enam BUMN yang menambah dua BUMN yang sudah ada yaitu CTC (Central Trading Company) dan Usindo. Maka jadilah delapan besar BUMN yang menangani segala macam produksi dan distribusi hingga monopoli impor. Kedelapan BUMN ini ditujukan untuk mengatur harga komoditas juga menambah pemasukan pemerintah yang akan dijadikan sebagai modal pembangunan. Pendapatan dari berbagai sektor ekonomi, seperti minyak, karet dan komiditas lainnya diniatkan untuk membiayai kesejahteraan publik seperti pendidikan, transportasi, kesehatan dan lainnya. Namun, tidak semua perusahaan asing benar-benar diambil alih. Perusahaan-perusahaan minyakrelatif masih bercokol akibat dari ketidak mampuan negara dalam mengurusi produksi minyak yang masuk dalam kategori usaha yang melibatkan modal besar dan investasi teknologi yang intensif. Ini disebabkan oleh keuntungan yang didapat dari minyak mendominasi pemasukan pemerintah yang akan disuntikkan dalam Rencana Pembangunan Delapan Tahun.

Dalam perjalanannya, ada beberapa perusahaan negara yang mampu menyumbangkan pemasukan bagi negara, tapi lebih banyak yang merugi. Banyak faktor yang menjadikan perusahaan negara tersebut merugi, dari kesalahan menejemen, hingga masalah teknis seperti peremajaan mesin dan reproduksi pohon-pohon karet dan sawit yang sudah tua dan tidak produktif dengan yang baru. Akibatnya ekspor komoditas turun drastis. Permasalahan menejemen juga semakin akut. Akibat dari penguasaan negara secara politik maupun ekonomi maka pembentukan menejemen yang mengurusi perusahaan-perusahaan negara pun berdasarkan kepentingan politik negara, termasuk militer, bukan karena kemampuan menejerial yang mumpuni. Akibatnya banyak terjadi penyelewengan dan inefisiensi ekonomi yang terjadi dalam perusahaan tersebut. Secara umum, kegagalan pemerintah disebabkan oleh kegagalan menejemen perputaran kapital dalam rantai produksi.

Kapitalisme negara ala ekonomi terpimpin jauh dari cita-cita sosialis yang dirancang Sukarno. Kegagalan yang paling mencolok dari ekonomi terpimpin adalah justru pada model patronase antara birokrat-politisi, militer dengan para pelaku usaha yang tidak serta-merta lenyap, bahkan semkain merajalela. Militer dan para birokrat politisi tersebutlah justru yang turut andil dalam menjungkirkan Sukarno dari kekuasaan. Macetnya aliran pendapatan pemerintah yang harusnya mengalir dari perusahaan-perusahaan negara serta imbal hasil dari konsesi-konsesi yang diberikan kepada swasta melalui pajak, nyatanya tidak berjalan. Banyak dari hasil prouduksi termasuk pajak, justru mengalir ke kantong-kantong para birokrat-politisi dan militer. Kapitalisme negara macet total.

Tentu saja pada awalnya, pihak yang diuntungkan dari konsesi-konsesi tersebut adalah birokrat politisi, militer serta pengusaha yang menjadi klien. Namun, mandegnya akumulasi modal tetap saja mengancam politik patronase tersebut, karena terlalu mengandalkan uang negara akibat tidak adanya modal asing yang mengalir. Maka ketika Suharto berkuasa, hal yang pertama ia lakukan ialah membuka selebar-lebarnya pintu investasi asing dengan mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Penghancuran atas PKI dan naiknya militer ke tampuk kekuasaan selanjutnya dapat dilihat sebagai kemenangan kelas borjuasi dan mengakhiri cita-cita sosialis yang diimpikan Sukarno.

Negara, Kapital Internasional dan Nasionalisme Ekonomi: 1965-1975

Paska lengsernya Sukarno dan berkuasanya rezim militer secara penuh dengan Suharto sebagai presiden, kapital asing pelan-pelan mulai kembali menampakkan rupa. Resesi ekonomi yang diwarisi oleh Orde Baru ini berlahan mulai diatasi melalui serangkaian kebijakan ekonomi pro-pasar dan investasi asing dengan disahkannya UU PMA. Setahun setelah itu, UU Penanaman Modal Domestik Nasional (PMDN) ikut disahkan. Di masa-masa ini kapital asing membanjiri Indonesia. Di sisi lain kapital domestik baik ‘Tionghoa’ maupun ‘pribumi’ mulai menguat dengan disahkannya UU PMD, walau tidak sedikit yang tertekan. Tulisan ini akan mengulas konsekuensi dari disahkannya UU PMA serta pertarungan antara kelompok pro-pasar bebas dengan kelompok pro nasionalisme ekonomi.

Kepentingan negara untuk menumbuhkan kapital domestik memunculkan konflik tersendiri dengan kebijakan untuk membuka keran bagi masuknya kapital asing. Elemen-elemen dalam negara yang mendukung investasi asing berhadap-hadapan dengan kelompok yang pro nasionalsime ekonomi. Kelompok pertama yang getol mendorong investasi asing adalah para teknokrat yang tergabung dalam BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) yang di dalamnya bercokol ‘mafia Barkeley’. Kelompok kedua yang cenderung mendukung nasionalisme ekonomi adalah CSIS asuhan Ali Murtopo, sebuah lembaga pemikir yang sangat berpengaruh di masa Orde Baru serta Pertamina di bawah Ibnu Sutowo.

Para Teknokrat dan Kebijakan Pasar Bebas Orde Baru

Kelompok teknokrat percaya bahwa resep IMF dan IBRD akan membawa serta kapital asing masuk yang mendorong kompetisi dan mampu medorong kapital domestik untuk tumbuh. Pada tahun 1965-68, kecenderungan para teknokrat ini tampak pada keyakinan akan pasar bebas dan pembatasan negara terhadap kebijakan fiskal dan moneter yang menciptakan kondisi bagi akumulasi kapital. Dengan tumpukan utang warisan rezim sebelumnya, tidak banyak pilihan bagi rezim Suharto kecuali menegosiasi ulang hutang lama dan membuka keran bagi masuknya kapital asing sebagai syarat yang ditentukan oleh IMF dan IBRD. Negosiasi ulang hutang juga diikuti dengan rencana pembangunan infrastruktur, stabilisasi mata uang serta menghilangkan hambatan bagi masuknya investasi asing. Kesemuanya itu adalah upaya pemerintah menggerakkan akumulasi kapital. Dengan itu pemerintah berusaha meyakinkan para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Usaha pemerintah tersebut dengan jelas tersurat dalam konfrensi Paris yang dibentuk oleh kelompok negara donor bagi Indonesia, IGGI, pada tahun 1966. Kesepakatan tersebut meliputi pencabutan segala bentuk hambatan bagi pasar bebas temasuk intervensi negara. Setiap perusahaan yang ada di Indonesia, baik milik negara, swasta domestik dan asing harus diperlakukan setara tanpa ada pemberian kredit khusus bagi salah-satunya. Segala bentuk monopoli juga dihilangkan. Pemerintah juga diwajibkan memberi jaminan bagi kelangsungan modal asing di Indonesia dengan adanya UU PMA. UU ini berfungsi untuk menentukan besaran pajak, insentif serta jaminan yang akan diterima oleh investor asing.

Hasil dari konfrensi Paris tersebut mulai tampak dengan disahkannya UU PMA No. 1. Januari 1967. Apa yang tertuang dalam UU PMA tidak lebih dari turunan dari hasil konferensi Paris. Bahkan dalam beberapa poin dari UU PMA lebih tegas dijelaskan bahwa ada jaminan tidak ada upaya nasionalisasi yang dilakukan oleh negara. Durasi operasi perusahaan asing ditentukan sampai 30 tahun dan dapat diperpanjang. Pembebasan pajak bagi perusahan asing hingga tiga tahun pertama serta bebas dari segala bentuk kewajiban impor. Perusahan asing juga bebas menentukan karyawan sejauh itu tidak tersedia di dalam negeri. Dengan adanya UU PMA ini struktur dari kapital yang beroperasi di Indonesia juga turut berubah yang juga mempengaruhi struktur masyarakat Indonesia.

Pemerintah berusaha menggenjot industrialisasi besar-besaran. Setahun setelah UU PMA disahkan, PMDN disahkan pada tahun 1968 yang mengatur mekanisme investasi oleh perusahaan-perusahaan domestik. Pengesahan tersebut kemudian disusul dengan pembentukan rancangan pembangunan yang disebut Repelita I. Rancangan pembangunan ini sangat penting dalam melihat arah kebijakan ekonomi Indonesia pada masa itu karena Repelita memuat bentuk-bentuk industri yang menjadi perhatian pemerintah, seperti pertanian, pertambangan, infrastrutur, komunikasi dan manufaktur. Repelita I ini salah satunya berfokus pada pembangunan infrastruktur di daerah industri seperti jawa barat, karena di sini pula pabrik-pabrik besar berada.

Dengan adanya dua UU yang mengatur mekanisme investasi di Indonesia, maka dapat pula dikelompokkan bentuk investasi yang beroperasi di Indonesia, yaitu yang bergerak di bidang minyak dan gas alam serta yang masuk kategori UU PMA/PMDN. Usaha-usaha yang bergerak dalam bidang minyak dan gas alam dikuasai hampir sepenuhnya oleh asing, karena kurangnya modal dan sumberdaya yang dimiliki oleh negara. Sementara bisnis-bisnis yang bergerak di bawah pengaturan UU PMA/PMDN menguasai 2 milyar dollar pada 1973, bisnis-bisnis yang bergerak dalam sektor minyak dan gas alam mencapai dua kali lipatnya. Pada saat yang bersamaan Badan Koordinasi Penanaman Modal mewajibkan semua perusahaan swasta yang beroperasi di Indonesia harus menyerahkan uang jaminan kepada Bank negara sebesar 25 persen dari besaran investasi. Hanya sedikit perusahaan domestik yang mampu melakukannya. Dari sedikit itu adalah pengusaha-pengusaha yang memiliki koneksi kepada institusi negara dan usaha patungan dengan kapital asing.

Perusahaan asing yang bergerak di bawah mekanisme UU PMA menguasai pertambangan, selain pertanian dan manufaktur. Jika di dua sektor terakhir perusahaan asing cukup mampu diimbangi oleh perusahaan-perusahaan domestik, tidak dengan tambang yang penetrasi modal asingnya jauh lebih dominan ketimbang perusahaan domestik. Perusahaan-perusahaan asing mendominasi banyak sektor industri yang menitikberatkan pada ketersediaan teknologi canggih dan padat modal. Di sisi lain kapital domestik melakukan usaha patungan dalam menjalankan bisnisnya dengan kapital asing, khususnya pada sektor-sektor padat modal dan teknologi tersebut. Dapat disimpulkan bahwa, kapital asing cenderung menguasai bisnis-bisnis skala besar, sedangkan bisnis menengah kecil relatif masih dikuasai para pengusaha domestik.

Manuver Pengusaha Domestik dan Para Jendral

Dengan disahkannya UU PMA serta membanjirnya kapital asing di Indonesia turut mempengaruhi keberlangsungan kapital domestik termasuk milik negara. Pengusaha-pengusaha domestik yang selama ini dimanjakan oleh pemerintah melalui konsesi dan kredit merasa terancam dengan tekanan IMF serta UU PMA. Usaha menandingi campur-tangan IMF serta UU PMA lahir dari para jendral yang digawangi oleh Ibnu Sutowo yang juga memimpin Pertamina, sebuah perusahaan minyak negara. Melalui Pertamina Ibnu membanjiri para pengusaha domestik yang berkawan dengannya, termasuk pengusaha Tionghoa, dengan berbagai macam konsesi dan kredit dari usaha milik negara. Mereka membangun usaha patungan dengan memaksimalkan koneksi-koneksi dalam negara. Mereka banyak bermain dalam kontrak-kontrak pemerintah, distribusi lisensi, usaha manufaktur dan lain sebagainya.

Manuver yang dilancarkan oleh para jendral beserta kroni-kroni domestinya ini menjadi tekanan tersendiri bagi kalangan teknokrat Bappenas. Belum lagi banyak pengusaha-pengusaha menengah yang mulai surut akibat dari kebijakan pemerintah membuka pasar selebar-lebarnya. Akibatnya, para teknokrat Bappenas berhadap-hadapan dengan patronase pengusaha lokal dan birokrat-politisi. Kebijakan pro-pasar yang ditelorkan oleh para teknokrat Bappenas justur kontras dengan tumbuhnya kapital domestik (buah patronase pengusaha domestik, baik pribumi maupun Tionghoa, dengan birokrat politis termasuk para jendral) yang banyak beroperasi dalam bidang manufaktur. Mereka tidak selalu mengindahkan hasil konfrensi Paris dengan tetap memanfaatkan koneksi-koneksi dalam negara untuk mendapatkan kredit dan kontrak serta lisensi.

Kelompok pro nasionalisme ekonomi ini juga bertambah kuat dengan dibentuknya Opsus dan CSIS oleh salahsatunya Ali Moertopo, sahabat dekat Suharto. Bersama Moertopo juga ada LB Murdani, Daoed Jusuf, Harry Tjan, Liem Bian Kie (Sofyan Wanandi) dan Lim Bian Koen. Kelompok ini berusaha mengimbangi masuknya kapital asing dengan mengamankan koneksi-koneksi pemerintah. Namun ketika semakin kuatnya pengaruh mafia Barkley yang dibantu oleh Harvard advisory board di dalam Bappenas, banyak modal asing justru datang dari Amerika. Kelompk CSIS mulai tertekan. Kelompok ini pun akhirnya berusaha menandingi masuknya kapital dari Amerika dengan menggandeng kapital dari Jepang. Namun, kelompok ini masih tetap percaya bahwa negara harus memegang kendali ekonomi, layaknya di Singapura atau Jepang.

Di awal tahun 1970an, Suharto nampaknya senang dengan arah pembangunan yang digembor-gemborkan kelompok CSIS dan Pertamina ini. Buktinya, walau Indonesia sudah menyetujui konfrensi Paris dengan mekanisme pasar bebasnya, toh pemodal-pemodal domestik tetap saja mendapatkan perlakuan khusus dalam kegiatan bisnis. Hal itu turut dikuatkan oleh masuknya keluarga Suharto, termasuk istrinya, dalam bisnis dengan banyak menggandeng kelompok CSIS ini. Namun, bisnis-bisnis yang mereka kembangkan bersama pemodal Jepang banyak terkonsentrasi pada manufatur, pabrik aluminium, energi terbarukan dan permesinan termasuk pabrik permobilan. Sedangkan perusahan Amerika banyak bergerak di sektor minyak dan gas alam. Walau seiring waktu, banyak pemodal domestik dan negara lain juga ikut melebarkan sayap ke bisnis pertambangan.

Dengan gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa, kegiatan perekonomian Indonesia dikuasai oleh kelompok teknokrat beserta kapital Amerika dan kelompok CSIS/Pertamina/Opsus dengan kapital Jepang. Namun, dari kelompok yang terakhir ini banyak melahirkan kapitalis-kapitalis domestik besar yang menunggangi kebijkan pembangunan yang dimotori oleh negara (state-led development). Kebijakan ini sendiri juga banyak ditentang di dalam negeri termasuk peristiwa Malari 1974 oleh mahasiswa, para intelektual publik, kelompok birokrat nasionalis dan kelompok-kelompok Islam. Dari kelompok-kelompok penentang tersebut juga terdapat kelompok pengusaha-pengusaha domestik yang relatif tersingkirkan dari persaingan bisnis yang melibatkan patronase negara tersebut. Sayangnya penentangan tersebut tidak lebih dari sebuah reaksi kelas menengah terdidik dari pada sebuh gerakan rakyat yang luas.

Di masa-masa setelah itu, negara mulai sibuk mendamaikan antar kelompok kapitalis yang beroperasi di Indonesia. Banyak dari pengkritik juga mulai dibungkam. Pembangunan yang berorientasi pertumbuhan dan indutrialisasi besar terus digalakkan oleh negara. Bahkan di kemudian hari, model patronase antara kapitalis (baik domestik maupun asing), birokrat dan keluarga presiden semkain menjadi-jadi. Preferensi negara dalam membuka-tutup pasar domestik dalam hal ini juga bergantung pada kondisi-kondisi finasial dan fiskal negara. Terbukti ketika harga minyak meroket, negara toh akhirnya memanfaatkannya untuk membangun industri-industri besar substitusi impor yang secara prinsip bertolak belakang dengan ideologi pasar bebas dengan keuntungan komparatifnya dan pembagian kerja internasional.

***

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.