Matanya sembab memerah. Bola mata abu-abunya bergetar-getar menjalari langit-langit kelopak matanya. Jantungnya enggan berirama syahdu, semakin menggebu. Telinganya sedikit-sedikit bergerak tak mau tertinggal sepatah kata pun dari sumber suara itu. Suara bising tronton yang melintasi jalan rusak di seberang surau, membuatnya bergerak mendekatkan telinga ke sumber suara.
Selepas mendengar khotbah suci itu, ia bergegas pulang. Seperti biasa, ia berjalan tertatih, kali ini sedikit merintih, sesak di dada. Kegeramannya telah membuncah, pecah terbelah-belah. Dingin malam kala itu malah membuatnya semakin gerah. Tarom, lelaki berpipi tirus itu,marah!
***
Sebulan berlalu, Kampung Tanjatan masih asri seperti dulu. Pohon kopi semakin rapi sehabis panen. Koloni semut rangrang pohon kopi hijrah ke pohon nangka, mencari sumber kehidupan alternatif. Hewan kecil merah berantena dua di kepalanya itu berbaris berjajar menapaki perkebunan. Sesekali menghindari tumpukan air sisa hujan siang, namun koloni itu tetap rapih. Di seberangnya, kolam ikan milik Simbok Tarom berkecipak tanda ikan-ikan sedang berpesta makan sore. Tersungging senyum dari bibir Tarom mendengar kecipakan itu. Setelah air kolam sepi menggenang, Ia tebarkan lagi dedak di tangan kanannya – gumpalan akhir yang selalu membuatnya senang, juga ikan di kolam – tanda klimaks pesta dimulai.
Di ufuk barat, langit memerah, kemudian sedikit meredup, kabut menjemput lembut, hawa dingin menjalar dari pohon beringin samping kolam. Tarom tahu ini waktunya untuk pulang, kembali menemani Simbok.Seperti biasa, ia menyeret kakinya tertatih meraba-raba. Biasanya, Tarom langsung bergegas ke surau.Namun sejak sebulan lalu ia tak pernah melakukannya lagi. Ia memilih untuk mengimami Simbok di rumah dan sebab alasan lain yang tak pernah ia lupa.
Sejak bapaknya berpulang, berjumpa Tuhan setahun yang lalu, rumah Tarom tetap temaram dengan penerangan tiga biji lampu sentir, sama seperti dulu. Namun rumahnya sedikit lebih sunyi. Berkurang pelantun syahdu di gubuk tua Tarom. Kini, Simbok yang tunawicara hanya bisa mendengar segala lantunan dari bibir tipis Tarom. Dulu, bapaknya yang sering memijat kaki Simbok di pagi hari sambil melantun tembang gubahannya sendiri. Setelah melantun, jika diminta untuk mengulang, ia tidak pernah bisa. Kini Tarom yang menggantikan itu semua. Keadaan demikian membuatnya semakin cinta Simbok, begitu juga Simbok kepada Tarom.
Menurutnya, bukan berkurang keindahan dan cinta di rumahnya, hanya keindahan dan cinta dengan nuansa baru saja. Ia hanya berfikir bagaimana agar rumah tetap terjaga kemerduannya ketika ia berbicara. Tarom jadi lebih sering melantun tembang Jawa. Pria berambut keriting panjang dan berkumis itujuga semakin hati-hati kala berbicara. Tak mau ibunya terluka atau mendengar polusi wicara.
***
Di bawah langit yang semakin pekat, Surau Kampung Tanjatan tetap ramai kala maghrib. Namun jika dihitung jumlah jemaatnya, ada yang berkurang sejak sebulan yang lalu. Meski hanya satu, Tarom orangnya.
Cicak di langit-langit surau berdecak kemudian berlari menyergap nyamuk. Di bawahnya, Jambrong dan Imam berdiskusi agak lama selepas maghrib, sementara jemaat lain bergegas pulang. Suara jangkrik dan kreket pohon bambu yang tertiup angin menemani diskusi mereka seputar Tarom.
“Tarom sebulan terakhir tidak pernah kelihatan, ada apa dengannya?” Ia bertanya sambil memutar tubuh ke arah Imam.
“Baru saja aku ingin menanyakannya kepadamu,” jawabnya sambil mengernyitkan dahi.
Suasana hening. Kemudian dialog dua karib masa kecil Tarom itu berlanjut. Setelah berdiskusi agak lama dan buntu, tidak tahu apa gerangan yang terjadi pada Tarom, mereka berdua memutuskan mengunjunginya.
Di gubuknya, Tarom sedang bersenandung selepas salam di rakaat terakhir maghrib. Bukan lagi doa dan salam untuk sang Nabi yang terlantun. Puji-pujian macam itu sudah selesai. Berpeci brudul terbaiknya, ia tetap dalam posisi bersila menghadap arah matahari terbenam. Di belakang agak serong kanan, Simbok menunduk. Ia menangis. Mungkin sedang rindu suaminya. Suami yang berbeda dengan suami wanita lainnya. Suami yang rela memijitnya karena cinta setiap pagi dan senja.
Di bait terakhir Tarom melantun, terdengar ketukan di pintu rumahnya.
“Rom..”
“Iya, sebentar,” jawab Tarom. Ia langsung beranjak ke arah pintu depan, meraba dinding karena kegulitaannya.
“Siapa ya?” tanya Tarom basa basi, karena sebenarnya ia hafal suara semua jemaat Surau Kampung Tanjatan, termasuk karib kecilnya itu.
“Ini Imam dan Jambrong, Rom,”
Tarom membuka pintu yang tidak pernah ia dan keluarganya kunci. Dulu, ayahnya pernah berkata kepadanya sewaktu kecil. Katanya, gubuk macam rumah mereka tak perlu kunci, karena tidak ada yang perlu dijaga. Maling pun enggan untuk mencari nafkah di gubuk mereka. Itu prinsip Bapaknya.
“Silakan masuk, Brong, Mam…”
Mereka duduk di atas tikar daun pandan rajutan Simbok, ditemani lampu sentir berbahan bakar 200 mili minyak di tengahnya. Imam dan Jambrong saling pandang, sedikit kaku karena baru pertama kali mengunjungi Tarom dua bulan terakhir. Dari balik gorden, Simbok menghitung jumlah tamu, kemudian menuangkan air putih ke dalam tiga gelas. Masih dengan mukena, Simbok mengantar tiga gelas air putih untuk Tarom dan kedua tamunya. Seperti dulu, tanpa suara, hanya senyum tulus selamat datang yang ia sunggingkan.
“Terimakasih Mbok,” Imam mengangguk. Simbok mengangguk dan tersenyum dengan lesung pipi berkerut di pipinya,kemudian berlalu ke kamar.
“Ada apa nih, tumben main ke rumah?” tanya Tarom.
“Kamu dan Mbok sehat, Rom?” Jambrong menjawab dengan pertanyaan.
“Sehat Brong,” jawab Tarom singkat dan lembut.
“Sebulan terakhir kamu tidak pernah terlihat di surau…” Imam mengawali tujuan mereka berkunjung. Tarom langsung mengerti apa maksud mereka. Di dalam kegelapgulitaannya, Tarom teringat suara-suara yang membuat jantungnya tak tentu. Ia kembali teringat luka yang ia dapat dari kata-kata di surau sebulan lalu. Tarom mulai tak tenang. Nada-nada berisi kata-kata penuh makna – yang membuat murkanya membuncah – kembalihadir di kepalanya.
Nadinya berdenyut-denyut lebih cepat. Nafasnya pendek-pendek. Api di ujung lampu sentir bergoyang terkena hembusan nafas Tarom yang lebih kencang dari sebelumnya.
“Iya, sebenarnya maksud kedatangan kami ingin menanyakan kepadamu, Rom. Kenapa sebulan terakhir absen ke surau?” Jambrong menambahkan.
“Sebelumnya, kami tahu betul kamu sangat rajin dan khusyuk di shaf paling depan,” sambut Imam.
“Kalau ada apa-apa yang bisa diceritakan atau butuh bantuan, kami siap membantu, Rom,” potong Jambrong kembali.
Tarom masih dalam diam namun makin tidak tenang. Keinginannya untuk tenang ada, namun hatinya tak lagi terkendali. Perasaannya tidak mau berkompromi. Kepalanya sudah mendidih karena ingat masa itu. Terlebih kata-kata itu. Dahinya mengernyit. Jakunnya naik turun berkali-kali menelan ludah. Tubuhnya memanas. Tangannya gemetar. Ada yang meletup-letup di dada dan kepalanya. Ada lava berpijar-pijar yang ingin dimuntahkan dari gunung hati Tarom.
“Aku tidak suka iming-iming bidadari sorga yang khatib sampaikan selepas maghrib sebulan yang lalu. Yang katanya cantik, berbola mata indah, bekulit putih bersih, yang puluhan jumlahnya, yang ada kepala bidadarinya, dan seterusnya!!” jawab Tarom dengan nada meninggi. Muntahan awal lahar pijar sudah keluar dari mulutnya.
Suasana hening kembali, namun berbeda nuansa. Imam dan Jambrong bergidik. Mereka kelu. Bingung sedikit linglung mencoba mengingat kejadian sebulan lalu.
“Aku tidak pernah tahu apa itu cantik, bola mata indah itu seperti apa, apalagi kulit putih bersih, aku tidak tahu!! Tidak pernah kulihat itu semua!! Yang kutahu hanya dingin, gelap, suara, dan wangi.” Tarom berhenti sejenak menelan ludah.
“Aku bingung! Aku sembahyang untuk berterimakasih kepada Tuhan karena telah memberiku alam. Tidak pernah terpikir bidadari yang khatib sebutkan itu. Aku tidak tahu!” Tarom menggebu-gebu.
Imam dan Jambrong tetap diam. Tarom tidak tahan. Ia mengambil tongkat yang sudah lama tidak ia pakai di sudut ruangan. Setelah meraba-raba dan meraihnya, ia berjalan gontai. Dengan tongkat bambu coklat tua pemberian alamarhum bapaknya itu, ia keluar rumah. Tongkat itu yang selalu menemaninya ketika ingin pergi jauh dari gubuknya. Tongkat yang selalu menuntun jalan gelapnya. Tongkat yang menjadi mata ketika takdir untuk matanya hanya bisa mengeluarkan air mata saja. Sedari lahir matanya hanya bisa untuk menangis ketika sedih, bahagia, dan marah. Di langkah ke tujuhnya, matanya bekerja. Air matanya menetes. Ia tetap melanjutkan langkah, berjalan gontai, tertatih, dan merintih lirih dalam hati.Matanya sembab, tetap dalam gelap. ***
Cerpen ini pernah diterbitkan di majalah tahunan LPM Sketsa Unsoed Purwokerto tahun 2014. Dimuat di Islam Bergerak untuk tujuan pendidikan.
Penulis adalah mahasiswa sastra Inggris Unsoed Purwokerto, mantan pemimpin umum LPM Sketsa Unsoed (tahun 2014). Sambil mengerjakan tugas akhir, ia menjadi penerjemah lepas pasangan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Comments 1