/1/
Matahari hendak angslup ke cakrawala. Tapak-tapak kaki penonton saling berdatangan menuju Galeri Lorong Yogyakarta. Mereka datang dengan mengenakan masker, hadir dalam sebuah pameran dan pertunjukkan berjudul “The Museum of Lost Space” (Museum Ruang yang Hilang).
Judul ini merespon suatu kondisi: rasa-rasanya ada ruang hilang dalam masyarakat kita yang itu entah apa. Ketiadaan ruang ini melahirkan suatu kekerasan-kekerasan sistemik di ruang publik, salah satunya fenomena “Klitih”. Tindakan kekerasan di jalanan menggunakan senjata tajam yang membuat reget Jogja. Klitih ini kemudian didialogkan menjadi suatu rupaseni berupa teater, instalasi, mural, dan video.
Saya datang tepat waktu ke acara pembukaan museum berkalender 6 Maret 2021 tersebut. Di lantai 2 Galeri Lorong pertunjukkan teater semi-realis berdurasi sekitar 20 menit disajikan.
Hida (Neneng Hanifah Maryam), tokoh utama pertunjukan tersebut, adalah seorang kakak perempuan berusia sekitar 25 tahunan yang tengah mencari adiknya yang hilang secara misterius bernama Andi. Hida datang ke rumah dan ruang kerja temannya yang memiliki ketertarikan di bidang psikologi bernama Rudi (Geovani Ega). Menggunakan metode hipnoterapi, Rudi menggali mimpi-mimpi Hida terkait adiknya. Di tengah panggung, Rudi menghipnotis Hida hingga matanya terpejam, lalu Hida menceritakan mimpi-mimpi buruk. Rudi sambil berdiri mendengarkan dan menganalisisnya. Dia menata data-data tentang si Andi dan berusaha berpikir bagaimana cara menemukannya?
Andi adalah seorang anak remaja biasa-biasa saja yang wajahnya mudah dilupakan. Pencarian dimulai dari ruang dan mimpi teman-teman Andi. Hida dalam kondisi terpejam menceritakan mimpi teman-teman Andi yang tak ia pahami dan tak masuk akal. Dia melihat sang adik sebelum hilang tengah berinteraksi dengan kawan-kawan remaja adiknya yang lain, seperti Reggy, Iksan, dan Jordan. Seperti dalam mimpi Reggy, Reggy memimpikan Andi diajak berkendara berkeliling bersama tukang jagal menggunakan bus kota butut. Berputar-putar di sebuah lorong gelap.
Lalu di di dalam mimpi Iksan, terjadi hubungan seks antara Iksan dan ibunya pada suatu malam. Iksan takut ketika ayahnya datang sehingga Iksan didorong ke lemari dan dikunci. Lalu Andi datang mengajak Iksan keluar dari lemari untuk muter-muter cari angin menggunakan becak. Berputar dari Abu Bakar Ali menuju Malioboro. Di sepanjang jalan itu ada semacam kelebatan-kelebatan cahaya yang begitu cepat, mungkin kelebatan dari pengendara motor yang melaju dengan gas tinggi. Orang yang berkelebat itu membawa aneka senjata tajam yang saling berayunan, berkilat-kilat. Imajinasi yang berdarah, darah yang ditakuti Andi.
Di moment lain, Rudi pun mengalami mimpi buruk dua malam sebelum ia menemukan fotonya dan Andi ketika di pantai. Dalam mimpinya Rudi melihat ada bayi-bayi melompat dari rooftop hotel dan tak ada yang menolong. Bayi-bayi itu berjatuhan di atas aspal. Dan apa yang bisa dilakukan manusia di tengah mimpi buruk? Tidak ada, seseorang tak punya kebebasan. Adegan pertunjukkan pun diakhiri dengan menyisakkan teka-teki kemana Andi menghilang?
Neneng yang memerankan Hida menjelaskan, mimpi-mimpi yang diceritakan Hida ingin menyampaikan terkait ruang-ruang yang hilang. Cerita-cerita dalam mimpi tersebut muncul dari teman-teman narasumber (teman-teman klitih) terkait alasan melakukan klitih. Ternyata banyak faktor yang mempengaruhi, tidak bisa ditarik satu kesimpulan saja semisal tentang keluarga atau pencarian identitas.
“Ruang di mana mereka tinggal, atau kota itu mempengaruhi mereka memilih cara-cara mereka untuk proses menemukan identitas tersebut. Ada yang dipantik oleh keluarga, ketidakpercayaan diri, gak punya teman, banyak hal. Jadi dalam mimpi itu sebisa mungkin kompleksitas itu muncul,” kata Neneng.
Dalam cerita itu, Hida sendiri tidak mengetahui terkait kehidupan adiknya di luar. Dia tak tahu karena orangtua mereka bercerai, si Hida dengan bapak dan Andi dengan ibu. Bersama si ibu Andi mengalami kekerasan baik psikis, fisik, dan simbolis. Hida juga mengalaminya dalam bentuk pengabaian yang dilakukan sang ayah, tapi Hida menganggapnya biasa-biasa saja. Sehingga perilaku melenceng muncul dalam bentuk gejala-gejala yang ada dalam ruang di mana pelaku klitih tinggal.
“Ada ruang yang tidak diberikan kepada orang-orang yang dalam masa mencari ruang identitas itu. Ruang apa kita gak tahu. Gak tahu ruang apa ya, ada yang hilang pokoknya, yang seharusnya menampung masa-masa tersebut tapi itu gak ada. Museum ini ingin mencari akar dari hilangnya ruang-ruang tersebut,” lanjutnya.
/2/
Setelah melihat pertunjukkan teater dan berkeliling ruang pameran, saya menemui Habiburrachman, inisiator projek “The Museum of Lost Space”. Malam itu Habib mengenakan kaos merah, celana jins abu-abu, dan sandal jepit swallow warna hitam. Rambutnya yang sedikit gondrong dikuncir ke belakang, kacamata berlensa bulat tampak cocok menghias wajahnya yang terlihat akademik. Sekitar dua bulanan yang lalu, Habib baru saja menyelesaikan sidang sarjananya dari jurusan Filsafat dengan skripsi berjudul Konsep Identitas dalam Pemikiran Amartya Sen. Selain itu, pria muda asal Madura tersebut adalah seorang aktor teater, sutradara pertunjukan, dan penulis naskah. Pengalamannya dalam hal pementasan, pameran, dan orang di balik layar pentas telah ia tempa semenjak bergelut di Teater Eska UIN Sunan Kalijaga.
Habib bercerita, “The Museum of Lost Space” berawal dari kegelisahannya melihat modus-modus kekerasan di ruang publik Yogyakarta. Ia pun kemudian mencari sebuah fenomena ruang publik yang bisa berbicara dan menyeret kompleksitas yang lebih luas terkait sistem masyarakat dan negara. Setelah pengembaraan dan diskusinya dengan kawan-kawan, akhirnya diangkatlah klitih. Habib kemudian membuat proposal yang diajukan ke Prince Clause Fund for Cultural and Development Belanda. Tak dinyana, proposal yang sempat ditolak oleh Hibah Seni Kelola Indonesia itu pun tembus. Proposal itu lolos bersama proposal dari seniman-seniman muda di berbagai negara di dunia dengan beragam ide seninya. Dalam projek ini dia mengajak kawan-kawan lainnya seperti Yahya Dwi Kurniawan, Yohanes Marino, Febrian Adinata Hasibuan, Arham Rahman untuk berkolaborasi.
Projek dimulai sekitar pertengahan 2020 lalu dengan mengadakan Forum Discussion Group (FGD) sebanyak tiga kali. FGD pertama dengan mengundang sebanyak sepuluh pelaku klitih; FGD kedua dengan mengundang berbagai komunitas anak muda dan pegiatnya di Jogja untuk mendialogkan klitih; dan FGD ketiga dengan mengundang para akademisi, ahli, dan periset klitih untuk saling berbagi pemikiran, pandangan, dan ide. Dari ruang dialog ini lahirlah ide workshop menulis bagi para pelaku klitih guna menuliskan kisah mereka secara langsung. Cerita-cerita dari tangan pertama ini kemudian dialihrupakan menjadi sketsa yang dipamerkan dalam museum, juga narasi-narasi yang disajikan dalam bentuk lembaran-lembaran cerita, diary, dan video. Dalam jadwal pameran ini sendiri berlangsung dari tanggal 6 Maret-6 April 2021 di Galeri Lorong Yogyakarta, buka dari pukul 11.00-18.00 WIB.
Dalam obrolan saya dengan Habib tersebut, ia merasa ada yang tidak beres dalam bagaimana masyarakat merespon pernyataan keras yang berangkat dari satu norma dan itu dipahami sebagai yang paling utama. Dalam pertunjukan ini, dia dan kawan-kawan ingin menempatkan klitih dalam trayektori kekerasan yang lebih besar. Bahwa ada ruang di Jogja yang memproduksi sadisme, bukan hanya di jalan, yang kemudian membuat kekerasan diterima secara permisif. Ketika ruang semakin terdomestifikasi, urusan kemudian hanya menjadi nafsi-nafsi, sehingga tidak ada keguyuban yang bisa mempertemukan teman-teman dengan dunianya.
“Ada hubungannya dengan bagaimana kota ini ditata, dikelola, ada hubungannya dengan bagaimana ruang-ruang semakin terdomestifikasi, semakin terfragmentasi. Ada hubungannya juga dengan ruang keluarga, ada hubungannya juga dengan sistem pendidikan yang semakin terkapitalisasi,” ujarnya.
Dalam dunia modern, babak manusia terbagi menjadi tiga: sebelum dewasa (anak-remaja), dewasa, dan tua (pensiun). Sementara di sisi lain hari ini fase menjadi dewasa membutuhkan rentang waktu yang lebih lama. Episode hidup manusia menjadi dewasa semakin panjang. Banyak waktu dihabiskan di sekolah dan kuliah. Di rentang usia menjadi dewasa ini seseorang mungkin merasakan bagaimana sekolah tidak mempertemukan seseorang dengan kehidupan yang lebih nyata. Ini persis yang dialami teman-teman pelaku klitih. Ada rentang panjangnya yang memperlambat pelaku menjadi dewasa.
“Sementara dalam konteks remaja laki-laki, kelelakian itu rawan. Kalau gak berani kelahi ya gak laki. Kelakian itu semacam itu, rentang yang panjang itu kemudian diisi oleh itu (klitih),” Habib menjelaskan.
Ditambah lagi, kekerasan lingkaran klitih ini diikuti oleh kekerasan-kekerasan yang lain seperti tawuran, minum ciu (alkohol), main perempuan, tindakan asusila, obat-obatan terlarang seperti “pil lele dan pil kirik”, dan lain-lainnya.
/3/
Museum saya perhatikan terbagi ke dalam beberapa ruang. Semuanya meninggalkan jejak-jejak traumatisnya tersendiri bagi saya. Pertama ruang yang berisi gambar-gambar jejak peng-klitihan di media sosial bersama nama-nama genk-nya. Di ruang pertama semisal, saya membaca berbagai nama gank, salah satunya Q-Z-R-U-H yang berakronim Qami Zuka Ribut Untuk Hiburan. Ada pula Moxondo, OBLO, Joxzin, dan lain-lain. Digambar lain tersaji pula seroang pemuda tewas terkapar di jalanan, tulang rusuknya yang kurus terlihat dengan wajah yang merana. Di gambar lain ada segerombolan geng pemuda bertelanjang dada digiring. Ada pula makian dan kritikan para netizen di media sosial seperti Info Cegatan Jogja. Salah satunya semisal:
“Nyimak dr beberapa kejadian klitih di jogja dr tahun ketahun ndk pernah jelas, saat ada korban membela diri malah dipenjara, seandainya tertangkap hanya kena sangsi lapor, harusnya kalau hukum tidak bisa berlaku adil sultan bisa membuat perda yang jelas soal ini, mengingat tindakan klitih sangat membahayakan dan sangat merugikan, tapi dengan seenaknya mereka bertindak dan bebas begitu saja, pihak berwajib jangan hanya berjanji menjaga keamanan, sedangkan kita semua paham kapasitas njenengan terbatas karena masih kecolongan walaupun sudah berusaha semaksimal mungkin, ayo gimana enaknya biar Jogja ini aman, banyak kok komunitas yang siap membantu, ada klub motor, ormas, kepramukaan yang insya Allah siap membantu dan tentunya dengan arahan dan dukungan pihak yang berwajib.” (Thoriqul Huda dalam Info Cegatan Jogja)
Kedua ruang mural yang berisi berbagai kata-kata pemberontakan, demotivasi, dan konten-konten khas vandal. Banyak kata-kata terasa aforismanya. Beberapa berbau demotivasi: “Aku kerjo? Yo golek masalah lah, edan po golek duit!”, “Cinta suci terbalas tai”, “Nganggur adalah passionku”, “Mendem abadi”, “Mending cah motor timbang koruptor”, “PSBB (pekerja serabutan babak bundas)”, “Merdeka tapi bingung”, “Cen ora sangar nanging foya-foya lancar”, “Ghosting adalah jalan ninjamu”, “Balungan kere pecinta rege”. Ada juga yang berbau seksualitas: “Rasah tenar sing penting kelon lancar”, “Ngalah ngaleh nglonte (Komunitas Silat Lidah)”, “Resah basah”, “Bojomu semangatku”, “Penikmat senja pemikat wanita manja”. Tak kalah lagi kata-kata nyacat liyan: “Abab tok su rasah kakean fafifu”, “Rasah cocotan ning mburi su”, “Aku ragat? Yo koelah”, “Rai gedhex ndas blek”. Atau pernyataan yang cukup transenden: “Aku pingin lungo nang Amerika ketemu Gusti Allah”.
Di ruang dua ini, Habib dan kawannya Yahya membebaskan pengunjung untuk ikut berpartisipasi dengan cara mencoret-coret tembok mural yang sudah ada. Saat itu di tengah berbagai kalimat demotivasi yang bertebaran sana-sini, saya melihat seorang anak berumur enam tahun memegang pilox dan menggambar seekor hewan tertentu, mungkin semacam dinasaurus berwarna merah. Ada pula para pengunjung laki-laki dan perempuan yang memegang spidol untuk menulis pikiran-pikirannya di tembok tersebut.
Ketiga ruang sketsa dan buku yang berisi gambar-gambar dan kisah-kisah pelaku klitih. Ada kisah salah satu klitih yang menjadi klitih karena sejak kecil mendapat kekerasan (free hit) dari ibunya. Di salah satu kisahnya pula saya tertegun ketika membaca satu di antaranya. Ada pertanyaan yang mengusik, “Mari kita mulai dari satu pertanyaan: kapan kalian terakhir punya kuasa terhadap diri kalian sendiri?” Kuasa orang lain dan sistem seperti cita-cita yang tak diinginkan, pemilihan jurusan, bidang keilmuan, dan lain-lainnya inilah yang membelenggu anak muda dan menghilangkan ruang tumbuh yang sehat. Ada juga sebuah diary yang bagi saya di salah satu halamannya tertulis, “Cah endi?”. Pertanyaan yang akan terdengar menakutkan ketika di jalan raya, karena setelah pertanyaan itu dilontarkan hanya Tuhan yang tahu.
Terakhir yang keempat, ruang paling belakang menjadi ruang khusus untuk menonton sebuah video dari korban dan pelaku klitih. Durasinya sekitar 30 menit berisi lanskap-lanskap, landmark, dan jalan-jalan Kota Yogyakarta yang diberi latar suara narasi korban dan pelaku. Cerita tersaji dalam tiga bahasa: bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan narasumber sendiri yang kadang bercampur antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Yang masih saya ingat si korban dalam video ini suatu malam pernah diserang klitih yang membuat bagian tubuhnya terasa lumpuh hingga sekitar dua bulan. Dia juga trauma ketika berkendara ada motor di belakang yang mengikutinya, rasanya ingin marah dan melarikan diri. Sedangkan si pelaku melakukan perbuatan klitih karena berbagai faktor, dari keluarga, teman-teman, dan geng sekolah.
Ada pernyataan menarik yang saya petik dari suara narasumber, bahwasannya jalan memiliki logikanya sendiri. Jalan ini menjadi ruang bagi para anak muda yang krisis identitas untuk mengekspresikan diri. Klitih lah bentuk itu. Bahkan dengan motif yang begitu naif: bersenang-senang. Klitih juga tak mengenal ekonomi, dari yang sugih dan mlarat bisa terlibat. Mereka dicap oleh masyarakat sebagi cah ngawur dan los dol. Julukan dan ancaman yang berasal tak hanya dari masyarakat, kepolisian, bahkan keluarga ini justru malah semakin menumbuhkembangkan klitih—ancaman yang terbalas ancaman. Meskipun semisal genk sekolah mati, maka akan tumbuh genk-genk dari ruang lainnya.
Namun ada satu oase yang membuat saya tenang ketika mendengar suara dari video itu. Sang korban seingat saya berkata, “Caraku memaafkan dengan mempelajari.” Sang korban mempelajari terkait pengklitihan sehingga dia bisa memahami motif dan pergerakan para pelakunya. Berawal dari mempelajari itu pemahaman berlangsung.
/4/
“Merdeka tapi bingung” bisa jadi frasa yang tepat dalam menggambarkan kegalauan jenis baru yang menyerang anak muda krisis identitas di Yogyakarta. Kebingungan itu menjelma menjadi suatu fenomena sosial yang meresahkan tadi, yang ramai-ramai disoraki sebagai “klitih”. Klitih asal muasalnya dari bahasa Jawa klitah-klitih yang berarti berjalan kesana-kemari, baik untuk mencari angin atau justru tanpa tujuan. Dalam konteks Yogyakarta, istilah ini mengalami peyorasi dan digunakan untuk menggambarkan tindak krimintalitas di jalanan yang dilakukan oleh remaja di bawah umur SMP-SMA (antara 14-19 tahun).
Para remaja ini beroperasi dengan motor sekitar jam 12-an malam ke atas untuk menyerang pengendara di jalan (targetnya adalah musuh geng dan juga orang apes) menggunakan senjata tajam: pisau, arit, pedang, clurit, pecut, gergaji, dan lain sebagainya, hingga pistol. Korbannya akan menderita luka parah hingga meregang nyawa dengan cara yang sadis dan berdarah-darah. Jika pun selamat korban akan mengalami trauma. Sedangkan pelaku jika tertangkap akan menjalani hukuman yang lebih murah: digebuk massa, dipenjara, atau dibedil agar tak melarikan diri. Motif klitih sendiri beragam, dari keluarga yang broken home, masih lestarinya budaya senioritas, atau murni hanya untuk “bersenang-senang”.
Menurut penuturan Habib, klitih berasal tidak hanya dari geng sekolah, tapi juga geng kampung, geng ormas, dan geng-geng tersembunyi. Lingkaran klitih kebanyakan diisi remaja di geng-geng ini baik ketika pelaku masih sekolah maupun setelah selesai sekolah. Klitih menjadi sebuah fase yang akan berakhir ketika orang itu lulus, kuliah, atau kerja. Meskipun ada pula orang-orang yang tak kerja dan tak kuliah ada yang masih ikut menjadi klitih. Biasanya juga mereka akan masuk ke preman kampung, masuk ke suporter olahraga, ormas, dan lain-lain.
Salah satu pengunjung pameran bernama Farid Merah mengatakan klitih erat kaitannya dengan kekerasan. Fenomena kekerasan ini sebenarnya secara tidak sadar sangat dekat dengan keseharian. Itu bisa ditemui semisal kata-kata di jalan, seperti ‘ngebut benjut’. Apalagi orang-orang yang lebih tua di sekitar kita itu kadang suka menantang yang lebih muda. Ada cara pandang terkait maskulinitas yang baginya tidak tepat, seperti ‘jadi laki’ harus kuat, harus berantem, harus berani, harus begini dan begitu sehingga mempengaruhi seorang pelaku klitih.
“Bagaimana kita memandang maskulinitas itu seperti apa sih? Atau laki-laki itu harus seperti apa sih? Misal kalau ada laki-laki yang keperempuan-keperempuanan biasanya tak disebut laki-laki, misal ngomongnya gak keras, gak berat, gak disebut laki-lakilah,” Farid mempertanyakan. Farid menambahkan bahwa faktor senioritas yang kuat juga berperan besar dalam membentuk ekosistem klitih di Yogyakarta bahkan ketika orang tersebut sudah lulus sekolah dan menjadi dewasa.
“Orang-orang remaja Jogja ketika SMA atau SMP mereka punya satu golongan. Kalau kamu gak mau dikucilkan ya kamu harus ikut aku. Kalau kamu ikut aku kamu akan banyak teman. Dan itu gak terjadi di sekolah aja. Kita udah di luar, senioritas itu juga masih berlaku. Ya entah itu di tongkrongan meski kita udah sama-sama gak sekolah,” tambahnya.
/5/
Fenomena klitih berkaitan pula dengan budaya kekerasan di Yogyakarta sebelumnya. Penembakan misterius (Petrus) yang terjadi pada masa Orba digunakan oleh pemerintahan Soeharto untuk meminimalisir kejahatan yang sangat tinggi. Pelaku klitih sebagaimana pelaku petrus susah untuk diadili. Bedanya, petrus saat itu dilakukan oleh aparat keamanan circa 1983 dengan Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang pertama kali dilancarkan di Yogyakarta. Adapula yang disebut Operasi Clurit yang dilakukan oleh aparat militer untuk menembaki para pembuat kerusuhan, lalu korban ditinggal di kebun, hutan, pinggir jalan, hingga depan rumah. Bedanya dengan klitih, pelaku klitih adalah anak-anak genk dengan korban-korbannya yang ditinggal di jalan dengan motifnya yang beragam. Tentu ini lebih kompleks.
Latar belakang yang jarang disadari pula seperti yang dijelaskan Habib, terkait persoalan ruang. Studi-studi yang dilakukan oleh Lefebvre, Harvey, dan Castells menunjukkan fenomena konflik perkotaan yang berhubungan dengan adanya relasai kuasa antara pasar, pemerintah, dan masyarakat. Harvey (The Urbanization of Capital, 1985) semisal, menjelaskan kapitalis akan giat memproduksi laba dalam proses penataan ruang kota dengan adanya ruang-ruang penghasil cuan seperti hotel, apartemen, perumahan, dan lain-lain. Ini didukung oleh pemerintah dengan program kerja yang memiliki nilai investasi, pembangunan infrastrtuktur, dan industri. Ruang-ruang terus diproduksi dan direproduksi sehingga aliran kapital terus deras. Ini yang kemudian menggerus ruang-ruang lain yang lebih sehat, guyub, demokratis, dan bersolidaritas. Ruang-ruang ini membentuk ekosistem Jogja yang tidak sehat, di mana “di dalam lingkungan yang tidak sehat, terdapat jiwa yang dungu.” Kekerasan-kekerasan pengusaha, aparat, preman, dan pelajar kelas menengah yang melakukan klitih muncul dari ekosistem semacam ini.
Tak hanya oleh mesin-mesin ekonomi, ruang sosial para anak muda juga diambil alih ruang berpolitik dan konstelasi politik dan konstelasi kehidupan pekerja. Dengan kondisi ini, tidak seperti para pembuat lagu yang menyatakan jika Yogyakarta terbuat dari rindu, kota ini terbuat dari rezim upah murah para kelas pekerja. Pekerja yang kesulitan membayar kos-kosan dan barang kebutuhan karena UMR-nya terendah tingkat nasional. PP No. 78/2015 tentang Pengupahan yang menjadi dasar penetapan upah tak hanya membuat para buruh tidak sejahtera, tetapi bahkan seperti budak zaman modern yang gajinya tak cukup untuk membeli kebutuhan dan tempat tinggal. Narasi UMR terendah ini pun tercatat pula dalam rupaseni yang ada di Museum Ruang yang Hilang.
Sebagaimana yang dikatakan dalam narasi pameran, menangani kekerasan klitih dengan kekerasan juga tak akan mengurangi persoalan. Justru ini akan melahirkan jenis kekerasan baru lainnya yang lebih berbahaya, di mana kekerasan itu dilegalisasi dan dianggap wajar oleh masyarakat. Kekerasan ini memiliki banyak variabel, tak hanya lingkungan sekitar subjek tapi juga bentuk kekerasan aparatus negara. Kemarakan klitih didorong pula oleh perkembangan ruang sosial yang terjadi di Yogyakarta. Ruang sosial milik para anak muda inilah yang direbut, dirampas, dan diubah oleh kapital seperti dengan maraknya pembangunan hotel di Yogyakarta, rezim wisata Jogja yang terus didengungkan, dan pembangunan bandara.***