Matahari belum terbit tinggi ketika puluhan kapal kecil memacu mesinnya menjauhi pesisir Teluk Jakarta. Mereka menuju ke sebuah titik yang bahkan belum ditentukan secara pasti garis lintang dan bujurnya, sebab lokasi itu baru ketahuan saat sebuah perahu berhenti bergerak. Tidak sulit untuk menemukan perahu ini di antara kerumunan karena warnanya mencolok sendiri: merah-putih. Ia tidak memiliki mesin, hanya beberapa drum di dasar kapal yang menjaganya tetap mengapung ketika ditarik sebuah kapal lain. Ukurannya kecil sehingga menyebabkannya tidak mampu menampung banyak hal, apalagi banyak manusia. Cuma cukup untuk sesajen buah-buahan dan satu kepala kerbau.
Ketika lokasi perhentian kapal mulai pasti, beberapa kapal nelayan yang paling cepat mulai berlomba. Salah satunya kapal milik Anton. Bunyi ketukan mesin dieselnya bersatu dengan sahut-sahutan orang di atas perahu. Botol-botol minuman soda dan snack seribuan yang digantung sepanjang badan kapal untuk perbekalan berguncang ke kanan dan kiri.
Meskipun kayu kapal Anton sudah begitu lapuk sehingga salah injak sedikit kaki bisa terperosok, kapal itu masih cukup cepat untuk tiba pertama di sebelah kapal merah-putih. Begitu mendekat seorang penumpang meluncur ke laut, memporak-porandakan kapal sajen itu dan menarik kain putih penutup kepala kerbau hingga robek. Ia membentangkan kain itu tinggi-tinggi, tersenyum ke orang-orang di atas kapal-kapal lain.
Peristiwa kurang dari satu menit itu adalah puncak acara Nadran, pesta laut para nelayan.
“Tujuan dari pesta laut sama kayak orang bertani,” jelas Anton. “Kita tuh intinya bersyukur, mensyukuri alam telah memberikan dan melimpahkan ikan. Kita tuh gak lupa bahwa yang kasih ikan supaya berlimpah itu alam.” Buat Anton perayaan syukuran ini bukan yang pertama kali ia hadiri. Baginya yang sudah menghabiskan kira-kira empat belas dari dua puluh tujuh tahun hidupnya menjadi nelayan, Nadran adalah pesta rutin.
Gambar 1. Perahu sesajen untuk acara Nadran Teluk Jakarta
Nadran berasal dari kata Nadar, yang berarti ‘syukuran’ dalam Bahasa Arab. Tradisi yang berlangsung di beberapa wilayah di Jawa Barat ini, yakni Subang, Karawang, Indramayu dan Cirebon bertujuan untuk menunjukkan rasa syukur para nelayan terhadap hasil tangkapan mereka selama satu tahun.[i] Asal-muasalnya tidak lepas dari legenda Budug Basu, seorang raksasa bertubuh bau busuk yang suka menganggu panen warga. Batara Guru membunuhnya dan membuang potongan jenazahnya ke laut, yang kemudian bertransformasi menjadi ikan. Nelayan melakukan persembahan ke laut untuk menjaga agar Budug Basu tidak muncul dan mengganggu warga kembali.[ii]
Rupanya perebutan sesajen di pagi hari tanggal 15 Desember 2019 itu bukan cuma membawa suka, tapi juga luka. Waryudi, salah satu penumpang kapal Anton, tertabrak kapal lain yang juga memburu hasil sesajen. Telinga kirinya tergores dan darah mengucur ke dada dan celana panjang kremnya. Kecelakaan itu terjadi begitu cepat ketika perhatian semua orang tertuju pada kapal sajen. Di tengah kepanikan itu, salah seorang penumpang berinisiatif mengambil gayung kapal—terbuat dari jeriken yang dicucuk sepotong kayu—dan membilas kepala Waryudi dengan air asin. Ia kemudian merobek kain penutup sesajen dan membebat luka Waryudi.
Beberapa penumpang yang melihat itu turut meminta kain itu, melilitkan di dahi dan lengan. Mitosnya, siapapun yang menggunakan kain akan berbuah keberuntungan. Tentu keberuntungan bisa bermakna luas; salah satu penumpang usul bahwa itu juga menyangkut jodoh. Ketegangan di dalam kapal cair kembali.
Gambar 2. Seorang penumpang kapal mengibarkan kain putih hasil perebutan sesajen
Selepas acara puncak Nadran, Anton sebagai juru kemudi mengarahkan kapalnya menuju ke Pulau Bidadari. Di sana, sudah bersandar perahu-perahu yang lain. Nelayan Teluk Jakarta biasa mengakhiri Nadran dengan pergi ke salah satu pulau di Teluk Jakarta. Selain Bidadari, ada Pulau Onrust, Cipir, Untung Jawa, dan Kelor. Ini kesempatan wisata yang langka karena pada hari-hari biasa siapapun yang berlabuh harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit. Khusus di hari Nadran, semua digratiskan.
Di perjalanan, Anton mengikatkan sisa kain putih ke bagian depan dan belakang kapal. Konon, para nelayan akan mendapatkan berkah dari Nadran, apalagi kalau sampai berhasil ‘menangkap’ sesajen. Kepercayaan ini mungkin memberikan sedikit harapan di hati Anton yang akhir-akhir ini semakin gelisah. Peran nelayan kecil di Jakarta semakin tersingkir akibat permasalahan-permasalahan ekologis dan kurangnya perhatian dari para pihak, baik pemerintah maupun swasta. Banyak yang beralih pekerjaan atau pergi mencari laut yang lain.
Untuk sekarang, Anton masih ingin terus menjadi nelayan. Tapi sampai kapan, ia sendiri tidak berani memastikannya.
Gambar 3. Potret Anton, anak muda Kali Adem yang memilih menjadi nelayan
***
Tradisi Nadran terbawa ke pesisir Jakarta berkat migrasi nelayan. Asindo adalah salah satu saksi hidup perpindahan budaya ini. Bersama beberapa nelayan lainnya ia berangkat dari Indramayu menuju Jakarta pada tahun 1970an. Mereka berlayar menggunakan kapal jaring, terombang-ambing di laut selama dua hari dua malam dengan perbekalan secukupnya dan harapan-harapan untuk kehidupan yang lebih baik.
Ibu kota segera menyodori mereka dengan permasalahan ruang. Mereka perlu menetap di darat tanpa harus kehilangan pemandangan atas laut. Meleng sedikit kapal bisa raib. Akhirnya mereka menemukan tempat yang sangat strategis, yakni di bantaran sungai yang menjorok masuk dari Teluk Jakarta, melewati kebun-kebun Mangrove, dan sampai ke dekat perumahan Pluit Karang (meskipun pada tahun itu belum ada perumahan-perumahan mentereng seperti sekarang). Dewasa ini, orang-orang mengenal tepian sungai tempat para nelayan ini menetap dengan nama Kali Adem.
Mereka mulai mendirikan rumah berbahan baku bambu dan triplek. Lalu mereka menghamparkan terpal untuk menaungi gubuk mereka. Dahulu larangan untuk mendirikan bangunan di tepi kali belum sekeras sekarang, sehingga pemukiman para nelayan kecil ini mulai tumbuh. Di lebaran berikutnya, mereka membawa anak dan keluarga mereka untuk tinggal. Mereka segera kerasan dengan secuil ruang di Jakarta yang makin padat.
Namun, kalau ada satu kata sifat yang bisa merangkum hidup nelayan, itu adalah ‘ketidakpastian’. Laut mengajarkan mereka bahwa badai bisa datang dari arah manapun, di waktu kapanpun, dengan kecepatan berapapun. Pada tahun 2003, ancaman muncul bukan dari arah laut, tapi dari darat. Sutiyoso, Gubernur Jakarta pada saat itu, memerintahkan Satpol PP untuk masuk ke Kampung Kali Adem, membawa satu surat. Surat ini berisi himbauan agar warga mengosongkan bangunan dan tempat tinggal mereka dalam waktu 7 X 24 jam, kalau tidak aparat yang akan mengosongkannya, sekaligus juga bangunan-bangunannya.
“Kenapa tidak dari awal saja kalau mau gusur?” celetuk Asindo mengingat kejadian pada saat itu. “Kenapa harus nunggu banyak baru digusur?”
Gambar 4. Potret Asindo, seorang nelayan kecil asal Indramayu yang sudah merantau ke Jakarta di tahun 1970an
Ketika melakukan mediasi di Kantor Walikota Jakarta Utara, kesepakatan gagal dicapai tapi pihak pemerintah berjanji bahwa proses penggusuran tidak akan dilakukan selama bulan suci Ramadhan, yang akan jatuh beberapa minggu lagi. Janji itu ditepati dengan cara tak patut: penggusuran dilakukan sebelum bulan Ramadhan. Tanpa pemberitahuan, beko dan truk Satpol PP, TNI dan polisi tiba-tiba datang dan mengumandangkan komando penggusuran. Warga panik, mereka hanya diberikan satu jam untuk mengemasi barang-barang mereka, belum lagi masih banyak nelayan yang tengah melaut. Mereka hanya sempat membawa barang-barang ala kadarnya dan, kurang lebih tiga jam kemudian, rumah-rumah mereka sudah rata.
Pasca peristiwa itu, beberapa nelayan Kali Adem memutuskan pulang kampung, beberapa menerima tawaran untuk menyewa rumah susun, dan beberapa bertahan. Yang bertahan mengumpulkan sisa-sisa puing bangunan dan merekonstruksi ulang bentuk-bentuk yang dulu mereka kenali sebagai ‘rumah’. Anton adalah satu yang memilih bertahan, baik bertahan di Kali Adem dan juga sebagai nelayan. Perahu kecilnya ludes berkali-kali untuk menambal kehidupan yang hilang akibat penggusuran yang datang dua gelombang lagi di tahun 2004 dan 2006.
Bagi banyak nelayan, bertahan di tepian sungai Kali Adem adalah satu-satunya pilihan yang tersisa. Relokasi nelayan yang ditawarkan selama ini hanya memindahkan nelayan jauh dari mata pencahariannya. Kalaupun para nelayan ini harus mengungsi dan tidak lagi menjadi nelayan, di sektor pekerjaan mereka bisa bersaing? Bagi Anton yang putus sekolah sejak SD, kemampuannya yang utamanya tidak bisa tidak seputar navigasi kapal, membaca rasi bintang, dan menebar jala.
Ironisnya, ketika pemerintah melabel ruang yang mereka tempati sebagai ilegal, pemerintah juga membuat ruang lain yang lebih ‘ilegal’ dari kacamata alam. Pemerintah mengeluarkan Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang mengakibatkan dimulainya proyek reklamasi pembuatan tujuh belas pulau yang konsesinya dibagi-bagi ke para pengembang properti. Akibat pertentangan yang muncul di masyarakat, hanya empat pulau yang sampai saat ini terlaksana yakni pulau C, D, G, dan N.[iii]
Anton merangkum permasalahannya, “Kok ada-ada aja, gitu. Laut ditambak. Sedangkan yang ditambak itu lokasi yang sering kami cari ikan.”
Menurut sebuah analisis, reklamasi Teluk Jakarta memiliki dampak paling negatif ke para nelayan kecil, yakni para nelayan yang kapalnya berukuran di bawah 10 tonasi kotor (gross tonnage).[iv] Kawasan reklamasi adalah daerah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional. Menurut peta, gunungan tanah itu bertindihan dengan lokasi bagan-bagan di mana kerang hijau tumbuh, titik sero-sero di mana ikan-ikan berlabuh, dan tempat di mana nelayan menebar jaring. Belum lagi reklamasi menimbulkan degradasi lingkungan, ditunjukkan oleh perubahan salinitas dan kecerahan perairan. Reklamasi turut menyumbang polusi laut yang, menurut Asindo, sudah terjadi akibat limbah pabrik-pabrik yang beroperasi di pesisir Jakarta.
Para nelayan kecil pun terlibat dalam pertarungan yang sulit dimenangkan di tengah laut melawan nelayan kapal besar. Sejak tahun kemarin, nelayan kapal besar mengoperasikan kursin untuk menangkap ikan. Lubang-lubang di jala kursin demikian rapat, seperti kelambu, sehingga semua ikan, besar ataupun kecil bahkan bibit-bibitnya, ikut terangkat. Melawan kursin yang dioperasikan dengan alat dan banyak orang, jala nelayan kecil yang ditebar dan ditarik manual oleh satu sampai dua orang jelas kalah jauh. Menurut salah seorang nelayan Kali Adem, seharusnya nelayan kursin baru bisa menangkap ikan di jarak lima mil dari pantai, tapi seringkali ketentuan zonasi ini tidak dipatuhi.
Terusir di darat dan di laut, nelayan kecil semakin sulit tinggal di Jakarta. Menurut data BPS Jakarta, jumlah nelayan kecil yang menetap di Jakarta memang cenderung berkurang. Dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2018, nelayan kecil yang menetap di Jakarta dan memiliki kapal angkanya berfluktuasi, di kisaran angka dua sampai tiga ribu. Sedangkan jumlah nelayan kecil yang menetap di Jakarta dan bekerja untuk kapal lain jumlahnya semakin kecil. Tahun 2011 jumlahnya masih sekitar sepuluh ribu dan terus berkurang sampai tinggal kurang lebih lima ribu dua ratus. Bahkan di tahun 2017, jumlahnya sempat hanya berkisar tiga ribuan awak kapal.[v]
Sumber: milik DKPKP Provinsi DKI Jakarta
Syarif adalah salah satu nelayan muda yang memilih berpaling dari laut. Setelah lulus SMP pada tahun 2001, pamannya mengajaknya mengarungi laut Jakarta dan menangkap ikan. Ia masih ingat, saat pertama kali membantu pamannya, ia mabuk laut. Sepuluh tahun setelahnya, ia memilih untuk beralih profesi sebab penghasilannya makin tak pasti, menjadi seorang staf keamanan di salah satu apartemen di Jakarta Utara.
Baginya, ia beruntung karena beralih profesi cukup awal ketika masih banyak kawan-kawan sepantarannya bertahan menjadi nelayan. “Sekarang susah buat daftar, sekarang persyaratannya ada ijazah sekolah.”
Gambar 5. Potret Syarif, nelayan kecil yang beralih profesi
Ketika kami menemuinya, Syarif baru pulang dari pekerjaannya. Ia sudah mengganti baju kerjanya dengan secarik singlet santai dan duduk di rumah panggungnya. Jarak satu rumah lagi, ia akan berhadapan dengan sungai yang akan membawanya ke laut. Ketika ditanya apakah ia ada keinginan untuk melaut lagi, ia menggeleng. Ia berkata bahwa mungkin ia akan mabuk laut lagi karena sudah tak terbiasa dengan ombang-ambing kapal. Bagi Syarif, mudah saja baginya untuk pergi, meninggalkan pemukiman ini dan menyewa rumah kontrakkan. Tapi ia tidak ingin.
“Intinya di sini semuanya satu keluarga,” ujar Syarif. “Saya bisa aja tempat tinggalnya nyari di komplek-komplek. Bisa aja. Tapi kita kan di sini untuk bertahan.”
***
Yang menghadapi ketidakpastian laut di Kali Adem bukan cuma para laki-laki tapi juga perempuan. Salah satunya Karsini. Karsini juga datang dari Indramayu bersama suaminya yang seorang nelayan. Ia tidak ingat kapan datang ke Jakarta, tapi begitu sampai, ia langsung terjun ke laut bersama suaminya. Daripada kru kapal yang dibayar mahal, pikirnya lebih baik ia sendiri yang menarik jala berat penuh ikan itu.
Peran istri nelayan Kali Adem sangat penting. Mereka seperti penjamin ketika ombak sedang tinggi sehingga kapal-kapal tidak bisa melaut atau ketika ikan pergi entah ke mana. Para perempuan bekerja serabutan untuk menambal beban finansial yang ditanggung keluarga. Ada yang menjadi buruh cuci, ada yang menjadi pelayan restoran, ada yang berjualan.
“Kalau istrinya gak bantu suami, agak susah juga,” aku Cipo, salah seorang nelayan Kali Adem.
Ibu Karsini juga menjadi penjamin atas ketidakpastian laut bagi suaminya. Di tahun 2004, ia merelakan diri jauh dari rumah dengan pergi ke Arab untuk menjadi TKI. Hasil kerja kerasnya di negeri orang berhadiah sebuah kapal kecil untuk keluarganya, kapal yang kemudian ia dan suaminya rutin gunakan untuk menangkap ikan. Untuk sekarang, ia hanya bisa menemani suaminya ke laut di akhir pekan ketika ibunya lowong untuk dititipi bayinya yang baru lahir tahun lalu. Selebihnya, ia juga berjualan buah-buahan untuk membantu suaminya melaut.
“Jadi nelayan banyak dukanya, udah nebar capek-capek, pas ditarik gak ada ikannya, ya udah cuma bisa nangis,” ujarnya setengah bergurau.
Gambar 6. Potret Karsini, seorang nelayan perempuan Kali Adem
Tapi sekalipun penuh duka, laut juga mengisi jati dirinya. Ia mendaku dirinya sendiri nelayan. Lebih lengkapnya lagi: nelayan Jakarta. Karena itu juga ia hanya pernah mengikuti Nadran yang ada di Jakarta sebab di sanalah ia menebar jaring dan menangkap ikan.
Identitas nelayan kecil betul-betul terlihat di acara Nadran Jakarta. Tidak seperti di Indramayu di mana kapal-kapal besar berpartisipasi dalam festival tahunan itu, Nadran di Jakarta seperti menjadi perayaan khusus untuk nelayan-nelayan kecil. Para nelayan kecil ini yang aktif mengumpulkan dana, membuat kapal sesajen, dan mengorganisir acara. Cipo berkata bahwa Nadran di Teluk Jakarta adalah hasil dari keinginan nelayan kecil.
Melalui Nadran, para nelayan kecil ini mengerti bahwa ketidakpastian laut bukanlah sesuatu yang bisa ditaklukkan. Penertiban, reklamasi, dan perkembangan teknologi terbarukan dengan tujuan menganeksasi laut hanya akan menimbulkan ketidakpastian di aspek lain, di hidup orang lain. Nelayan kecil Kali Adem sudah merasakan betul bagaimana kapal terapung terkadang harus dikorbankan untuk ‘kapal’ di atas tanah, bagaimana komplek perumahan mewah bisa tiba-tiba merenggut pancang-pancang bambu tempat mereka memanen kerang, bagaimana aliran limbah dari darat membuat ikan-ikan mereka mengapung.
Menurut sebuah penelitian, Nadran sendiri adalah budaya yang cair, dalam artian ia bisa beradaptasi. Dulu ketika nelayan-nelayan Jawa masih beragama Hindu, Nadran menjadi sarana persembahan ke Sanghiang Baruna. Setelah ajaran Islam masuk, Nadran menjadi cara mengucap rasa syukur kepada Allah dan Nabi Khidir Alaihissalam. Doa yang sebelumnya menggunakan tata cara Hindu beralih menjadi tasawuf, dzikir, dan tahlilan.[vi]
Sekarang, ketika kehidupan nelayan semakin tergerus oleh derap kapitalisme dan kerusakan ekologis, makna Nadran berganti kembali. Ia menunjukkan ke orang-orang bahwa di tengah segala ketidakpastian, nelayan kecil Jakarta masih ada. Ibu kota berulang kali berkonspirasi menyingkirkan mereka, tapi mereka bertahan dan melawan.
***
Catatan akhir
[i] Laina Rafian dan Qoliqina Zolla Sabrina, 2014, “Perlindungan bagi ‘Kustodian’ Ekspresi Budaya Tradisional Nadran Menurut Hukum Internasional dan Implementasinya dalam Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia,” Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum Vol 1(3): 498-521.
[ii] Fuad Abdulgani dan Sinta Ridwan, 2013, “Penulisan Cerita Budug Basu di Kalangan Keraton Cirebon,” LKIP Edisi 7, diakses di https://indoprogress.com/2013/07/penulisan-cerita-budug-basu-di-kalangan-keraton-cirebon/#_edn15.
[iii] Rindi Nuris Velarosdela, “Perjalanan Panjang Reklamasi Teluk Jakarta, dari Soeharto hingga Anies,” kompas.com, diakses di https://megapolitan.kompas.com/read/2018/12/17/12524161/perjalanan-panjang-reklamasi-teluk-jakarta-dari-soeharto-hingga-anies?page=all.
[iv] Reny Puspasari, Sri Turni Hartati dan Regi Fiji Anggawangsa, 2017, “Analisis Dampak Reklamasi Terhadap Lingkungan dan Perikanan di Teluk Jakarta,” Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 9 (2): 85-94.
[v] Data milik DKPKP Provinsi DKI Jakarta tertanggal 27 September 2018 diambil di situs Jakarta Open Data di http://data.jakarta.go.id/dataset/data-jumlah-nelayan-di-dki-jakarta
[vi] Lingga Utami, Dadan Saeful Ramadhan, Rengga Akbar Munggaran, 2018, “The Role of Nadran Tradition as A Maritime Education Based on The Local Wisdom,” OISAA Journal of Indonesia Emas Vol. 01, No. 01, hal 60-66.