Segalanya Serba Darurat: Cerita Perampasan Tanah di Merauke, Selatan Papua

1.1k
VIEWS

Cerita Awal

Kapal tongkang itu berlabuh di perairan laut Wogikel, Merauke. Mengangkut ratusan ekskavator milik Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam, seorang pengusaha pengerukan batu bara di Pulau Borneo. Ratusan ekskavator bersama ribuan mesin pertanian lainnya didatangkan demi obsesi swasembada di tengah krisis pangan, satu target prioritas dalam dokumen perencanaan pembangunan yang akan dicapai Prabowo Subianto dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Hampir seluruh kementerian bergerak cepat untuk mencapai tujuan ini, mulai dari Kementerian Koordinator Pangan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertahanan sampai Haji Isam, untuk mengerjakan proyek ambisius cetak sawah satu juta hektar, jalan poros sepanjang 135 kilometer, infrastruktur penunjang lain. Dengan mengobarkan situasi darurat, ekskavator dengan segera membongkar pohon-pohon, mengusir segala yang hidup di atas tanah dan hutan, dan memaksa perubahan dramatis dalam penghidupan komunitas adat. 

Foto 1. 264 Ekskavator Haji Isam pada Agustus 2024 di Pelabuhan Wogikel, Merauke.

Berangkat dari situasi itu, tulisan ini berusaha menyingkap tatanan politik pemerintahan nasional melalui situasi darurat yang melegitimasi perampasan tanah di Merauke, Papua Selatan. Bagian pertama, tulisan ini menjelaskan secara singkat apa itu keadaan darurat yang memberikan pembenaran dan justifikasi moral agar segala tindakan menjadi seolah-olah dianggap perlu dan tidak terelakkan atas nama keamanan nasional, dalam hal ini perampasan tanah. Bagian kedua, untuk menjembatani antara analisa filosofis situasi kedaruratan dan perampasan tanah, penulis menggunakan kerangka kerja yang menawarkan dinamika strategi penguasaan tanah yang dikembangkankan oleh Olivia del Giorgio. Strategi ini memuat serangkaian tindakan dasar yang diambil, di satu sisi, oleh para aktor berminat dan ingin memperoleh kontrol atas tanah melalui ‘penghancuran’ dan ‘pembangunan’ dan, di sisi lain, tindakan yang diambil oleh para aktor yang menguasai tanah untuk menentang atau mengonfigurasi proses perampasan tanah.

Ketika Kedaruratan Menjadi Normalitas

Keadaan darurat telah memberikan tawaran filosofis dan analisis untuk menyelidiki beberapa tantangan politik paling sulit di dunia, mulai dari kerusuhan politik, persoalan pengungsi, wabah, perang melawan terorisme, konflik bersenjata hingga isu pembangunan ekonomi kontemporer. Ungkapan ini mengacu pada penangguhan sementara hukum atau, secara lebih teknis, konstitusi secara keseluruhan atau di bagian-bagian penting, seperti hak-hak dasar warga negara. Biasanya, keadaan darurat ditetapkan ketika keadaan yang tidak normal, serius, dan tidak dapat diprediksi terjadi seperti bencana alam, perang saudara, terorisme umum, pemberontakan, invasi asing atau gejolak politik seperti coup d’etat. Sehingga, peristiwa-peristiwa tersebut menuntut pemusatan kekuasaan, biasanya tetapi tidak secara eksklusif oleh eksekutif, dengan tujuan mengembalikan situasi luar biasa ke keadaan normal. Dalam ungkapan filsuf Jerman Carl Schmitt bahwa keadaan darurat (ausnahme zustand) merupakan ujian akhir kekuasaan politik dan menunjukkan kepada siapa kekuasaan itu berada, dimana otoritas politik mengalami turbulensi akut.

Berbeda dengan Carl Schmitt yang melihat keadaan darurat sebagai temporalitas,  filsuf politik Italia Giorgio Agamben justru menganggap kalau keadaan darurat sebagai normalitas pemerintahan. Bagi Agamben, keadaan darurat (state of exception) adalah paradigma dan tatanan politik pemerintahan yang meneguhkan secara permanen situasi luar biasa, yang memungkinkan penangguhan tata-hukum atau hak-hak sipil secara keseluruhan. Walaupun seperti itu, tidak jarang rezim kedaruratan melibatkan penerapan undang-undang, aturan, dan diskursus yang kompleks, namun hanya berfungsi memberikan kedok legalitas pada situasi di mana hukum ‘menarik diri’. Maka muncul semacam paradoks dimana keadaan darurat hadir sebagai hukum dari apa yang tidak dapat memiliki bentuk hukum.

Tepat ketika situasi darurat telah dideklarasikan pada gilirannya memunculkan suatu struktur pemerintahan otoriter yang tujuan utamanya adalah menanggapi krisis dan situasi darurat. Otoritas politik ini tidak hanya menangguhkan hukum tetapi juga menggantikannya. Dalam beberapa hal otoritas pemerintahan dapat melanggar privasi melalui pengawasan, membatasi kebebasan bergerak, melakukan kekerasan, dan dalam konteks yang kita bicarakan membuat perampasan tanah dapat diterima. Dengan demikian, situasi kedaruratan menciptakan otokrasi eksekutif. Ketika ambang batas pemerintahan demokratis dan absolutisme ini berlangsung, Agamben mengilustrasikan kehidupan yang terbayangkan seperti dalam kamp-kamp konsentrasi, dimana orang-orang dilucuti seluruh kualitasnya hidupnya kecuali fakta bahwa ia hidup.

‘Swasembada Pangan Sesingkat-singkatnya’

Titik poin pertama dan utama dalam melihat situasi darurat yang selanjutnya membenarkan praktik perampasan tanah adalah deklarasi otoritas politik dalam pemerintahan nasional. Di sini, Prabowo bertindak sebagai yang berdaulat yang memutuskan status kedaruratan. Narasi krisis pangan terus dibingkai menjadi masalah vital yang tidak hanya menjadi masalah strategis, tetapi juga menjadi persoalan negara-bangsa. Dan dengan segera respons pemerintah menangani ancaman dengan bahasa kegentingan yang membenarkan praktiknya. Dalam pidato pelantikan kepresidenan, Prabowo mengungkapkan obsesinya untuk swasembada dan menjadi lumbung pangan dunia di tengah krisis,

Saya telah mencanangkan bahwa Indonesia harus segera swasembada pangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kita tidak boleh tergantung sumber makanan dari luar. Dalam krisis, dalam keadaan genting, tidak ada yang akan mengizinkan barang-barang mereka untuk kita beli. Karena itu tidak ada jalan lain, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya kita harus mencapai ketahanan pangan, kita harus mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia. Saya sudah mempelajari bersama pakar-pakar yang membantu saya, saya yakin paling lambat empat sampai lima tahun kita akan swasembada pangan. Bahkan, kita siap menjadi lumbung pangan dunia.”

Melalui justifikasi situasi luar biasa itulah, tanah seluas 2,6 juta hektar di Merauke akan berubah menjadi lokasi Proyek Strategis Nasional Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi. Secara keseluruhan, PSN Merauke terbagi menjadi tiga proyek antara lain: Pertama, proyek optimalisasi lahan (Oplah) pertanian melalui mekanisasi pertanian, pembuatan saluran irigasi, pemberian alat mesin pertanian (alsintan) pada 6 (enam) distrik yakni Distrik Kurik, Tanah Miring, Merauke, Semangga, Jagebob dan Malind, dengan lahan seluas 40.000 hektar dan akan diperluas hingga 100.000 hektar, yang dikelola oleh Kementerian Pertanian, pemerintah daerah, TNI, dan mahasiswa Polbangtan; Kedua, proyek cetak sawah baru dikelola oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian, dengan lahan seluas 1 (satu) juta hektar, pembangunan sarana dan prasarana ketahanan pangan, seperti pembangunan jalan sepanjang 135,5 kilometer berlokasi di Distrik Ilwayab, Ngguti, Kaptel dan Muting, Kabupaten Merauke. Dan ketiga, proyek pengembangan perkebunan tebu dan bioetanol yang dikelola 10 perusahaan dengan lahan seluas 500.000 hektar. Pembagian petak-petak konsesi tanah ini berperan sebagai strategi pengajuan klaim pembuatan batas, yang mendukung pengambilalihan kontrol tanah dan mengesahkan klaim oleh otoritas politik hukum dan kelembagaan, yang secara efektif mengubah pemilik tanah menjadi pelanggar batas hanya dengan ‘goresan pena’.

Bagi negara, tanah Papua seperti zona pengorbanan dengan dalih kedaruratan pangan. Demi ambisi cetak sawah baru satu juta hektar, Merauke dianggap mampu menyediakan lokasi yang tepat karena memiliki lahan yang luas. Dengan ilustrasi sejarah kolonial, Kemenko Bidang Pangan Zulkifli Hasan memosisikan Papua seperti dulu orang-orang Inggris yang mengkoloni Australia dan Amerika. 

Tidak mungkin kita mengandalkan Pulau Jawa, tidak juga mengandalkan Sumatra. Jawa ini kan harusnya cocok untuk pusat keuangan, pusat industri high-tech, pusat industri kreatif. Tapi untuk perkebunan besar, itu kita punya Papua. Bayangkan dulu Eropa kan seperti Jawa ini, sempit. Dia pindah ke Australia, dia pindah ke Amerika, jadi maju negara mereka. Kita ini punya Papua begitu luas.” Ujar Zulkifli Hasan dalam suatu wawancara di BBC.

Foto 2. Peta PSN Merauke

Di bawah rezim pemerintahan kedaruratan, perampasan tanah menjadi tidak terelakkan. Status keharusan dan mendesak dalam Proyek Strategis Nasional Merauke memungkinkan negara memobilisasi kekuatan yang memaksa masyarakat adat menyerahkan tanah, merampingkan regulasi, dan menganggarkan biaya yang tidak murah. Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, konglomerat batu bara pemilik perusahaan Jhonlin Group ditunjuk untuk membangun sarana dan prasarana cetak sawah baru, serta jalan yang menghubungkan pelabuhan yang akan dibangun mulai dari Kampung Wanam Distrik Ilwayab hingga ke Kampung Selauw di Distrik Muting sepanjang 135,5 kilometer. Para pengusaha ini ditunjuk dan memperoleh akses ke tanah karena dianggap mampu mengolah tanah lebih baik dibandingkan orang asli Papua, sebuah mitos yang terus dilanggengkan untuk membenarkan pengambilalihan kontrol tanah. Baginya sekarang tidak ada kompromi selain tugas kenegaraan yang kini dia emban, yaitu mencetak sawah baru sesingkat-singkatnya.

Dalam Proyek Strategis Nasional terdapat keterlibatan kuat militer. Keterlibatan militer yang semakin luas dan mendalam dalam berbagai urusan sipil termasuk pangan merupakan hasil dari normalisasi operasi darurat non-perang. Seperti yang dijelaskan Jun Honna (2002) bahwa dengan sentimen kegentingan nasional, elit militer terus menormalkan perluasan peran mereka. Letnan Jenderal TNI (Purn) Muhammad Herindra, misalnya, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan pada masa Jokowi menjadi penanggung jawab pembangunan jalan dan infrastruktur pendukung swasembada pangan yang sekarang dikerjakan bersama dengan Haji Isam. Di tingkat yang lebih teknis, Satuan Tugas Pangan yang dikomandoi oleh Mayjen Ahmad Rizal Ramdhani mampu mengerahkan kekuatan militer dalam program optimalisasi pertanian dan cetak sawah. Dan tidak lupa pembentukan lima Batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan yang mendukung program ketahanan pangan yang jumlahnya lebih dari 2.000 personel. Pengerahan militer dengan jumlah yang luar biasa ini menciptakan rasa takut dan intimidasi bagi setiap orang atau marga, yang pada akhirnya mengkatalisis penghancuran kendali masyarakat adat atas tanah dan menciptakan subjek yang patuh. 

Kekuatan yang tidak kalah penting adalah jejaring orang-orang yang terhubung mulai dari nasional hingga kampung. Jejaring ini menjadi penghubung informasi, mengatasi hambatan sosial, memoderasi ekses dan menegasikan bentuk-bentuk protes yang muncul. Dari situ kita perlu lebih dalam memahami peran kunci elit politik seperti Johanes Gluba Gebze, pendukung kuat Proyek Strategis Nasional Pangan di Merauke. Mantan Bupati Merauke ini dalam sejarahnya tidak pernah absen mendukung proyek serupa, mulai dari Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) hingga Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Dengan latar belakang sebagai orang asli Marind, Johanes Gluba Gebze mampu mendelegitimasi berbagai kritik yang menurutnya hanya atau dipengaruhi oleh kepentingan ‘orang luar’. Selain mendelegitimasi suara protes, memasukkan elite politik seperti John Gluba Gebze menjadi strategi efektif yang menciptakan ilusi inklusi, dimana sebagian besar orang-orang Papua yang terampas tanahnya merasa terwakili identitas dan aspirasinya.

Foto 3. John Gluba, Haji Isam, dan Mayjen Ahmad Rizal Ramdhani sebagai satgas pangan berkunjung ke kawasan pengembangan sentra pangan dan cetak sawah

Baca Juga:

Tidak sulit untuk melihat bagaimana kepentingan pemerintah pusat, pengusaha, militer dan elit politik lokal bertemu di sekitar narasi kedaruratan pangan, yang memfasilitasi pembongkaran pohon-pohon, menggusur segala yang hidup di atas tanah dan hutan, dan memaksa perubahan dramatis pada penghidupan orang-orang dalam komunitas adat. Tidak sampai setahun saja, ratusan eskavator telah membongkar hutan, rawa, mangrove dan gambut seluas 4.543 hektar untuk infrastruktur ketahanan pangan di Kampung Wogikel dan Wanam, Distrik Ilwayab. Ini belum termasuk pembongkaran hutan dan savana untuk perkebunan tebu yang mencapai 7.147 hektar di Distrik Tanah Miring. Komunitas adat terus dilucuti haknya, diacuhkan aspirasinya dan bahkan diabaikan keberadaanya. Seperti yang dikeluhkan oleh Yasinta Moiwend, warga kampung Yowied.

“Kami kehilangan alam sama sekali. Dusun sudah digusur. Perusahaan John Linn Group masuk seperti pencuri. Mereka gusur itu tanpa ketahuan tuan dusun. Itu perampok. Seandainya kita pergi di satu rumah, kita tidak bisa langsung masuk saja. Kita harus ketuk pintu. Tuan rumah dia buka pintu, kemudian persilahkan kita masuk. Tapi PT John Linn Group, dia masuk tidak ketuk pintu.” Ungkapnya.

Segalanya dilakukan demi mencapai target ‘swasembada pangan sesingkat-singkatnya’.

Berjuang Mempertahankan Tanah

Kendati keadaan darurat dan tindakan yang diambil oleh negara dan pemerintah hadir seperti nyaris tidak dapat diganggu-gugat, penentangan oleh individu, marga, dan komunitas adat terhadap perampasan tanah juga sedang berlangsung. Berbagai bentuk tindakan protes seperti pemberian kesaksian, demonstrasi publik, pemalangan adat, penancapan salib merah, taktik jaringan, yang dibingkai sebagai bagian dari tindakan kolektif komunitas adat.

Seperti di banyak tempat lainnya, masyarakat adat telah secara efektif menggunakan narasi etno-teritorial sebagai alasan untuk mengklaim tanah. Biasanya, klaim etno-teritorial terbentuk dari cerita asal usul, kepercayaan, serta penjelajahan suatu komunitas adat, yang ditransmisikan dari generasi ke generasi. Di Kampung Yowied misalnya, klaim etno-teritorial ini menjadi basis perjuangan komunitas adat untuk mempertahankan kontrol atas tanah mereka. Mereka juga melakukan perjuangan simbolis dengan membalur wajah dan tubuh mereka dengan poo atau lumpur putih sebagai bentuk duka atas rusaknya tanah dan hutan, serta kehidupan yang ada di dalamnya.

Untuk mengabarkan informasi dan situasi terkini, orang-orang di kampung dengan kreatif memanfaatkan peralatan yang mereka punya untuk membagikan berbagai kesaksian dan kisah mereka melalui foto dan rekaman video. Banyak peristiwa yang dapat direkam dengan baik, seperti kapal yang memuat alat-alat pertanian, pembongkaran hutan oleh ekskavator, seekor rusa yang terperangkap di alat keruk, kondisi pekerja, banjir yang membuat alat berat tertanam, hingga praktik culas penempelan logo Kementerian Pertahanan di kapal pesiar J7-Explorer milik Haji Isam. Dari sini, orang-orang kampung turut menavigasi dan menantang diskursus yang meromantisasi praktik sopan santun Proyek Strategis Nasional di Merauke.

Foto 5. Eskavator tenggelam (2025).

Foto 6. Penempelan logo Kementerian Pertahanan pada kapal pesiar J7-Explorer milik Haji Isam (2024).

Bentuk-bentuk solidaritas juga terbentuk, mulai dari komunitas adat di kampung yang membentuk Forum Masyarakat Adat Kondo-Digoel yang terdiri dari beragam marga dan kampung, serta taktik jaringan, misalnya koneksi dengan organisasi non-pemerintah, aliansi organisasi regional dan transnasional, hingga institusi keagamaan pribumi. Forum Masyarakat Adat Kondo-Digoel misalnya, secara rutin berkumpul untuk menginformasikan situasi yang terjadi di kampung-kampung yang saat ini menjadi lokasi Proyek Strategis Nasional. Dalam beberapa kesempatan, mereka melakukan aksi protes di depan Majelis Rakyat Papua, suatu lembaga pemerintah yang dibentuk karena tuntutan otonomi khusus. Selain demonstrasi yang diadakan di Papua, mereka juga sempat melakukan aksi protes di depan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. Dengan memanfaatkan koneksi dengan organisasi non-pemerintah, komunitas ini terus menerangkan pada publik luas situasi yang mereka rasakan dan tuntutan penghentian cetak sawah baru yang luasnya lebih dari satu juta hektar.

Foto 7. Demonstrasi yang dilakukan oleh komunitas adat Marind-Anim di depan Kementerian Pertahanan, RI (2024). 

Di tempat lain perjuangan atas perampasan tanah dilakukan dengan membuat sasi adat dan menancap salib merah di wilayah adat mereka. Terinspirasi dari tindakan politik-ekologi komunitas adat Awyu di Boven Digoel, komunitas adat di Merauke juga melakukan aksi pemalangan adat atau sasi untuk menghadang ekskavator masuk ke tanah adat mereka. Komunitas adat Awyu bersama dengan jaringan kristen pribumi di Jayapura menancapkan secara simbolis dengan menancapkan salib merah setinggi tujuh meter sebagai bentuk dukungan mereka terhadap orang-orang Papua yang saat ini menghadapi persoalan, khususnya tanah. Dengan tegas Dewan Gereja Papua dan Pastor Pribumi Papua mendukung gerakan perlawanan yang dilakukan oleh komunitas adat untuk mempertahankan tanah dan kehidupannya.

Sebagai penutup tulisan ini, kita bisa menyaksikan kalau cerita perampasan tanah tidak selalu mulus tetapi terus dikontestasikan. Semua strategi yang muncul saling bertabrakan dalam arena perebutan untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kehilangan kendali atas tanah.

Referensi

Agamben, G. (1988). Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life. California: Stanford University Press.

Agamben, G. (2005). State of Exception. Chicago: University of Chicago Press.

Arango Vásquez, L. (2024). Indigenous peoples, commons and the challenge of sustaining life amid capitalist land grabs. The Journal of Peasant Studies, 1–28.

Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Ketindan. (2024).  Dukung Swasembada Pangan, UPT Kementan Gelar Pelatihan Budidaya Padi Bagi OAP di Merauke.

Castañón Ballivián, E. (2021). Situating ethno-territorial claims: dynamics of land exclusion in the Guarayos Forest Reserve, Bolivia. The Journal of Peasant Studies, 49(4), 884–904.

Christiaens, T. (2021). Agamben’s Theories of the State of Exception: From Political to Economic Theology. Cultural Critique, 110(1), 49–74.

CNN. (2024). Swasembada Pangan Bukan Angan-Angan? Wawancara dengan Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan.

Cotula, L. (2017). The state of exception and the law of the global economy: a conceptual and empirico-legal inquiry. Transnational Legal Theory, 8(4), 424–454.

De Boever, A. (2009). Agamben and Marx: Sovereignty, Governmentality, Economy. Law and Critique, 20(3), 259–270.

de Moura Costa Matos, A.S. (2023). State of Exception. In: Sellers, M., Kirste, S. (eds) Encyclopedia of the Philosophy of Law and Social Philosophy. Springer, Dordrecht.

Hasanah, M., & Bayo, L. N. (2024). “Twin Brothers”: Claim-Making Strategies by the Ata Modo in the Tourism Development Project of Komodo National Park, West Manggarai. International Quarterly for Asian Studies (IQAS), 55(2), 173-195.

Humphreys, S. (2006). Legalizing Lawlessness: On Giorgio Agamben’s State of Exception. The European Journal of International Law, Vol. 17 No. 3.

Honna, J. (2022). Health Security in Indonesia and the Normalization of the Military’s Non-Defence Role. ISEAS–Yusof Ishak Institute.

Ito, T., Rachman, N. F., & Savitri, L. A. (2014). Power to make land dispossession acceptable: a policy discourse analysis of the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), Papua, Indonesia. The Journal of Peasant Studies, 41(1), 29–50.

Karl, N. & Habtom, T. (2023). An Ecological State of Exception: Applying Carl Schmitt to Climate Change.

Kementerian Pertahanan RI. (2024). Formulir Kerangka Acuan: Pembangunan Jalan Akses Sepanjang 135 Km dan Sarana Prasarana Ketahanan Pangan di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.

Kementerian Pertahanan RI. (2024) Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 2 Tahun 2024 tentang Kebijakan Pertahanan Negara Tahun 2024.

Kementerian PPN/Bappenas. (2024). Ringkasan Rencana Awal RPJMN 2029. 

Kementerian Sekretariat Negara. (2024). Pidato Presiden Prabowo Subianto Pada Sidang Paripurna MPR RI Dalam Rangka Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI Terpilih Periode 2024-2029.

Kompas. (2024).  Advertorial: Tokoh Papua Selatan Nilai Lumbung Pangan Sebagai Peluang Ekonomi Baru.

Radio Republik Indonesia. (2024). Ribuan Prajurit Batalyon Infanteri Pembangunan Tiba di Merauke. https://www.rri.co.id/merauke/daerah-3t/1109239/ribuan-prajurit-batalyon-infanteri-pembangunan-tiba-di-merauke

Pusaka. (2024). Briefing Paper: Proyek Strategis Nasional Pangan dan Energi Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan: Melanggar Hak Asasi Manusia dan Meningkatkan Krisis Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Valim, R. (2018). State of exception: the legal form of neoliberalism. Z Politikwiss 28, 409–421.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.