Pentingnya Politik Anti-Imperialisme dalam Membangun Solidaritas Pembebasan Palestina

3.1k
VIEWS

Serangan di Masjid Al-Aqsa dan pengusiran paksa daerah Syekh Jarrah terhadap rakyat Palestina oleh Israel di akhir Ramadhan lalu menandai kezaliman menyeluruh dalam tiga dimensi: spiritual, kesejarahan, dan material. Pada masjid disematkanlah penghinaan terhadap sakralitas ruang dan momen suci umat Islam. Berlanjut ke serangan Israel terhadap rakyat Gaza yang tidak sebanding dengan luncuran roket Hamas dalam merespon kekerasan di Al-Aqsa.

Semua itu tanpa malu-malu hadir kembali. Seperti yang ditulis oleh Marwan Bishara di Al Jazeera tanggal 11 Mei lalu, Israel is a colonial war machine that never sleeps. Di malam-malam terakhir bulan Ramadhan, di masjid Al-Aqsa yang menjadi tempat suci umat Islam ketiga di dunia. Inilah kezaliman telanjang dengan impunitas yang kembali dipamerkan oleh Israel.

Kekerasan terhadap rakyat Palestina pada akhir Ramadhan tersebut merupakan kulminasi dari rangkaian peristiwa geopolitik di Timur Tengah yang terjadi selama satu tahun terakhir, di mana negara-negara Arab beramai-ramai menormalisasi hubungan dengan Israel. Normalisasi yang sarat dengan kepentingan ekonomi neoliberal ini adalah salah satu faktor yang membuat Israel semakin leluasa merampas ruang hidup rakyat Palestina – karena kecaman negara-negara Teluk hanya menjadi omongan kosong tanpa makna.

Istilah-istilah faktual mulai disuarakan oleh berbagai media alternatif: kolonialisme, rasisme, agresi, apartheid, terorisme, pembersihan etnis, pelanggaran hukum internasional dan matinya berkali-kali prinsip Hak Asasi Manusia internasional di hadapan negara adidaya. Istilah-istilah tersebut dipekikan oleh media yang masih punya akal sehat, serta berbagai kalangan, untuk menunjukkan seberapa nistanya wajah Israel dalam mengakumulasi kekuasaannya melalui penyerangan di Masjid Al-Aqsa dan pengusiran paksa rakyat Palestina di Syekh Jarrah, Jerusalem.

Bertepatan dengan peringatan tragedi An Nakbah pada 15 Mei ini – di mana 700.000 warga Palestina terusir dari rumahnya pada 1948, kami berpendapat bahwa kekerasan oleh Israel harus dilihat melalui kacamata ekonomi politik internasional karena dua hal. Pertama, metode ini mereorientasi ulang perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina sebagai politik kelas tanpa bergantung pada dukungan basa-basi dari pemerintahan negara-negara Islam. Kedua, metode ini memberi ruang, bahkan keharusan, pada aksi yang diharamkan oleh sebagian Muslim liberal; politik kekerasan. Islam Bergerak akan menjelaskan sikap tersebut melalui editorial ini.

Imunitas Israel

Kekerasan di Al-Aqsa, Syekh Jarrah, dan Gaza pada bulan suci kemarin merupakan serangan sistematis dan terencana terhadap saksi sejarah dan akar dari keberadaan rakyat Palestina. Syekh Jarrah merupakan lokasi yang selama ini menjadi ruang hidup rakyat Palestina yang terusir dari desa-desa mereka oleh milisi Zionis pada peristiwa An Nakbah tahun 1948.

Syekh Jarrah adalah tokoh sejarah yang pernah menjadi dokter pribadi pendiri dinasti Ayyubiyah, Salahuddin al-Ayyubi pada abad ke-12. Di situ, ia mendirikan tempat tinggal untuk kaum Sufi yang disebut Zawiya Jarrahiya yang sekarang menjadi masjid. Israel kemudian melanjutkan pengusiran paksa terhadap warga Palestina di tempat bersejarah ini dengan melakukan serangan udara ke wilayah Gaza yang hingga Sabtu ini telah menewaskan 145 orang, termasuk 41 anak.

Rakyat dunia kemudian berbaris melakukan aksi protes dan solidaritas. Namun di sisi lain, negara-negara dan lembaga internasional yang mempunyai cukup sumber daya untuk memberlakukan sanksi malah diam. Demikian pula negara-negara Muslim yang hanya mengecam tanpa tindakan. Pada titik – di mana Israel mampu melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia dengan imunitas – inilah kenapa kita perlu melakukan kilas balik ke tahun lalu saat negara-negara Muslim menormalisasi hubungan dengan Tel Aviv.

Normalisasi membuat tekanan regional terhadap penjajahan di Palestina semakin lunak. Dari sini kita bisa melihat bahwa Palestina adalah simbol dan materialisasi proyek neoliberalisme berbasis kolonialisme apartheid.

Konteks: Normalisasi Penindasan

Pada 31 Agustus 2020, pesawat Boeing 737 mendarat di Bandar Udara Internasional Abu Dhabi. Kata “perdamaian” dalam tiga bahasa (Arab, Inggris, Ibrani) tertulis di moncong pesawat itu. Boeing 737 milik maskapai Al El tersebut merupakan pesawat komersial pertama dari Israel yang dengan mulus-lancar melewati wilayah udara Arab Saudi dan kemudian akhirnya mendarat di ibu kota Uni Emirat Arab.

Di dalam pesawat tersebut Jared Kushner – yang saat itu ditunjuk oleh Donald Trump sebagai pimpinan rombongan diplomatik Amerika Serikat – mengobral retorika perdamaian. Ketika Boeing 737 itu lepas landas dari Ben Gurion dan melintas di atas langit Tepi Barat, barangkali pesawat itu terbang di atas rumah keluarga Mohammad Matar.  Matar, pemuda yang baru berusia 16 tahun, tertembak bersama dua orang Palestina lainya dalam sebuah insiden yang tak begitu jelas pada 20 Agustus 2020 di Ramallah.  Saat mengalami luka tembak, Matar sempat ditahan oleh tentara Israel dan akhirnya meninggal dunia.

Kematian Matar – bersama ribuan pelanggaran hak asasi manusia lainnya oleh Israel – tak menyurutkan niat para Syekh di Abu Dhabi untuk melanjutkan kemesraan dengan Tel Aviv. Dua minggu setelah Boeing 737 itu mendarat, Israel dan Uni Emirat Arab menandatangani kesepakatan normalisasi hubungan pada 15 September 2020. Mereka dengan percaya diri menyebut kesepakatan normalisasi itu sebagai Abraham Accords, mengambil nama bapak para nabi yang dihormati baik dalam tradisi Yahudi maupun Islam.

Normalisasi hubungan dengan tak berhenti pada Uni Emirat Arab saja. Bahrain, Maroko, dan Sudan kemudian menyusul. Diperkirakan Oman dan Mauritania sedang menunggu giliran. Begitu juga Arab Saudi yang kini menjajaki soft normalization (normalisasi malu-malu?). Banyak pihak kemudian menganggap rentetan proses normalisasi sebagai harapan perdamaian dan meningkatnya stabilitas kawasan.

Nickolay Mladenov, Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, melihat perkembangan ini sebagai “kembalinya harapan pada proses perdamaian dan kelanjutan negosiasi”. Delegasi Inggris dalam Dewan Keamanan PBB melihat rentetan normalisasi ini sebagai “perubahan besar”. Ia juga menganjurkan negara-negara yang masih belum menjalin hubungan diplomasi dengan Israel ikut mengambil langkah yang sama seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain. Uni Emirat Arab sendiri berdalih bahwa proses normalisasi ini turut mempertimbangkan kemaslahatan orang-orang Palestina.

Namun kekerasan terbaru di Palestina membuat terang kenyataan bahwa menormalisasi hubungan itu diwarnai berbagai kepentingan yang tak ada kaitannya dengan kemaslahatan orang Palestina. Hingga saat ini, saat ratusan warga Gaza sudah kehilangan nyawa, tidak ada kabar bahwa pembatalan kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik dari Bahrain maupun Uni Emirat Arab.

Selain itu, tidak ada poin kesepakatan yang mencegah Israel untuk mengulang serangan sepihak ke Palestina seperti yang terjadi pada 2012 -2014 lalu, di mana di mana 100,000 rakyat Palestina terusir dari kampung halaman mereka.

Kita bisa membayangkan bagaimana aspirasi orang-orang Palestina tersapu ke pinggir meja perundingan oleh bertumpuk-tumpuk kepentingan lain, atau memang sejak awal tidak pernah dijadikan bahan pertimbangan sama sekali. Tengok saja bagaimana Uni Emirat Arab diberi lampu hijau untuk membeli jet tempur Lockheed Martin F-35,  bagaimana Sudan dikeluarkan dari daftar negara sponsor terorisme, bagaimana Maroko mendapat pengakuan terkait Sahara Barat yang masih diperselisihkan dengan Front Polisario, dan bagaimana Bahrain menjajaki prospek kerjasama dengan intelijen Israel untuk menghadapi gerakan Syiah di dalam negerinya.

Selain konsesi-konsesi bilateral yang sudah disebutkan, agenda-agenda khas neoliberal di tingkat kawasan juga turut mendorong normalisasi ini. Salah satunya adalah Track for Regional Peace yang mempermudah jalur logistik negara-negara Teluk dan Eropa melalui Israel. Selain itu, ada pula proyek kota pintar lintas negara Neom oleh Arab Saudi – di sini, Putra Mahkota keluarga Saud, Muhammad bin Salman dikabarkan bertemu secara rahasia untuk membahas normalisasi hubungan bilateral.

Selain tidak mengindahkan nasib warga Palestina, proses normalisasi ini juga memunggungi kehendak rakyat banyak. Menurut survei Arab Opinion Index 2019-2020 yang disusun Arab Center for Research & Policy Studies, kebanyakan rakyat Arab menentang normalisasi hubungan dengan Israel. Hanya 6 persen dari seluruh responden dari berbagai negara yang mendukung pengakuan diplomatik dengan Israel, sementara mayoritas 88 persen menentang.

Responden dari negara-negara yang meneken normalisasi Israel seperti Sudan dan Maroko juga kebanyakan menetang keputusan tersebut. Sekitar 88 persen responden dari Maroko menentang normalisasi, sedangkan Sudan 79 persen. Sentimen yang sama juga ditunjukkan terhadap negara yang selama ini mensponsori terorisme Israel, yaitu Amerika Serikat. Ada 81 persen responden yang menganggap Amerika Serikat adalah ancaman bagi keamanan dan stablitas kawasan di jazirah Arab. Intervensi kebijakan luar negeri Amerika Serikat dipandang buruk (27 persen) atau bahkan sangat buruk (54 persen).

Konteks Lokal: Neoliberalisme Berbasis Kebijakan Kolonial

Normalisasi hubungan dengan Israel oleh sejumlah negara Arab di atas menjelaskan bagaimana Israel mendapatkan imunitas untuk melakukan perampasan tanah dan pembunuhan terhadap anak-anak. Namun, masih tersisa pertanyaan untuk kepentingan apa Israel melakukan penggusuran paksa dan pengeboman yang hanya akan menarik kecaman masyarakat internasional? Tentu saja alasan resmi penggusuran tersebut adalah untuk membangun pemukiman bagi pendatang Yahudi – yang menurut Undang-Undang Kepulangan (Law of Return) mempunyai hak untuk datang ke Israel dan tinggal di sana.

Baca Juga:

Namun, ada lapisan yang lebih fundamental yang mendorong Israel untuk terus menerus melakukan penggusuran paksa. Israel tengah menghadapi ancaman besar bagi masa depan ekonomi mereka – yang kemudian mereka jawab dengan mempercepat kedatangan pemukim Yahudi baru. Ancaman tersebut adalah pertumbuhan populasi Yahudi Ortodoks (Heredi) yang tidak produktif secara ekonomi. Sebagian besar laki-laki dari kelompok ini tidak bekerja karena mendedikasikan diri untuk mempelajari Torah dan mendapat subsidi dari negara – sementara perempuan dari populasi yang sama hanya berfungsi untuk melahirkan anak.

Israel saat ini masih bisa membiayai mereka karena Heredi hanya menyumbang 12 persen dari total populasi. Namun, perempuan-perempuan Heredi rata-rata mempunyai tujuh anak sehingga populasi mereka akan berlipat ganda setiap 16 tahun – sebuah beban yang tidak akan mampu ditanggung Israel.

Jawaban Israel terhadap problem ini adalah manipulasi atas Undang-Undang Kepulangan. Desille (2019) mencatat bahwa sejak transisi ekonomi neoliberal pada tahun 1990an, pemerintah lokal tingkat kota di Israel secara aktif membujuk pemeluk Yahudi di negara-negara bekas Uni Soviet untuk ‘pulang’ ke Israel. Pemeluk Yahudi dari kawasan ini dianggap lebih produktif secara ekonomi dibanding calon-calon imigran dari Afrika dan Asia. Para pendatang inilah yang menjadi penopang ekonomi Israel yang sesungguhnya – sebagai dua ilustrasi, sekitar 60 persen ekonomi di Tepi Barat merupakan kontribusi dari pemukiman ilegal Yahudi sementara 23 persen penduduk negara tersebut lahir di luar Israel.

Korban dari kebijakan ini tentu saja adalah warga Palestina, yang bukan hanya menghadapi penggusuran paksa untuk memberi ruang pada pendatang, tapi juga harus memburuh di atas tanah rampasan milik mereka. Situasi ini diperparah oleh dualisme hukum perburuhan yang diskriminatif, di mana para pendatang mendapat perlindungan berdasarkan hukum sipil Israel sementara warga Palestina hanya menjadi subjek hukum militer.

Warga Palestina hanya bisa bekerja setelah mengantongi surat izin yang bisa dicabut sewaktu-waktu sehingga memungkinkan eksploitasi oleh para pendatang – pekerja Palestina dari Area C Tepi Gaza memperoleh gaji kurang dari upah minimum di Israel. Bank Dunia memperkirakan bahwa praktik diskriminatif ini telah merugikan ekonomi Palestina sebesar 3,4 milyar dolar AS setiap tahunnya. Inilah politik kelas yang mendasari penggusuran paksa di Tepi Barat dan Yerusalem Timur (termasuk Syekh Jarrah).

Kolonialisme Israel terhadap Palestina memang selalu menjadi lahan basah bagi reproduksi kapitalisme. Tiga Masterplan Israel (Jerusalem 2020, Marom Plan, Jerusalem 5800 Plan) adalah gambaran dari sisi berbeda – tetapi tetap pada koin yang sama – tentang bagaimana Israel terus mengekspansi wilayah kekuasaannya demi membuka keran investasi.

Ketiga masterplan tersebut dicanangkan untuk mengundang investor untuk berinvestasi membangun industri turisme, perkotaan, pendidikan tinggi, hingga industri teknologi. Rencana tersebut secara terang-terangan menyebut kalau penggusuran tempat tinggi penduduk dan pengungsi adalah keharusan. Maka tidak mengherankan kalau hingga hingar-bingar #SheikhJarrah hari ini, kolonial Israel terus memobilisasi aparatus koersifnya. Untuk itu perlawanan antikolonial adalah perjuangan kelas yang membutuhkan solidartias dunia.

Perlawanan: Boikot dan kekerasan

Pertanyaan berikutnya adalah apa yang harus dilakukan. Banyak orang mempromosikan gerakan boikot, divestasi, dan sanksi (BDS) sebagai alternatif terhadap upaya bersenjata di tingkat lokal. Gerakan ini mencakup: (1) boikot atas produk dan jasa, akademik dan budaya, hingga institusi olahraga Israel, (2) menarik investasi terhadap perusahaan dan negara Israel oleh bank, dewan lokal, dana pensiun, serta universitas yang turut serta mendukung apartheid Israel, dan (3) memberikan sanksi akan pelanggaran Israel terhadap hukum internasional dan mengakhiri keterlibatannya dalam lembaga Internasional.

Gerakan ini menuntut diakhirinya pendudukan dan penjajahan serta menuntut pembongkaran ‘tembok apartheid’, pengakuan hak-hak dasar, dan hak untuk bermukim kembali bagi rakyat Palestina yang kini hidup di kamp-kamp pengungsian. Pendukung gerakan ini menilai bahwa BDS adalah wajah damai-humanis perlawanan terhadap kolonialisme Israel. Mereka juga selalu menyebut keberhasilan gerakan serupa di Afrika Selatan tahun 1990-an dan seruan satyagraha oleh Gandhi dalam upaya kemerdekaan India. Namun, argumen yang mengarus-utamakan perlawanan damai ini cacat dalam beberapa hal.

Pertama, mereka mengabaikan faktor penting “keberhasilan” gerakan BDS di Afrika Selatan – bahwa Nelson Mandela memberikan konsesi yang terlalu besar bagi kelompok kulit putih demi transisi politik yang damai. Menurut catatan Naomi Klein dalam The Shock Doctrine, Mandela pada awal 1990-an menghadapi dilema besar soal tujuan akhir gerakan anti-apartheid – (1) revolusi berdarah yang akan mendistribusikan ulang kepemilikan tanah atau (2) transformasi damai yang hanya akan memberikan hak politik yang setara bagi warga kulit hitam.

Sejarah menyaksikan bahwa Mandela hanya mendapatkan opsi kedua. Sebagai akibatnya, Afrika Selatan hingga saat ini masih merupakan negara dengan kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia, di mana 73 persen tanah di negara itu dikuasai oleh kelompok kulit putih. Dari sudut pandang material, gerakan BDS di Afrika Selatan yang “damai” itu adalah sebuah kegagalan.

Kedua, argumen BDS sebagai satu-satunya jalur perlawanan – sebagaimana seruan satyagraha Gandhi – berpotensi menutup kemungkinan lain yang dapat ditempuh. Menurut Taleb Ahmad (2021), sulit untuk membayangkan kekuatan imperialis Inggris meninggalkan negara jajahan tanpa aksi-aksi radikal seperti yang dimainkan dalam pemberontakan Mappila tahun 1921 dan pemberontakan angkatan laut tahun 1946.

Perjuangan di India dan bahkan sebagian besar gerakan anti-kolonial tidak bisa dilepaskan dari berbagai instrumen perlawanan yang efektif dan tentu solidaritas yang tidak biasa. Dan bila kita ingin mengulang kemenangan yang sama di Palestina, mengutip kata Che Guevara, mendoakan kemenangan bagi mereka tidaklah cukup, yang terpenting adalah berbagi nasib dengan mereka, bergabung dengan mereka, sampai menang atau mati.

Ketiga, pengarus-utamaan BDS sebagai wajah ramah Islam akan menyingkirkan pengalaman ketertindasan umat dan dampak destruktif dari kapitalisme di Palestina. Shadaab Rahemtulla dalam karyanya Qur’an of the Oppressed (2017), ketika menelisik gagasan Farid Esack tentang Islam progresif saat ini, menandai bahwa dalam konteks global manifestasi ketidakadilan, gagasan Islam ramah dan patuh hukum yang diproyeksikan oleh penguasa justru akan menjerumuskan umat ke dalam teologi akomodasi yang dicerminkan secara simplisistik sebagai bentuk ‘damai dan dialog’.

Inilah krisis otentisitas umat Islam dalam menafsirkan keber-agama-an harus juga ditelisik dari sejarah pertentangan umat Islam terhadap status quo dan hegemoni yang menindas di masa Nabi Muhammad SAW. Di masa kini, kita memiliki keharusan untuk memproblematisir dan mengkonfrontasikan sikap berserah dirinya umat Islam – terutama para pemimpin – pada kapitalisme, serta persetujuannya (atau ‘diamnya’) terhadap kebijakan pasar bebas dan ideologi neoliberalisme yang bahan bakarnya juga penjajahan modern.

Dengan demikian, agenda anti-imperialis dalam konteks Palestina mesti diradikalkan dengan memasukkan narasi yang lebih materialis, dalam artian, berpijak pada politik kelas. Politik kelas menjadi penting karena masalah kolonialisme Israel terhadap Palestina juga tidak lepas dari pertentangan antara para petani, perempuan, pekerja, dan rakyat tertindas lainnya, melawan kepongahan borjuasi kolonial Israel yang dibekengi oleh imperialisme global.

Namun demikian, editorial ini tidak bermaksud untuk mengecilkan gerakan BDS terhadap Israel. Yang hendak kami katakan di sini adalah: BDS merupakan bagian kecil – bukan satu-satunya – gerakan perlawanan yang sah untuk melawan kolonialisme Israel. Perlawanan bersenjata adalah sebuah keharusan bagi keberhasilan revolusi di Palestina yang mendampingi BDS – meski demikian, kami juga tidak menutup mata pada pelanggaran hak asasi manusia oleh Hamas terhadap warga Palestina di Gaza.

Penutup

Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.” – QS Al-Mumtahanah: 9.

Kutipan ayat dari surah Al-Mumtahanah di atas mencerminkan anjuran umat Muslim untuk memperkuat solidaritas dan perlawanan terhadap para penindas, dengan himbauan kuat untuk tidak menerima mereka yang selama ini mengusir umat dari tanah mereka.

Ayat ini diturunkan di Madinah ketika perjanjian penghentian permusuhan yang juga dikenal dengan Perjanjian Hudaybiyah antara kaum Muslimin dengan kaum Musyrikin Mekah dilanggar setelah berlangsung selama dua tahun. Pelanggaran ini terjadi ketika para sekutu Quraish menyerang dan membunuh para sekutu umat Muslim.

Peristiwa ini membuat Nabi Muhammad SAW memutuskan bahwa kaum Muslim harus berbaris menyerang Mekah. Konteks sejarah ini menandai pesan penting: selama penjajahan terhadap umat masih berlangsung, menjabat tangan penindas adalah sikap yang tercela, bahkan dianggap zalim.

Pada akhirnya, lokasi Syekh Jarrah menjadi simbol penghancuran sejarah yang memberi identitas pada rakyat Palestina, serta perampasan dan akumulasi geopolitik pada kondisi material umat: ruang hidup dan penghidupan, yaitu wujud hak asasi manusia yang bahkan kaum liberal kapitalis yang waras sekali pun akan mengakuinya sebagai hak dasar yang tidak bisa dirampas.

Related Posts

Comments 1

  1. usman hidayat says:

    teori yg sangat logis. harusnya muslim indonesia mulai beranjak dari sekedar isu agama ke isu kelas wabil khususon simpatisan isis yg rela “bersumpah setia”, “berwala'” dan “berjihad” mengangkat senjata bersama kelompok bentukan imperialis yg tak jelas juntrungannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.