Masyarakat Tallo dan Akumulasi Primitif dalam Pembangunan Makassar New Port

229
VIEWS

Makassar New Port (MNP) merupakan proyek reklamasi pembangunan infrastruktur distribusi yang terdiri dari beberapa paket infrastruktur, seperti pelabuhan, jalan tol, rel kereta api, serta fasilitas penunjang distribusi lainnya. MNP ini merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) di bawah rezim Jokowi yang dikerjakan dalam kendali PT. Pelabuhan Indonesia (PELINDO), serta kerja sama dengan pihak stakeholder terkait lainnya seperti Kementerian BUMN, Kementerian Perhubungan, Kementerian PUPR, serta perusahaan asing seperti kontraktor rekanan PT. Boskalis yang berasal dari Belanda.

Proyek yang beroperasi di wilayah pesisir Kelurahan Tallo ini, tentunya berdampak pada stabilitas warga di sekitar pesisir, yang mayoritas adalah nelayan. Berdasarkan hasil Participatory Action Research Nelayan Tallo oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHI-LBH Makassar), salah satu dampak yang dialami oleh nelayan Tallo terjadi pada sektor ekonomi. Sebab proyek ini, pendapatan nelayan berkurang secara drastis akibat area tangkap yang berkurang. Kondisi ini pada gilirannya menyebabkan terjadi perubahan mode produksi dan kerja yang awalnya merupakan nelayan berubah menjadi buruh pabrik.

Oleh karena itu, liputan ini akan memotret dinamika perubahan kerja masyarakat yang tidak terjadi begitu saja (ahistoris), tetapi selalu didahului oleh prakondisi dalam masyarakat tertentu, dalam konteks nelayan Tallo adalah pembangunan infrastruktur distribusi. Ini menjadi penting sebab lagi-lagi, proses penciptaan proletariat (kategori kelas yang tidak memiliki sarana produksi selain tenaga kerja) adalah proses yang historis dan dapat ditelusuri pada kelompok masyarakat terdekat bahkan dalam lingkungan sekitar. Selain itu, dalam penelitian mainstream terkait pembangunan infrastruktur tak banyak yang menyoroti persoalan dinamika perubahan kerja akibat pembangunan infrastruktur.

Jika melihat paket kebijakan pembangunan rezim Jokowi, maka mudah saja untuk menyebutnya sebagai rezim infrastruktur. Ini terlihat dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yang memfokuskan pembangunan infrastruktur pada empat bidang, yakni energi; maritim dan perhubungan; kedaulatan pangan; serta perumahan rakyat. Pembangunan tersebut membutuhkan pembiayaan sekitar lebih dari Rp5.542 triliun. Sejatinya, kebijakan pembangunan infrastruktur semacam ini bukanlah khas rezim Jokowi saja. Namun dapat dilacak pada rezim-rezim sebelumnya, yang mendapat angin segarnya pada periode kedua pemerintahan SBY melalui upaya pelibatan swasta dengan model Public Private Partnership (PPP).

Oleh karena pembangunan infrastruktur menjadi semacam sesuatu yang wajib dilakukan oleh tiap rezim, maka menimbulkan pertanyaan mendasar: Cara berpikir seperti apakah yang memadai untuk menjawab mengapa fenomena pembangunan infrastruktur menjadi primadona di tiap rezim?

Menjawab pertanyaan ini akan memudahkan kita memahami bahwa janji-janji manis di balik pembangunan infrastruktur—seperti kemudahan akses distribusi yang pada gilirannya mempermudah akses lapangan pekerjaan—tak lebih sebagai sebuah bualan semata untuk kepentingan kelompok tertentu. Lebih jauh, logika pembangunan infrastruktur menopang sebuah orkestrasi sistem yang sedang bekerja. Selain itu, pertanyaan ini akan membawa kita untuk melihat dinamika kehidupan masyarakat di wilayah pembangunan infrastruktur secara lebih dekat, seperti yang dialami masyarakat nelayan Tallo.

Kapitalisme dan Logika Pembangunan Infrastruktur

Dalam horizon tradisi Marxist, fenomena pembangunan infrastruktur mesti merujuk pada keniscayaan ekspansi kapital (Sangaji:2011). Kapitalisme sebagai sebuah sistem yang memiliki karakter ekspansif akan senantiasa tanpa henti memerlukan ruang baru untuk menciptakan surplus. Keperluan terhadap ruang baru ini selain sebagai arena penciptaan surplus juga berperan untuk menghancurkan segala sesuatu yang menghambat penciptaan surplus itu, salah satunya adalah masyarakat non-kapitalis yang masih eksis.

Penjelasan teoritis yang memadai untuk menjelaskan fenomena semacam ini adalah apa yang disebut Marx sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation). Menurut Marx sebagaimana dituliskan dalam (Sangaji: 2011), bahwa akumulasi primitif pada dasarnya melibatkan dua proses utama. Pertama, pemisahan para produsen independen—terutama petani—dari alat produksi mereka, yakni tanah, melalui perampasan dan pengingkaran hak-hak mereka, termasuk hak-hak adat. Proses ini menyebabkan kepemilikan alat produksi terkonsentrasi pada segelintir pihak. Kedua, pembentukan kelas pekerja yang berasal dari petani yang telah kehilangan alat produksinya. Disebut “primitif” karena tahap ini merupakan fase awal yang mendahului dan menjadi prasyarat bagi akumulasi kapital.

“Yang membedakan akumulasi primitif dari akumulasi kapital adalah bahwa yang pertama bukan berlangsung di dalam hubungan-hubungan produksi kapitalis, tetapi menjadi pra-kondisi bagi akumulasi kapital. Yang kedua (akumulasi kapital) berlangsung di dalam hubungan-hubungan produksi kapitalis. Marx bilang ‘[primitive accumulation] forms the pre-history of capital, and the mode of production corresponding to capital.’ Akumulasi primitif, dengan demikian bukan merupakan efek akumulasi dari corak produksi kapitalis (capitalist mode of production), tetapi merupakan titik tolak (point of departure) dari akumulasi. Akumulasi primitif, oleh karena itu, merupakan sebuah fase sejarah yang mendahului kelahiran kapitalisme. Marx menggambarkan fase ini sebagai transisi dari feodalisme ke kapitalisme.” (Sangaji: 2011)

Dalam kacamata inilah, kita dapat melihat kelindan pembangunan infrastruktur dengan penetrasi kapitalisme, yakni selain sebagai upaya penciptaan ruang ekspansi kapital baru. Selain itu sebagai upaya untuk memisahkan para produsen independen dengan alat produksi mereka. Dalam konteks masyarakat Tallo, dapat terlihat bahwa asbab pembangunan MNP area, tangkapan ikan nelayan menjadi berkurang bahkan hilang. Kendatipun masyarakat Tallo juga tidak homogen, akan tetapi terdapat lapisan paling bawah yang benar-benar menjadikan aktivitas menangkap ikan sebagai satu-satunya sumber pencaharian. Pada gilirannya, karena kehilangan alat produksi terbentuklah kelompok kelas pekerja yang baru.

Namun dalam kenyataannya, produsen yang terpisah dari alat produksi mereka tidak serta merta terlempar ke dalam dinamika produksi kapitalis, melainkan juga biasanya membentuk satu formasi baru yang Marx sebut sebagai relative surplus population. Yakni, kelebihan penduduk secara relatif di masyarakat bukan karena hasil pertumbuhan penduduk secara alamiah, tetapi kelebihan penduduk dalam pengertian tersedianya jumlah manusia yang siap dieksploitasi dengan harga murah di dalam hubungan produksi kapitalis, setelah alat produksi mereka dirampas. (Sangaji: 2011)

Makassar New Port dan Cerita Masyarakat Tallo

Berdasarkan laporan Participatory Action Research Nelayan Tallo oleh YLBHI-LBH Makassar, pembangunan di daerah pesisir Makassar bagian utara yang hanya difokuskan untuk pertumbahan ekonomi dan infrastruktur memberikan dampak langsung terhadap masyarakat pesisir. Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan reklamasi masyarakat New Port di wilayah permukiman nelayan Tallo memberikan perubahan besar terhadap kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, serta dampak psikologis bagi para nelayan perempuan.

Perempuan keluarga nelayan di Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo. (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)

Dampak Ekonominya dapat terlihat dari menurunnya pendapatan nelayan akibat penyempitan wilayah tangkap dan rusaknya ekosistem laut. Dalam laporan wawancara tim LBH, Husni sorang nelayan perempuan pencari kerang mengungkapkan sebelum adanya proyek MNP pendapatan mereka dari hasil mencari kerang berkisar Rp100-150 ribu, dan 1 keranjang kerang pada waktu itu masih dihargai Rp20.000 (dua puluh ribu rupiah). Namun menurutnya, setelah adanya proyek MNP, jumlah kerang yang mereka dapatkan dalam sehari belum tentu 1 keranjang. Akibat kurangnya hasil tangkapan tersebut, harga kerang juga mengalami kenaikan, sebab dulunya 1 keranjang hanya dijual seharga Rp20.000, sekarang Rp50.000 per kilogram. Kondisi yang demikian membuat nelayan harus berusaha mencari penghasilan tambahan di luar profesi sebagai nelayan.

Tidak hanya itu, dalam laporan yang sama juga disebutkan bahwa anak-anak muda di pesisir kelurahan Tallo juga lebih memilih menekuni profesi kerja lain, seperti karyawan swasta atau buruh pabrik dibanding menjadi nelayan.

Selain dampak ekonomi, juga terdapat dampak sosio-ekologis akibat pembangunan MNP, seperti pergeseran garis pantai yang berakibat daerah tangkapan menyempit dan semakin jauh dari pesisir, penyumbatan muara sungai, pemurnian air terhambat, serta polusi udara. Secara sosial, karena masyarakat yang heterogen di daerah Tallo, terdapat perbedaan respon terhadap pembangunan MNP. Kelompok tokoh agama dan pemerintah setempat yang mendukung pembangunan MNP dan tidak berpihak pada nelayan membuat nilai-nilai guyub di wilayah itu menjadi retak.

Untuk melihat lebih jauh dinamika masyarakat Tallo pasca pembangunan MNP serta perkembangan terkini proses advokasi masyarakat Tallo, kami mewawancarai warga setempat bernama Ibu Zaenab dan Kelompok Solidaritas Perempuan Anging Mammiri (SPAM) yang ikut mengadvokasi isu nelayan Tallo dalam proses pembangunan MNP.

Dari penuturan Ibu Zaenab, sejak Pembangunan reklamasi dimulai pada tahun 2015, hasil tangkapannya semakin berkurang, dan terus memberikan dampak negatif memasuki tahun 2017, di mana penurunan tangkapan menjadi semakin signifikan. “Berkurang terus, [semakin] berkurang, sampai tidak ada sama sekali,” katanya.

Sebelum ada proyek tersebut, Ibu Zaenab bisa mendapatkan Rp150.000 per hari dari hasil melaut. Namun, seriing berjalannya waktu, pendapatan itu terus menurun secara berjenjang dari Rp100.000, Rp70.000, dan Rp50.000. “Turun terus sampai kami tidak melaut lagi, karena untuk apa kami turun [melaut] kalau tidak dapat [hasil tangkapan]. Jadi, di situ masalahnya,” ungkapnya. Menurutnya, pergi melaut pun sia-sia karena tidak ada hasil yang bisa didapatkan.

Baca Juga:

Setelah berhenti melaut, pada tahun 2019, Ibu Zaenab akhirnya harus mencari pekerjaan lain dan bekerja sebagai buruh harian di sebuah pergudangan. Dia bekerja sebagai cleaning service dengan gaji Rp52.000 per hari. Dia bekerja dari pukul 07.00 pagi hingga 18.00 malam, dan merasa hari-harinya habis di tempat kerja. “Gajiku hanya Rp52.000 per hari. Bandingkan dengan pendapatan saya [ketika] melaut,” ujarnya. Padahal, saat masih melaut, dalam waktu sekitar 3,5 hingga 5 jam saja bisa memperoleh sekitar Rp100.000.

Menurutnya, pemerintah tidak memberikan solusi atas permasalahan yang muncul akibat pembangunan MNP. “Tidak ada solusi, tidak ada pemberitahuan,” ungkapnya dengan nada kecewa. Ia menilai, pemerintah berlaku tidak adil bagi masyarakat. Seharusnya, melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan saat membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan sebagainya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah tidak mendengarkan dan mempertimbangkan apa yang diinginkan masyarakat. Ketika masyarakat tidak setuju, harusnya pembangunan tidak bisa dilaksanakan. Hal inilah yang dilanggar oleh pemerintah selama proses pembangunan MNP. “Mungkin saja mereka [pemerintah] melibatkan [masyarakat], tapi hanya tokoh-tokoh masyarakat yang tidak berkaitan langsung dengan laut, sehingga mereka setuju dengan pembangunan tersebut,” ucapnya.

Padahal, tokoh-tokoh masyarakat yang dimaksud tidak berkaitan langsung dengan laut, dan tidak berdampak langsung terkena kebijakan dari pembangunan MNP. Sebagai nelayan terdampak, Ibu Zaenab dan masyarakat lain menuntut pemerintah untuk memberikan pemuihan atas hak-hak yang hilang. “Mulai dari hak ekonomi, hak lingkungan, semua hal yang dirugikan akibat pembangunan ini,” tegasnya.

Senada dengan Ibu Zaenab, tim dari SPAM yang juga sempat kami wawancarai turut mengafirmasi perubahan dinamika kerja masyarakat Tallo setelah pembangunan MNP. Upaya advokasi yang dilakukan pun tak banyak membuahkan hasil sebab akses ke pengambil kebijakan pusat yang terbatas.

SPAM memandang bahwa pembangunan pelabuhan MNP membawa dampak yang berlapis bagi masyarakat sekitar. Mereka menilai, pembangunan ini telah merusak ruang hidup, mengganggu mata pencaharian, mencemari lingkungan, dan menghilangkan budaya lokal, seperti tradisi “appanaung ri je’ne” yang merupakan bentuk rasa syukur masyarakat kepada laut yang memberi kehidupan. Dampak ekonomi menjadi yang paling dirasakan, di mana wilayah tangkap yang hilang membuat para nelayan terpaksa beralih profesi menjadi buruh. “Bahkan sampai merantau jauh, ada yang ke Morowali, Kalimantan, dan lain-lain,” kata perwakilan dari SPAM.

Fenomena ini, menurut SPAM, dapat dikategorikan sebagai bentuk proletarianisasi. Mereka menjelaskan bahwa masyarakat dipaksa menjadi buruh dengan upah rendah dan tidak sebanding dengan pendapatan mereka sebelumnya sebagai nelayan. Penghasilan para nelayan di laut bisa mencapai Rp200 ribuan per hari, tapi semenjak wilayah tangkapnya dirusak, bahkan untuk mendapatkan Rp50 ribu dalam sehari saja pun kesulitan.

Lebih lanjut, SPAM menilai bahwa peralihan profesi ini juga berdampak pada identitas masyarakat pesisir. Terutama bagi perempuan, yang sebelumnya memperjuangkan pengakuan sebagai Perempuan nelayan, kini semakin terpinggirkan. “Tentu sangat miris kita melihat kemiskinan yang dialami masyarakat khususnya perempuan di pesisir Makassar, yang itu diakibatkan proyek MNP,” terangnya. Mereka menilai bahwa proyek MNP, yang merupakan bagian dari PSN, dilegalkan oleh regulasi negara dengan sistem kapitalistik yang memprioritaskan pembangunan ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak sosial, budaya, dan ekonomi terhadap masyarakat.

Menurut SPAM, proyek MNP ini juga menunjukkan trayektori proletarianisasi, di mana industrialisasi yang masif membutuhkan banyak tenaga kerja, dan hal ini biasa dilihat dalam proyek urbanisasi. Masyarakat desa banyak berbondong-bondong ke kota menjadi buruh. Perampasan ruang hidup dan privatisasi negara semakin memperparah kondisi ini karena masyarakat tidak lagi memiliki ruang yang bisa mereka kelola. “Kalau bukan diklaim negara pasti diklaim pihak swasta, yang ujungnya juga mereka bekerja sama untuk menguasai sumber daya yang ada. Apalagi tujuan pembangunan pelabuhan MNP ini untuk melancarkan arus barang dan jasa, yang katanya untuk kemajuan ekonomi, tapi malah memiskinkan masyarakat,” ungkapnya.

Meskipun Perusahaan yang mengelola pembangunan MNP aktif dalam program CSR, SPAM menilai hal itu tidak menyelesaikan permasalahan yang sesungguhnya.

Terkait perkembangan proyek, SPAM menyebutkan, pembangunan MNP sudah memasuki tahap akhir dan bahkan telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo. Kemungkinan untuk menolak proyek tersebut kecil, tapi penolakan terhadap perluasannya masih memungkinkan. Sebab jika tidak ditolak, perluasan proyek ini akan dilanjutkan denagn pembangunan jalan tol dan pembangunan lainnya. Namun kembali lagi, ketika masyarakat bersatu, pasti memungkinkan untuk ditolak. Tantangan besar adalah saat masih ada warga yang mendukung. “Kalau tidak salah sudah penyelesaian tahap ketiga. Infonya juga banyak tersebar di artikel mainstream. Kalau tidak salah tahun lalu ada pemberitaannya akan dirampungkan tahun depan,” tambahnya.

Saat ini, SPAM masih mengorganisir masyarakat di tiga wilayah, yaitu Tallo, Sengkabatu, dan Cambayya. Diskusi kampung terus dilakukan untuk memperkuat perlawanan, dan kelompok perempuan di tiga wilayah ini masih bertahan menolak pembangunan MNP. Dalam hal advokasi, berbagai upaya telah dilakukan, termasuk menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP), tetapi belum membuahkan hasil. Upaya terakhir adalah bersurat kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan, di mana hanya Komnas Perempuan yang memberikan respons dalam bentuk rekomendasi. Rencana ke depan adalah mendesak pemerintah pusat melalui RDP di DPR untuk menghentikan perluasan pembangunan dan mendorong pemulihan lingkungan serta ekonomi masyarakat.  “Kemungkinan akan mendorong RDP di DPR pusat, karena bagaimanapun proyek ini juga dari pusat. RDP terakhir di DPRD Sulsel, mereka juga kebingungan menyelesaikan persoalan ini karena keputusannya di pusat,” ujarnya.

SPAM juga mencatat bahwa dampak pembangunan MNP tidak hanya dirasakan di Tallo, tetapi juga di Kelurahan Cambayya, Buloa, dan Kaluku Bodoa, yang meskipun jauh dari pusat pembangunan, telah mengalami dampak terkait kebencanaan. Pembangunan jalan tol yang berkaitan dengan pembangunan MNP juga dinilai membawa dampak bagi wilayah pesisir lainnya di sekitar Makassar.

Sebuah Refleksi

Dalam dinamika masyarakat Tallo pasca pembangunan proyek MNP, dapat dilihat akumulasi primitif bekerja dalam bentang sejarah yang nyata.

Pertama, melalui pembatasan atau bahkan pemutusan akses tradisional beberapa kelompok masyarakat, dalam hal ini nelayan tradisional ke area penangkapan ikan. Modus akumulasi primitif di sini bekerja melalui peghancuran masyarakat yang belum terserap secara langsung kedalam hubungan-hubungan produksi kapitalis, yang pada gilirannya membuat akumulasi kapital dapat berjalan dengan mulus.

Kedua, ikut campur negara merupakan senjata utama bagi akumulasi primitif bekerja, sehingga setiap aktifitas memberangus sumber penghidupan nelayan mendapat penjelasan legal-formilnya. Ini misal terbaca dalam konteks pembangunan MNP yang merupakan PSN.

Ketiga, melalui akumulasi primitif, yakni dengan merampas alat produksi para nelayan atau produsen berskala kecil, maka tenaga kerja mereka menjadi terbuka untuk dijual kepada kelas kapitalis dalam proses akumulasi kapital. Mereka kemungkinan segera terintegrasi ke dalam proses akumulasi kapital sebagai tenaga kerja murah, setelah kehilangan alat produksinya, atau sesuai penjelasan sebelumnya ia membentuk formasi sosial baru yakni relative surplus population.

Sebagai sebuah refleksi, penting untuk melihat bahwa penciptaan kelas pekerja (kelompok yang hanya memiliki tenaga untuk bekerja dan dijual ke kapitalis) bukanlah proses yang ahistoris. Namun, ia dapat ditelusuri pada momen sejarah yang spesifik. Dinamika masyarakat Tallo pasca-pembangunan proyek MNP persis menunjukkan pada kita pembentukan kelas pekerja dan atau relative surplus population pada momen sejarah yang real dan aktual.

Referensi:

Dephub. “Presiden Joko Widodo Resmikan Makassar New Port”. Dephub. https://dephub.go.id/post/read/presiden-joko-widodo-resmikan-makassar-new-port.

Pelindo. “Erick Thohir: Makassar New Port, Pelabuhan Hub Terbesar di Indonesia Timur.” Pelindo, February 22, 2024. https://www.pelindo.co.id/media/570/erick-thohir-makassar-new-port-pelabuhan-hub-terbesar-di-indonesia-timur.

Sangaji, Anto. 2011. “Penembakan Tiaka dan Akumulasi Primitif.” Indoprogress, September 26, 2011. https://indoprogress.com/2011/09/penembakan-tiaka-dan-akumulasi-primitif/.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHI-LBH Makassar). Participatory Action Research Nelayan Tallo. Kelompok 4.

Yistiarani, Wida Dhelweis. Geger Gedhen di Pesisir Selatan Jawa: Pembangunan Bandara dan Dinamika Kelas Agraria di Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Independen, 2024.

Wawancara Ibu Zaenab oleh kawan Zulkifly Yunus.

Wawancara tim SPAM oleh kawan Zulkifly Yunus.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.