“Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
― Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia.
20 Juni 2017. Warga kampung Tamansari tiba-tiba saja mendapat undangan buka puasa bersama dengan Walikota Bandung, Ridwan Kamil. Tentu undangan ini disambut dengan riang gembira, sebab belum pernah terjadi sepanjang hidup warga, ada walikota yang populer bukan hanya di Bandung, tapi juga di Indonesia bahkan hingga tingkat internasional, mau mengundang warga kampung biasa seperti mereka untuk bertatap muka.
Karenanya, lalu puluhan warga Tamansari dengan penuh prasangka baik dan suka ria berbondong-bondong hadir di Pendopo (rumah dinas) Walikota Bandung. Namun, suka ria itu tak bertahan lama. Ia dengan cepat menghilang bersamaan dengan hilangnya dahaga puasa oleh hidangan menu berbuka yang disediakan walikota, dan seiring pengumuman akan rencana dan upaya “dihilangkannya” rumah mereka melalui sosialisasi rumah deret yang dilengkapi dengan presentasi mutakhir terkait desain rumah deret yang terdiri dari dua tower, masing-masing setinggi 10 dan 11 lantai dengan jumlah unit hunian sekitar 500 unit. Warga takjub melihat desain rumah deret modern nan mewah itu itu namun pulang kerumah masing-masing dengan perasaan tidak karuan, antara kaget, bingung hingga tidak percaya atas apa yang baru mereka dengar dan lihat dalam tajuk buka puasa bersama itu.
Pasca buka puasa bersama itu, kampung Tamansari mengalami eskalasi konflik spasial dan sosial yang tidak pernah terjadi sebelumnya hingga saat ini. Warga terpecah belah oleh skema relokasi sepihak yang ditawarkan pemerintah kota tanpa melalui kesepakatan terkait mekanisme penggantian dan jumlah nominalnya. Semua keputusan dengan mudahnya langsung ditetapkan sepihak tanpa melibatkan warga secara partisipatif. Puncaknya, warga terpecah menjadi beberapa kelompok: mereka yang menerima rumah deret dengan kompensasi 20 % atau 70% dengan tambahan biaya untuk sewa rumah sementara yang besarannya bervariasi, dengan maksimum 26 juta untuk satu tahun; dan warga yang menolak sama sekali mekanisme ini dan memilih bertahan di lokasi mereka tinggal. Relasi kewargaan kampung yang khas dan harmonis mendadak lenyap, berganti menjadi relasi penuh kecurigaan dan intimidasi yang tendensius-emosional.
Pemkot tidak pernah transparan soal rencana pembangunan rumah deret ini kepada warga, terutama terkait kepastian pembangunan rumah deret ini dengan cara menunjukan dokumen yang merujuk tata kelola birokrasi serta prosedur administratifnya, semisal AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang belum ada, dan penetapan lokasi hingga desain struktur serta arsitektur dari rumah deret tersebut. Hal ini berdampak kepada warga terkait skema relokasi, anggaran, nilai ganti rugi, hingga yang paling substansial yaitu kepemilikan lahan. Nyatanya, Pemkot Bandung tidak bisa membuktikan bahwa merupakan miliknya, sehingga warga yang menolak rumah deret dengan didampingi kuasa hukum publik dari LBH Bandung melakukan gugatan pengadilan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung pada 7 Desember 2017 dengan nomor register 152/G/2017/PTUN.BDG terhadap Surat Keputusan (SK) Kepala (DPKP3) Kota Bandung Nomor 538.2/1325A/Dpkp2/217. Gugatan ini kemudian diputuskan pada 30 April 2018 dengan keputusan bahwa gugatan warga ditolak dengan dalih dari pengadilan bahwa kasus ini hanya terkait proses ganti rugi semata. Padahal tentu hal itu belum masuk ke pokok perkara dan keliru bila dinyatakan bahwa warga hanya meminta ganti rugi. Terdapat hal lain yang diperjuangkan warga terutama terkait lahan dan hak atas ruang hidupnya. Warga dalam memperjuangkan haknya kembali mengupayakan proses banding di Pengadilan Tinggi atas putusan di atas, yang didaftarkan pada 8 Juni 2018.
Di sela-sela proses hukum yang sedang berlangsung di pengadilan, warga tentu saja tidak diam. Mereka menggalang solidaritas, mewartakan kehidupan kesehariannya, mengungkap kejadian sebenarnya secara empiris, dan melakukan aksi damai di kantor-kantor pemerintahan yang berkaitan dengan proyek rumah deret Tamansari ini. Seluruh upaya itu mendapatkan reaksi keras berupa intimidasi dan serangan fisik yang diorkestrasi oleh aktor-aktor dengan dukungan kekuatan politik dan finansial–pihak yang paling berkepentingan atas keberlangsungan proyek ini, walau menyalahi prosedur dan masih dalam proses hukum di pengadilan.
Kekerasan yang menimpa puluhan warga dan elemen solidaritas hingga menimbulkan banyak korban luka-luka pada 7 Maret 2018, misalnya, terjadi ketika warga “hanya” menuntut haknya selaku warga negara akan transparansi proses pembangunan yang menyangkut hidup mereka secara langsung dengan mempertanyakan ketiadaaan dokumen seperti AMDAL sementara proses pengerjaan proyek tetap berlangsung. Bentrok fisik yang terjadi antara warga yang menolak, bersama elemen mahasiswa dan solidaritas, berhadapan dengan warga yang mendukung rumah deret ditambah preman dan ormas (organisasi kemasyarakatan) seolah dibiarkan terjadi oleh aparat. Bentrok fisik juga kembali terjadi ketika warga Tamansari melakukan aksi demonstrasi di depan kantor Walikota Bandung (12/04/2018). Tidak hanya warga yang mendapatkan kekerasan fisik dan verbal, wartawan yang meliput kejadian pun mengalami tindakan represif oleh aparat.
Melihat kejadian-kejadian ini semua, sekelompok mahasiswa yang mengatasnamakan diri mereka Nafsu Visual ingin merekam proses ini dan menunjukannya kepada khalayak luas lewat medium film dokumenter yang berjudul Halo-Halo Bandung,. Di dalamnya, ingin digambarkan bagaimana nafsu visual dari kekuasaan pemerintah Kota Bandung, yang disokong oleh kerja modal pengembang, memberikan stigmatisasi kumuh secara visual, dengan tanpa ada kriteria yang jelas. Dan kepada warga Tamansari lalu diberikan klaim visual lainnya berupa rumah deret yang dicitrakan lebih baik, lebih cantik, lebih instragrammable secara estetika, dan lebih memberikan kebahagiaan kepada warganya.
Halo-Halo Bandung yang berdurasi 1 jam 5 menit ini diputar pertama kali di reruntuhan kampung Tamansari di sela kegiatan buka puasa bersama di Bulan Ramadhan 2018, guna memperingati peristiwa tahun lalu dimana Ridwan Kamil mengundang warga untuk buka puasa, hanyak untuk mengumumkan dan mensosialisasikan penggusuran rumah mereka. Film ini ingin mewartakan, bahwa ada warga kota Bandung yang telah terampas ruang hidupnya dengan stigma kumuh dan ilegal untuk digantikan dengan hunian yang katanya lebih baik, manusiawi dan partisipatoris dalam wujud kerja penggusuran yang “humanis”. Nyatanya hal itu jauh dari manusiawi dan humanis. Warga seolah-olah diangkat derajat sosialnya oleh kemasan kebijakan hunian, lalu dipindahkan ke lokasi yang suka tidak suka, mau tidak mau harus diterima dan mereka dipaksa bertahan serta berjuang hidup dari nol lagi dengan cara masing-masing, tanpa ada upaya pemulihan kehidupan mereka oleh pembuat kebijakan ini.
Sebelum Tamansari, Bandung telah memiliki pengalaman penggusuran beberapa kali. Hal ini menimpa warga Jalan Karawang yang digusur tahun 2015 dengan dalih bahwa lahan yang mereka tempati merupakan milik pemerintah kota, walau sebenarnya klaim ini tidak sepenuhnya benar. Sebab ada juga lahan yang dimiliki warga, namun karena adanya kepentingan atas lahan satu hamparan, maka lahan milik warga pun diklaim juga dengan ganti rugi dan praktik penggusuran. Selain itu, praktik pemecahan konsentrasi warga juga diberlakukan dengan beragam cara yang mirip antara satu kasus dengan lainnya. Ada warga yang menolak, ada yang menerima dengan tawaran “relokasi” ke Rusunawa Rancacili yang berjarak sekitar 15 km dari tempat semula dengan janji bahwa dalam jangka satu tahun, mereka akan dipindah ke Rusumani Paldam dengan tipe B yang rencananya akan dibangun di atas lahan bekas gusuran rumah mereka di Jalan Karawang. Namun hingga kini, tiga tahun setelahnya, 168 warga masih tinggal di Rancacili dalam kondisi sosial-ekonomi yang memprihatinkan.
Ridwan Kamil berjanji akan membangun rusunami (rumah susun sederhana milik) yang akan selesai tahun 2016, sehingga warga mau menerima proses relokasi ini. Nyatanya pada 3/11/2017 lalu, Ridwan Kamil malah mengumumkan akan dibangunnya Taman Asia Afrika seluas 2,6 Ha di kawasan bekas rumah warga tersebut yang totalnya mencapai 12,9 Ha. Pemerintah kota lalu menyewakan lahan 12,9 Ha tersebut kepada developer PT Panca Terang Abadi (Grup Artha Graha) untuk dibangun area komersil. Lantas 2,6 Ha untuk Taman Asia Afrika itu apa? Dan area komersial ini apa? Di lahan ini akhirnya memang ketahuan akan dibangun kawasan superblok yang terdiri dari area komersial dan apartemen yang dilengkapi taman Asia Afrika, yang sebenarnya hanya untuk kepentingan memenuhi persyaratan Ruang Terbuka Hijau sesuai dengan diharuskannya ketersediaan maksimum 30% dari kawasan terbangun. Lantas kemana janji Rusumani itu?
Bagi warga Bandung, berita atau rencana akan dibangunnya sebuah taman terasa sangat menggembirakan, terlebih jika dikabarkan melalui media sosial walikotanya. Kita tentu ingat yang terjadi dengan penggusuran Kampung Kolase tahun 2015 lalu, yang digantikan oleh infrastruktur taman Teras Cikapundung yang tentu saja Instagramable. Instagramable menjadi suatu predikat kontemporer terkait hasrat dan kepuasan publik dalam hal euforia swafoto, yang kemudian ditafsirkan sebagai keberhasilan suatu pemerintahan modern dan Kota Bandung menjadi garda depan dalam apropriasi ini.
Skema yang sama kemudian ditiru ulang dengan melibatkan warga Tamansari dengan tagline pembangunan Rumah Deret dengan desain cantik (versi kekuasaan), persis seperti desain Rusunami dan Taman Asia Afrika yang disodorkan kepada warga Jalan Karawang. Selain itu, dulu pemkot berjanji bahwa di Jalan Karawang akan dibangun Rusunami percontohan se Indonesia, dan kepada warga Tamansari bahwa akan dibangun percontohan proyek rumah deret pertama se Indonesia. Tentu ini sebuah bluffing pembangunan. Padahal, pada intinya pemkot sedang membuka ruang untuk investasi properti dengan konsekuensi menyingkirkan warga setempat.
Pemkot sering serampangan dalam menjalankan kebijakan. Untuk kasus Tamansari saja, apakah pemkot bisa membedakan mana kumuh dan mana ilegal dan nyatanya warga Tamansari merupakan warga legal Bandung yang sejak tahun 60an tinggal di daerah tersebut secara turun menurun. Pemkot juga tidak punya standar kumuh yang jelas. Selama ini, mereka mengacu ke standar yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat lewat Kementrian PUPR yang bias, standar bahkan memiliki standar ganda. Lantas pertanyaannya, apakah standar itu bisa diberlakukan sama di semua tempat di Indonesia? Apakah kumuh di Jakarta akan sama dengan kumuh di Bandung? di Kulonprogo atau Kendeng ? Belum lagi proses pembangunan yang tidak tertib secara administrasi dan birokrasi terkait kelengkapan dokumen, ijin dan transparansi anggaran serta skema yang melibatkan warga secara langsung seperti kesepakatan relokasi, sosialisasi dan nominal kompensasi.
Di sisi lain, pemkot Bandung gagal memahami perbedaan antara perumahan rakyat dan perumahan publik. Penyediaan perumahan rakyat bisa menggunakan biaya dari swasta/developer dan bisa didistribusikan kepada semua rakyat, tapi rakyat yang mana ? Sedangkan perumahan publik harusnya disedaikan oleh negara dengan cara skema menyewa murah atau membeli murah dengan subsidi negara terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah/miskin. Jadi, jika swasta terlibat dalam pendanaan proyek, artinya proyek itu memang untuk dibisniskan, bukan untuk menyediakan pemukiman yang layak bagi rakyat miskin.
Sampai saat ini, sejak Indonesia merdeka 73 tahun lalu, tidak ada upaya yang dapat mengendalikan pasar dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah/miskin terhadap hunian. Menengok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah menargetkan pembangunan 550.000 rusunawa, namun nyatanya baru 44.000 rusunawa yang terbangun. Sudah menjadi kewajiban pemerintah kepada warga negaranya, untuk menyediakan hunian layak dengan harga terjangkau namun yang tertib birokrasi dan tidak menyengsarakan warganya, karena itu telah termaktub dalam UUD 1945.
Banyaknya program perumahan murah yang dibiayai pemerintah yang tidak terwujud, semakin memperpanjang daftar PR Pemerintah. Alih-alih,yang terjadi malah seperti prakarsa masif, tersebar cenderung sporadis, dalam pertunjukan teatrikal yang politis, dengan perencanaan yang tidak tertib administrasi dan tata kelola birokrasi, termasuk anggaran yang cenderung tidak transparan, karena yang penting investasi atau proyek berjalan. Hal ini terlihat jelas, di akhir Orde Baru, peran Real Estate dalam penyediaan rumah rakyat lebih dominan dibanding PerumNas dalam penyediaan rumah publik.
Contoh nyata apa yang terjadi di Bandung. Dongeng perumahan publik dalam bentuk Rusunami di Jalan Jakarta hingga rumah deret di Tamansari telah membuktikan itu semua. Selain penetapan lokasi yang serampangan, mimpi membangun perumahan publik juga kadang tidak merujuk kepada rencana tata ruang seperti RTRW/RDTR dan RPJMD, seperti yang terjadi di Tamansari. Atau tiba-tiba saja ada perubahan rencana seperti di Jalan Jakarta yang tadinya digembor-gemborkan akan dibangun rusunami, namun nyatanya malah superblock yang terbangun dan warga miskin kampung kota yang jadi korban utamanya.
Apa yang terjadi di Bandung dalam konteks agraria dan hak atas (lahan) kota, dapat diglorifikasi sebagai perang primal di perkotaan, di mana untuk kemenangan jangka panjang, diperlukan strategi meskipun sering kali berakhir dengan kalah atau kompromi. Perang ini bukan perang untuk-dan lewat politik, tapi perang untuk hidup, apapun dan berapapun harganya, karena arena kota adalah hak (ruang) hidup bagi warga (kota) terutama dalam mendapatkan hak pemukiman. Jika melihat praktik-praktik penggusuran yang terjadi, maka di kota ini ruang adalah uang, waktu adalah membangun, identitas adalah perkongsian dan estetika adalah alat monopoli kekuasaan beserta kelas kreatifnya dengan praktik pseudo partisipatif.
Jika kota dan kabupaten kota lainnya di Indonesia ingin melakukan studi banding terkait bagaimana penggusuran humanis itu bekerja, bulan Ramadhan adalah salah satu momen tepat dengan meniru skema buka puasa bersama ini, yang kemudian sekonyong-konyong diklaim sepihak sebagai sosialisasi dan persetujuan warga agar rumah mereka digusur atas nama sebuah pembangunan. Hal ini tentu saja, menjadi salah satu taklid dari klaim Bandung sebagai kota kreatif, yang ditunjukan dalam kreatifitas ketika menggusur (kampung) kota. Warga Jalan Karawang-Kiara Condong dan kampung Tamansari telah merasakan dampak penggusuran itu dan menjalani hidup setelahnya yang dilupakan oleh kebijakan pemerintah, padahal kebijakan juga yg membuatnya dalam kondisi sekarang ini. Kebijakan partisipatif dalam menggusur warga dari ruang hidupnya yang kreatif dalam taklid penggusuran humanisme itu nyata terjadi di Bandung. Sihir desain-arsitektural terbuktik efektif mampu membuat warga (kampung) kota hingga milenial terhipnotis rayuan infrasuktur smart-creative semacam ini, dan warga kota Bandung sudah mengalaminya dibawah rezim beautification cities.