Suatu hari Nawal El Saadawi berjumpa dengan seorang perempuan Inggris yang hendak menulis buku tentang Muslim feminis di Timur Tengah. Nawal El Saadawi menegaskan padanya, “Saya bukan seorang Muslim feminis dan saya tinggal di Mesir, Afrika Utara, bukan di Timur Tengah.” Dua puluh tahun kemudian, keduanya bertemu kembali. Kali ini sang perempuan Inggris sudah memeluk Islam dan memakai jilbab, dan bukunya sudah menjadi best seller. Ia berkata pada Nawal, “Saya percaya dengan kehendak bebas, keberagaman, pluralisme, multikulturalisme… apakah kamu menentang kehendak bebas?” Nawal tertawa dan menjawab, “Ya, dan menentang pasar bebas juga!”
Nawal El Saadawi menceritakan kisah itu dalam tulisan singkatnya, ‘A Postmodern Christian-Muslim Feminist’ di Journal of Middle East Women’s Studies (2010). Kini, sang tokoh yang juga menulis buku Perempuan di Titik Nol itu telah wafat pada bulan Maret, bulan di mana Hari Perempuan Internasional diperingati. Nawal adalah seorang feminis, novelis, pejuang kesetaraan, dan aktivis yang hingga akhir hayatnya tetap berdiri bersama rakyat Mesir saat revolusi Arab Spring. Ia menegaskan bahwa patriarki, tradisi misoginis dan kemiskinan, bukan Islam, adalah sumber dari penindasan perempuan Arab.
Pernyataan Nawal El Saadawi dalam pembuka tulisan ini melingkupi tiga hal penting yang dapat kita sarikan: (1) atribusi atas Muslim feminis (pengakuan diri maupun tidak), (2) lokasi geografis sebagai situs perjuangan dan sikap politik, serta (3) perlawanan terhadap pasar bebas (kapitalisme) yang melekat ketika seseorang hendak memperjuangkan kondisi dan status perempuan dalam masyarakat Islam. Kompleksitas yang dirangkum Nawal dapat kita temui ketika hendak mengkaji tentang berbagai perdebatan dan pemikiran tentang relasi antara feminisme dan Islam.
Hal ini diakui oleh Ruth Roded, seorang peneliti sejarah perempuan di dunia Islam,
“Tidak ada subjek dalam sejarah Islam yang beban ideologisnya lebih berat sebagaimana isu status perempuan. Setiap upaya untuk menampilkan suatu deskripsi dan analisis yang objektif dipenuhi oleh bahaya. Membaca biografi ribuan perempuan, seseorang akan terpukau pada bukti yang bertentangan dengan pandangan bahwa perempuan Muslim itu terpinggir, terkucil, dan terkekang.”[1] (Ruth Roded, Women in Islamic Biographical Collections: From Ibn Sa’ad to Who’s Who)
Tulisan ini berangkat dari kecemasan yang serupa: berbicara tentang relasi feminisme dan Islam tampak seperti rimba belantara yang dipenuhi perdebatan dan pro-kontra dari berbagai aspek seperti teologi, tafsir, sejarah, filsafat hingga antropologi. Istilah tersebut tampak menuntut kita untuk mengambil sikap dari dua aspek yang tampaknya berlawanan (secara epistemologis) dan berbeda secara ontologis, yaitu Islam dan feminisme.
Maksud tulisan ini untuk memetakan secara umum posisi para cendikia di seputar konvergensi dan oposisi antara Islam dan feminisme (selanjutnya disebut feminisme-Islam). Tujuannya adalah mempermudah kita mendudukan problem relasi antara feminisme dan Islam yang telah ditulis oleh beberapa cendikia terutama dari kalangan Muslim. Pemetaan dapat membantu kita melihat kompleksitas tema ini tanpa mereduksi relasi feminisme-Islam ke dalam suatu romantisasi perlawanan maupun problem eksistensial dan kekuasaan atas penafsiran agama.
Tulisan ditutup dengan pertanyaan terkait bagaimana memaknai feminisme-Islam ke dalam aktivisme publik dan menggeser titik perhatian feminisme-Islam dari isu identitas dan interseksional ke isu keadilan sosial. Utamanya, bagaimana feminisme-Islam menyikapi problem mendasar umat dari aspek ekonomi politik di mana perempuan Muslim secara konkret sangat terdampak dari keterlibatan mereka di pasar kerja yang juga kental dengan penindasan, eksploitasi, dan relasi kuasa.
Kontradiksi kolonialisme dan proyek modernisme terhadap kemunculan feminisme
Benturan masyarakat Muslim dengan kolonialisme dan kontradiksi yang dimunculkannya akibat upaya kaum penjajah untuk menundukkan tubuh kaum terjajah (terutama disimbolkan melalui kaum perempuan), telah menumbuhkan perhatian yang sangat besar di kalangan Muslim atas konsep hak dan kekuasaan perempuan di gerbang modernitas. Tak terhindarkan adalah gejolak perdebatan dan advokasi soal hak reproduksi dan seksualitas perempuan, termasuk isu segregasi gender, seklusi ruang perempuan, dan poligami.
Pergolakan ini secara lebih general kemudian ditarik ke tema perempuan dalam Islam dari tinjauan teologi, hukum, politik, dan hak asasi manusia yang melimpah hingga sekarang Pendekatan tubuh perempuan sebagai pertarungan politik dan patriarki ini menampilkan pergulatan peliknya ketika wilayah-wilayah yang mayoritas Muslim berada dalam kolonialisme Eropa. Norma borjuasi sekuler yang dibawa kaum kolonial untuk menaklukkan wilayah jajahan turut memiliki dampak ganda yang paradoksal bagi kesadaran politik perempuan di wilayah jajahan:
Pertama, serangan dari kalangan Barat atas apa yang dianggap mereka sebagai rendahnya status perempuan di wilayah-wilayah Muslim. Secara stereotipikal serangan ini menyoroti pemakaian jilbab, pembatasan ruang gerak perempuan, dan segregrasi gender di ruang publik. Hal ini adalah bentuk strategi penaklukan atas apa yang hendak mereka gantikan ke dalam bentuk norma gender ala modernitas Eropa yang lebih ‘bebas’. Di sisi lain, kebebasan ini bersifat ambigu karena kolonialisme Eropa juga memperkenalkan karakter kapitalisme berupa hirarki, disiplin, kontrol, dan ketertiban dalam reorganisasi relasi sosial di masyarakat di mana perempuan juga menjadi target utama.
Kedua, kolonialisme melahirkan benturan sekaligus interaksi internasional dari para pejuang hak-hak perempuan dan aktivis anti-imperialisme dari negara-negara Barat ke wilayah Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Istilah feminisme di sini muncul sebagai reaksi dari negara-negara jajahan yang dipandang organik dan tumbuh bersama gerakan pembebasan nasional alih-alih semata injeksi dari kaum kolonial borjuasi (lihat misalnya Jayawardena, 2016). Di sini kita melihat interaksi yang lebih dinamis antara para pejuang hak-hak perempuan dan gerakan perempuan lintas kelas dan lintas bangsa di tengah periode perlawanan atas kolonialisme, sebagaimana tertuang dalam karya Qasim Amin bertajuk Liberation of Women yang ditulisnya di akhir abad ke-19.
Di sisi lain dua dampak paradoksal dari sejarah feminisme Eropa dan kolonialisme ini turut mencerminkan ketegangan antara feminisme dan agama. Secara spesifik, ada keengganan atau eksklusi dari feminisme Barat yang memiliki sejarah kritis dengan Kristiani Eropa terhadap agama, khususnya Islam, yang mayoritas umatnya berada di Global South. Agama dianggap patriarkis secara inheren dan manifestasinya terwujud dari pengekangan eksistensi tubuh dan ruang perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Hal ini yang membuat feminisme sebagai metodologi dan agenda politik menjadi problematis bagi banyak kaum Muslim.
Kontradiksi kolonialisme dalam kemunculan feminisme di negara-negara jajahan juga kemudian membawa proyek besar modernisme yang mengusung rasionalitas, kemajuan teknologi, pendidikan, pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi pada bagaimana kaum laki-laki elit mencoba menguasai ruang baru ini. Kaum perempuan, yang banyak di antara mereka bertarung dalam ranah tradisional, turut mencoba mengadopsi dan merebut ruang dari proyek modernitas ini dengan pengetahuan tentang hak-hak perempuan dalam masyarakat modern, yang kemudian dimaknai juga sebagai feminisme.
Definisi feminisme dan kategori pemetaan
Berbagai definisi feminisme telah banyak dituang dan diperdebatkan, terutama di antara kalangan feminis sekuler dan Islam, feminis AS-Eropa (Global North) dan feminis Global South, dan feminis dari spektrum ideologi yang berbeda, termasuk dari para penulis kajian perempuan dan Islam yang tidak berada dalam term ‘feminis’. Pendekatan poskolonial maupun religius tradisional telah memperdebatkan hegemoni dan metanarasi dari istilah feminisme ini. Matriks dan interaksi di antara mereka memperkaya studi gender dan agama, tapi tulisan ini tidak akan fokus ke dalam perdebatan tersebut.
Tulisan ini hendak melakukan penyederhanaan klasifikasi beberapa cendikia Muslim terkemuka dalam pandangan dan atribusinya dengan feminisme; baik sebagai teolog, peneliti gerakan perempuan era modern, maupun peneliti teks-teks dan sejarah perempuan dalam Islam. Klasifikasi ini tidaklah baku dan cenderung bisa saling bersinggungan, namun bisa kita telisik perbedaannya dilihat dari posisi mereka terhadap feminisme dan pendekatan atau metodologi yang mereka gunakan.
Problem lain juga adalah term ‘feminis Islam’ atau ‘Muslim feminis’ sering dinisbatkan kepada para cendikia perempuan Muslim yang dianggap karya-karyanya mengusung emansipasi dan agensi perempuan dalam masyarakat Islam sehingga istilah feminis Islam menjadi generalisasi dalam tipologi feminisme. Misalnya, beberapa cendikia seperti Asma Barlas dan Amina Wadud menolak diatribusikan sebagai Muslim feminis karena implikasi praktisnya, tapi mereka tetap tidak menolak feminisme itu sendiri dan mengakui pentingnya strategi dan metodologi tersebut (Barlas 2019, Wadud 2008).
Hal lainnya adalah mereka yang bisa dianggap sebagai feminis sekuler. Qasim Amin, Nawal El Saadawi, dan Haideh Moghissi, misalnya, tumbuh dalam tradisi masyarakat Islam namun tidak dimasukkan ke dalam kategori spektrum konvergensi feminisme-Islam di artikel ini. Meski mereka melakukan kajian dan kritik atas perempuan di masyarakat Islam, mereka tidak berargumen menggunakan perspektif, paradigma, dan teks-teks keislaman. Qasim Amin dan Nawal El Saadawi menyatakan Islam bukanlah sumber penindasan perempuan, namun menggali argumen mereka dengan narasi kultural, sosial dan politik, sementara Haideh Moghissi cenderung melihat Islam sebagai agama yang patriarki sehingga problematis untuk bicara soal feminisme-Islam.
Rujukan penting tentang argumen keislaman dari Nawal El Saadawi ada dalam artikel ‘Woman and Islam’ di Women’s Studies International Forum (1982) melalui tinjauan sejarah sekaligus aspek-aspek di dalam al-Qur’an yang kontekstual dan adil dalam memandang perempuan. Namun, keseluruhan, karya mereka berada dalam spektrum feminis sekuler yang karakternya di luar dari keempat kategori ini (lihat diagram matriks di bawah untuk penjelasannya), meski aktivisme mereka bersentuhan dengan feminisme-Islam.
Qasim Amin adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah gerakan hak-hak perempuan di dunia Muslim dan disebut sebagai feminis Arab pertama. Ia menuliskan otokritik atas kondisi masyarakat jajahan dan perlawanan terhadap imperialisme. Dengan fokus ke Mesir, Amin menitikberatkan pendidikan untuk perbaikan status perempuan. Ia menyerukan reformasi terhadap praktik pemakaian jilbab, pembatasan ruang gerak perempuan, pernikahan paksa dan poligami melalui argumen keislaman.
Karya Amin Liberation of Women ditulis di era ketika perjuangan melawan imperialisme bergaung di berbagai belahan dunia. Ia menandaskan bahwa syariah Islam telah memberikan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki, pembebasan dan emansipasi bagi perempuan mendahului sistem hukum lainnya. Namun, ia mengritik keras tradisi dan kekuasaan despotik serta kejumudan para ulama di Mesir yang berimplikasi pada melemahnya status perempuan. Meski begitu, tulisannya sendiri tidak menitikberatkan pada teks-teks keislaman, dan argumen keislaman yang ia pakai lebih banyak untuk mendukung agenda reformasi di masyarakat yang lebih kental dengan konteks pembebasan nasional dan modernisasi pada jamannya.
Guna memudahkan posisi pemetaan, tulisan ini menggunakan definisi yang lebih luas dan cair untuk feminisme. Dalam menyajikan kisah-kisah para feminis, Abu-Lughod dalam buku Remaking Women: Feminism and Modernity in the Middle East (1998) memaknai feminisme secara inklusif, tak hanya gerakan perempuan yang terorganisir saja. Namun juga:
Jangkauan luas dari upaya yang memiliki tujuan eksplisit atau fondasi yang diperlukan untuk membentuk ulang perempuan […] baik diinisiasi oleh laki-laki maupun perempuan dan diekspresikan dalam upaya praktis (seperti membangun sekolah) atau dalam perdebatan dan seruan aksi […]. Feminisme selalu muncul dalam konteks sejarah dan sosial yang partikular. (Abu-Lughod, 1998: 23)
Abu-Lughod melakukan interogasi kritis terhadap feminisme yang sejarahnya memiliki geneaologi Eropa, dan mengamati bahwa karya-karya tentang sejarah dan antropologi perempuan di Timur Tengah justru menantang stereotip tentang patriarki, Islam, dan penindasan. Ia menekankan inklusivitas feminisme sebagai respon atas bagaimana “kaum perempuan sendiri aktif berpartisipasi dalam perdebatan dan perjuangan sosial, bersama feminisme yang kadang didefinisikan dengan cara-cara berbeda, sekarang telah menjadi istilah rujukan yang tak terhindarkan” dan segala yang terasosiasi dengan Barat memiliki dampak luas dan dinamika yang menancap pada politik gender kontemporer (Ibid., 3).
Interaksi yang fleksibel ini juga disimpulkan oleh penelitian Rachel Rinaldo dalam Mobilizing Piety: Islam and Feminism in Indonesia (2013) yang melihat agensi keislaman dan feminisme di Indonesia telah memfasilitasi berbagai bentuk aktivisme untuk mengusung hak-hak perempuan, perbaikan moral masyarakat, keadilan sosial ekonomi, hingga peran Islam yang lebih besar dalam aspek kenegaraan.
Saya membagi pemetaan ini ke dalam empat kategori umum, yaitu:
1. Feminisme Islam: mereka yang menggunakan istilah feminisme secara eksplisit maupun implisit untuk menjelaskan ruang kritik, posisi metodologis, analitis, dan konseptual ketika mengkaji perempuan dalam Islam, misalnya Fatema Mernissi, Riffat Hassan, Margot Badran, Kecia Ali, Leila Ahmed, dan Lila Abu-Lughod.
2. Feminisme dalam Islam: mereka yang beranggapan bahwa feminisme dapat disematkan ke dalam kajian terkait perempuan dalam Islam, tetapi mengambil jarak kritis untuk menegosiasikan feminisme dalam relasinya dengan Islam. Meski tidak menyebut diri feminis Islam, sebagian dari mereka tetap dikenal sebagai ‘feminis Islam’ dan mengakui istilah ini sebagai bentuk strategi yang tetap bisa digunakan. Cendikia dari kategori ini adalah Asma Barlas, Amina Wadud dengan jihad gender, dan Fatema Seedat.
3. Feminisme dan Islam: mereka yang mengambil posisi berjarak dengan istilah feminisme dan mengambil sikap yang lebih berhati-hati tetapi tidak menolak konvergensi di antara keduanya. Mereka cenderung memilih pendekatan atau istilah lain untuk mengkaji perempuan dalam Islam. Diantaranya adalah Saba Mahmood yang menggunakan istilah docile agency (agensi kepatuhan), Eka Srimulyani dengan istilah ‘cultural broker’ atas peran perempuan memediasi feminisme dengan konteks lokal, Masooda Bano yang meneliti gerakan perempuan Muslim untuk demokratisasi pengetahuan Islam dan melampaui kerangka agensi kepatuhan, dan Lara Deeb dengan konsep jihad gendernya (berbeda dengan yang didefinisikan Amina Wadud).
4. Islam tanpa feminisme: mereka yang sepakat dengan pemisahan antara Islam dan feminisme, menganggap bahwa kedua entitas ini berbeda atau berseberangan dan tidak butuh konvergensi. Tiga contoh cendikia dalam kategori ini adalah Aisha Abdal Rahman yang menulis tafsir al-Qur’an modern menolak disebut feminis, Mohammad Akram Nadwi yang mengompilasi biografi 8.000 ulama perempuan Muslim menolak feminisme dalam Islam, dan Celene Ibrahim yang menghindari istilah feminis dengan memilih pendekatan yang ia sebut ‘female-centric’ atau ‘teologi muslimah’ ketika mengkaji perempuan dan al-Qur’an (meski ia tidak mengritik feminisme).
Dalam pemetaan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan:
Pertama, beberapa cendikia Muslim perempuan tidak menyebut dirinya sebagai feminis Islam (atau Muslim feminis), namun sering dikategorikan ke dalamnya karena upaya mereka dalam menegaskan agensi otonom perempuan yang menantang dominasi otoritas laki-laki dalam kuasa interpretasi dan praktik agama. Artinya, relasi ‘feminisme’ dengan Islam merupakan kontestasi tersendiri karena genealogi, kesejarahan, filsafat, dan praksis yang menyertainya. Bagi beberapa pihak, konvergensi tersebut menjadi pilihan yang tidak strategis, namun bagi lainnya, konvergensi tersebut bisa diadopsi dan bahkan diperlukan. Saya mengapresiasi pernyataan mereka yang secara eksplisit menolak disebut bagian dari ‘feminisme Islam’ sehingga saya memasukkannya ke dalam kategori ‘feminisme dan (atau) dalam Islam’.
Kedua, perdebatan maupun kritik antara cendikia ini tidak hanya terjadi lintas kategori, misalnya yang sudah jelas antara mereka dalam kategori ‘feminisme Islam’ dengan ‘feminisme dan Islam’, melainkan juga di dalam satu kategori. Misalnya, meski dipuji banyak kalangan sebagai feminis Arab pertama, Qasim Amin dikritik keras oleh Leila Ahmad (1992) sebagai sosok yang cenderung patriarkis dan dukungannya terhadap pembebasan perempuan menurut Ahmed lebih berbau nasionalisme sekaligus pemujaan terhadap superioritas kolonial. Contoh lain adalah Aysha Hidayatullah dan Amina Wadud yang saling mengritik atas buku masing-masing dan polemik mereka dipublikasikan di Journal of Feminist Studies in Religion.
Ketiga, ini adalah pemetaan awal yang umum dan hanya mengambil beberapa contoh dari cendikia di dalam kajian feminisme-Islam sehingga tidak berpretensi untuk menyediakan kajian komparasi, tinjauan mendalam atau kategori yang komprehensif. Selain mereka yang secara tegas berada dalam posisi Islam tanpa feminisme, pemetaan ini tidak hendak menggambarkan pemisahan yang ajeg atau kategori yang definitif, mengingat bahwa karya-karya mereka juga saling berinteraksi dan mencari titik pijak dalam konstelasi perdebatan feminisme (dan) Islam.
Tabel matriks di bawah ini memberi garis besar tema dan pendekatan dari keempat kategori yang dimaksud.
1. Feminisme Islam
“Banyak aktivis dan advokat hak-hak perempuan di konteks Muslim, sejalan dengan feminisme arus utama, telah lama menganggap bekerja di dalam kerangka agama sebagai hal yang kontraproduktif; mereka ingin bekerja hanya dalam kerangka hak asasi manusia dan menolak segala argumen berbasis agama. Namun, mereka sering mengabaikan bagaimana warisan epistemologis feminisme bisa digunakan. Kami menguji bagaimana kita tahu apa yang kita tahu tentang perempuan di semua cabang pengetahuan, termasuk pengetahuan agama. Ini bukan saja memberi petunjuk tentang hukum dan praktik yang disahkan atas nama agama tapi juga memampukan suatu tantangan, dari dalam, atas patriarki yang terlembagakan dalam tradisi hukum Muslim.” – Gerakan Musawah, 2012
Feminisme sebagai epistemologi, metodologi dan metode dapat dikonvergensikan ke dalam studi kritis terhadap tafsiran agama, dan para cendikia dan aktivis perempuan Muslim yang menggunakan pendekatan ini menunjukkan bahwa feminisme Islam tak hanya memungkinkan, tapi merupakan strategi dan alat yang penting untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan dalam konteks masyarakat dan hukum Islam. Margot Badran (2009) bahkan menegaskan lebih jauh bahwa feminisme radikal dalam masyarakat Muslim abad ke-21 adalah ‘feminisme Islam’, sebagai ruang tengah secara konseptual dan politis dari spektrum feminisme sekuler dan Islamisme para maskulinis (Badran, 2009: 219).
Feminisme Islam dapat didefinisikan sebagai suatu “diskursus dan praktik feminis yang diartikulasikan di dalam paradigma Islam” (Ibid., 242). Secara luas ini dipahami sebagai upaya untuk mempraktikkan kekuasaan di atas produksi pengetahuan dan pemaknaan di dalam Islam, serta bentuk merekonsiliasi agama dengan konsep agensi yang melihat agensi dan otonomi sebagai bentuk tantangan pada kekuasaan, baik melalui negosiasi maupun subversi atas praktik hegemoni (Salem 2013). Mereka yang secara eksplisit maupun implisit disematkan sebagai Muslim feminis atau mengusung feminisme Islam secara garis besar menggunakan metode interpretasi hermeneutika dan penggalian sejarah atas kemunculan dan kontestasi dari teks dan konteks keislaman yang selama ini dianggap baku dan tidak merepresentasikan perspektif dan pengalaman aktif perempuan dalam berislam.
Perempuan Muslim yang dianggap membangun fondasi pada perkembangan femnisme Islam adalah Fatema Mernissi. Karya klasiknya diterbitkan di Amerika Serikat berjudul The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights, dengan edisi penerbit Inggris berjudul Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry pertama kali tahun 1991. Mernissi menggunakan metode penelusuran sejarah untuk menginterogasi serangkaian hadits yang dianggap misoginis dan mendapatkan berbagai temuan penting tentang dominasi elit laki-laki dan bias maskulin yang mempengaruhi kemunculan dan preferensi atas hadits-hadits tersebut, khususnya yang dianggap palsu.
Melalui fondasi yang sudah dibangun oleh Mernissi, Margot Badran memberi penekanan pada istilah feminisme Islam melalui karyanya, Feminism in Islam: Secular and Religious Convergence (2009). Dalam bab ‘Toward Islamic Feminisms’, ia mengadvokasi feminisme Islam dengan empat argumen yang bersifat praktis dan politis. Keempatnya adalah meningkatnya akses perempuan terhadap pengetahuan dan bacaan progresif tentang Islam, feminisme Islam sebagai strategi bahasa yang mampu menyatukan perjuangan perempuan Muslim, feminisme Islam sebagai identitas bersama bagi perempuan Muslim yang mempraktikkan Islam sekaligus ingin merangkul feminisme, dan adanya ruang yang inklusif bagi feminisme akibat desentralisasi feminisme melalui revolusi media dan teknologi (Badran, 2009: 219).
Baginya, meski feminisme Islam telah menimbulkan pertentangan dan perdebatan panjang, ada semacam konsensus atas istilah ‘feminis Islam’ di tahun 1990-an yang muncul di Timur Tengah. Dalam perjalanannya aktivisme gender yang progresif dari kaum perempuan di spektrum feminis-Islamis telah meleburkan batasan antara feminisme dan aktivisme gender progresif di kalangan Muslim.
Kelompok yang masuk ke dalam kategori feminisme Islam adalah gerakan Musawah dan NGO Sisters In Islam di Malaysia, di mana Amina Wadud adalah salah satu pendirinya. Meski Wadud menghindari menyebut dirinya feminis Islam, kedua kelompok tersebut menyatakan feminisme sebagai bagian dari pendekatan mereka atas tradisi jurisprudensi Islam. Rashidah Shuib (2017) yang juga akademisi-aktivis di Sisters in Islam menyebut organisasi mereka didorong oleh pengetahuan feminis yang menyokong gerakan perempuan dengan strategi gerakan sosial, aktivisme politik dan ekspresi intelektual. Mereka mengusung kesetaraan dan keadilan dalam keluarga Muslim dengan menggunakan kerangka holistik dengan mengembangkan pengetahuan feminis secara epistemologis dan metodologi yang berpijak pada tradisi Muslim secara kritis. Menurut mereka, konsep qiwamah dan wilayah dalam al-Qur’an merupakan inti dari problem penafsiran hukum Islam yang patriarkis.
Kecia Ali, yang menganggap dirinya juga berguru pada Amina Wadud, menggunakan metode penelusuran sejarah sambil tetap mengakui keterbatasan reinterpretasi oleh feminis Islam. Dalam Sexual Ethics and Islam: Feminist Reflections on Qur’an, Hadith and Jurisprudence (2006), Ali mewanti-wanti pentingnya untuk mempertimbangkan perbedaan asumsi yang melandasi para penulis di jaman klasik dari jaman kontemporer ketika kita bergelut dengan teks-teks penulis Muslim di masa lalu. Teks dan dalil Islam tidak malu-malu dalam penuturan soal seksualitas dan jika dibaca dan diterapkan sewenang-wenang melalui kaca mata modern akan terkesan misoginis dan diskriminatif terhadap perempuan. Menurutnya, para feminis Muslim telah menjadi bagian dari tradisi intelektual Islam dan telah memulai untuk mendorong batasan-batasan tentang reinterpretasi agama.
2. Feminisme dalam Islam
“Jika kita ingin meyakinkan perempuan Muslim akan hak-hak mereka, kita tak hanya perlu menantang pembacaan Qur’an yang membenarkan perlakuan sewenang-wenang dan degradasi kaum perempuan: kita juga perlu membangun legitimasi atas pembacaan yang membebaskan.” – Asma Barlas, 2019
Pernyataan Barlas di atas memberi argumen atas pentingnya menggunakan metode feminis untuk memberi ruang dalam penafsiran Qur’an yang lebih emansipatif terhadap kaum perempuan. Meski bisa disebut sebagai bagian dari feminisme Islam, Barlas menolak atribusi itu. Kategori ‘feminisme dalam Islam’ dirangkum ke dalam penjelasan dari Fatema Seedat, yaitu mereka yang menjaga jarak kritis antara feminisme dan perspektif keislaman sebagai paradigma intelektual karena pengakuan atas kajian perempuan dan Islam oleh perempuan Muslim yang sudah ada sebelum kemunculan diskursus feminisme (Seedat, 2013).
Karya klasik Asma Barlas, Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an pertama kali diterbitkan tahun 2002 dan menjadi rujukan untuk banyak advokasi hak-hak perempuan dalam Islam di dunia akademik. Ia menggunakan metode yang ia sebut sebagai hermeneutika al-Qur’an untuk menggali hubungan antara pembacaan atas teks dan persepsi serta perlakuan kita terhadap perempuan, sehingga ia melihat ada relasinya dengan pembebasan perempuan. Al-Qur’an mengakui laki-laki sebagai pusat kekuasaan dan otoritas bukan untuk mengadvokasi posisi mereka, melainkan atas kultur patriarki yang pada saat itu kental di wilayah Arab abad ke-7. Memposisikan dan mengkontekstualisasikan Qur’an penting tapi mengakui aspek universalitasnya juga penting.
Dari kajiannya tentang pembacaan kaum Muslim yang patriarkis dan timpang gender atas al-Qur’an, Barlas menegaskan perlunya umat Muslim mempelajari relasi antara hermeneutika dengan sejarah serta pengetahuan yang dimiliki dan metode yang digunakan. Untuk melakukan tafsiran yang tidak patriarkis ia merujuk ke ontologi ketuhanan yang berpusat pada dua aspek, konsep tauhid dan sifat Allah SWT yang tidak zalim. Konsep tauhid – esa, adil, netral-gender – dan tidak zalim ini penting untuk membongkar konsep patriarki karena keutamaan doktrin dan sifat-Nya tersebut meruntuhkan legitimasi atas misogini dan berbagai nilai ketidakadilan.
Selain Barlas, Amina Wadud melakukan pendekatan yang radikal dengan melakukan penafsiran al-Quran tanpa merujuk kepada referensi para ulama atau penafsir sebelumnya. Ia mengusung apa yang disebut sebagai perspektif perempuan yang inklusif dengan mengadopsi metodologi Fazlur Rahman. Dalam karyanya Qur’an and Woman, Wadud menggunakan model hermeneutika ke dalam tiga aspek: pertama, konteks di mana teks ditulis atau wahyu diturunkan, kedua, komposisi tata bahasa yaitu bagaimana dan apa yang diwahyukan, dan ketiga, teks secara makna yang lebih universal.
Amina Wadud menggunakan apa yang disebut Shadaab Rahemtulla (2017) sebagai metode hermeneutika praksis dalam kerangka teologi pembebasan, yang menjadikan pengalaman hidupnya bersentuhan dengan rasisme dan kemiskinan di Amerika Serikat turut membentuk pembacaannya terhadap Qur’an. Dalam karyanya Inside the Gender Jihad (2008), Wadud mengajukan pembacaan al-Qur’an dari pengalaman perempuan dan tanpa stereotip dari penafsiran kaum laki-laki. Ia menolak menyatakan diri sebagai Muslim feminis maupun progresif, melainkan seorang perempuan Muslim pro-feminis.
Sebagai figur yang dianggap kontroversial, pernyataan tersebut adalah upayanya untuk menarik garis halus antara ekspresi keimanan Islamnya dengan kelompok Muslim lain dari kalangan progresif maupun neokonservatif yang menyerangnya secara personal atas pemikirannya. Ia juga mengambil jarak dengan feminisme sekuler Barat yang mendominasi paradigma kajian gender, meski dengan pengakuan akan pengaruh feminisme ini pada perempuan di dunia Islam. Baginya, perempuan harus terlibat dalam pengembangan dan reformasi politik kaum Muslim terutama di ranah syariah, dan itulah yang membuatnya aktif di berbagai negara, khususnya afiliasinya dengan Musawah dan Sisters in Islam di Malaysia yang mengusung reformasi syariah Islam khususnya dalam hukum keluarga.
3. Feminisme dan Islam
“Tujuan pembebasan dari feminisme harus dipikirkan ulang dengan melihat fakta bahwa hasrat untuk kemerdekaan dan pembebasan adalah hasrat yang dibentuk secara historis, yang dorongan motivasinya tidak bisa diasumsikan secara apriori, namun harus dipertimbangkan ulang dengan melihat hasrat, aspirasi, dan kapasitas lainnya yang ada dalam subjek yang dilokasikan secara budaya dan sejarah.” – Saba Mahmood, 2001
Kutipan dari Saba Mahmood di atas merefleksikan kategori ketiga. Kategori ini mencakup cendikia yang karya-karyanya mengambil jarak dengan feminisme namun melakukan berbagai upaya untuk mengritik patriarki, memaknai ulang agensi perempuan dalam Islam dengan konsep yang lebih mengakomodir aspek feminin perempuan yang spesifik secara sosial, politik, dan budaya ketimbang kategori ‘feminisme’ itu sendiri. Meski begitu, mereka tidak menghindari atau menolak berbagai kemungkinan konvergensi dengan feminisme.
Perjuangan untuk bergerumul dengan isu perempuan dalam Islam tidaklah hanya menitikberatkan aspek reproduksi biologis, seksualitas, dan tubuh saja (beserta pengaruh timbal balik dari formalisasinya dan internalisasi budaya). Kompleksitas elemen ‘gerakan’ dan kajian perempuan dalam Islam yang menitikberatkan pada transformasi moral, etnis, dan kesalehan bisa memiliki nilai politik signifikan meski bagi kalangan akademisi Barat secara analitis dianggap tidak memiliki kesadaran feminis atau formal. Oleh karena itu, Saba Mahmood menolak pemisahan antara agensi politik dalam suatu gerakan dengan agensi etisnya.
Saba Mahmood tumbuh sebagai seorang sosialis di Pakistan dan kemudian melakukan riset etnografis tentang gerakan Islam yang dimotori kaum perempuan di masjid-mesjid di Mesir. Ia menyimpulkan bahwa asumsi gerakan perempuan Islam di dalam kelompok pengajian sebagai kelompok pasif dan submisif terhadap patriarki sebagaimana umumnya anggapan feminis sekuler Barat adalah keliru. Dengan memperkenalkan konsep agensi kepatuhan (docile agency) ia menggabungkan dua istilah yang dianggap berlawanan – patuh dan agensi. Berangkat dari konsepsi kekuasaan dan formasi subjek yang ia gali dari Foucault dan Butler, ia berargumen bahwa “agensi tidak secara sederhana merupakan sinonim dari perlawanan atas relasi dominasi, tapi suatu kapasitas untuk bertindak di mana relasi spesifik dari bentuk subordinasi diciptakan dan dimampukan.” (Mahmood, 2001: 210).
Konsep ini menantang anggapan bahwa agensi perempuan harus berbentuk sesuatu yang secara umum dianggap lebih ‘maskulin’ seperti aksi massa, konfrontasi, atau retorika publik, maupun menggugat otoritas laki-laki dalam aspek keagamaan. Agensi kesalehan dilihat dari bagaimana para perempuan bergerumul dalam politik keseharian untuk menjadi saleh secara personal dan sosial. Hal ini memiliki implikasi politis sebagaimana studinya yang tertuang dalam karya Politics of Piety (2005) yang juga diartikan sebagai ‘politik kesalehan’.
Eka Srimulyani menggunakan kerangka analitis yang dipakai Saba Mahmood dan menemukan fenomena yang serupa ketika ia meneliti agensi perempuan di pesantren (dayah) di Aceh. Namun, ia berargumen bahwa karakter perempuan dayah tidak bisa disederhanakan sebagai submisif atau patuh (docile) melainkan lebih kontekstual dan dinamis sebagai broker kultural (cultural broker). Ia menemui beberapa tokoh perempuan dayah yang punya peran sosial dan keagamaan di publik, namun tetap kritis ketika terlibat di berbagai program tentang gender dari donor-donor asing yang melimpah pascakonflik di Aceh.
Beberapa di antara mereka memutuskan untuk tidak terlibat lebih jauh lagi dengan kegiatan NGO maupun aktivitas politik elektoral dan kembali fokus mengajar di dayah atau tetap berkecimpung di tarekat. Agensi perempuan Muslim di lingkup yang konservatif seperti pesantren atau kelompok pengajian menunjukkan kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan wacana feminisme dan gender melalui bentuk ‘cultural broker’. Ini bisa diartikan sebagai cara mereka memediasi feminisme ke dalam bentuk yang lebih adaptif dengan nilai dan praktik lokal yang islami tapi juga kadang mempertanyakan dan memperdebatkannya (Srimulyani, 2014).
Berbeda dari Srimulyani dan merespon docile agency yang diusung Mahmood, Lara Deeb (2006) memilih bergeser dari penekanan politik etis dengan menggunakan istilah jihad gender (yang juga berbeda dengan konsep jihad gender Amina Wadud). Deeb meneliti satu jamaah perempuan syiah di Lebanon yang kurang lebih memiliki karakter konservatif yang serupa dengan kelompok perempuan yang diteliti Mahmood dan Srimulyani. Temuannya menunjukkan para perempuan tersebut mempraktikkan politik kesalehan melalui strategi kerja-kerja sosial sebagai bentuk jihad di ruang publik.
Jihad di sini didefinisikan sebagai perjuangan fisik, mental dan intelektual dalam beribadah sekaligus melakukan kritik implisit terhadap patriarki dalam interaksi mereka dengan kaum laki-laki. Konsep jihad gender diwujudkan melalui peran penting mereka dalam partisipasi publik untuk kesalehan individu sekaligus perbaikan komunitas secara keseluruhan. Mereka menantang patriarki dengan cara bekerja secara organisasional dan demokratis.
Cendikia yang juga dipengaruhi oleh Mahmood adalah Masooda Bano. Melalui risetnya terhadap gerakan pendidikan perempuan di Nigeria, Suriah, dan Pakistan, Bano (2017) membangun paradigma risetnya dari perspektif Mahmood namun analisisnya juga mengritik politics of piety. Temuan riset Bano menunjukkan bahwa fenomena para perempuan terpelajar yang aktif mengkaji teks-teks keislaman di lembaga pendidikan tidaklah atas misi feminisme atau untuk melakukan subversi atas praktik patriarki dalam tradisi Islam ortodoks. Sebaliknya, kaum perempuan tersebut justru mendukung ortodoksi Islam sembari tetap menjadi modern dan kritis terhadap modernitas itu sendiri.
4. Islam tanpa feminisme
“[…] Pemikiran etika di Barat, baik yang klasik dan kritik feminis terhadapnya, maupun hasil konstruksi kalangan feminis sendiri, berangkat dari tradisi spekulatif yang menolak wahyu. Akal dalam Islam tidak dimaknai sebatas rasio atau logika sebagaimana pemikiran Barat namun juga berdimensi spiritual dan merupakan satu kesatuan dengan qalb dan ruh serta nafs. Karena akal berdimensi spiritual, maka perempuan dalam Islam tidak dianggap sebagai agen moral yang lebih rendah dari laki-laki, karena orang paling bermoral adalah orang yang paling bertakwa, dan kapasitas perempuan sama dengan laki-laki untuk mengejar derajat takwa.” – INSISTS (2019) –
Secara garis besar, para cendikia Muslim yang beranggapan feminisme tidak kompatibel dengan Islam adalah mereka yang mengusung perspektif neotradisional dan menolak metanarasi feminisme. Mereka berpegang pada rantai tradisi perawi teks-teks pokok keislaman yang tidak terpisah, yaitu Qur’an, hadits, fikih dari ulama empat mazhab besar Sunni (atau mazhab syiah) dan kesepakatan para ulama. Prinsipnya adalah keutamaan dan kekuatan Islam berada pada nilai pewahyuan dan tradisi ilmiah yang menjaga otentitas ajaran Islam, dan peran perempuan secara inheren signifikan dan menyatu di dalam proses transmisi dan pewarisan ini, termasuk juga keterlibatan mereka di ruang publik selama 14 abad jauh sebelum geneaologi feminisme muncul di Eropa.
Aisha Abdal Rahman (1933-1988)—dikenal juga dengan nama samaran Binti al-Shati’—adalah penafsir perempuan modern satu-satunya yang dianggap otoritatif. Namun, ia menolak disebut feminis dan metode yang ia digunakan tidak memberi preseden sebagai ‘tafsiran feminis’ yang mencoba menggunakan perspektif perempuan atau menginterogasi nilai patriarki dalam karya-karya penafsir laki-laki sebelumnya. Ia menandaskan kualifikasi umum bahwa seorang penafsir Qur’an harus seorang spesialis yang menguasai ilmu bahasa Arab, ilmu hadits, teologi, hukum, bid’ah dan sejarah Islam.
Metode yang diperkenalkan Aisha Abdal Rahman ketat pada aspek bahasa, kronologi, dan kejadian eksternal saat turunnya wahyu, termasuk dengan melakukan survei deduktif. Ia tidak melebarkan kajiannya ke aspek konteks sejarah dari sebab musabab wahyu diturunkan untuk memaknai nilai universal Qur’an, dan hasil tafsirannya memiliki pengaruh signifikan di dalam studi teologi (Boullata, 1974).
Pengkaji perempuan dalam Qur’an yang memilih pendekatan ‘feminin’ dan bukan feminis dilakukan baru-baru ini oleh Celene Ibrahim. Dalam ‘Women and Gender in the Qur’an’ (2020), Celene Ibrahim memilih istilah ‘female-centric’ ketimbang ‘feminis’ untuk menghindari sejarah perdebatan yang akan mempengaruhi konsepsi pembaca atas karyanya. Ia menyematkan istilah ‘teologi muslimah’ dalam metodenya untuk memahami elemen struktural dari komposisi surah dan kisah-kisah perempuan di al-Qur’an yang menurutnya secara keseluruhan berisi “penggambaran yang lebih apresiatif terhadap tokoh-tokoh perempuan ketimbang yang negatif” (Ibid., 139).
Ia menggunakan metode filologi yang berbeda dari hermeneutika, yaitu menelisik tema dan dimensi struktural dari narasi al-Qur’an tentang perempuan. Menurutnya, tuntutan perempuan atas keadilan dan akuntabilitas merupakan latar bagi model sosial dan pernyataan dalam Qur’an yang turut memaknai tumbuh pesatnya pemerintahan sipil di masa-masa awal Islam.
Sejarah Islam klasik sering dianggap membangun suatu sistem dan struktur yang membatasi ruang gerak fisik dan intelektual perempuan di ruang publik akibat hegemoni kaum laki-laki dari kalangan elit Sunni tradisional, seperti yang dilakukan oleh Leila Ahmed dan Fatema Mernissi secara terpisah. Namun, studi tentang peran perempuan dalam pendidikan Islam di abad ke-7 hingga 10 M yang dilakukan Asma Sayeed (2013) membantah analisis Ahmed dan Mernissi. Berbeda dengan mereka, di bukunya bertajuk Women and the Transmission of Religious Knowledge in Islam, Sayeed justru menunjukkan bahwa kalangan Islam Sunni tradisional berhasil memobilisasi banyak kaum perempuan di abad ke-10 dan melibatkan mereka ke dalam ranah publik untuk studi dan periwayatan hadits.
Sejalan dengan temuan Sayeed, Mohammad Akram Nadwi menyatakan feminisme tidak diperlukan, dan perempuan tidak harus mengejar ‘kekuasaan’ melainkan otoritas dalam bentuk pengetahuan dan kesalehan. Cara pandang melihat status dan peran perempuan yang partikular di dalam peradaban Islam ia himpun dalam risetnya yang mencatat ada sekitar 8.000 perempuan Muslim cendikia yang ahli hadits dan mengajar agama ke para calon ulama laki-laki di berbagai universitas saat masa kejayaan Islam (Nadwi, 2007).
Di Indonesia kontemporer, penolakan terhadap feminisme ini belakangan terlihat jelas dari kontroversi RUU PKS dan perdebatan soal wacana pemberdayaan perempuan dan konsep ketahanan keluarga. INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization) dan AILA (Aliansi Cinta Keluarga Indonesia) misalnya, termasuk yang paling menonjol dalam penentangan konvergensi antara feminisme dan Islam serta bagaimana sikap ini meruncing di perdebatan dalam RUU PKS yang definisinya dianggap terpisah dari norma moral dan agama.
Mereka memandang feminisme sebagai aliran yang kesejarahannya partikular dan melekat pada penjajahan perempuan di Barat. Feminisme dianggap mengusung pengalaman kebertubuhan dan otonomi perempuan sambil kritis terhadap supremasi laki-laki sehingga menimbullkan dilema moralitas bagi kaum Muslim. INSISTS juga menolak metode hermeneutika dalam penafsiran al-Quran, berseberangan dengan gerbong ‘progresif’ seperti Farid Esack dan Amina Wadud yang menggunakan hermeneutika untuk melingkupi tafsiran dari pengalaman kaum tertindas dan (atau) perempuan.
Bisa dipahami bahwa pendekatan feminisme yang berpusat pada perempuan sebagai sumber inti dari consent atas tubuhnya merupakan representasi individualisme dari paradigma liberal Eropa, yang jika dilihat secara historis menimbulkan problem dalam masyarakat Islam yang memiliki kesejarahan berbeda. Feminisme Barat menekankan agensi perempuan untuk memilih bagi dirinya dan membebaskan dirinya sendiri, atau disebut juga konsep agensi, dan perempuan beragama dianggap masih terkungkung dalam patriarki dan menjadi aktor pasif.
Penutup: Jukstaposisi Feminisme-Islam dan tantangan konkret perempuan
Dari empat kategori di atas, kita melihat bahwa feminisme sebagai filsafat, metodologi, dan gerakan juga ditantang, diperdebatkan, sekaligus diadopsi secara kritis dalam berbagai manifestasinya untuk memperluas dan memperkaya kajian tentang perempuan dan Islam. Di sini, agensi perempuan Muslim itu sendiri memainkan peran sentral untuk melakukan kritik, otokritik, dan merumuskan bentuk aktivisme mereka yang berdampak secara sosial dan politik.
Hak atas reproduksi dan relasi gender bagi perempuan telah lama menjadi titik perhatian kajian dan gerakan feminisme-Islam, yang sejauh ini memang banyak bertarung di tingkat teologi, tafsiran, legal (fikih), dan hak asasi manusia. Seperti pemetaan di atas, tema, isu, dan problem yang diusung dalam konteks relasi perempuan dan Islam cenderung berupa analisis hermeneutika atas teks-teks dasar Islam serta hak dalam lingkup domestik atau di ruang publik yang bersifat personal, semisal keadilan dalam seksualitas, penentangan poligami, hak perceraian, kesempatan pendidikan, partisipasi politik, ekspresi kesalehan hingga aspek seperti menjadi imam atau penafsir teks-teks inti keislaman.
Aspek-aspek seperti ini lebih kental dengan penegasan soal identitas keislaman seorang Muslim. Trayektori sejarah seperti kolonialisme Eropa, terorisme, dan diskriminasi yang dialami masyarakat Muslim telah melahirkan banyak perlawanan dan gerakan perempuan, namun belum muncul arus kajian feminisme-Islam yang fokus pada aspek keadilan sosial sebagai wujud spiritualitas dan melampaui problem relasi di ruang domestik, identitas, dan ‘interseksional’.
Para cendikia advokat hak-hak perempuan Muslim banyak menggunakan amunisi konseptual mereka untuk merespon, langsung atau tidak, interpretasi dari produksi pengetahuan keislaman dan feminisme Barat yang sama-sama menitikberatkan perempuan sebagai unit individu yang didominasi tubuh dan ruang geraknya oleh kaum laki-laki. Alhasil, banyak dari kajian perempuan dalam Islam secara paralel berada dalam jukstaposisi dengan feminisme liberal/sekuler namun dengan sisi yang berbeda: keduanya sama-sama hendak menantang patriarki dan menuntut hak yang selama ini didominasi oleh laki-laki untuk menafsirkan teks (pengetahuan tertulis bagi feminis sekuler dan teks-teks keagamaan bagi feminis-Islam), konteks (alokasi yang lebih imbang gender untuk menjadi pemimpin ranah publik bagi feminis sekuler, termasuk hak menjadi pemimpin agama bagi feminis-Islam) dan eksistensi (hak atas otonomi tubuh dan consent bagi feminis sekuler dan hak atas kesehatan reproduksi dan perlakuan seksual yang adil bagi feminis-Islam).
Kecenderungan ini justru riskan memberi kesan bahwa perempuan Muslim yang mengikuti tradisi ortodoksi keislaman adalah kaum yang sadar atau pun tidak sadar berada dalam subordinasi kaum laki-laki. Hal ini dikritik oleh mereka dalam kategori ‘feminisme dan Islam’, yang melihat realitas di dalam lingkup pendidikan dan kultur masyarakat Islam tradisional lebih kompleks dan berwarna, dan bahwa jukstaposisi mereka dengan feminisme sekuler-Barat juga bisa berarti interaksi yang kritis tanpa butuh validasi feminisme namun tetap merangkul modernitas.
Reaksi dan penegasan identitas dari spektrum cendikia feminis-Islam ini juga menjadi titik kritik dari kaum neotradisional. Mereka menganggap para Muslim advokat feminisme merupakan hasil didikan paradigma institusi pendidikan Barat yang berangkat dari sekulerisme sehingga berbeda pijakan dari tradisi intelektual dan metodologi studi keislaman otentik di mana aspek spiritual dan ajaran Islam telah disusun dengan ilmiah dan valid. Problematisasi ketidakadilan gender adalah produk hegemoni kolonialisme dari warisan tradisi masyarakat Eropa, dan problematika antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Muslim harus ditinjau dan diatasi dengan menggunakan fleksibilitas dalam tradisi intelektual dan pengetahuan Islam yang sudah tersedia, tanpa menutup pintu pada ijtihad.
Berbeda dari substansi kritik kaum neotradisionalis, Amina Wadud mengritik keras para cendikia Muslim ‘feminisme-Islam’ yang asik di menara gading sambil sibuk menilai kekurangan karya kolega mereka tanpa punya persentuhan dengan aktivisme. Terhadap Asma Barlas dan khususnya Aysha Hidayatullah yang menyerang Wadud, Wadud memberi penegasan,
“Barlas dan Hidayatullah adalah cendikia cemerlang dengan koneksi etnis atau kultural ke negara mayoritas Muslim, tapi keduanya dan karya mereka tidak memiliki tautan dengan aktivisme lapangan di negara-negara Muslim atau lainnya. Mereka berdua bergelut di dalam perdebatan abstrak yang cantik dari posisi privilise di akademi Barat, dan punya sedikit atau nol dampak ke sesuatu yang bermakna.” (Wadud, 2016: 131).
Kecaman Wadud bisa dipahami mengingat ia berangkat dari pengalaman riilnya bersentuhan dengan rasisme dan kemiskinan di Amerika Serikat sebelum memutuskan menjadi mualaf. Ia juga menegaskan pentingnya membongkar patriarki dalam Islam secara aktif melalui upaya reformasi di masyarakat Islam. Aktivisme di tengah rakyat ini juga dilakukan oleh Nawal El Saadawi, yang mengambil resiko selama hidupnya untuk bertentangan dengan rezim penguasa dan memilih mengorbankan potensinya di berbagai posisi nyaman pemerintahan untuk bisa mengutarakan dan memperjuangkan prinsipnya. Pengalaman bersentuhan dengan realitas umat inilah, seberapa pun parsialnya, yang menjadi tantangan dari feminisme-Islam ketika dihadapkan pada problem kapitalisme.
Hal ini membawa saya pada sisi lain dari jukstaposisi antara feminisme-Islam dan feminisme Barat, yaitu kondisi konkret dari mayoritas umat Islam, terutama perempuan di lingkaran marjin: kemiskinan dan eksploitasi. Kondisi ini telah diamati oleh Qasim Amin saat kolonialisme di Mesir sebagaimana dalam bukunya Liberation of Women, ketika ia menilai bahwa perempuan pekerja di wilayah desa lebih punya pengetahuan atas realitas dunia ketimbang perempuan kelas menengah dan borjuasi yang terkungkung di dalam rumah dan tunduk di bawah laki-laki. Meski Amin berangkat dari sudut pandang liberal pada masanya, pengetahuan atas realitas dunia yang dimiliki perempuan pekerja ini adalah potensi perlawanan dan transformasi yang penting.
Kapitalisme telah membuat banyak perempuan menjadi pencari nafkah utama di sektor formal maupun informal tanpa perlindungan dan hak kerja yang layak, di kota maupun desa. Keterdesakan untuk kerja dalam situasi rentan dikarenakan posisi mereka sebagai orangtua tunggal, penyokong hidup orangtua dan anak (sandwich generation) atau karena suaminya tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kondisi material mereka menuntut tak hanya akses pendidikan dan politik saja, melainkan pembebasan yang lebih mendasar, yaitu bebas dari kefakiran.
Bagi perempuan Muslim kelas pekerja yang harus bertahan hidup di bawah kondisi eksploitasi, agama penting untuk menjadi fondasi keimanan yang emansipatoris, dan feminisme-Islam perlu merumuskannya dalam lingkup solidaritas sosial. Sejauh ini, tantangan besarnya adalah bagaimana menerjemahkan kajian feminisme-Islam dari isu teologis dan identitas ke dalam konvergensi dimensi etis dan ekonomi politik yang lebih jernih tanpa harus menegasikan tradisi intelektual dan moral sosial keislaman itu sendiri. Untuk hal tersebut, kajian tersendiri diperlukan.
Catatan Kaki:
[1] Teks aslinya, “No subject in Islamic history is as ideologically overladen as the issue of the status of women. Any attempt to present an objective description and analysis is fraught with dangers. In reading the biographies of thousands of women, one is amazed at the evidence that contradicts the view of Muslim women as marginal, secluded, and restricted.” (Roded, 2018)
Bibliografi:
Abu-Lughod, Lila. 1998. ‘Feminist Longing and Postcolonial Conditions’ dalam Lila Abu-Lughod (ed.), Remaking Women: Feminism and Modernity in the Middle East. Princeton University Press.
Ahmed, Leila. 1992. Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate. Yale University Press.
Amin, Qasim. 2004. The Liberation of Women and the New Woman: Two Documents in the History of Egyptian Feminism. The American University in Cairo Press.
Ali, Kecia. 2006. Sexual Ethics and Islam: Feminist Reflections on Qur’an, Hadith and Jurisprudence. Oneworld Publication.
Badran, Margot. 2009. Feminism in Islam: Secular and Religious Convergences. Oneworld Publication.
Bano, Masooda. 2017. Female Islamic Education Movements: The Re-democratisation of Islamic Knowledge. Oxford University Press.
Barlas, Asma. 2019. Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. University of Texas Press.
Boullata, Issa. 1974. ‘Modern Qur’an Exegesis: A Study of Bint Al-Shati’s Method’. The Muslim World.
Deeb, Lara. 2006. An Enchanted Modern: Gender and Public Piety in Shi’I Lebanon. Princeton University Press.
El Saadawi, Nawal. 1982. ‘Woman and Islam’. Women’s Studies International Forum, Vol. 5, No. 2, hlm. 193-206.
El Saadawi, Nawal. 2010. ‘A Postmodern Christian-Muslim Feminist’. Journal of Middle East Women’s Studies, Vol. 6, No. 3.
Ibrahim, Celene. 2020. Women and Gender in the Qur’an. Oxford University Press.
Mahmood, Saba. Mei 2001. ‘Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agent: Some Reflections on the Egyptian Islamic Revival’. Cultural Anthropology, Vol. 16, No. 2. Hlm. 202-236.
Mahmood, Saba. 2005. Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton University Press.
Rahemtulla, Shadaab. 2017. Qur’an of the Oppressed: Liberation Theology and Gender Justice in Islam. Oxford University Press.
Rinaldo, Rachel. 2013. Mobilizing Piety: Islam and Feminism in Indonesia. Oxford University Press.
Roded, Ruth. 2018. Women in Islamic Biographical Collections: From Ibn Sa’ad to Who’s Who. Gorgias Press.
Sayeed, Asma. 2013. Women and the Transmission of Religious Knowledge in Islam. Cambridge University Press.
Seedat, Fatema. 2013. ‘Islam, Feminism, and Islamic Feminism: Between Inadequacy and Inevitability’. Journal of Feminist Studies in Religion, Vol. 29, No. 2. Hlm. 25-45.
Shuib, Rashidah. ‘Critical roles of NGOs in knowledge building: the case of Musawah’, presentasi yang disampaikan pada lokakarya 12th Ewha Global Empowerment Program: Transnational Feminisms and Women’s Activism di Korea Selatan, July 2017.
Srimulyani, Eka. 2014. ‘Gender in contemporary Acehnese dayah: moving beyond docile agency?’ dalam Bianca J. Smith dan Mark Woodward, Gender and Power in Indonesian Islam: Leaders, feminists, Sufis and pesantren selves. Routledge.
Wadud, Amina. 1999. Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Oxford University Press.
Wadud, Amina. 2008. Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam. Oneworld Publication.
Wadud, Amina. 2016. ‘Can One Critique Cancel All Previous Efforts?’. Journal of Feminist Studies in Religion. Vol. 32, No.2. hlm. 130-134.