Isu Kelas dan Krisis Industri Pariwisata

2.4k
VIEWS

Pariwisata adalah salah satu sektor yang tumbuh cepat beberapa dekade belakangan. Dianggap berkelanjutan dan mampu menjadi daya ungkit bagi sektor lain, pariwisata diyakini mampu menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pada akhirnya diharapkan mengurangi tingkat kemiskinan. Pandangan ini berangkat dari asumsi jika suatu kawasan dikembangkan sebagai daerah pariwisata maka akan menarik turis datang ke daerah tersebut sehingga pasti akan mengeluarkan biaya mulai dari transportasi, biaya penginapan dan makanan. Ini akan mendorong sektor-sektor jasa seperti hotel, rumah makan dan jasa lainnya ikut tumbuh dan berkembang.

Pariwisata ibarat gula-gula manis untuk menarik berbagai kalangan datang ke Indonesia. Segala hal yang dianggap sebagai penghambat segera dibabat dalam rangka mencapai 20 juta wisatawan mancanegara, misalnya melalui penerbitan peraturan pemerintah terkait visa bebas masuk ke Indonesia yang kini mencapai 169 negara. Berbagai lini dan infrastruktur pariwisata dan pendukung dibangun dan ditata agar wisatawan betah berlama-lama di Indonesia. Salah satu tujuannya tentu saja untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan dan agar semakin berkontribusi bagi aktivitas perekonomian.

Wisatawan penumpang kapal pesiat CMV Columbus yang mendarat di Pelabuhan Gili Mas, Lombok Barat, NTB pada 10 Maret 2020 sedang berbelanja di pasar oleh-oleh (foto oleh Antara/Ahmad Subaidi, diambil dari thejakartapost.com)

Maka tidak mengherankan jika di tengah isu virus corona (Covid-19) pemerintah sempat mengambil kebijakan yang sebaliknya dari negera-negara lain yang berusaha membatasi masuknya wisatawan. Pemerintah Indonesia malah  mengalokasikan anggaran puluhan miliar serta membayar influencer dalam rangka promosi wisata. Tidak hanya itu, Pemerintah Indonesia juga mendorong untuk memperbanyak kegiatan Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) di daerah-daerah pariwisata.

Uang miliaran rupiah itu tentu akan lebih banyak berputar di kalangan kelas atas, para influencer yang biasanya merupakan selebriti, pendengung, tokoh masyarakat, pejabat negara, atau mereka yang berasal dari lembaga-lembaga mapan yang tidak mengalami isu finansial dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dari kebanyakan warga lokal di lokasi pariwisata yang terkadang mesti tertungkus lumus di antara membayar listrik atau membeli beras, membayar uang sekolah atau membeli susu bayi—setiap hari hidup dibayangi risiko kekurangan.

Kebijakan kepariwisataan yang belum berpihak ini tidak terlalu mengejutkan sebab sejak awal periode kedua kepemimpinannya, salah satu program utama Presiden Jokowi adalah mendorong pembangunan 10 wilayah Bali baru. Presiden ingin menjadikan Morotai, Labuan Bajo, Mandalika, Wakatobi, Tanjung Kelayang, Danau Toba, dan beberapa wilayah di Jawa seperti Bromo-Tengger-Semeru, Kepulauan Seribu, Borobudur, dan Tanjung Lesung menjadi serupa Bali. Artinya hanya menunggu persoalan waktu dan momen yang tepat bagi pemerintah untuk mengumumkan berbagai bentuk paket kebijakan beserta nomina kucuran anggaran untuk penstimulus  kedatangan wisatawan mancanegara.

Barangkali Pemerintah Indonesia membayangkan bahwa 10 wilayah baru tersebut nantinya akan seperti Bali, didatangi jutaan wisatawan setiap tahunnya. Sepanjang tahun 2013-2017, rata-rata sekitar  4.334.549 wisatawan mancanegara datang langsung ke Bali. Setiap tahunnya ada pertumbuhan jumlah wisatawan mancanegara sebesar 14,21 %. Pada tahun 2017, jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa Akomodasi sebesar 31,69 %.  Pariwisata beserta sektor yang berasosiasi langsung dengan pariwisata seperti penyediaan akomodasi dan makan, minum berkontribusi paling besar dalam membentuk PDRB Bali.[1]

Namun, dibalik angka-angka fantastis yang dihasilkan oleh industri pariwisata, tersisa banyak masalah yang tidak dimunculkan di slide-slide pembahasan soal pariwisata. Pulau Bali yang kini menjadi rujukan pengembangan pariwisata Indonesia ternyata sedang menghadapi ancaman krisis, salah satunya adalah ketersedian air. Bisa diimajinasikan ketika krisis terjadi maka tentu yang paling terdampak adalah masyarakat lokal. Padahal air merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia.  Banyak yang sanggup bertahan tanpa makan berhari-hari tapi tidak tanpa air minum.

Krisis air dapat berimplikasi terhadap banyak hal terutama pada soal waktu dan biaya yang dibutuhkan warga untuk mengakses air. Ketersedian air bersih di masa mendatang merupakan ancaman nyata daerah-daerah pariwisata. Sementara wisatawan ketika merasa tidak nyaman atau kurang puas atas suatu pelayanan maka akan sangat muda baginya untuk pergi, mencari destinasi wilayah lain untuk berplesir.

Tapi tidak bagi masyarakat lokal. Ketika sumber dayanya rusak, mereka tetap berada di desa, bertahan untuk memulihkan kerusakan yang terjadi atau berdamai (coping strategy) dengan krisis. Kemungkinan lainnya adalah mereka terpaksa keluar dan tercerabut dari kampung sendiri.

Industri pariwisata menciptakan kerentanan, salah satunya, dengan memaksa penataan wilayah sesuai dengan selera wisatawan. Pariwisata yang memanfaatkan, originalitas, keunggulan atau keunikan suatu wilayah tidak dapat berlangsung selamanya. David Harvey (2012) menjelaskan bahwa daerah yang diciptakan berbeda melalui produksi simbol-simbol tertentu pada akhirnya akan menarik modal besar untuk berinvestasi yang kemudian mengubah ruang tersebut menuju ke arah yang cendrung lebih seragam. Sederhananya suatu ruang dirubah sedemikan rupa, termaksud kondisi sosial-ekonominya agar sesuai dengan selera pasar. Warga terpasifikasi, diajari menanti wisatawan datang membawa uang untuk menggerakkan perekonomian setempat.

Aram Eisenschitz (2016) menjabarkan berbagai sisi dari persoalan kepariwisataan yang bermasalah. Salah satu di antaranya adalah bagaimana sektor ini mengeskploitasi ketidaksetaraan. Aktifitas wisata menjadi jalan keluar bagi orang-orang untuk mengaktifasi kembali keunggulannya yang hilang dalam relasi yang tidak setara melalui upaya menkonsumsi barang atau jasa untuk tujuan mode seperti pariwisata sebagai upaya memulihkan status sosial yang hilang atau rusak akibat ketimpangan sosial. Dengan demikian, pariwisata menegaskan ketimpangan beserta diferensiasi kelas menjadi semakin nyata, baik di lingkungan wisatawan terlebih di areal destinasi wisata yang menarik demarkasi tegas antara turis dan tuan rumah yang lebih miskin.

Lalu, Pariwisata untuk Siapa?

Andreas Neef (2019:7) menunjukkan, daerah yang tumbuh sebagai kawasan wisata juga rentan mengalami perampasan (dispossession) melalui pengusiran (eviction), pemagaran (enclosure), ekstrasi[2] dan pemusnahan (erasure). Neef melihat keterkaitan antara pariwisata, perampasan tanah dan pemindahan (displacement) di wilayah-wilayah selatan termasuk Indonesia. Sebab itu, proses pengembangan sektor pariwisata bisa jadi menimbulkan dampak yang sama seperti industri ekstraktif pada umumnya. Seperti yang ditunjukkan dalam laporan penelitian Transnational Institute bahwa petani Bali saat ini mengkhawatirkan dampak dari investasi besar-besaran industri pariwisata yang akan mengubah sistem penghidupan yang terkait dengan sistem pertanian tradisional, pengelolaan sumber daya air hingga isu penguasaan lahan(Colorni 2018).

Petani Perempuan Dusun Selasih Berupaya Menghadang Penggusuran Lahan Kebun Pisang (sumber gambar: www.mongabay.co.id)

Penghancuran sumber penghidupan petani karena kepentingan investor sudah marak terjadi. Masih segar teringat kasus penggusuran kebun pisang milik petani-petani di Dusun Selasih, Gianyar, Bali yang memaksa warga setempat terutama perempuan, ibu-ibu melawan dengan apa yang tertinggal dan dimiliki, tubuh,[3]untuk mempertahankan haknya. Hal serupa sangat mungkin dialami oleh warga yang pulaunya kini menjadi objek pembangunan destinasi wisata, terutama di pulau-pulau kecil yang jauh dari sorot media.

Jika pengembangan industri pariwisata dengan mudah menghancurkan mata pencaharian warga alih-alih membuka kesempatan kerja yang lebih luas, maka keberadaan sektor pariwisata perlu dipertanyakan ulang: siapa sesungguhnya yang paling diuntungkan dalam siklus mata rantai industri pariwisata?

Penelitian penulis di Wakatobi menunjukkan jika  pembangunan berbasis wisata belum inklusif karena lapisan rumahtangga atas yang paling potensial mengakses peluang yang tersedia akibat adanya pengembangan pariwisata, sehingga tidak mendukung terjadinya pemerataan sosial-ekonomi(Kasmiati, Dharmawan, dan Bratakusumah 2016). Sementara itu, di wilayah lain yang juga dikembangkan sebagai Bali baru seperti Labuan Bajo dan Pulau Komodo, secara terang-terangan pemerintah merancangnya sebagai destinasi ekslusif dengan tarif puluhan juta, melarang masyarakat setempat untuk menikmati keindahan alam dan budaya tempat mereka tumbuh dan tinggal.

Orang-orang berduit adalah pihak yang paling diuntungan dari pengembangan pariwisata yang basisnya sepenuh-penuhnya didasarkan pada logika pertumbuhan wilayah. Mereka adalah investor yang akan menanamkan modal, wisatawan, baik manca negara maupun dalam negeri yang mempunyai banyak waktu luang dan uang untuk membiayai perjalanannya menikmati eksotisme, dan masyarakat setempat dari lapisan rumahtangga atas. Setelah tiga kelompok ini memperoleh untung, barulah remah keuntungan sampai pada mayoritas, masyarakat setempat yang berada di lapis bawah.

Alih-alih menciptakan multiplier effect, mantra yang sering dipakai oleh pemerintah, industri pariwisata pada akhirnya menciptakan krisis bagi warga setempat.***

Catatan akhir:

[1] Data diolah penulis dari situs Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

[2] Neef menggunakan ekstraksi  untuk menunjukkan pembangunan pariwisata adalah industri ekstraktif itu sendiri ketimbang alternatif pengganti dari industri ekstraktif lain seperti pertambangan. Keduanya sama-sama-sama mengeksploitasi lingkungan dalam skala sangat besar.

Baca Juga:

[3] Ibu-ibu terpaksa membuka baju sebagai aksi protes ketika menghadang eskavator yang akan mengesekusi tanaman petani di Dusun Selasih, Gianyar, Bali.

Daftar Pustaka:

Buku dan Jurnal

Colorni, Ruben Rosenberg. 2018. “Tourism and Land Grabbing in Bali: A Researche Brief.” Amsterdam.

Eisenschitz, Aram. 2016. “Tourism, Class and Crisis.” Human Geography 9 (3): 110–24.

Harvey, David. 2012. Rebel Cities: From the Right to The City to the Urban Revolution. London: Verso.

Kasmiati, Arya Hadi Dharmawan, dan Deddy S. Bratakusumah. 2016. “Ecotourism,Livelihood System and Decoupling Sustainabilty in Wakatobi, Southeast Sulawesi.” Sodality 4 (2).

Neef, Andreas. 2019. “Andreas Neef Tourism, Land Grabs and Displacement A Study with Particular Focus on the Global South.” Auckland.

Website:

Mongabay Environmental News. “Aksi Petani Pisang Mempertahankan Lahan Garapannya [1],” December 5, 2019. https://www.mongabay.co.id/2019/12/05/aksi-petani-pisang-mempertahankan-lahan-garapannya/.

“Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.” Diakses pada 22 Maret  2020. https://bali.bps.go.id/statictable/2018/02/09/29/kunjungan-wisatawan-domestik-ke-bali-per-bulan-2004-2018.html.

“Bali: The Tropical Indonesian Island That Is Running out of Water.” Diakses pada 22 Maret  2020. https://www.aljazeera.com/news/2019/12/bali-tropical-indonesian-island-running-water-191201051219231.html.

Indonesia, Redaksi CNBC. “Mimpi Wisata Premium Jokowi & Realita Pulau Komodo, Layakkah?” news. Diakses pada 22 Maret  2020. https://www.cnbcindonesia.com/news/20191201114312-4-119351/mimpi-wisata-premium-jokowi-realita-pulau-komodo-layakkah.

Mediatama, Grahanusa. “Selamatkan pariwisata, Jokowi minta kegiatan MICE dimaksimalkan.” kontan.co.id, February 25, 2020. http://nasional.kontan.co.id/news/selamatkan-pariwisata-jokowi-minta-kegiatan-mice-dimaksimalkan.

kemenpar.go.id. “Siaran Pers : Industri Perjalanan Wisata Indonesia Siap Dukung Pemerintah Datangkan 20 Juta Wisman.” Diakses pada 22 Maret  2020. http://www.kemenparekraf.go.id/post/siaran-pers-industri-perjalanan-wisata-indonesia-siap-dukung-pemerintah-datangkan-20-juta-wisman.

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. “Tidak Untuk Jurnalistik, Wisatawan Dari 169 Negara Ini Bebas Visa Kunjungan Ke Indonesia.” Diakses pada 22 Maret  2020. https://setkab.go.id/tidak-untuk-jurnalistik-wisatawan-dari-169-negara-ini-bebas-visa-kunjungan-ke-indonesia/.

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. “Tidak Untuk Jurnalistik, Wisatawan Dari 169 Negara Ini Bebas Visa Kunjungan Ke Indonesia.” Diakses pada 22 Maret  2020. https://setkab.go.id/tidak-untuk-jurnalistik-wisatawan-dari-169-negara-ini-bebas-visa-kunjungan-ke-indonesia/.

merdeka.com. “Wishnutama Soal Sewa Influencer Asing Promosi Wisata RI: Kalau BTS Tak Mampu.” Diakses pada 22 Maret  2020. https://www.merdeka.com/uang/wishnutama-soal-sewa-influencer-asing-promosi-wisata-ri-kalau-bts-tak-mampu.html.

 

Related Posts

Comments 1

  1. syid says:

    ternyata dampak yang akan terjadi dari suatu krisis berimplikasi pada sejumlah hal yah,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.