Editorial Islam Bergerak (17/5) memberi kontribusi penting bagi perspektif kita dalam memandang krisis Rohingya. Dengan membawa krisis ini ke dalam diskusi kosmopolitanisme, Islam Bergerak—khususnya Muhammad Al-Fayyadl—telah membuat krisis ini dipahami bukan hanya dalam kerangka solidaritas antar-umat Islam atau antar-masyarakat Asia Tenggara. Lebih dari itu, krisis ini harus dipahami dalam kerangka solidaritas antar-manusia dan warga dunia.
Meski demikian, ada sejumlah keterbatasan yang perlu dicatat dari visi kosmopolitanisme editorial itu. Catatan ini perlu diberikan bukan karena kita pesimis pada kosmopolitanisme maupun semangat dari editorial itu, melainkan karena kita membutuhkan kosmopolitanisme yang lebih luas dan bertenaga lagi untuk mengatasi krisis Rohingya. Namun, pertama-tama, kita perlu bertanya lebih dulu: di mana letak keterbatasan itu?
Keterbatasan itu berposisi di dalam konsep Kant mengenai “keramahtamahan”—yang nota bene menjadi titik berangkat dari editorial tempo hari. Hak atas keramahtamahan, bagi Kant, memang menjamin hak individu untuk diterima tanpa sikap bermusuhan ketika ia berkunjung ke teritori manapun di berbagai belahan bumi. Siapapun dijamin haknya untuk “berpindah dari satu tempat ke tempat lain di pojok bumi tanpa intimidasi dan rasa takut”.
Namun, hak ini hadir bukan tanpa tujuan. Pada dasarnya, hak ini bersifat instrumental. Hak ini adalah sarana yang diperlukan demi mencapai tujuan tertentu: perdamaian abadi (perpetual peace) melalui pembentukan federasi dunia.
Kant berangkat dari keinginannya untuk mengatasi peperangan antarnegara. Agar tujuan itu bisa dipenuhi, Kant memandang perlu keberadaan federasi dunia. Federasi ini akan bertugas untuk memastikan agar kebebasan satu negara tidak bertentangan dengan kebebasan negara lain.[1] Tetapi, agar federasi ini bisa tercipta, mula-mula diperlukan kehendak bersama (common will) dari masyarakat dunia untuk membentuk federasi itu. Kehendak ini dapat dibentuk apabila ada komunikasi di antara berbagai elemen masyarakat dunia—dan agar komunikasi itu bisa dilakukan, pertama-tama harus dipastikan agar tiap manusia bisa saling bertemu tanpa saling menyerang. Di titik inilah keramahtamahan itu diperlukan. Keramahtamahan berfungsi menjamin adanya pertemuan, komunikasi, dan, pada akhirnya, pembentukan kehendak bersama untuk menciptakan federasi. Tak heran, hak atas keramahtamahan ini sering pula disebut sebagai hak berkunjung (visitasi) dan hak berkomunikasi.[2]
Urutan nalar di atas memberi kita satu informasi penting: alih-alih menjadi sesuatu yang dijamin keberadaannya oleh struktur global, keramahtamahan sebetulnya—setidak-tidaknya dalam teks Kant—justru difungsikan untuk memungkinkan keberadaan struktur global. Di titik ini, keresahan editorial Islam Bergerak barangkali bisa memperoleh jawaban tambahan. Wajah paradoksal dari kosmopolitanisme yang kita lihat hari ini—penerimaan riang gembira atas modal tetapi penghalauan kejam terhadap pengungsi—lahir karena sejak semula struktur global memang tak menganggap semua kunjungan sama pentingnya. Oleh karenanya, walau dituntut untuk menerima tamu, tuan rumah pun sebetulnya tak berkewajiban untuk berbagi sumber daya dengan tamu yang mengunjunginya; tuan rumah tak wajib memberi perlindungan; tuan rumah tak wajib memberi pelayanan terbaik. Hal itu harus diatur dalam perjanjian lain.[3] Kunjungan yang berfungsi mendorong komunikasi dan integrasi adalah prioritas utama—yang lain bisa dikesampingkan. Dalih keramahtamahan global hari ini mungkin bukan “benar di permukaan”. Ia barangkali sudah terbatas sejak dalam kandungan.
Walau begitu, dalam menyiasati krisis Rohingya yang kita hadapi, konsep keramahtamahan instrumental semacam ini memang mampu memberi sejumlah preskripsi awal. Dengan melihat kondisi pengungsi yang kritis, penolakan terhadap kehadiran mereka akan beresiko membahayakan keselamatan mereka. Oleh karena itu, solusinya pun sederhana: terima dan jangan halau mereka.
Namun, keramahtamahan ini akan segera menunjukkan batasannya ketika ternyata tak segera ada solusi yang tepat atas krisis di Burma. Para pengungsi yang terlanjur tiba di Indonesia tak bisa pulang sementara pengungsi baru akan terus berdatangan. Dalam keadaan semacam itu, apa yang akan kita lakukan?
Di titik ini, kita harus mencoba memikirkan keramahtamahan yang lebih serius: sebuah keramahtamahan yang tidak berwatak instrumental. Kita mungkin perlu memikirkan sebuah keramahtamahan yang harus diberikan tanpa syarat pada siapapun yang bertamu pada kita. Sebuah “unconditional hospitality”: keramahtamahan yang bukan hanya bersedia untuk tidak menghalau Rohingya, tetapi juga bersedia untuk berbagi kasur, atap, dan bahkan—meminjam ide Al-Fayyadl—berbagi pesantren. Sebuah keramahtamahan untuk memperlakukan mereka sebagai tamu yang patut disambut.
Saya rasa, di titik inilah ide keramahtamahan nantinya akan menghadapi tantangan serius. Tidak pernah ada jaminan bahwa bertindak ramah akan memberi efek positif—bahkan termasuk bertindak ramah pada Rohingya. Memberi keramahtamahan pada sang tamu justru merupakan sebuah keputusan dengan resiko besar. Di satu sisi, sang tamu bisa membahayakan keberadaan sang tuan rumah. Di lain sisi, sang tuan rumah juga bisa menghancurkan sang tamu. Siapapun yang memberi keramahtamahan bisa dengan mudah tergelincir ke salah satu sisi. Menyeimbangkan kedua sisi itu tak pernah jadi pekerjaan yang mudah.[4]
Tapi, resiko itu tak semestinya membuat kita takut. Besarnya dukungan dari masyarakat Indonesia agar negara ini bersedia melindungi Rohingya bisa menjadi tanda awal bahwa bangsa ini mulai menjadikan kemanusiaan sebagai pijakan berpikir. Sisanya kita tinggal dituntut untuk mengikuti komitmen terhadap kemanusiaan itu secara konsisten dan mengikuti konsekuensinya hingga titik terjauh. Di sinilah ujian terberat nantinya berada.
Namun, di lain sisi, ujian ini juga akan menjadi bagian dari usaha kita untuk menata ulang dunia hari ini. Dengan memperjuangkan solidaritas antar-manusia dari level masyarakat dan bukan negara, kita mungkin bisa menciptakan dunia di mana setiap manusia—terlepas dari apapun kebangsaannya atau bahkan ketika mereka tak memiliki kebangsaan sekalipun—sungguh-sungguh bisa menjadi sahabat bagi yang lain.***
—-
[1] Immanuel Kant, ‘Toward Perpetual Peace: A Philosophical Sketch’, Toward Perpetual Peace and Other Writings, (London: Yale University Press, 2006), hlm. 78-82.
[2] Kant, ‘Toward Perpetual Peace’, hlm. 85; lihat juga Gideon Baker, Politicising Ethics in International Relations (New York: Routledge, 2011), hlm. 65-70.
[3] Kant, ‘Toward Perpetual Peace’, hlm. 82; Immanuel Kant, ‘Metaphysics of Moral’, Toward Perpetual Peace and Other Writings, (London: Yale University Press, 2006) hlm. 146.
[4] Derrida, ‘Hostipitality’, : Journal of the Theoritical Humanities, 2000, 5: 3, hlm. 4; Jacques Derrida, ‘Step of Hospitality’, Of Hospitality (California: Stanford University Press, 2000), hlm. 107. Saya membuat diskusi lebih dalam tentang perbedaan ‘keramahtamahan’ Kant dan Derrida dalam makalah ‘Perbandingan Gagasan Immanuel Kant dan Jacques Derrida atas Konsep Hak atas Kosmopolitan atas Keramahan (Cosmopolitan Right of Hospitality)’.