Menjelang penggusuran kampung Bukit Duri, saya bersama kawan-kawan dari Islam Bergerak memutuskan untuk bermalam menemani warga. Ada seorang laki-laki berbadan tinggi-tegap, rambutnya tipis, menginap bersama kami di sanggar pinggir kali Ciliwung. Ia tak banyak bicara, hanya menjawab seperlunya ketika ditanya. Dari jawaban seperlunya itu ia mengaku jurnalis. Tampangnya juga agak masam, dan garis-garis kaku wajahnya barangkali membuat beberapa orang urung memulai basa-basi dengannya.
Jujur saya sempat mengira laki-laki itu agen intelijen atau semacamnya, sampai kemudian penggusuran terjadi.
Kawan-kawan dari Islam Bergerak tercerai-berai ketika backhoe sudah mulai menggaruki rumah-rumah. Warga yang rumahnya tidak mepet kali Ciliwung sempat mengira rumah mereka tidak akan diusik, tapi nyatanya tergusur juga. Mereka pontang-panting memindahkan perabotan dengan gerobak dan peralatan seadanya. Di tengah situasi kalang-kabut itu dua anak perempuan tak jadi berangkat sekolah, hanya bisa menangis melihat rumahnya tinggal beberapa langkah lagi dari garukan backhoe.
Saya dan laki-laki yang sempat saya kira agen intelijen masuk ke dalam sebuah rumah pinggir kali yang sudah dikosongkan. Saya mendengar eongan dari dalam rumah itu dan menemukan seekor anak kucing yang masih terlalu kecil untuk lari dari reruntuhan. Sesampai di dalam rumah, laki-laki itu tiba-tiba menatap saya dengan mata sembab.
“Saya ingat anak perempuan saya…” katanya lirih sebelum kemudian terduduk sambil menangis.
Saya ingat dia terduduk agak lama, mencoba mengendalikan napasnya yang sesenggukan. Sempat saya khawatir backhoeakan meratakan rumah kosong itu sementara kami berdua dan seekor anak kucing yang sedang khusyuk menggigiti jari saya masih berada di dalam. Tapi ternyata backhoe merangsek lambat sekali.
Mau tahu apa yang menahan backhoe itu? Bendera.
Penggusuran Bukit Duri terjadi pada 28 September 2016, belum lama berselang dari perayaan kemerdekaan 17 Agustus. Banyak warga sepanjang kampung Bukit Duri pinggir Ciliwung belum menurunkan bendera merah putih mereka. Mungkin karena mereka sibuk urusan sehari-hari, atau terlalu kalut oleh bayang-bayang penggusuran, atau memang sebagai bagian dari bentuk pembangkangan terakhir.
Bendera-bendera itu mati, tak mengeluarkan mukjizat apa-apa ketika rumah demi rumah dirontokkan. Tapi lantaran bendera-bendera itulah setiap penggusuran satu rumah harus tertunda beberapa menit. Aparat yang bertugas mengeksekusi penggusuran dengan hormat dan hati-hati melepas lalu menurunkan bendera terlebih dulu, baru kemudian backhoeakan meluluh-lantakkan harga diri manusia yang memasang bendera itu bata demi bata. Menghormati bendera, lalu merendahkan manusia, menghormati bendera, lalu merendahkan manusia. Begitu terus dari rumah ke rumah.
Kita memang kerap merasa lebih terikat pada bendera, simbol, atau panji-panji yang sepenuhnya konstruksi belaka. Amarah kita akan terhunus tajam ketika bendera yang kita anggap mewakili aspirasi kita dinistakan, tapi mendelik sedikit saja tidak ketika yang dinistakan adalah sesama manusia. Kita sering merasa terpanggil membela bendera atau abstraksi besar seperti negara, bangsa, atau agama. Namun ketika ada tetangga atau saudara yang didzhalimi, kita tidak merasa terpanggil sama sekali untuk membela.
Banyak orang menganggap bendera harus dibela sebagai simbol persatuan. Saya pun tidak ingin menampik pengalaman orang-orang yang menjadikan bendera sebagai simbol persatuan. Di Victoria Park Hong Kong, para buruh migran setiap Agustus mengadakan upacara bendera untuk memperingati kemerdekaan. Upacara 17 Agustus para buruh migran Hong Kong ini barangkali jauh lebih khidmat ketimbang upacara bendera yang digelar oleh instansi-instansi pemerintah di Jakarta. Padahal para buruh migran ini terhempas dan tersia-sia oleh kemiskinan di negerinya sendiri. Mereka bukan cuma asing dari pelayanan negara, tak jarang di antara mereka justru dicurangi oleh negaranya sendiri. Toh mereka tetap mengerek dan menghormati bendera negaranya dengan khidmat di negara orang. Ironis, tapi saya merasa tak berhak untuk sinis. Saya merasa bukan siapa-siapa di hadapan para buruh migran yang telah menanggung berlapis-lapis status ketertindasan.
Tapi bendera bukan hanya dikibarkan untuk menandai persatuan, bendera juga dikibarkan dalam permusuhan. Seperti sekarang misalnya, orang-orang mengibarkan bendera dengan lafadz tauhid bukan dalam konteks persatuan umat, melainkan dalam konteks meruncingnya permusuhan dalam tubuh umat sendiri.
Saya sendiri tidak menganggap permusuhan dengan sendirinya bermasalah. Ada banyak konteks yang bukan hanya mewajarkan, tapi juga mengharuskan permusuhan. Semisal kita dicurangi, dirampas haknya, dilecehkan, maka memusuhi kecurangan, perampasan, dan pelecehan itu bukan hanya wajar tapi juga menjadi keharusan. Persoalannya, permusuhan yang mewarnai sekitar kita belakangan ini adalah permusuhan dengan konteks yang sangat menyedihkan. Hanya gara-gara selembar kain dengan simbol yang disablon di permukaannya kita gontok-gontokan dan mengerahkan massa.
Saya ingat waktu pemerintahan Trump memaklumatkan larangan orang-orang dari negara-negara berpenduduk mayoritas muslim memasuki wilayah Amerika Serikat pada awal 2017, tak ada satu kelompok Islamis pun yang menggelar demonstrasi. Padahal hanya selang dua bulan dari demonstrasi 212 yang besar-besaran itu. Sekarang ketika Tuti Tursilawati dipancung Saudi, tak ada satu kelompok Islamis pun mengecam. Padahal bagi saya almarhumah Tuti adalah syahidah, ia buruh migran perempuan yang syahid saat mencari nafkah dan membela kehormatannya. Apa mungkin semua energi, dana, pekik takbir sudah habis untuk meributkan sehelai kain bendera? Atau karena Tuti tak signifikan dalam peta politik nasional menjelang pemilihan presiden, maka ia tak layak dibela? Lantaran pertanyaan-pertanyaan macam inilah saya selalu meragukan ketulusan agenda kelompok-kelompok Islamis Indonesia.
Mereka yang merayakan pembakaran bendera juga menurut saya salah alamat. Mereka mengira membakar bendera bakal memusnahkan kecupetan dan intoleransi, padahal mereka justru sedang mempromosikan kecupetan dan intoleransi yang lain lagi. Mereka yang bersorak senang pada pembakaran bendera merasa narasi kelompok Islamis kanan cukup dilawan dengan melabeli kelompok Islamis sebagai HTI, anti-NKRI, anti-Pancasila, pendukung khiafah, ISIS, dan lain-lain. Padahal naiknya gelombang pasang Islamis kanan hanya gejala dari semakin membusuknya penyakit yang disebabkan kapitalisme.
Seingat saya bukan kelompok Islamis yang membunuhi rakyat Papua. Bukan kelompok Islamis yang menggusuri petani lalu menggantinya dengan pertambangan, pabrik, atau bandara. Bukan kelompok Islamis yang melabeli warga miskin kota sebagai kumuh lalu dengan semena-mena menggusur mereka demi keanggunan kota. Bukan kelompok Islamis yang mencurangi buruh dan membiarkan kecurangan itu selalu terulang. Bukan kelompok Islamis pula yang bikin E-KTP saya tidak kunjung beres selama dua tahun!Ya, mereka abai bahkan bisa jadi mendukung pembunuhan, penggusuran, dan kecurangan yang telah disebutkan. Tapi tetap bukan mereka persoalan utamanya. Kita barangkali enggan mengakui bahwa modal telah berkuasa secara semena-mena dan institusi-institusi demokrasi kita—yangtelah gagal mewadahi suara rakyat—tak mampu membebat kesemena-menaannya.
Tapi di sinilah kita, berpanjang-panjang meributkanbendera! Sebuah keributan yang nirfaedah, dan saya sendiri barangkali telah berpartisipasi dalam keributan nirfaedah lewat tulisan ini. Ini keributan yang sama tidak bermanfaatnya dengan—meminjam perumpamaan Arundhati Roy—memperdebatkan lagu apa yang seharusnya disetel di dalam mobil yang remnya blong dan sedang meluncur kencang ke arah jurang.
Pengalaman di Bukit Duri hingga keributan soal pembakaran bendera belakangan ini sama-sama menunjukan, kita sudah memberhalakan bendera dan overdosis dalam menyakralkan simbol-simbol. Banyak yang mungkin lupa bendera dan simbol-simbolnya hanyalah wujud benda yang dimaksudkan untuk mewakili suatu semangat,ghirah, atau sukma kolektif yang hendak kita lantangkan di hadapan dunia. Tapi merawat semangat, ghirah, dan sukma kolektif di dunia yang terus berubah ini tidaklah mudah. Apalagi ketika daur krisis kapitalisme membuat semangat kolektif kita semakin koyak-moyak dari waktu ke waktu.
Memberhalakan bendera dan simbol-simbol sebenarnya adalah eskapisme, bentuk pelarian kita dari persoalan substantif yang jauh lebih rumit dan mengakar. Kita lebih menyukai jawaban mudah ketimbang mengurai kerumitan situasi yang sedang kita hadapi lapis demi lapis. Dan jawaban mudah itulah yang disediakan oleh pemberhalaan bendera dan simbol-simbol. Menghormati keberadaan kaum-kaum yang disingkirkan, dicurangi, dan bahkan dibunuhi atas nama kemajuan dan persatuan itu berat, jauh lebih enteng menghormati bendera merah-putih sebagai sambil menutup mata dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan atas nama Indonesia. Menjaga ghirah tauhid di hadapan rongrongan kapital dan kebejatan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam itu berat, jauh lebih enteng ngamuk-ngamuk ketika ada yang membakar bendera berlogo tauhid. Padahal dalam sejarah telah terbukti bendera dan simbolnya bisa dikerek naik dan suatu hari dikerek turun, sedangkan kita rakyatakan mampu bertahan melampaui bendera-bendera. []
Bagus
Amazing!!!
Pemikiran yang bagus.. Sangat menginspirasi.
.
.