Satu Kata Pribumi Cukup untuk Menebak Arah ‘Permainan’ Anies

316
VIEWS
Anies Baswedan
Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Sumber foto: Tribun News.

Hari pertama Anies Baswedan menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, 16 Oktober 2017, ia berpidato dan menyebut kata pribumi di tengah situasi politik yang menjadikan jargon-jargon identitas sebagai bahan bakar mobilisasi.

Saya mengakses pidato tertulisnya, dan ada lebih dari 1.400 kata di sana. Tetapi dari satu kata pribumi saja saya sudah bisa membaca ke mana arah kepemimpinan Anies. Kata pribumi dengan sengaja iya ucapkan untuk menjadi penanda di garis “Start” perjalanan politik dia.

Politikus yang pada awalnya menumpang gelombang Islam politik sekarang telah menempatkan dirinya sebagai salah satu pemain utama di sana. Apa implikasi pilihan politik Anies ini terhadap isu lainnya? Saya sebagai seseorang yang bekerja mendorong penataan kampung yang melibatkan warga dan menolak reklamasi Teluk Jakarta cukup cemas dengan porsi politik identitas yang dimainkan Anies ini.

Dalam pidatonya Anies menyinggung soal keadilan sosial, pengelolaan lingkungan, prinsip ketuhanan dalam bermasyarakat, kota yang melayani warga sebagai konsumen, juga kolaborasi dengan warga kota.

Beberapa hal yang dia sebutkan sejalan dengan prinsip saya terutama perhatian pada pengelolaan lingkungan hidup (termasuk air dan teluk), keadilan sosial, juga kolaborasi dengan warga kota.

Tetapi kata pribumi yang ia gunakan dalam konteks perjuangan kemerdekaan melawan kolonialisme ini memang bagaikan bom yang menghanguskan semuanya. Atau mungkin lokomotif yang akan menggiring semua isu lainnya ke arah yang Anies tentukan.

Saya tidak melihat ada yang gosong kemarin, jadi saya akan membahas sudut pandang “pribumi”  sebagai lokomotif yang menggiring semua isu lain. Dan di titik ini tentu saya—sebagai orang yang ingin memastikan Anies memenuhi janji kampanyenya berkaitan dengan tolak reklamasi dan penataan kampung kota partisipatif—menjadi khawatir akan arah kepemimimpinannya.

Bahwa saya keturunan Cina—yang posisinya sebagai minoritas jauh lebih sulit dibanding dia yang keturunan Arab—tentu membuat saya sempat emosional akan kata pribumi yang keluar dari mulut Anies. Anies bukan politikus sembarangan, dia sudah melatih diri sejak kuliah di Universitas Gadjah Mada (atau malah sejak SMA). Jelas ini bukan blunder. Pemilihan kata pribumi adalah hal yang telah ia perhitungkan dengan matang. Dan ia memilih jalan ini: menanggung risiko dimaki banyak orang dan kehilangan dukungan dari beberapa orang, yang mungkin dia anggap tidak signifikan secara jumlah.

Tetapi masalah memaki Anies soal kata pribumi ini saya kira sudah dilakukan oleh banyak sekali orang, saya tidak perlu menambahi bagian itu ke publik. Dalam tulisan ini saya hendak membuka diskusi kepada mereka yang sedang bekerja keras mengupayakan keadilan sosial di kota. Keadilan sosial yang ingin kami capai tidak pernah melalui dukungan pribumi vis a vis non-pribumi (ya, ini berlaku juga buat Ibu Susi Pudjiastuti, buat Pak Wakil Presiden, serta semua pejabat negara dan tokoh politik yang pernah bermain politik identitas). Keadilan sosial bisa tercapai melalui perubahan struktural.

Berikut poin-poin yang hendak saya ajukan sebagai bahan pemikiran dan diskusi bagi teman-teman yang ingin mewujudkan keadilan sosial di Jakarta dan kota-kota lainnya melalui jalur perubahan struktural.

Satu, saya tidak menghadiri pidatonya jadi sekarang di kepala saya ada khayalan, ketika berpidato, Anies mungkin berdiri di Balai Kota menghadap ke utara. Dan tatapan imajinernya mungkin jatuh ke sebuah gedung bersejarah beberapa meter di utaranya. Gambar ini lekat di kepala saya sebagai pertanda bahwa di hari pertama ia bekerja untuk Jakarta, pikirannya sudah tidak di Jakarta. Ia rupanya mengikuti langkah jejak Presiden Joko Widodo. Tapi jika Jokowi menunggu sekitar dua tahun, dia melakukannya di hari pertama.

Apa hubungannya pribumi dengan tatapan ke istana?

Kaitannya dengan politik identitas dan bagaimana politik identitas ini sedang dijadikan bahan bakar murah berpolusi tinggi untuk memobilisasi dukungan di pertarungan 2019. “Pribumi” ini satu paket dengan identitas “anti-PKI”, “anti komunis”.

Artikel terkait: Aksi Massa dalam dalam Perspektif Islam Progresif.

Kedua, jika kepalanya sudah sibuk berstrategi memobilisasi dukungan masa depan dengan memainkan kartu identitas, seberapa banyak tempat untuk Jakarta dan warga yang memilih dia bukan karena urusan identitas dia? (Wahai yang nyinyir, ADA yang memilih Anies karena alasan rasional, saya kerap bertemu mereka).

Ketiga, jika politik identitas bisa efektif memobilisasi dukungan politik bagi figur tertentu, apakah dukungan yang sama bisa diharapkan bagi gagasan, bukan figur? Misalnya, apakah gerakan tolak reklamasi bisa mendapatkan massa yang banyak dan menjadi kekuatan besar dengan cara politik identitas? Mungkin bisa. Tetapi menurut saya kelompok yang tolak reklamasi karena prinsip lingkungan, keadilan sosial, dan anti korupsi sebaiknya tidak main-main ke sana karena bisa merugikan gerakan.

Gerakan penolakan terhadap reklamasi telah ditunggangi isu rasisme melalui desas-desus yang santer tentang warga Cina (Cina sungguhan dari negara Cina) yang akan “menduduki” pulau palsu itu. Saya khawatir sirip rasisme ini lebih berat ketimbang yang sirip prinsip lingkungan, keadilan, dan anti korupsi. Lalu ikannya berenang terlalu ke kanan dan pergi ke suatu tempat yang tidak diinginkan sirip satunya. (Sirip saya gunakan untuk menghormati ikan di Teluk Jakarta).

Bagaimana dengan penataan kota? Saya menjalankan program Kampung Kota Merekam dengan teman-teman Islam Bergerak. Saya bolak balik kampung mungkin 10 kali dalam kurun waktu tiga bulan. Saya tidak pernah bertemu dengan orang-orang yang bermain politik identitas yang juga membela warga yang tergusur dan terancam digusur ini.

Yang saya temui di luar program saya misalnya teman-teman Architecture Sans Frontiers, mahasiswa arsitektur se-Indonesia, akademisi kampung kota, beberapa seniman, pengacara LBH Jakarta, teman-teman Ciliwung Merdeka, mahasiswa PhD dari luar negeri, dan pribadi-pribadi yang saya tahu betul tidak suka politik identitas dimain-mainkan untuk kepentingan politikus.

Maka teman-teman di bidang penataan kampung kota mungkin bisa sedikit bernapas lega karena tidak menghadapi penunggang politik. Tetapi kalau kepala Anies sudah di istana, sejauh mana tenaga dan pikiran dia tersisa untuk kerja struktural penataan kampung? Ini kerja politik yang berat, butuh revisi tata ruang dan banyak regulasi yang sifatnya kontroversial. Juga membutuhkan kepemimpinan dia untuk mengubah cara kerja para birokrat Jakarta.

Baca Juga:

Bila ia sibuk memikirkan karier politiknya, saya yakin ia tidak lagi punya banyak tenaga untuk membawa perubahan berarti di Jakarta berkait penataan kota yang adil.

Saya mungkin kelewat khawatir. Bisa jadi semua program tetap bisa jalan terlepas dari pucuk pimpinan yang sedang sibuk hitung-hitungan untuk 2019. Karena yang selama ini bekerja adalah warganya bukan gubernurnya.

Tetapi bisa jadi kekhawatiran saya benar.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.