Penyair membaca puisi sudah biasa. Puisi bagi para penyair ibarat malam dengan rembulan. Tak dapat diceraikan. Namun ada yang lebih luar biasa. Yaitu para pejabat yang sudah mulai suka menulis dan membaca puisi. Semoga saja ini pertanda bagus bagi masa depan Indonesia. Setidaknya, dengan menulis dan membaca puisi, kemarau panjang nurani para pejabat kita segera bertemu dengan musim hujan keinsyafan.
Bagaimanapun, puisi bukanlah sekadar rajutan kata-kata indah tanpa makna. Seringkali puisi adalah persaksian atas yang papa dan dikalahkan. Puisi juga kerapkali merupakan muntahan kemarahan atas laku ketidakadilan. Kesewenang-wenangan dan kekejaman aparat bersenjata, meski tak imbang, berkali-kali dihadapi dengan hujaman demi hujaman kata dalam puisi. Banalitas korupsi para pejabat pun tak luput dari tamparan kata dalam puisi. Singkatnya, puisi seperti ucapan Wiji Thukul dalam film “Istirahatlah Kata-kata”, “Rezim ini bangsat, tapi takut dengan kata-kata.”
Melebih-lebihkan. Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Terserah kalian menganggapnya bagaimana. Jelasnya, banyak rezim yang sudah terbukti takut pada para penyair dengan puisinya yang jujur dan tegas. Wiji Thukul, Sang Penyair Kerakyatan, hingga kini tak diketahui rimbanya. Ia dihilangkan oleh rezim dan membuat keluarganya hidup dalam tanda tanya. Putri Wiji Thukul, Ngantiwani, dalam puisinya meratap pilu: “Pulanglah, Pak/Kami sekeluarga menunggumu, Pak/Kawan-kawanmu juga menunggumu, Pak/Pulanglah, Pak/Apakah kamu tidak tahu/Indonesia pecah, Pak?/…../Pulanglah, Pak/Apakah kau tidak ingat aku lagi/Aku anakmu, Pak/Aku, adik, ibu dan semua orang merindukanmu, Pak/Apakah hanya dengan doa-doa saja/Aku harus menunggu?/Penguasa, Kembalikan Bapakku!!!”
Sang Burung Merak, WS. Rendra, juga mengalami represisifitas atas kepenyairannya. Pada masa Orde Baru berkuasa, ia sempat dipenjara dan dicekal. Karena puisi Rendra dianggap mampu mengagitasi massa. Meskipun entah karena apa, setelah reformasi, Rendra pernah memberi dukungan pada Mega dan Prabowo. Daftar kekejaman rezim terhadap penyair akan semakin panjang jika kita memasukkan mereka-mereka yang tergabung di dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Mereka dipenjara, dihukum, bahkan dihilangkan selama amuk kudeta, bukan revolusi, terjadi di Indonesia. Ada As.Darta, HR. Bandaharo, Agam Wispi, Sugiarti Siswandi, S. Anantaguna, Sitor Situmorang, dan masih banyak lagi.
Pada peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun 2017, baru berapa pekan yang lalu, Presiden kita, Joko Widodo (Jokowi), membacakan puisi karya Dewi Lestari (Dee), “Sumpah Abadi.” Berikut petikannya, “…./Ketika Pemuda dan Pemudi menyebrangi keberagaman, ketidaksamaan/Demi bersama bekerja/ Abadi bersumpah untuk Indonesia//” Dari pemberitaan, Jokowi disodori setumpuk puisi, dan jatuhlah pilihannya pada puisi ini. Sungguh saya tidak sedang nyinyir apalagi mengritik. Rakyat jelata yang masih berumah dalam angan ini, sungguh tak pantas menulis yang bernada kritik terhadap Presiden.
Saya malah apresiasi, kok ya pas petikan puisi Mbak Dee dengan semangat “Kerja Bersama” yang diusung Jokowi. Atau memang sengaja sudah dipas-paskan sejak sebelumnya. Alah mboh, gak penting. Tema “Indonesia Kerja Bersama” ini mulai semarak sejak peringatan kemerdekaan RI Ke-72 tahun ini. Meneruskan kredo Pemerintahan Jokowi sejak awal kepemimpinannya, “Kerja!” “Kerja!” dan “Kerja!.” Hanya saja, mendengar istilah kerja yang digaungkan Jokowi, saya jadi teringat pada kata-kata Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan besar Indonesia yang menaruh harapan besar pada Angkatan Muda dan tidak pada Angkatan Darat.
Pram dalam cerpennya berjudul “Jakarta,” di paragraph-paragraf akhir mengatakan, “…… Kita mesti kerja. Tetapi apa yang mesti kita kerjakan, bila mereka yang kerja tak mendapat penghargaan dan hasil sebagaimana mesti ia terima?” Loh kan. Sebelum Jokowi teriak-teriak “Kerja!” dan “Kerja!” bukankah rakyat telah bekerja. Mandi keringat dan banting tulang malahan. Lihatlah para petani, kulit mereka sampai legam disengat terik matahari tapi kesejahteraan dan keadilan tak kunjung hadir di rumah mereka. Ironisnya, bertahap mereka dipisahkan dengan tanahnya. Entah itu untuk pabrik, jalan tol, bandara, industri wisata buatan, ruko, perumahan ataupun dalam bentuk alih fungsi lahan lainnya.
Ada juga para nelayan yang mata pencahariannya dirusak untuk memuaskan mimpi segelintir orang, hunian mewah misalnya. Tukang ojek, abang becak, pedagang kaki lima, semuanya telah bekerja. Apalagi buruh. Mereka telah bekerja minimal 8 jam perhari dalam seminggu. Sampai-sampai keluarga mereka hanya memperoleh sisa-sisa tenaga dan waktu setelah seharian bekerja. Lalu, apa makna teriakan “Kerja!” “kerja!” dan “kerja!” bagi rakyat. Tidak ada. Rakyat tidak sejahtera atau menganggur bukan karena malas. Masak iya tukang becak itu malas? Masak iya pedagang asongan di bis-bis kota itu malas? Tidak. Mereka bukan malas. Tapi dikalahkan dan dimiskinkan oleh keadaan. Lantas siapa yang bertanggung jawab pada keadaan? Ya, kalian wahai pemerintah. Masak Mukidi.
Selain Jokowi, banyak pula pejabat yang dalam setahun terakhir ini demen sekali membaca puisi pada acara-acara penting. Jenderal Gatot Nurmantyo, Panglima TNI, dalam berbagai kesempatan membacakan coretan Denny JA yang diklaimnya sebagai puisi berjudul “Tapi Bukan Kami Punya.” Iya betul bukan kami yang punya, tapi kalian. Tafsir atas Pancasila dan NKRI juga kalian yang punya, bukan kami.
Ini lebih ngeri lagi. Menteri Ketenagakerjaan, M.Hanif Dakhiri, yang dari namanya saja sudah progresif, da-khiri, membacakan puisi Bung Karno berjudul “Berpedomanlah Pada Cita-cita” yang bait pertamanya berbunyi, “Ya, kita hidup dalam dunia yang penuh ketakutan/kehidupan manusia sekarang digerogoti/dan dijadikan pahit-getir oleh rasa ketakutan//.”
Pak Menteri yang mengurusi hal ihwal ketenagakerjaan ini, siapa tahu setelah membaca puisi ini kesadarannya akan pulih. Emang sedang sakit? Anggap saja begitu. Maksudnya, pulih dengan merasakan beban ketakutan para kelas pekerja Indonesia. Yang mana mereka takut dalam bayang-bayang upah murah. Takut dalam mimpi buruk PHK. Mereka takut harus berjauhan dengan keluarga dan menjadi turis pekerja di negeri orang. Dan mereka takut, setakut-takutnya, menjadi golongan masyarakat yang penuh resiko.
Nih ada lagi yang ngeri. Bapak Menteri Perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita, membacakan puisi karyanya berjudul “Kursi Berduri Menteri” dalam rangka perayaan Hari Puisi Indonesia (HPI) 2017 di Gedung Graha Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Politikus Nasdem ini, di awal puisinya berkata, “Apa gunanya harga pangan naik tetapi petani tercekik/Apa gunanya stok melimpah tetapi pembeli gelisah/Lalu aku bertanya pada diri sendiri, apa gunanya aku jadi menteri jika tak/mampu membantu presiden mensejahterakan anak negeri//.” Salahnya dia tanya pada diri sendiri. Coba lah Pak Menteri datang ke gubuk-gubuk petani dan simaklah cerita mereka dengan kejujuran. Sesekali, tidak perlu sering-sering, singgahlah di sawah, ladang, atau kebun petani, dan biarkan mereka mengeja masa depan mereka sendiri. Jangan lupa dicatat. Lalu ubahlah kebijakan dan sistem ekonomi-politik yang tak ramah bagi mereka ini. Kalau tak mampau, pulanglah ke petikan puisi Bapak, “Apa gunanya aku jadi menteri ….”
Oh ya, satu lagi, suatu saat kalau pengen baca puisi lagi, bacalah puisi-puisi Wiji Thukul. Bisa diambil dalam sehimpun puisinya dalam buku “Para Jendral Marah-marah,” misalnya. Biar dapat merasakan getirnya periode pelarian Sang Penyair. Atau membacakan sajaknya Rendra, “Doa Orang Lapar.” Siapa tahu akan dapat merasa kenyang dan mengenal batas. Dan jangan lupa, “Kerja!” Kerja!” dan “Kerja!”.