Tugas Kita adalah Tidak Tumbang oleh Virus dan Menumbangkan Kapitalisme

6.1k
VIEWS

Ada wabah bergentayang di seantero dunia–wabah coronavirus diseases 2019 (Covid-19). Hingga saat editorial ini ditulis, wabah Covid-19 tercatat telah menjangkiti 531.819 orang dan merenggut 24.073 kehidupan di berbagai negara. Jumlah perjangkitan akan terus bertambah setidaknya dalam sebulan ke depan. Pakar epidemiologi berpendapat 40-70 persen populasi dunia bakal terjangkit wabah ini, walaupun kebanyakan hanya akan merasakan gejala ringan.

Kita semua tiba-tiba terperenyak oleh sesuatu yang tiga bulan yang lalu tidak kita kenal sama sekali. Wabah yang belum ada penawarnya itu tiba-tiba mengacaukan segala sendi-sendi kehidupan kita. Sekolah diliburkan, ritual berjamaah ditiadakan, seminar dan konser dibatalkan, museum ditutup, kantor-kantor memaklumatkan pekerjanya untuk bekerja dari rumah saja. Dalam kasus-kasus ekstrim, seisi kota dikerangkeng. Orang-orang dianjurkan menjaga jarak demi menghambat penyebaran wabah.

Di kota-kota di mana wabah sudah menyebar tak keruan, hampir semua tempat jadi sepi kecuali rumah sakit. “Ini bukan lagi gelombang pasang, ini tsunami!” keluh seorang dokter di Italia yang kini tengah menjadi pusat penyebaran wabah Covid19. Bukan hanya di Italia, sistem pelayanan kesehatan negara-negara Eropa lain pun kewalahan.

Kita yang seringkali menyematkan istilah “krisis” pada keadaan-keadaan yang suram dan genting tentunya akan menyebut wabah Covid-19 ini sebagai krisis yang mendunia. Toh WHO pada 11 Maret lalu telah mengumumkan wabah ini sebagai pandemi global. Pemerintah Indonesia, negara yang rasio ranjang rumah sakit per penduduknya masih jauh di bawah negara-negara Eropa yang sedang kelimpungan, sejak Februari justru sibuk mencemaskan dampak ekonomi dari wabah. Presiden Joko Widodo memberi arahan dampak Covid-19 terhadap perekonomian melalui Rapat Terbatas pada 25 Februari. Joko Widodo juga berulang kali mengeluhkan seretnya investasi di tengah wabah, sementara wakil dan menterinya berkomentar asal-asalan tentang Covid-19 yang pada Februari belum terdeteksi menjangkiti di Indonesia.

Ukuran-ukuran ekonomi yang standarnya telah dibakukan oleh ekonom-ekonom penganjur pasar bebas, kerap menjadi acuan utama dalam menilai situasi. Krisis baru dilihat sebagai krisis jika pasar saham anjlok, misalnya. Dalam perjangkitan Covid-19, pasar saham memang anjlok. Sejak 25 Februari hingga 12 Maret S&P 500 Index turun hingga 25 persen di Wall Street, FTSE 100 Index merosot 28 persen di London, dan di Milan FTSE MIB Index terjun bebas hingga 40 persen.

Dampak wabah Covid19 terhadap ekonomi diperkirakan akan jauh lebih gawat dari dampak wabah-wabah lain yang pernah berjangkit di aras global setelah perang dunia kedua. Pasalnya wabah ini menjangkiti negara-negara yang merupakan pemain besar dalam perekonomian global. Ambillah Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Jerman, Italia, Perancis, dan Britania Raya. Tujuh negara yang kesemuanya terpapar wabah ini menyumbang 60 persen penawaran dan permintaan (GDP), 65 persen manufaktur, dan 60 persen ekspor manufaktur di seluruh dunia. Sakitnya pemain-pemain besar ini membuat proyeksi pertumbuhan GDP dunia melesu ke angka 2.4 persen dari yang sebelumnya 2.9 persen pada 2019.

Namun melihat krisis hari ini sebagai krisis ekonomi yang diakibatkan wabah Covid-19 adalah lensa pandang yang ahistoris. Krisis sudah sedemikian lama menjadi realitas dari kehidupan kita akibat tegangan-tegangan yang tak lagi terselesaikan dalam sistem kapitalisme. Dampak krisis ini seolah tak terasa oleh masyarakat luas lantaran resiko-resiko dari krisis selama ini secara tidak adil didistribusikan pada kaum kerja, miskin kota, petani, dan kaum adat. Kebijakan neoliberal, sebagai respon kapital terhadap kegagalan developmentalisme, mendorong kebijakan austerity (pemotongan atau penghematan anggaran) oleh berbagai negara di Eropa dan Amerika untuk merespon krisis finansial telah memukul sektor-sektor krusial yang menopang kelas pekerja: pemotongan anggaran untuk layanan kesehatan, pensiun, dan perumahan terjangkau.

Kita justru harus membalik lensa ahistoris ini: bukan perjangkitan Covid-19 yang telah memicu krisis, melainkan krisis kapitalisme yang telah melemahkan kapasitas umat manusia dalam menghadapi perjangkitan Covid-19.

Pada 2016, empat tahun sebelum pandemi ini, para ilmuwan Pusat Pengembangan Vaksin di Texas Children’s Hospital tengah mengupayakan vaksin untuk coronavirus. Upaya ini sebagai respon perjangkitan SARS dan MERS yang juga menelan banyak korban. Sayangnya upaya ini terhenti lantaran seretnya pendanaan akibat pengetatan anggaran. Kini coronavirus bermutasi menjadi Covid-19 yang, sekalipun kurang mematikan ketimbang SARS, tapi jauh lebih menular. Sistem kesehatan di bawah kebijakan neoliberal telah menganulir pencapaian kemanusiaan dalam pengembangan vaksin seperti dalam kasus Texas Children’s Hospital.

Sistem kesehatan di bawah kebijakan neoliberal juga telah menyerahkan urusan kesehatan pada bisnis swasta, dan institusi-institusi bisnis kesehatan swasta kini menjadi tidak relevan dalam melindungi rakyat dari pandemi. Virus yang menyerang tanpa diskriminasi kemudian ditangani dengan cara-cara yang paling diskriminatif. Di satu sisi banyak warga biasa yang luntang-lantung mencari perlindungan dari pandemi. Di sisi lain segelintir elit merasa hidupnya lebih berfaedah dari orang kebanyakan tanpa malu-malu mengajukan diri untuk mendapatkan pemeriksaan dan pelayanan lebih dulu.

Ini baru kesuraman realitas pelayanan kesehatan saja, masih banyak kesuraman lain akibat krisis kapitalisme yang akan semakin membuat kita rentan dalam gempuran Covid-19. Sulitnya akses air bersih akibat privatisasi air membuat anjuran rajin cuci tangan dengan sabun di bawah air yang mengalir untuk mencegah penularan jadi sulit dilakukan. Himbauan jaga jarak terdengar seperti lelucon menyakitkan bagi kaum miskin kota yang tinggal berhimpitan. Sedang arahan untuk tetap di rumah saja jadi sulit dicerna bagi pekerja informal dan buruh kerah biru yang upahnya bergantung pada kehadiran di tempat kerja. Belum lagi nasib gelandangan dan pengungsi yang tak punya tempat tinggal sama sekali!

Ironisnya, bahkan dalam situasi krisis seperti ini, negara yang diorkestrasi kelas borjuasi justru menjadi aktor aktif yang melancarkan penindasan dan eksklusi terhadap kelas tertindas. Inggris  dan Belanda adalah contohnya. Dibanding melakukan mitigasi dengan kebijakan lockdown, kedua negara tersebut justru sempat lebih memilih kebijakan herd Immunity. Mereka memberlakukan survival of the fittest dengan meremehkan Covid-19 sebagai wabah yang persentase kematiannya rendah. Dengan membiarkan penularan diasumsikan orang-orang akan mengembangkan imunitas secara alami sehingga memperkecil jangkauan penjangkitan virus secara gradual. Potensi korban dari kebijakan ini tentu saja mereka yang paling lemah dan tak bisa melindungi diri, orang-orang miskin dengan riwayat penyakit, gelandangan-gelandangan tua. Laporan belakangan memang menunjukan Inggris sudah memutuskan lockdown nasional, namun Belanda masih berkeras dengan kebijakan herd immunity tersebut. Kebijakan herd immunity memang sangat kompatibel dengan logika neoliberal yang berpilar perampingan anggaran. Dibanding menjamin proteksi sosial yang akan menghabiskan anggaran besar demi kesejahteraan rakyat, negara akan lebih memilih kebijakan yang ramping secara anggaran pada sektor yang tidak memproduksi profit besar.

Sekarang memang bukan saat yang tepat untuk menitipkan nasib kita pada punggawa-punggawa sistem yang sejak awal melemahkan kapasitas kolektif kita. Situasi yang sedang kita hadapi barangkali suram dan mencekam. Tapi situasi krisis ini juga terlalu krusial untuk kita habiskan hanya dengan meringkuk ketakutan dan berputus asa. Wallerstein (1991a) melihat krisis sebagai situasi unik ketika sistem yang berlaku bukan hanya dalam keadaan genting, tapi juga sekarat oleh tegangan dan kontradiksi internalnya sendiri. Sistem yang sekarat ini tak punya kapasitas lagi untuk mereproduksi dirinya sendiri.

Di tengah keadaan sistem yang sekarat ini justru agensi politis kita dapat mematahkan belenggu determinasi struktural (Wallerstein, 2010). Sederhananya, pilihan dan tindakan kita jadi lebih berarti ketika struktur dari sistem yang biasanya mengorkestrasi kehidupan kita sedang didera krisis. Dalam situasi di mana sistem dapat berfungsi “normal”, sesungguhnya “tidak ada kehendak bebas yang sejati. Ini karena pilihan kita dibatasi dan bahkan diciptakan oleh struktur” (Wallerstein, 1991b).

Krisis dalam definisi Wallerstein juga selalu bermakna transformatif. Sistem yang sekarat akan mati dan digantikan oleh sistem yang lain. Namun tidak ada jaminan sistem baru yang menggantikan sistem lama akan lebih demokratis, setara, dan menjunjung keadilan. Bisa jadi krisis membuat sistem ambruk ke belakang menjadi lebih menindas, kejam, dan feodal. “Kita dapat membayangkan periode krisis sebagai arena di mana sistem-sistem pengganti berjibaku” Wallerstein, 2010).

Dengan perspektif krisis Wallerstein, kita dapat melihat masa perjangkitan wabah Covid-19 dengan segala kekacau-balauannya sebagai situasi transisional. Ke mana transisi ini akan membawa kita, belum ada kepastian dan akan turut ditentukan oleh inisiasi kita.

Ini menjadi persoalan yang mendesak lantaran bayang-bayang situasi yang lebih buruk tergambar nyata. Naomi Klein dalam sebuah wawancara melihat pandemi Covid-19 ini sebagai bencana yang sempurna untuk dibajak oleh para penguasa dan elit global. Luasnya skala bencana yang disebabkan pandemi ini memungkinkan penerapan doktrin kejut, “solusi-solusi” pasar bebas terhadap krisis yang akan memperparah kesenjangan. Hal ini lantaran dalam situasi bencana rakyat cenderung fokus pada situasi darurat sehari-hari dan menyerahkan kepercayaan lebih pada penguasa. Situasi ini dimanfaatkan elit politik dan ekonomi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan posisi mereka sendiri dan mengorbankan rakyat banyak. Trump misalnya, berencana memotong pajak penghasilan sambil menggelontorkan stimulus bagi kaum bisnis untuk menanggulangi dampak pandemi terhadap ekonomi.

Dampak yang ditinggalkan pandemi Covid-19 juga diperkirakan membekas permanen sehingga kita tidak dapat seutuhnya kembali pada keadaan sebelum wabah berjangkit. Gelombang pemecatan dan pemangkasan hak pekerja kini hanya tinggal menunggu waktu saja. Mereka yang bekerja pada sektor gig economy juga akan semakin rentan dan dilemahkan daya tawarnya. Berbagai penyesuaian akan diberlakukan dan kelompok yang paling miskin dan lemah akan dikorbankan dalam penyesuaian ini. Mereka yang tinggal di tempat-tempat yang distigma sebagai kumuh dan rentan penyakit akan menghadapi diskriminasi. Kelompok marjinal seperti imigran dan pengungsi akan semakin sulit untuk diterima oleh masyarakat. Kebijakan-kebijakan draconian seperti surveillance yang kita kira hanya berlaku sepanjang pandemi mungkin akan tetap berlaku setelah ancaman wabah berlalu.

Kita tengah berada dalam situasi krisis yang mencekam dan masa depan suram menunggu di ambang. Namun sekali lagi, masa ini terlalu krusial untuk meringkuk ketakutan dan berputus asa. Beragam inisiasi berani demi kemaslahatan kolektif juga telah dilakukan dan menjadi lebih mudah diterima dalam situasi transisional ini.

Di Spanyol, misalnya, pemerintahan ‘kiri’ Pedro Sanchez telah menasionalisasi rumah sakit dan fasilitas kesehatan untuk dikelola publik. Langkah ini diambil untuk memaksimalkan upaya keras melawan Covid-19 sambil mengakui keterbatasan pelayanan kesehatan publik jika dikelola oleh bisnis swasta. Italia, negara dengan kasus Covid-19 tertinggi Amerika Serikat dan China, juga berencana untuk menasionalisasi perusahaan maskapai nasional Alitalia, dengan mayoritas kepemilikan saham di tangan publik, untuk mengatasi dampak kerugian ekonomi akibat Covid-19.

Di Los Angeles, Amerika Serikat, sekelompok tuna wisma mengokupasi sebuah rumah yang ditelantarkan oleh pemerintah akibat proyek perumahan swasta yang gagal. Inisiasi kolektif ini dilakukan sebagai respon gagalnya pemerintah memberikan perlindungan bagi warga miskin kota dalam menghadapi pandemi. Sementara di Hongkong, cepatnya penyebaran Covid-19 mendorong aksi massa besar-besaran menuntut pemberlakuan ‘blokade’ perbatasan Hongkong dan China Daratan yang kali ini melibatkan berbagai pekerja medis. Ini dilakukan sebagai respon terhadap gagalnya pemerintah China mengatasi krisis pandemik. Namun begitu, menariknya, aksi protes ini merupakan bagian dari aksi pro demokrasi yang lebih besar menentang represi pemerintahan China bertahun-tahun lalu.

Baca Juga:

Kuba juga menyajikan kisah yang tak kalah menarik dalam penanganan Covid-19. Negara dengan sistem kesehatan universal ini justru mengirim pekerja medisnya ke beberapa negara, seperti Italia dan Jamaika, untuk membantu kurangnya tenaga medis di sana. Di samping itu, alih-alih menerapkan kebijakan close borders, Kuba justru mengizinkan kapal pesiar Inggris untuk berlabuh di dermaga mereka setelah sebelumnya kapal tersebut menemui hambatan kala meminta izin berlabuh di Amerika Serika. Hal ini mereka lakukan, meski beberapa penumpang kapal positif terjangkit Covid-19.

Dokter-dokter Kuba memegang foto mendiang Fidel Castro dalam satu acara perpisahan menjelang keberangkatan ke Italia untuk misi bantuan medis pada 21 Maret 2020 (sumber foto: REUTERS)

Respon-respon di atas menunjukkan bahwa tindakan kolektif adalah satu-satunya jalan untuk merespon masalah-masalah sosial yang muncul, termasuk Covid-19. Terlebih lagi, tindakan kolektif sangat diperlukan untuk menghadapi masalah yang muncul akibat tatanan kapitalistik yang, dengan panji “penumpukan [kekayaan] tanpa akhir” oleh segelintir orang, menjauhkan manusia dari kepedulian antar sesamanya.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Respon  yang muncul sejauh ini masih terbatas pada social distancing, yakni upaya untuk menghindari kerumunan atau pertemuan publik dengan jumlah lebih dari sepuluh orang. Pemerintah Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah menghimbau masyarakat untuk melakukan aktivitas, termasuk belajar dan bekerja, di dalam rumah masing-masing via daring. Respon ini bukannya keliru, tetapi kurang tepat karena mengabaikan fakta bahwa tidak semua orang bisa melakukan itu. Di luar sana, masih banyak orang-orang yang terpaksa pergi keluar rumah untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan mengambil resiko tertular Covid-19 di tempat kerja mereka.

Di samping social distancing, respon yang muncul adalah tuntutan kepada pemerintah untuk mempublikasi contact tracing, yakni upaya melacak rekam jejak aktivitas kasus-kasus dan pasien-pasien Covid-19, kepada masyarakat luas. Respon ini justru mengamini logika militerisme, yakni ketika suatu masalah diselesaikan dengan pendekatan pengawasan (surveillance) ruang gerak para masyarakat oleh negara.

Tentu saja, hampir tidak adanya insiasi kolektif merupakan warisan sejarah bangsa ini. Warisan ini terutama terkait dengan penghancuran imajinasi politik, dan karenanya juga kapasitas aksi kolektif, sejak pertengahan tahun 1960-an hingga saat ini. Logika militerisme yang mencengkeram kuat selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, bersamaan dengan arus kapitalisasi ruang-ruang produksi seperti tanah, air dan udara—menurut Rob Wallace ini merupakan akar dari gejala Covid-19—membuat kita terputus dari pengetahuan mengenai kenyataan bahwa inisiasi kolektif yang tumbuh begitu besar pernah terjadi sebelum Orde Baru.

Namun, terlepas dari itu semua, kita masih memiliki inisiatif-inisiatif aksi kolektif meski dalam skala yang tidak begitu besar. Kita bisa menengok apa yang telah dilakukan oleh kawan-kawan Social Movement Institute  di Yogyakarta. Kolektif ini, bertolak dari kesadaran tentang terdapatnya segmen sosial yang paling rentan terhadap pandemik, menginisiasi aksi membagi-bagikan hand sanitizer kepada para pekerja—khususnya pekerja ‘kerah biru’—secara gratis. Segmen ini adalah segmen yang paling rentan secara kesehatan padahal kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi bangsa adalah yang paling besar. Mereka melakukan ini di ruang-ruang publik seperti pasar tradisional dan jalan-jalan.

Begitu juga dengan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) yang menghimpun solidaritas dalam bentuk donasi untuk para pekerja harian informal dalam jaringannya. Para pekerja harian informal seperti pedagang asongan, tukang becak, penarik ojek jarang sekali dipertimbangkan keberadaannya oleh pemerintah dalam situasi pandemi Covid-19. Penutupan tempat-tempat ramai membuat banyak pekerja harian informal ini kehilangan sumber mata pencaharian, ditambah tidak adanya jaring pengaman sosial dari negara. Dengan adanya solidaritas donasi, para pekerja harian informal ini dapat tinggal di rumah dan menjaga kesehatan diri dan keluarganya dengan tenang.

Dua kasus ini hanya dua contoh dari banyak inisiasi lain yang dilakukan oleh kolektif-kolektif kecil untuk kemaslahatan kolektif yang lebih luas. Aksi-aksi kolektif seperti ini harus diperbanyak dan diperbesar skalanya, dan tentu saja harus berangkat dari kesadaran mengenai keterbatasan sistem kapitalisme dalam menangani situasi darurat.

Pankaj Mishra mengingatkan kepada kita bahwa di tengah situasi mandeknya ekonomi dunia yang mengarah pada krisis, satu-satunya ujian bagi kita adalah apakah kita mampu memahami gejala wabah pandemi ini sebagai bagian dari perjalanan sistem kapitalisme yang menyejarah dengan seluruh masalah yang ditimbulkannya? Covid-19 tentu saja merupakan gejala baru, namun tiang-tiang pondasi yang menyusunnya telah tertancap kian lama. Maka, Covid-19 hanyalah gejala. Gejala dari krisis kapitalisme yang meniupkan marabahaya bagi hidup manusia sejak lama.

Agensi politis di tengah krisis akibat Covid-19 ini juga menunjukkan kontradiksi di dalam masyarakat kelas, tak hanya dalam wujud antagonisme antara dua kelas. Menurut Ellen Wood (2002), kontradiksi kapitalis di abad 21 ini juga menyangkut degradasi ekologis dan globalisasi. Ancaman ekologis tak hanya penguasaan dan eksploitasi alam oleh kapitalisme, namun juga watak imperatif kapitalis untuk terus berekspansi wujud dalam keterputusannya dengan nilai pakai pada aspek produksi dan konsumsi. Ini mengakibatkan dampak kehancurannya terjadi jauh lebih cepat ketimbang kemungkinan pemanfaatannya.

Kemunculan Covid-19 itu sendiri misalnya ditengarai akibat semakin rusaknya ekosistem satwa liar sehingga jarak manusia dengan satwa liar, termasuk melalui konsumsi dan jual beli, memudahkan transmisi mutasi virus. Globalisasi ditampilkan justru tidak dalam leburnya batas antarnegara, melainkan semakin menguatnya negara – melalui kebijakan politik dan ekonomi – sebagai inang bagi kapitalisme global. Negara bangsa menjadi konsentrasi bagi kekuasaan kapitalis untuk menyokong ekonomi pasar dan sektor finansial. Hal ini ditunjukkan diantaranya dengan permintaan korporasi agar diberikan bantuan keuangan demi mencegah kebangkrutan akibat pandemik Covid-19 dan bagaimana perusahaan farmasi bersiap menggalang untung dari krisis ini. 

Berbagai contoh respon masyarakat dalam menggalang dan mengorganisir upaya menangani dampak Covid-19 di komunitas mereka akan menjadi kekuatan yang lebih solid jika jembatan solidaritas dibangun melampaui batas-batas negara. Ini adalah momen yang tepat untuk membangun seruan kesadaran kelas dan gerakan membangun sistem alternatif. Gerakan yang harus kita awali dari wilayah akar-rumput.

Inisiasi membangun solidaritas dan kesatuan gerak antar elemen rakyat harus dilakukan dalam berbagai level, dari lokal hingga global.

Pada tingkat lokal melakukan pengorganisasian masyarakat sekitar adalah hal yang penting untuk diperhatikan. Terlebih lagi dengan munculnya stigma di masyarakat terhadap mereka yang dicurigai dapat menyebarkan virus tersebut. Melakukan pembagian kerja bergilir secara adil untuk memastikan keadaan setiap anggota komunitas adalah salah satu skenario yang mungkin. Ini berguna sebagai upaya deteksi dini dalam mengidentifikasi penyebaran virus. Apabila ada anggota masyarakat sekitar yang merasakan gejala penyakit, kekurangan makanan, atau memiliki keterbatasan fisik, anggota lainnya bisa langsung melakukan tindakan cepat. Kuncinya adalah respons cepat mitigasi dan perencanaan matang terkait keselamatan dan proteksi tim yang bertugas. Memastikan cukupnya ketersediaan sumber daya dengan cara-cara kolektif.

Pengorganisasian komunitas ini tentu tidak bisa berhenti di tingkat lokal. Lebih jauh, kita harus terhubung secara nasional antara satu dan lainnya. Manfaatkan platform media sosial untuk berkomunikasi dan bertukar informasi terkait mitigasi virus. Keterhubungan dengan serikat buruh dan petani juga menjadi sangat penting dalam demi menjalin solidaritas antar lini. Ikut terlibat aktif dalam melakukan pengorganisasian level nasional dengan mengkonsolidasikan para pekerja kesehatan, gig-economy, atau manufaktur hingga sektor lainnya merupakan tanggungjawab bersama mengingat mereka adalah salah satu pihak yang paling terdampak. Urgensi mobilisasi massa untuk melakukan demonstrasi atau okupasi pabrik dan ruang publik lainnya layak diperhitungkan apabila fasilitas negara sudah sangat tidak memadai.

Solidaritas level internasional menjadi aspek penting lainnya dalam perjuangan menghadapi krisis. Kondisi krisis harus dimanfaatkan dengan jitu untuk memasifkan kampanye perjuangan anti-kapitalisme ke seluruh penjuru dunia yang telah memfasilitasi terjadinya krisis hari ini. Kita harus membuktikan bahwa sistem hegemoni kapitalisme tidak memungkinkan untuk menangani krisis hari ini dan masa mendatang. Solidaritas internasional juga akan memungkinkan kita untuk membangun gerakan sosial yang otonom dan independen secara simultan dan terhubung.

“Kita harus bersatu, membangun kerja sama internasional dan solidaritas global” begitu seruannya, namun kita tidak bisa menyatukan kaum tertindas dengan para penindas. Jika kita tidak membedah praktik eksploitasi yang menjadi jantung dari krisis ini dan menggunakan ruang-ruang tersedia untuk membangun resistensi dan inisiatif kolektif, rantai yang membelenggu kita sekaligus menghubungkan kita hanya akan diganti oleh wajah baru yang lebih bengis, melalui cara-cara yang akan semakin menguntungkan para kapitalis besar di tengah kehancuran lingkungan hidup dan penghidupan manusia yang semakin akut.

Kita semua tentu berharap dapat bertahan hidup melampaui pandemi ini, tapi bertahan hidup saja hanya akan mengantarkan kita pada kehidupan pasca-pandemi yang penuh kemelaratan. Tugas kita di tengah pandemi ini adalah menjaga kesehatan diri dan orang-orang yang kita sayangi. Saling bantu dan tolong-menolong dengan sesama dalam menghadapi kondisi darurat sehari-hari. Kelak jika wabah ini mereda, kita semua harus punya cukup tenaga dan daya hidup untuk turun ke jalan-jalan, untuk mengganyang kekuasaan kapital yang telah sedemikian lama menyengsarakan kita.

 

Daftar Pustaka:

Ellen Meiksins Wood, Contradictions: Only in Capitalism?, Socialist Register 2002.

Immanuel Wallerstein (1991a), Geopolitics and Geoculture: Essays on the Changing World System, Cambridge: Cambridge University Press.

Immanuel Wallerstein (1991b), Unthinking Social Science: The Limit of Nineteenth Century Paradigm, Cambridge: Polity Press.

Immanuel Wallerstein , Structural Crises, New Left Review 62 Mar/Apr 2010.

 

Related Posts

Comments 2

  1. Damar Pitara says:

    Social distancing kamu anggap kurang tepat, contact tracing kamu anggap mengamini logika militerisme. Lalu apa yg baik menurutmu ? Bahkan, idemu yg kamu sebut “Inisiasi Kolektif” jg bukan sebuah mitigasi biner dari kedua hal itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.