Tahun 1776, Adam Smith menulis The Wealth of Nation, babon dari praktik kapitalisme hari ini, yang pada masanya terbilang revolusioner karena mendobrak feodalisme yang kala itu tengah sekarat. Dua ratus tahun setelahnya, The Wealth of Nation dipinjam dan dimodifikasi secara serampangan untuk perhelatan akbar R20 atau Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin Agama Dunia. “Kalau Adam Smith menggagas The Wealth of Nations, maka Gus Yahya mengagas The Wealth of Religions,” tulis seorang pemandu sorak acara ini. Ulil Abshor Abdala, mantan (?) penyorak liberalisme, yang menjadi salah satu tokoh penting dalam R20 bahkan menyebut perhelatan ini sebagai sebuah revolusi.
Mempertanyakan penisbatan inisiasi KH Yahya Cholil Staquf, penggagas R20 sekaligus Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), pada The Wealth of Religion, betapapun itu menggelikan, barangkali tidak terlalu relevan. Tetapi, mengamini penilaian bahwa orang-orang dari berbagai latar belakang keimanan yang ‘nongkrong bareng’ di Pulau Dewata sebagai revolusioner tak ubahnya keabsurdan yang menyepelekan perjuangan umat tertindas dari ketidakadilan global.
Padahal, tak ada yang baru apalagi revolusioner dari R20 ini. Forum ini hanya perpanjangan dari tren bermasalah yang tengah berlaku setidaknya beberapa dekade belakangan. Suatu tendensi menyeragamkan khazanah berpikir dan beragama agar selaras dengan praktik ekonomi politik global.
Forum yang berlangsung pada tanggal 2 dan 3 November di Bali ini bertujuan memperkuat G20, forum ekonomi global yang mempertemukan negara-negara besar demi membahas beragam masalah aktual. Forum ini menyatakan agama mampu menjadi sumber solusi atas berbagai persoalan kemiskinan, kesenjangan global, polarisasi sosial politik, krisis akibat pandemi Covid-19 dan invasi Rusia ke Ukraina yang mengancam krisis energi dan pangan global. Namun, argumen yang menitikberatkan pada solusi agama ini mengidentifikasi masalah dengan memandang agama sebagai salah satu akar persoalan global, di antaranya politik identitas dan kekerasan berbasis ekstrimisme agama.
Solusi yang menjadi pusat perbincangan R20 adalah mempromosikan moderatisme beragama. Sebagaimana diungkap oleh KH Yahya Cholil Staquf, tujuan R20 adalah untuk memastikan bahwa agama berfungsi sebagai sumber solusi yang sejati dan dinamis terhadap masalah di abad ke-21. Melalui R20, “kami berharap dapat memfasilitasi munculnya gerakan global, di mana orang-orang berkehendak baik dari setiap agama dan bangsa akan membantu menyelaraskan struktur kekuatan geopolitik dan ekonomi dunia dengan nilai-nilai moral dan spiritual tertinggi, demi seluruh umat manusia.” ungkap Gus Yahya dalam konferensi pers.
Dari karyanya yang bertajuk ‘Rekonstekstualisasi Fiqih dan Transformasi Pola Pikir Umat Islam Demi Perdamaian Dunia’, Gus Yahya tampak telah membangun kesadaran tentang problem kapitalisme global dan upaya untuk menciptakan skema alternatif di luar berbagai konflik yang sudah ada. Bisa jadi, inisiasi untuk R20 ini adalah strategi NU mengintervensi panggung pemain internasional, terutama dengan menggaet momentum pertemuan G20, untuk mencari solusi di tingkat pemimpin dunia dari krisis kapitalisme. Bahkan kini di desa-desa di Jawa telah bermunculan pengajian (halaqoh) yang tak hanya membahas soal asketisme dan ruhiyah, melainkan isu-isu kontemporer dan masa depan dunia. Di Mojokerto misalnya, pengajian juga diisi oleh dakwah tentang ancaman tambang di Trenggalek dan dihadiri oleh para kyai dan bu nyai. Gerakan pemikiran seperti ini memberi api baru perjuangan di tengah kendornya wacana keislaman arus utama. Nahdlatul Ulama memiliki kekuatan potensial dalam memimpin api perjuangan ini karena memiliki akar di rakyat pedesaan.
Sayangnya, ada jarak menganga antara pengajian di desa-desa tersebut dengan kemegahan forum R20. Dari sekian banyak daftar kelompok undangan yang hadir, tidak ada yang tampak mewakili tokoh agama dari kaum tertindas atau pegiat kelompok agama yang selama ini di garda depan merespon penindasan geopolitik global. Tidak ada misalnya kehadiran Majelis Ulama Rohingya yang melakukan kerja-kerja sosial kepada pengungsi Rohingya di Malaysia, atau National Council of Churches yang memiliki jaringan komuni Kristen di berbagai negara dan aktif dalam kegiatan lintas iman sejak tahun 1950-an, serta aktif memperjuangkan hak kaum migran, pengungsi, kelompok miskin, dan buruh yang dipersekusi atau dieksploitasi. Perwakilan dari mereka tidak saja akan mewarnai ruang demokratis dari konferensi internasional semacam R20, namun mendekatkan tema besar R20 dengan pengalaman riil dari mereka yang bergelut langsung dengan rakyat korban ketidakadilan global. Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah justru hadirnya kelompok agama ekstrimis sayap kanan India seperti Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS). RSS memiliki sejarah anti-Islam dan anti-Kristen termasuk menghancurkan masjid, membunuh ribuan Muslim sejak tahun 1980-an dan menjadi bagian dari Bharatiya Janata Party (BJP), partai Hindu nasionalis dari Perdana Menteri India saat ini, Narendra Modi.
Beberapa komentator malah mendukung forum ini sebagai cara menautkan berbagai persoalan dengan agama sebagai pemecah masalah dan dipandang sebagai salah satu cara diplomasi internasional baru. Problem yang dialami umat Muslim di India direduksi sebagai ‘konflik komunal’ dan dilucuti dari fakta bahwa ini adalah kejahatan yang disokong negara, sehingga kerukunan antara umat Hindu-Islam dianggap perlu dibangun semata demi kepentingan ekonomi India itu sendiri. Ada pun yang lebih skeptis misalnya, seperti dalam tulisan Ahmad Rizky M. Umar, juga sama sekali tidak memberikan ruang analisa ekonomi politik yang lebih kritis tentang dukungan politik timbal balik antara RSS dan agenda Islam moderat di Indonesia. Mereka cenderung sepakat untuk melihat agama sebagai bagian dari masalah itu sendiri. Padahal, apa yang terjadi terhadap kaum Muslim di India adalah terorisme negara yang disponsori oleh Narendra Modi dengan sokongan RSS dan BJP, suatu bentuk penindasan anti-Islam yang sistemik, struktural dan militeristik sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Myanmar terhadap kaum Rohingya, Pemerintah Cina terhadap etnis Muslim Uyghur dan Zionis Israel terhadap rakyat Palestina. Tak ada kecaman atau ekspresi solidaritas yang muncul akibat ‘ekstrimisme Hindu’ ini dari para tokoh Islam kita. Lewat R20, mereka justru menyambut baik para penindas saudara seiman kita sebagaimana kita ternganga menyaksikan tokoh-tokoh Muslim beramah-tamah dengan Zionis atas nama ‘bersikap moderat’.
G20, R20, dan Reproduksi Hegemoni Neoliberalisme
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tren moderatisme agama yang belakangan menyedot antusiasme umat beragama tampak kembali menjadi pemikat bagi para elit politik. Jargon-jargon seperti “toleransi”, “perdamaian”, “inklusif”, “pluralisme” yang digaungkan oleh penguasa seakan membawa angin segar bagi krisis multidimensi yang membuat rakyat semakin terpuruk. Kecenderungan untuk begitu saja menerima rentetan jargon tersebut luput untuk mempertanyakan motif ekonomi politik dan ideologis di balik jubah moderatisme agama. Istilah ‘Islam moderat’ tampak sejalan dengan konsep ummat (Islam) wasathiyah atau umat pertengahan yang disebut dalam al-Qur’an sebagai umat yang berimbang dan tidak melampaui batas. Namun, istilah ‘moderat’ ini dalam persentuhannya dengan ekonomi politik global melipir dari makna ‘berimbang’ yang adil. Islam moderat menjadi narasi yang sejalan dengan proyek deradikalisasi (CVE atau counter-violent extremism) dan anti-terorisme. Padahal dua tahun lalu Muslim Public Affairs Council di Amerika Serikat menyatakan bahwa CVE dilandasi oleh paradigma pengawasan (surveillance) yang diskriminatif, dan secara sistematis menyasar dan mempenetrasi umat Islam untuk mengkonstruksi identitas baru soal mana “Muslim yang baik” dan “Muslim yang buruk”. Muslim yang baik adalah “moderat, toleran, pluralis” di hadapan kapitalisme dan liberalisme, dan Muslim yang buruk adalah apapun di luar itu.
Konsepsi “Islam moderat” yang diproyeksikan sesuai dengan perkembangan zaman dan politik global arus utama tidaklah muncul begitu saja. Proyek besar ini disebarluaskan pemerintah yang disokong oleh Amerika Serikat pasca tragedi 11 September 2001 untuk program anti-terorisme sekaligus membangun masyarakat Muslim yang dianggap bisa memuluskan jalan kekuatan ekonomi global meliberalisasi Indonesia. Narasi moderatisme Islam condong pada pengaburan makna serta praktik ketidakadilan itu sendiri, misalnya lewat penekanan pada tafsiran toleransi, pluralisme, dan dialog lintas iman. Tafsiran semacam ini sejalan dengan kepentingan geopolitik global yang menerabas kedaulatan negara untuk ekspansi ekonomi, di saat yang sama membelenggu pergerakan manusia di dalam demarkasi nasionalisme. Semangat lintas iman yang muncul tidak lagi berani atau tajam dalam mendefinisikan mana lawan mana kawan dalam perjuangan menegakkan keadilan bagi kaum mustad’afin di tingkat global.
Agenda lainnya ialah mendorong peran agama merespon ekonomi-politik global. Penting untuk menginterogasi agenda ekopol global yang dirujuk dalam forum G20. Bukan rahasia lagi kalau forum multilateral tersebut adalah ajang pertarungan dominasi antar negara besar yang mempromotori sistem ekonomi dan ideologi kapitalisme neoliberal. Di sini, kita bisa menemukan kontradiksi internal dalam forum tersebut. Sementara G20 berusaha menghadirkan solusi bagi krisis berlapis hari ini (krisis iklim, kemiskinan, perang), di saat bersamaan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal yang dominan hari ini justru yang menjadi muara segala krisis tersebut. Deregulasi yang menjadi prasyarat utama beroperasinya sistem ekonomi ini sudah terbukti menjadi penyebab masifnya perampasan ruang hidup, penghancuran nasib dan gerakan kelas pekerja, hingga privatisasi segala sendi kehidupan.
Maka dari itu, G20 juga akan mempengaruhi situasi ekopol di Indonesia. Hadirnya neoliberalisme pun berkait-kelindan dengan semakin tumbuhnya autoritarinisme. Omnibus Cipta Kerja yang mendapat kecaman publik adalah salah satu perwujudan pemerintah sebagai pelayan setia para pemilik modal. Ambisi menggenjot investasi 1,2 triliun tahun ini demi pembangunan dilakukan dengan memberangus hak-hak kelas pekerja, perlindungan lingkungan, hingga eksklusi terstruktur terhadap masyarakat adat. Agenda liberalisasi tersebut diikuti dengan pengerahan aparat gabungan TNI/Polri untuk mengawal seluruh kepentingan investasi. Rakyat tidak boleh mengganggu laju ekspansi kapital.
Bagaimana dengan R20 yang bertujuan menyelaraskan agama dengan geopolitik dan ekonomi global? Berkaca dari motif ideologis G20, forum agama lintas negara tersebut hanya akan melegitimasi agenda dominan neoliberal yang dikomandoi oleh para pemilik modal dan elit-elit politik. Rakyat akan dibawa kembali pada kubangan yang sama.
Sikap Menengah dan Tumpulnya Perlawanan Umat
Glorifikasi diplomasi Islam wasathiyah sebagai potret diplomasi agama yang ideal pada titik ini tidak sepenuhnya berhasil. Mereka hanya mengambil nilai-nilai Islam secara parsial, mendefinisikannya secara atomistik, menambal lubang yang tak dapat diisi oleh demokrasi liberal. NU perlu merefleksi bagaimana model diplomasi agamanya gagal menciptakan perdamaian dalam mengurangi militansi, memerangi ekstremisme, hingga menekan kekerasan komunal, sebagaimana contoh di Afghanistan.
Kala itu, penggunaan agama dalam penyelesaian konflik di Afghanistan merupakan reaksi atas kurang efektifnya aktor negara dalam mewujudkan perdamaian positif. Kehadiran PBNU untuk membangun kohesi sosial masyarakat Afghanistan melalui paradigma Islam wasathiyah dan mendukung rekonsiliasi antara Taliban dan pemerintah Afghanistan nyatanya tak membuahkan hasil yang diharapkan. Dialog Jakarta pada 18-19 Juli 2011 pernah diboikot Taliban, kelompok yang diidentifikasi oleh media arus utama sebagai ekstremis penyebab konflik di Afghanistan hingga memiliki jaringan dengan teroris di Indonesia. Taliban menolak forum tersebut karena PBNU justru menghadirkan kelompok lawan mereka yang pro-Amerika Serikat (AS) maupun pro-pemerintah. Fatalnya, Dialog Jakarta malah menghasilkan pernyataan gabungan yang ditandatangani oleh delegasi dengan memisahkan problem invasi AS sebagai akar konflik. Forum tersebut justru menyeru agar penyelesaian konflik di Afghanistan diimbangi dengan upaya rekonsiliasi, rehabilitasi, pembangunan institusi dan masyarakat kembali, serta afirmasi penggunaan Islam wasathiyah sebagai prinsip keagamaan yang harus dipegang oleh delegasi. Kesepakatan itu tentu saja mengingkari perjuangan rakyat Afghanistan yang ingin terbebas dari invasi AS.
Dialog Jakarta pada dasarnya tak jauh beda dari forum-forum perdamaian internasional lain yang diselenggarakan NU. Pada 9-12 Mei 2016, PBNU mendapatkan amanat khusus dari Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mempromosikan Islam Nusantara. PBNU pun menyelenggarakan International Summit of Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) dengan visi yang sama: menyamakan persepsi dan sikap bahwa Islam adalah agama antiradikalisme, antikekerasan, bahkan antiterorisme.
Narasi ini serupa dengan proyek ‘Global War on Terror’ yang dipimpin oleh Amerika Serikat lewat lembaga LibForAll atau Liberty for All. LibForAll sendiri didirikan oleh C. Holland Taylor tahun 2003 bersama dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dipuji oleh the Wall Street Journal sebagai “sekutu Barat paling penting dalam perjuangan ideologis melawan radikalisme Islam”. Agenda memberantas ekstremisme atau ‘radikalisme’ agama ini tentunya hanya menitikberatkan Islam, dan mengkampanyekan toleransi semu sembari melumpuhkan konsep-konsep kunci dalam Islam seperti Kafir (non-Muslim), ummah (komunitas Muslim), dan jihad (perjuangan) karena dianggap ‘ekstrem’. Pengaruh LibforAll tampak begitu jelas dalam pertemuan internasional yang dihadiri lebih dari 30 negara termasuk Afghanistan ini.
Dua tahun setelahnya, Indonesia diminta untuk menindaklanjuti rencana konferensi tahunan ulama tiga negara oleh Presiden Ghani. NU menjadi penanggung jawab konferensi tersebut dan menghadirkan ulama dari Afghanistan dan Pakistan untuk duduk bersama dalam Konferensi Ulama Trilateral pada 11 Mei 2018. Konferensi ini menghasilkan Bogor Ulema Declaration for Peace yang menjadi pernyataan sikap para ulama tiga negara atas konflik di Afghanistan dan negara-negara lain. Para ulama menyatakan dukungannya untuk perdamaian dan kemakmuran Afghanistan. Taliban bahkan disebut menyetujui perdamaian yang mereka upayakan ini.
Pada akhirnya, sekalipun Taliban telah diundang untuk belajar Pancasila dan Islam Nusantara ke Indonesia, Taliban tetap pergi berperang melawan AS hingga berakhir pada kemenangannya di tahun 2021. Kembalinya kekuasaan Afghanistan ke Taliban ini menunjukkan bahwa tak ada dampak signifikan yang dihasilkan oleh upaya ormas Islam mewujudkan “perdamaian” di Afghanistan.
Kekeliruan dalam berpihak, pembacaan masalah yang atomistik, hingga solusi yang berpijak pada agenda counter-terrorism adalah faktor-faktor utama kegagalan seluruh proses dialog itu–meskipun kita perlu memberi apresiasi kerja keras panitia acara ini.
Pada situasi ini, Islam wasathiyah seakan menutup mata dan tak mau berurusan dengan prinsip hurriyah sebagai dasar hubungan insani maupun dauliy dalam Islam. Mereka tak mau menyinggung persoalan struktural dan intervensi negara lain yang menjadi akar dari revolution unending di Afghanistan. Islam wasathiyah terjebak dalam ilusi keberhasilan diplomasi Islam moderat yang tak lebih merupakan usaha AS menginstrumentalisasi agama setelah kebijakan luar negerinya menghadapi kegagalan di Iran, negara yang institusi politik dan rakyatnya memiliki keterikatan kuat dengan agama Islam.
Proyek moderatisme agama inilah pada akhirnya secara politis justru mengekang metode perlawanan rakyat terhadap penindasan. Para penganjur moderatisme agama kemudian berkongkalikong dan melegitimasi pelabelan “subversif”, “radikal”, “ekstremis”, “fundamentalis”, yang digunakan secara ugal-ugalan oleh penguasa. Di sinilah, kita menemukan tendensi otoritarian dari Islam moderat yang memberangus ruang riil demokrasi, yang ironisnya, atas nama membela demokrasi. Ini diperkuat dengan konsolidasi elite agama-kekuasaan yang semakin erat sehingga bisa dengan mudah meminjam tangan negara untuk membungkam kelompok yang ditandai berada di luar barisan Islam moderat. Kita tentu tak boleh melupakan kekejaman negara saat memersekusi Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam beberapa tahun belakang. Tak lupa juga bagaimana proyek CVE lahir seiring dengan diculik dan disiksanya kaum Muslim yang dituduh teroris dan ekstrimis di penjara Abu Ghraib dan Guantamo oleh Pemerintah AS tanpa proses pengadilan.

Jika ditautkan pengaruh LibForAll dengan rentetan proyek global untuk ‘melucuti Islam’, tak heran jika kemudian C. Holland Taylor menjadi penasehat R20, di mana landasan pemikirannya bermuara pada konstruksi Islam moderat yang problematis. Hal ini dapat kita lihat pada dua dari lima tema besar R20, yaitu rekontekstualisasi ajaran agama yang “usang dan bermasalah”, memastikan ko-eksistensi yang damai, dan ekologi spiritual. Penasehat R20 lainnya adalah Timothy Samuel Shah, yang memimpin proyek kebebasan beragama dan meluncurkan laporan riset bertajuk Indonesia Religious Freedom Landscape 2020. Di dalam laporan itu, capaian kebebasan beragama dilihat dari meningkatnya secara dramatis populasi umat Kristen dan kuatnya jejaring untuk menghalau kekuatan “anti-pluralis” yang dianggap mengancam demokrasi Indonesia. Inikah cara memaknai “kebebasan beragama”? Makna seperti ini memaksa umat hanya bisa bermanuver di dalam batasan yang dibuat oleh norma liberalisme. Agama sebagai kekuatan pembebasan dilucuti menjadi sekadar “kebebasan beragama”—suatu konsep superfisial sembari mengusung toleransi atas ketidakadilan yang dilanggengkan oleh institusi, industri militer, dan kekuatan korporasi transnasional.
Islam dan Rekontekstualisasi Ekonomi Politik Global
Dalam artikel panjangnya, Karen Amstrong menafikan anggapan bahwa kekerasan berbasis agama adalah sumber konflik dunia. Menurutnya, itu adalah mitos karena perkembangan negara liberal, sekuler, dan nasionalisme jauh lebih brutal secara skala dan intensitas. Konflik lahir bukan semata dari tafsir agama, tetapi karena adanya faktor-faktor lain yang berangkat dari ketimpangan kondisi material. Kondisi material ini bisa dilihat dari data Oxfam yang menyatakan bahwa pasca-pademi Covid-19, setiap empat detik ada satu orang yang tewas akibat ketidakadilan struktural berupa kelaparan, kurangnya akses fasilitas kesehatan, perubahan iklim dan kekerasan berbasis gender. Bulan Agustus lalu di Pakistan, rakyat menanggung dampak perubahan iklim dengan menghadapi banjir terparah dalam sejarah mereka, sementara Bangladesh adalah negara paling rentan terdampak perubahan iklim yang juga mengancam naiknya arus migrasi, serta Somalia sedang mengalami krisis kelaparan sejak 2021 yang menyebabkan 4,1 juta warganya darurat pangan. Ketiganya merupakan negara mayoritas Muslim.
Problem kita adalah solidaritas dan keadilan transnasional umat, bukan problem ekstremisme, politik identitas atau tafsiran usang atas agama.
Jika R20 berusaha membawa agama menjadi solusi dari konflik global–yang direduksi menjadi konflik kekerasan berbasis agama–dan mendasarkannya pada nilai-nilai spiritual yang luhur, kita perlu membaca ulang bagaimana “perdamaian” dalam tradisi Islam diteorisasikan dan dipraktikkan. Tak ada khilaf di antara ulama fikih ketika mengatakan bahwa damai (salam) adalah pokok relasi dalam Islam–baik relasi insaniyah maupun relasi dauliyah. Toleransi hanya satu dari sekian penyangga relasi insaniyah yang menjadi dasar bagaimana ‘alaqat dauliyah dalam Islam dijalankan. Islam membangun perdamaian tidak semata lewat diplomasi harmoni. Terdapat sembilan prinsip lain sebagaimana Abu Zahrah tulis dalam bukunya ‘Alaqat Dauliyah fil Islam yang terbit pada tahun 1995 ketika Perang Dingin telah berakhir. Abu Zahrah menunjukkan bagaimana hubungan internasional dalam Islam memiliki corak kuat solidaritas kepada kelompok yang tertindas dan ketegasan dalam melawan penindas seperti “karamah insaniyah”, “an-nas jami’an ummah wahidah”, “fadilah”, “ta’awun al-insany”, “mawaddah wa man’ul fasad”, “mu’amalah bil misl”,“‘adalah”, “wafa’ bil ‘ahdi”, hingga “hurriyah”.
Islam tidak mengajarkan untuk beramah-tamah kepada para penindas, justru sebaliknya, Islam mendorong muslim aktif menyuarakan perlawanan. Mengutip Abu Zahrah, bahwa Islam adalah agama samawi yang tidak mungkin diam atas kezaliman orang-orang kuat terhadap mereka yang lemah. Islam Wasatiyyah seharusnya mewarisi tradisi diplomasi Islam yang berakar dari syariat Islam itu sendiri, bukan dari hasil proyek reformasi hukum Islam klasik yang dimotori oleh LibforAll.
Jika R20, terutama NU, ingin berkomitmen untuk menjadikan agama sebagai solusi, semangat nasrul mustad’afin harus menjadi titik berangkat guna mengadvokasi dan memastikan keadilan bagi mereka. Sayangnya, ghirah NU berbeda. NU kini tak mau agama hanya sekadar menjadi stempel pembangunan, tetapi agama harus menjadi inspirasi model kehidupan berkeadilan. Pertanyaannya, model kehidupan berkeadilan seperti apa yang dibayangkan oleh R20 dan NU?
Sejarah agama berjalan di atas sejarah moda produksi yang menentukan bagaimana praktik ketidakadilan harus direspon. Saat ini, kapitalisme lah moda produksi dominan yang penopang hidup-penghidupan umat Islam. Uraian Syed Hussein Alatas justru menyatakan bahwa alih-alih mendukung kapitalisme, Islam memiliki semangat “sosialistik” yang membatasi kepemilikan pribadi, menentang eksploitasi dan perbudakan, serta lantang mendorong redistribusi kekayaan oleh pemerintah bagi kaum mustadh’afin. Syed Hussein Alatas mengingatkan bahwa penolakan terhadap ‘harmoni’ antara Islam dengan sosialisme merupakan bentuk status quo untuk mempertahankan moda produksi kapitalisme yang bercokol saat ini. Padahal, daya resistensi inilah yang membuat Islam terus berdialektika dari zaman ke zaman. Menceburkan agama ke dalam mode produksi kapitalisme akan membunuh daya resistensi tersebut seperti yang dilakukan NU hari ini di forum R20.
Tawaran Bersama ke Depan
Saat ini, NU tengah melaksanakan halaqah Fikih Peradaban di 250 tempat yang akan berpuncak pada Januari 2023 menjelang satu abad NU. Diperkirakan ada 50 hingga 100 orang menjadi peserta untuk setiap halaqah. Ini merupakan potensi gerakan massa yang besar dan perlu diorganisir untuk membangun khazanah pemikiran tajam dan bergerak melawan penindasan. Akhirnya, semakin tumbuh pula berbagai elemen yang sadar akan krisis kerusakan lingkungan, eksploitasi kelas pekerja dan perampasan hak-hak rakyat yang selama ini tersebar di berbagai wadah, media dan komunitas. Jika kita bisa menemukan titik temu di kerja-teoritik yang di dalamnya kerja lapangan menjadi esensial untuk menyoal isu keadilan global, maka tugas kita adalah bergerak atas pijakan materialitas yang riil untuk melawan neoliberalisme, dan bukan melembekkan girah umat Islam.
Hal ini urgen mengingat ketiadaan wujud solidaritas atau semangat bergerak untuk membela kaum Muslim maupun rakyat tertindas non-Muslim yang terbelenggu, selain dari aksi-aksi protes atau pengumpulan donasi yang sporadis. Kondisi sekarang, negara-bangsa di wilayah Muslim, dan negara secara umum, beroperasi dengan perhitungan insentif dan disinsentif ekonomi politik lewat logika kapitalisme neoliberal, ungkap Hafsa Kanjwal dalam esainya menyoroti kegagalan Orde Liberal di tingkat internasional. Ia menyerukan gagasan untuk rekonfigurasi tata dunia saat ini dengan mengajukan suatu ‘imajinasi global yang berpusat pada umat’ – dimana martabat kemanusiaan, harmoni dan keadilan berada di atas keuntungan dan kepentingan nasional.
Gagasan rekonfigurasi tata dunia yang berpusat pada umat ini misalnya dielaborasi lebih jauh oleh Muhammad al-Fayyadl dengan tiga tawarannya untuk Fikih Peradaban. Ia menggunakan konsep negara-bangsa dengan tetap memusatkan aspek “darul” (“negara”) dan “umat“. Ketiga tawarannya adalah transformasi dari “darul harbi” menjadi “darud-dakwah”, membangun bentuk “negara suaka” yang inklusif terhadap kaum imigran dari kelompok tertindas lintas iman, suku, dan ras, serta integrasi “hifzul bi’ah” (menjaga lingkungan) ke dalam praktik hifzul wathon (menjaga negara) sebagai salah satu dari maqasid syariah. Ketiganya perlu dilengkapi oleh perspektif materialis dan analisis berbasis kelas sebagai pisau analisis agar umat punya amunisi tajam menghadapi lawan.
Setelah menyepakati visi tatanan dunia baru dan gagasan konkretnya dalam tafsiran Islam yang lebih progresif dan transformatif, pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana agama menghadirkan alternatif keadilan dan kesetaraan sementara corak ekonominya sendiri didikte oleh kehendak segelintir kelas? Mewujudkan alternatif keadilan tidak cukup dengan mengusung panji agama di dalam forum ekonomi dominan. Butuh langkah jauh lebih radikal dari itu. Alternatif tersebut hanya akan bisa terwujud apabila agama membebaskan diri dari belenggu kapitalisme hari ini, berbekal imajinasi politik kerakyatan yang bertujuan untuk mendemokratisasi alat produksi, redistribusi kekayaan, mengakhiri bisnis-bisnis perang, memerangi penjajahan, rasisme, hingga penindasan berbasis gender.
Komunitas agama yang diwujudkan dalam Islam lewat konsep umat, nilai-nilainya menanamkan semangat solidaritas melampaui sekat suku-bangsa. Ini seharusnya dapat membentuk wadah organik bagi kaum tertindas di tingkat global sebagai respon terhadap penindasan kapitalisme yang telah dikelola secara global pula. Wadah ini harus membangun kekuatan baru dari komunitas agama untuk melawan kekuasaan yang masih dipegang oleh negara dan kapital. Inilah bentuk konkret dari prinsip “an-nas jami’an ummah wahidah” itu, bukan model forum seperti R20, ISOMIL, maupun Dialog Jakarta. Namun, lagi-lagi, NU dan Liga Muslim Dunia justru lebih memilih untuk melanjutkan forum-forum tersebut demi menjaga relasi agama dengan negara dan mengintegrasikan agama dalam pembangunan arus utama. Mereka menjadikan agama pelayan dari hasrat akumulasi kapital, meluruhkan nilai-nilai agama yang membebaskan agar dapat bermesra dengan kelompok yang menguntungkan agenda-agenda neoliberal. Halaqah Fikih Peradaban dan muktamar internasional fikih peradaban hanya akan berakhir menjadi kumpulan repetisi kegagalan umat Islam jika masih mengulang narasi keagamaan yang sama.
Ko-eksistensi seperti yang digaungkan dan diimajinasikan oleh forum R20 tidak berangkat dari analisis kondisi aktual perang, teror, hingga penjajahan yang berkait-kelindan dengan relasi kapital. Forum R20 dan bela negara (nasionalisme) atau hifzul wathon akan jadi omong kosong jika melegitimasi penetrasi neoliberalisme dan penumpulan girah Islam. Ko-resistensi, perjuangan rakyat yang melampaui sekat-sekat sekaligus merekatkan persatuan umat lintas agama justru mendapat momentumnya hari ini.
Perhelatan R20 dan Halaqah Fikih Peradaban sudah seharusnya dimanfaatkan oleh elemen akar rumput untuk mengonsolidasi, memperluas, membangun dinamika juga perdebatan seputar imajinasi gerakan rakyat lintas agama demi menghadapi krisis aktual yang ada.
Maka itu, perlu kita rekontekstualisasi gagasan Pan-Islamisme yang sesuai dengan kondisi saat ini. Tawaran negara-bangsa yang sejalan dengan maqasid syariah oleh Muhammad al-Fayyadl bisa direkatkan dan diperluas oleh pan-Islamisme modern. Dengan segala keterbatasan dan kritik terhadapnya, pan-Islamisme adalah contoh sejarah bagaimana perlawanan umat Muslim mampu untuk mendobrak batas-batas teritorial. Nasib sepenanggungan dan kehendak politis untuk bebas dari cengkeraman penjajahan adalah perekat yang mempersatukan seluruh umat Muslim tertindas. Seperti pidato Tan Malaka di hadapan Komintern IV, perjuangan pemogokan buruh-buruh di Hindia-Belanda tidaklah terpisah dari perjuangan boikot umat Muslim di India dan Mesir melawan penjajah Inggris. Nafas perlawanan yang hari ini seharusnya bisa mempersatukan rakyat Muslim Indonesia, Palestina, Iran dan umat tertindas lainnya untuk saling bahu-membahu melawan penindasan.
Perhelatan ‘aji mumpung’ menjabat
Apakah ujung tulisan ini menghendaki Islam transnasional berkumpul bersatu membuat negara dan dengan frontal melawan ketidak adilan para elit global yg mejalankan negara-negara penguasa dunia? Bisa jadi kekuatan seperti itu yang nantinya ditumpangi juga oleh kepentingan ekonomi bisnis perang, Kepentingan meraup cuan bisa main dimanapun dan dalam model apapun yang ditemukannya sepanjang zaman peradaban manusia, apabila manusia 8tu sendiri tak pernah sadar dan mencari solusi lain yang sesalu dapat diperbaiki secara berjenjang.
Semua upaya mencari solusi dalam konteks hubungan agama dengan realitas kekinian di setiap zaman itu tujuannya baik, tinggal bagaimana Tuhan merizkikan anugerahnya sejalan dengan niat suci masing-masing.
keren sih, tantangan indonesia jadi juru damai dunia