Ada sebuah gagasan yang yang terdengar cukup baru serta “asing” untuk merealisasikan gagasan reforma agraria di Indonesia. Dalam tulisan yang berjudul “Wakaf Sebagai Jalan Reforma Agraria”, Shohibuddin memberikan suatu penyegaran ide, serta kemungkinan untuk mengambil “celah” atas mandeknya proses pendistribusian tanah di Indonesia setelah 50 tahun lebih dirumuskan. Mengacu pada dasar Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan didukung dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, ini tentu menjadi ide yang progresif serta radikal sehingga perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
Gagasan untuk menggunakan wakaf sebagai salah satu jalan dalam reforma agraria bagi Shohibuddin setidaknya akan menjawab 3 tantangan pada sektor agraria. Pertama, adalah proses diferensiasi agraria akibat komersialisasi input dan tahapan pada sektor agraria. Kedua, fragmentasi tanah terutama disebabkan oleh pewarisan. Terakhir, pengambilalihan tanah yang dilakukan oleh pihak lain untuk proyek tertentu. Ketiga permasalahan ini seringkali tidak hanya membuat reforma agraria sulit dicapai, tetapi juga membuat banyak petani kehilangan lahannya. Shohibuddin menawarkan suatu solusi konseptual dan teknis untuk menggunakan wakaf sebagai jalan alternatif reforma agraria. Tulisan ini menjadi salah satu tanggapan kritis atas gagasan Shohibuddin yang cukup menarik untuk didiskusikan.
Posisi Tenaga Kerja Dalam Wakaf Untuk Reforma Agraria
Hubungan yang cukup penting untuk dikembangkan dalam wacana ini adalah kaitannya dengan tenaga kerja. Shohibuddin dengan sangat cemerlang menawarkan cara lain untuk “mendapatkan/merebut” sumber-sumber agraria. Namun ada yang rasanya absen dalam skema tersebut, yaitu urusan tenaga kerja. Analisis yang dibuat oleh Tania Li (2011) menjelaskan adanya kerawanan pada sektor ketenagakerjaan saat akuisisi lahan skala besar untuk kepentingan industri, seperti dicontohkan pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Li menilai perkebunan skala besar telah gagal membuktikan argumennya untuk menurunkan tingkat kemiskinan masyarakat sekitarnya, justru secara aktif memproduksi kemiskinan karena informalisasi tenaga kerja.
Seperti yang ditunjukkan oleh Ann Stoler (1995) di Sumatera bagian timur, sejak era kolonial hingga berkuasanya Orde Baru, sektor perkebunan skala besar menciptakan suatu realitas persaingan baru hanya untuk memperebutkan pekerjaan pada perkebunan yang upahnya tidak layak. Persaingan ini tercipta karena kebutuhan tenaga kerja murah yang memang didatangkan dari wilayah lain. Jalan keluar yang seringkali diambil oleh orang-orang yang masih cukup produktif adalah dengan melakukan migrasi. Di sisi lain, terbatasnya lahan di wilayah pedesaan yang banyak ditemukan di Indonesia membuat banyak orang-orang usia produktif pergi ke kota atau negara lain untuk mendapatkan penghasilan. Hal ini membuat lahan pertanian di wilayah pedesaan seringkali hanya digarap oleh golongan tua yang merasa sudah tidak mampu untuk “bekerja”. Hampir seluruh kebutuhan sehari-hari biasanya disokong oleh kiriman dari anak, ini seperti mekanisme jaminan sosial berlandaskan nilai-nilai kekeluargaan. Secara mengejutkan, salah satu studi menunjukkan bahwa para pekerja migran masih tetap menaruh perhatian pada keinginan memiliki lahan di desa dengan cara “mengubah lanskap” hutan menjadi rerumputan di lahan milik negara. Hal ini dilakukan karena ada kesempatan sebagai penyokong keberlangsungan produksi industri susu sapi di sekitar tempat tinggal mereka (Peluso et al, 2017).
Memang hampir sebagian besar narasi yang melibatkan skala penguasaan lahan di berbagai belahan dunia menunjukkan selalu ada permasalahan yang menghinggapinya. Alasannya, sebagian besar disebabkan oleh berkurangnya lahan kepemilikan (guremisasi) atau bahkan hilang sama sekali. Salah satu studi mencoba untuk memandang ulang asumsi mengenai tindakan petani saat berhadapan dengan proses land-grabbing di wilayahnya (Mamonova, 2015). Hasil studi tersebut memang menunjukkan adanya respon-respon yang biasa diambil oleh para petani, dalam skala rumah tangga, saat berhadapan dengan land grabbing. Dalam studi tersebut juga dijelaskan bahwa salah satu strategi yang paling penting adalah dengan beradaptasi dalam rangka mencari sumber pendapatan yang berhubungan atau tidak sama sekali dengan pertanian skala besar. Mamonova juga menunjukkan bahwa petani yang tidak dapat beradaptasi justru terekslusi dan disertai meningkatnya resiko kemiskinan pada rumah tangga di masa yang akan datang. Adanya paradoks ini memang sangat erat kaitannya ketika industri pertanian/perkebunan masuk ke dalam suatu wilayah seturut dengan pengenalan teknologi baru yang dimanfaatkan untuk meningkatkan keuntungan lewat efisiensi. Tidak jarang petani skala kecil mengadopsi teknologi-teknologi baru yang masuk dengan cara berhutang dan terjerat dengan hutang-hutang tersebut.
Kesempatan dan peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang baik agaknya menjadi salah satu alasan dari banyak petani untuk meninggalkan sektor pertanian. Terbatasnya lahan pertanian yang dimiliki serta anggapan bahwa petani bukanlah pekerjaan “terpandang” menjadi dua penyebab umum. Shohibuddin menawarkan mekanisme untuk pengelolaan kolektif, atau bahkan komunal, yang diatur berdasarkan asas keadilan bersama. Namun permasalahan yang juga telah diidentifikasi oleh Shohibuddin adalah “mengeluarkan” status kepemilikan tanah untuk menjadi milik bersama. Mengurai kepemilikan tanah ini memang membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dimengerti seperti yang telah dijelaskan oleh E.P Thompson (1975) dan Henry Bernstein (2010) mengenai enclosure seturut dengan berkembangnya kapitalisme pada sektor agraria. Reduksi pekerja pada sektor agraria terjadi seringkali disebabkan dari suatu keputusan pemilik lahan untuk melakukan efisiensi demi peningkatan produktivitas. Selain itu, seringkali ditemukan bahwa anak dari petani cenderung didorong untuk pergi meninggalkan pekerjaan “yang menyentuh tanah” demi “masa depan kehidupan lebih baik”.
Bagi kalangan Marxian, kemungkinan jumlah petani yang “keluar” dari sektor pertanian memang erat kaitannya dengan disposesi lahan (land dispossession). Hal ini dipercaya menyebabkan surplus tenaga kerja relatif akibat dari ploretarianisasi (Habibi, 2016) (Li, 2009). Menurut data yang ada, jumlah petani di Indonesia kian menyusut setiap tahunnya.[1] Kemungkinan yang paling besar adalah migrasi sirkuler yang dilakukan para “bekas petani” kalau bukan menggantungkan diri dalam pasar bebas buruh tani di dalam desanya. Memang buruh tani di Indonesia menjadi salah satu alat politik penting bagi kesinambungan para penguasa. Telah dijelaskan oleh Geertz secara detail bagaimana mekanisme shared poverty (1963) banyak dilakukan petani skala kecil. Bagi yang tidak memiliki lahan, sistem patron-klien sangat mudah dibuat dan dijumpai. Alih-alih saling terikat dalam satu hubungan hak dan tanggung jawab, sistem patron-klien lebih sering digunakan untuk kepentingan politik para tuan tanah dalam memperoleh tenaga kerja murah dan loyal. Hasilnya, kompleksitas pada relasi sosial dalam berbagai kegiatan agraria menggantungan diri pada ketersediaan tenaga kerja yang sepanjang sejarah sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi-politik.
Relasi Spasial dalam Wakaf untuk Reforma Agraria
Sebelumnya sudah saya singgung bahwa skema wakaf untuk reforma agraria ini mungkin salah satu yang tanggap peluang. Menguatnya politik identitas, terutama yang dimainkan oleh kelompok Islam, sejak Pilkada DKI Jakarta memang terus bergeliat, bahkan semakin kuat, sampai saat ini. Tidak dipungkiri berbagai gerakan yang memiliki pandangan untuk “memurnikan ajaran Islam” tumbuh subur utamanya di wilayah perkotaan. Hal ini menjadikan peluang dan tantangan menjadi satu pada skema wakaf untuk reforma agraria ini.
Saya membayangkan bahwa reforma agraria memang ditujukan ke wilayah-wilayah pedesaan. Menguatnya ke-Islam-an di wilayah perkotaan mungkin diharapkan menjadi dukungan tersendiri bagi reforma agraria dengan mewacanakan wakaf sebagai suatu tindakan yang penuh nilai-nilai kebaikan dan nantinya akan diganjar pahala sebagai “bekal” pada kehidupan setelah mati. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana wakaf dapat menjadi skema alternatif untuk mencapai visi reforma agraria yang dapat dikelola oleh smeua golongan dan bukan hanya “umat” saja?
Pada tataran ini, saya mengacu pada kemunculan gerakan 212 yang kemudian menjadi kelompok non-formal dengan kekuatan ekonomi-politik baru pasca Pilkada DKI Jakarta. Gerakan ini membatasi diri pada golongan yang menginginkan kemurniaan ajaran Islam untuk diaplikasikan pada seluruh sendi kehidupan bermasyarakat. Salah satu “produk” dari gerakan ini adalah munculnya koperasi 212 yang secara umum berusaha melawan dominasi ekonomi konvensional, seperti riba dan semacamnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan ini setidaknya menarik simpati banyak umat Islam di Indonesia meskipun banyak juga yang tidak sependapat dengan berbagai keberpihakan politis didalamnya. Namun menjadi penting bahwa gerakan ini setidaknya telah menarik simpati dan memunculkan “kesadaran” beragama, utamanya Islam, di berbagai kalangan. Saya berpendapat bahwa wacana yang dibangun untuk menghalau sistem ekonomi konvensional ini cukup sukses mengubah cara pandang masyarakat perkotaan untuk mengkritisi pemanfaatan dari keuntungan yang didapatkan oleh kelompok lain. Seperti misalnya ada orang-orang yang menarik seluruh uangnya dari Bank untuk kemudian diinvestasikan pada sektor properti yang sudah berdiri dan banyak macam lainnya.
Membuat skema yang sarat dengan pembahasaan suatu golongan memang cukup rentan dalam tataran politis. Meskipun Shohibuddin telah menekankan bahwa yang harus beragama Islam dalam skema ini, atau wakaf secara umum, hanyalah nazhir dan saksi, tetapi saat menelusuri aliran dari wakaf ini ditemukan adanya unsur-unsur di luar “golongan kami”, kemungkinan untuk perampasan tanah kembali terulang seperti pernah terjadi pada era pertengahan 1960-an. Pesimisme saya memiliki landasan dari perilaku intoleran yang sampai saat ini masih terus terjadi dan berulang serta memiliki unsur menyalahkan korban (blame the victims) pada setiap kejadian. Ini cukup penting melihat kemungkinan pemilahan atas golongan berlatar perilaku dalam kebudayaan atau kebiasaan sering diwacanakan untuk mendorong adanya tindakan sepihak.
Hubungan antar wilayah menjadi penting jika melihat pada jalur-jalur untuk merealisasikan skema yang dibangun Shohibuddin ini. Sebab ada kemungkinkan benturan yang dapat tercipta karena pemilahan golongan atas wacana ini, seperti yang ditunjukkan oleh Nancy Peluso dengan konsep racializing smallholder slot yang terjadi di Kalimantan Barat (2017; 846). Berkaca pada tingginya tingkat pengangguran, penting untuk mengantisipasi benturan-benturan yang tercipta jika skema ini dapat diwujudkan. Saya merasa skema ini memiliki kemungkinan yang sama besar antara peluang dan tantangannya.
Kembali pada Tenaga Kerja
Jantung dari reforma agraria memang berkutat pada fokus kepemilikan serta akses terhadap tanah. Standar yang digunakan mengacu pada kepemilikan ideal seluas 2 ha pada skala rumah tangga. Statistik menujukkan bahwa kepemilikan lahan pertanian pada skala rumah tangga cenderung menyusut dalam beberapa dekade belakangan (Bachriadi dan Wiradi, 2011). Hal ini memang ditengarai berbanding lurus dengan berkurangnya pekerja pada sektor pertanian selain adanya efisiensi serta informalisasi tenaga kerja pertanian.
Tetapi apakah kemudian skema yang ditawarkan oleh Shohibuddin ini dapat mengakomodasi kebutuhan serta meningkatkan kesempatan untuk bekerja pada sektor pertanian? Kembali lagi, skema ini memang menitikberatkan pada cara untuk mencapai reforma agraria. Perdebatan mengenai penggunaan lahan dan skala luasan lahan memang termasuk di dalamnya. Kepemilikan lahan secara individual memang banyak dirasa menjadi pemicu persaingan yang sangat tergantung dari kapital dan pasar. Menjadikan hak penggunaan secara komunal dari yang sebelumnya bersifat individual memang jauh lebih sulit jika tidak didukung oleh adanya suatu mekanisme jaminan sosial seperti kesehatan ataupun pendidikan. Penggunaan lahan yang dikelola secara komunal memang sangat terkait dengan kepentingan keamanan, apakah dari ancaman kekuarangan sumber pangan ataupun bencana.
Berbagai lahan yang tidak digunakan untuk kepentingan komersil, misalnya Hutan Adat atau Taman Nasional, memang bukan dimiliki oleh individu melainkan oleh suatu institusi. Manfaat dan keuntungan (Benefit) yang dimanfaatkan dari lahan-lahan tersebut dikelola sedemikian rupa dengan catatan tidak terjadinya eksploitasi. Lalu untuk mendapatkan pemasukan yang baik atau memperoleh kebutuhan lain yang lebih besar, seringkali orang tidak bergantung pada lahan tersebut karena apa yang dihasilkan dari sana cenderung kecil. Kecenderungan mengesampingkan pekerjaan pada lahan pertanian tumbuh seiring dengan hasil yang cenderung sedikit dibandingkan bekerja pada sektor informal di wilayah lain. Konsolidasi dari beberapa lahan dengan luas pada skala gurem memang memungkinkan untuk adanya peningkatan produktivitas pertanian. Bahkan jika pada musim yang buruk bagi pertanian, lahan ini mungkin akan diusahakan untuk penggunaan lain sesuai dengan kesepakatan. Setidaknya itu yang sudah diharapkan oleh Shohibuddin.
Meningkatkan kesempatan bekerja pada sektor agraria memang bukanlah hal sulit. Setidaknya ini yang digadang-gadang oleh industri saat akan melakukan pembukaan lahan untuk perkebunan/pertambangan. Peluso (2017) menggarisbawahi bahwa kepemilikan skala kecil (small-holder) pada tataran tertentu merupakan efek dari adanya kepemilikan skala besar. Pada kenyataannya, kesempatan kerja yang dijanjikan tidak memberikan jaminan apapun pada orang-orang yang cenderung dari golongan miskin. Bentuk dari jaminan ini yang memang sebenarnya menjadi output yang diharapkan oleh banyak orang dalam reforma agraria. Kepemilikan dan pengelolaan skala kecil untuk kebutuhan subsistensi tidak lagi menjadi wacana utama dalam transisi agraria di berbagai wilayah (Li, 2009; 87). Dibandingkan untuk keamanan semata, lahan dipercaya lebih bermanfaat jika dapat menghasilkan sesuatu yang lebih dan beragam.
Penutup
Gagasan Shohibuddin memang mengisyaratkan bahwa reforma agraria yang diharapkan akan banyak diperhatikan pada masa pemerintahan sekarang, nyatanya bergerak sangat lambat. Terlebih lagi pewacanaan reforma agraria yang seringkali salah arti seperti bagi-bagi sertifikat. Alternatif untuk merealisasikan reforma agraria agaknya memang harus tanggap akan kesempatan-kesempatan dan tidak melulu menggunakan jalur “konvensional” seperti dengan menciptakan suatu skema wakaf ini. Penting untuk menjadikan gagasan Shohibuddin ini sebagai pemantik diskusi lanjutan mengenai “inovasi-inovasi” dalam mencapai reforma agraria serta tidak lupa untuk menyertakan landasan hukum sehingga gagasan ini memiliki kekuatan konstitusional.
Titik penting yang coba saya utarakan dalam tulisan ini adalah pentingnya untuk memperhatikan lebih serius urusan tenaga kerja bersamaan dengan menyediakan lahan. Menghadapi massifnya guremisasi pada lahan-lahan pertanian harus juga diperhatikan bahwa produktifitas sangat menggantungkan diri dari efektifitas dan berbanding lurus dengan efisiensi. Hal ini terutama jika wilayah sasaran berdekatan dengan industri skala besar. Kesempatan kerja dan jaminan sosial atas pekerja tidak dapat hanya direalisasikan dengan bergantung pada luasan lahan. Jalan keluar yang penting untuk diperhatikan adalah hubungan antara lahan dan pekerja selalu open-ended, artinya lahan mempengaruhi pekerja dan sebaliknya. Selain itu, membuat lahan open-access mungkin menjadi mekanisme untuk menghindari pasar bebas tanah dengan tentunya memperhatikan “nilai hasil” dari lahan tersebut.
Adanya peluang serta tantangan yang mungkin saja dihadapi saat terealisasinya gagasan ini memang menjadi hal yang semestinya ada. Apapun yang akan dihadapi pada masa yang akan datang, gagasan ini cukup penting untuk direalisasikan. Ini mengingat implementasi reforma agraria yang hingga kini cenderung lambat. Akhirnya, gagasan Shohibuddin ini menjadi ide alternatif yang cukup radikal tetapi penting dalam konteks menurunkan ketimpangan serta pemanfaatan yang adil untuk setiap orang.
Bahan Bacaan
Li, Tania Murray. 2011. Centering Labor in the Land Grab Debate. The Journal of Peasant Studies, 38 (2): 281 – 298.
Li, Tania Murray. 2009. To Make Live or Let Die: Rural dispossession and the protection of surplus populations. Antipode, 41: 66 – 93.
Stoler, Ann Laura. 1995. Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt, 1870 – 1979. Ann Arbor. University of Michigan Press.
Peluso, Nancy Lee dan Purwanto, Agus Budi. 2017. The Remittance Forest: Turning mobile labor into agrarian capital. Singapore Journal of Tropical Geography, 39: 6 – 36.
Peluso, Nancy Lee. 2017. Plantations and Mines: Resource frontiers and the politics of the smallholder slot. The Journal of Peasant Studies, 44 (4); 834 – 869.
Mamonova, Natalia. 2015. Resistance or Adaptation? Ukrainian peasants’ response to large-scale land Acquisitions. The Journal of Peasant Studies, 42 (3-4): 607 – 634.
Thompson, Edward P. 1975. Whigs and Hunters: The Origins of Black Act. New York. Pantheon Books.
Bernstein, Henry. 2010. Class Dynamics of Agrarian Change. Boulder and London. Fernwood Publishing and Kumarian Press.
Habibi, Muhtar. 2016. Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi, dan Ploretariat Informal di Indonesia sejak 1980an. Tangerang Selatan. CV Marjin Kiri.
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi. 2011. Enam Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia. Jakarta dan Bandung: Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria dan Agrarian Resource Centre.
[1] Sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160209120620-92-109708/jumlah-petani-menyusut-data-produksi-pertanian-dipertanyakan
Menarik brother.
Tadi, saya berharap akan menemukan beberapa aspek yang buat saya cukup penting juga dalam skema reforma agraria namun jarang dibahas. Salah satunya, aspek natural hazard. Saya tidak tahu apakah reforma agraria juga mencantumkan aspek ini. Misalnya begini, sebuah lahan yang berada di sekitaran lempeng atau patahan aktif dengan potensi bencana gempa, apakah layak untuk dimiliki? Pentingkah melakukan zonasi lebih dulu berdasarkan aspek natural hazard ini untuk memastikan bahwa lahan yang dikembalikan ke masyarakat bukanlah sebuah bom waktu yang menunggu untuk meledak? 🙂
Anyway, keep writing bro!
Salam Kang Wendy,
Mengacu pada Undang Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, terlihat sudah mengantisipasi pembuatan zonasi ini. Memang secara spesifik tidak mencantumkan aspek kebencanaan karena poin utamanya adalah akses serta pembatasan kepemilikan lahan. Cukup menarik juga apa yang disampaikan Kang Wendy, kerangka analisis yang paling mungkin dengan menarik rentang waktu yang cukup panjang terkait kebencaan. Seperti dengan dongeng-dongeng atau mitos setempat. Mungkin pada lain kesempatan akan saya coba untuk menulis tentang apa yang Kang Wendy sampaikan. Terima kasih banyak atas masukannya.
Salam
Di artikel saya berikut ini, yang diterbitkan sebagai salah satu bab dalam buku PERJUANGAN KEADILAN AGRARIA yang diterbitkan Insist Press (Agustus 2019), saya juga menyinggung potensi wakaf agraria dijadikan satu skema dalam rangka mitigasi dan penanganan pasca-bencana dengan secara khusus merujuk kasus likuifaksi di Sulawesi Tengah belum lama ini.
Artikel dimaksud dapat diunduh melalui tautan berikut ini:
https://www.researchgate.net/publication/334577039_MEMPERTIMBANGKAN_WAKAF_SEBAGAI_SKEMA_ALTERNATIF_PEMBARUAN_TENURIAL