Wakaf Sebagai Jalan Reforma Agraria

1.3k
VIEWS
Kredit gambar: brandonmartel.com

Visi Transformasi Agraria dan Tantangan Realisasinya

UUD 1945 (Pasal 33 ayat 3) dan UU Pokok Agraria (Pasal 1 ayat 1) telah memandatkan negara untuk memper-gunakan bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang dikandungnya, guna mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam rangka ini, UU No. 56 PRP tahun 1960, sesuai semangat neo-populisnya, menetapkan visi transformasi agraria berikut ini. Pertama, setiap rumah tangga petani diusahakan dapat menguasai tanah pertanian seluas minimum dua ha (Pasal 8). Kedua, batas maksimum ditetapkan lima atau enam ha untuk daerah amat padat, dan 20 ha untuk daerah yang tidak padat (Pasal 1). Kecuali untuk pembagian warisan, peralihan hak atas tanah pertanian tidak diizinkan apabila menyebabkan fragmentasi tanah tadi menjadi kurang dari dua ha (Pasal 9 ayat 1). Bahkan pewarisan ini pun dianjurkan untuk dihindari dan tanah pertanian di bawah dua ha itu sebaiknya “dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan” (Kompilasi Hukum Islam, Pasal 189).

UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menegaskan kembali visi di atas. Pasal 12 mengharuskan pemerintah untuk melindungi penggarap atau petani gurem tanaman pangan yang lahan garapan atau usaha taninya paling luas dua ha. Di antara bentuk pemberdayaan kepada petani adalah konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian (Pasal 7). Yang terakhir ini diwujudkan melalui pemberian lahan maksimum dua ha di atas tanah negara bebas yang ditetapkan sebagai kawasan pertanian.Penerimanya adalah petani yang telah melakukan usaha tani paling sedikit lima tahun berturut-turut (Pasal 58 ayat 3).

Kendati terus ditegaskan dalam aneka regulasi, namun visi transformasi agraria di atas tidak kunjung berhasil diwujudkan. Sensus Pertanian sejak 1963 hingga 2003 terus menunjukkan trend peningkatan penguasaan tanah pertanian skala gurem (di bawah 0,5 ha), yakni: 43,6% pada 1963, 45,7% (1973), 44,5% (1983), 48,6% (1993), dan 51% (2003). Sementara itu, kelas petani menengah dengan penguasaan tanah pertanian seluas 2-5 ha cenderung mengalami stagnasi sejak 1983, yakni sebesar 11,2% (1983), 11% (1993), dan 11,4% (2003). Bahkan jika skala penguasaan tanah petani kelas menengah ini diturunkan di bawah batas minimum yang ditetapkan, misalnya menjadi 0,5-2 ha, kelas ini pun tidak kunjung terwujud karena persentasenya terus menurun: 44,7% (1963), 42,8% (1973), 42% (1983), 39% (1993), dan 35,8% (2003) (Bachriadi dan Wiradi 2011).

Kegagalan mewujudkan visi transformasi agraria di atas terutama disebabkan oleh ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan reforma agraria. Pasca “tragedi nasional 1965”, agaknya cuma transmigrasi-lah satu-satunya program pemerintah yang mengupayakan alokasi tanah pertanian minimum dua ha—terlepas dari berbagai persoalan yang membelitnya. Ironisnya, bahkan di wilayah transmigrasi ini pun batas minimum tersebut sering tidak dapat bertahan lebih dari dua generasi. Setelah itu, penguasaan tanah terus mengalami fragmentasi di tengah masih besarnya tenaga kerja pedesaan yang bergantung pada sektor pertanian. Akibatnya, proses guremisasi usaha pertanianpun berulang kembali.

Di tengah situasi ketidakseriusan pemerintah ini, berlangsung tiga proses yang menciptakan tantangan yang mendasar terhadapperwujudan visi transformasi agraria di atas. Pertama, adalah proses diferensiasi agraria akibat kiankomersialnya seluruh input dan tahapan produksi komoditaspertanian. Kedua, adalah proses fragmentasi tanah akibat pewarisan dari generasi ke generasi. Ketiga, adalah proses pengambilalihan tanah (land dispossession) untuk berbagai proyek pembangunan maupun konsesi tanah skala luas untuk usaha pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanandan investasi terkait tanah lainnya.

Alih fungsi lahan pertanian pangan merupakan segi lain yang terkait erat dengan tiga proses di atas, khususnya proses pengambilalihan tanahpetani. Walaupun regulasi perlindungan lahan pertanian pangan telah lama tersedia (UU No. 41 tahun 2009), namun pemerintah tidak kunjung berdaya mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian ini. Berdasarkan data Kementerian Pertanian pada tahun 2012, rata-rata konversi lahan mencapai 100 ribu ha per tahun (Detik.com, 30/8/2017). Studi Mulyani et.al (2016) memperkirakan bahwa lahan sawah yang kini seluas 8,1 juta ha akan tersisa menjadi sekitar 6 juta ha saja menjelang tahun 2045 nanti.

Praktik Reforma Agraria dan Keterbatasannya

Reforma agraria adalah satu paket kebijakan terpadu yang mencakup land reform dan access reform . Komponen pertama adalah pembaruan penguasaan tanah dalam rangka mewujudkan struktur agraria yang lebih adil. Sedangkan komponen kedua berarti penyediaan berbagai program pendukung dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan dan nilai tambah produk pertanian serta menciptakan akses pasar. Secara konsepsional, kedua komponen ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain (Soetarto dan Shohibuddin 2004).

Setelah mengalami “aborsi dini” pada pertengahan dekade 1960-an, reforma agraria menjadi kebijakan sektoral ketimbang  land asan strategis pembangunan nasional. Sejak saat itu, land reform bukan lagi merupakan program prioritas nasional dan pelaksanaannya pun jarang yang berhasil menyediakan tanah baru (fresh land) kepada petani miskin, apalagi hingga mencapai luas dua ha (program transmigrasi adalah pengecualian dalam hal ini).

Apa yang biasa dilaporkan oleh pemerintah sebagai land reform pada kenyataannya lebih sering dijalankan di tanah-tanah yang secara de facto telah dikuasai petani, dan bukan berasal dari redistribusi tanah kelebihan maksimum seperti diamanatkanUU No. 56 PRP tahun 1960. Penguasaan tanah secara de facto ini biasanya dilakukan petani melalui strategi harian “kultivasi” di atas tanah negara atau melalui perjuangan “aneksasi” di atas tanah-tanah konsesi yang dipertikaikan (Sitorus 2004).

Dalam kasus “kultivasi”, pelaksanaan  land reform  lebih sering merupakan legalisasi penguasaan tanah (land titling) ketimbang (re)distribusi tanah dalam arti sebenarnya. Tidak heran jika aktivis gerakan agraria mengkritik keras praktik  land  reform semacam ini. Mereka bahkan menyebut program “bagi-bagi sertifikat” semacam ini sebagai “land  reform  palsu” karena justru mengukuhkan ketimpangan agraria yang ada di antara para petani sendiri.

Kalangan gerakan agraria, karena itu, cenderung menekankan pelaksanaan land  reform di areal “aneksasi”. Bagi kalangan ini, pengakuan negaraterhadap klaim petani atas tanah-tanah di areal “aneksasi” memberi peluang lebih besar untuk mewujudkan land reform  yang genuine. Sayang, tanpa dukungan politik dan regulasi yang memadai, penyelesaian konflik ini bergantung pada kebaikan hati pemilik konsesi. Jika areal yang mereka lepas terlampau kecil (dan biasanya inilah yang terjadi), pembagian tanah di antara petani menjadi terlampau sempit. Hal ini tidak jarang memicu perselisihan di antara sesama petani sendiri (Harmita etal 2009).

Dalam kedua praktik land reform  di atas, hak milik individual menjadi skema dominan dan agaknya juga satu-satunya dalam program (re)distribusi tanah. Pada saat yang sama, integrasi program inidengan berbagai jenis access reform yang diperlukan seringkalimembentur tembok ego sektoral di antara badan-badan pemerintah sendiri. Akibatnya, skema hak milik individual hanya melahirkan pasar tanah bebas yang justru merugikan petani gurem yang dibiarkan berjuang sendiri tanpa dukungan yang memadai. Tak heran jika peralihan tanah dan akumulasinya pada segelintir orang merupakan kecenderungan yang lazim ditemukan di lokasi-lokasi land reform , termasuk di areal “aneksasi” yang pelaksanaannya didorong dan dikawal oleh gerakan agraria (Sirait 2017; Shohibuddin etal 2017).

Pada kesudahannya, pelaksanaan reforma agraria yang parsial selama ini telah membuatnya gagal mewujudkan dua visi transformasi agraria yang bercorak neo-populis, khususnya ketika dihadapkan pada tiga tantangan mendasar yang telah disebutkan di atas: diferensiasi, fragmentasi dan penggusuran tanah. Dihadapkan pada ketiga tantangan ini, berbagai praktik  land reform yang dijalankan selama ini boleh dikatakan hanya berdampak menunda permasalahan untuk beberapa waktu saja; sebuah “interupsi” singkat sebelum akhirnya kecenderungan guremisasi penguasaan tanah berulang kembali. Akibatnya, kelas petani menengah tidak kunjung terwujud dan kebuntuan visi transformasi agraria pun terus berkepanjangan.

Wakaf dalam Rangka Reforma Agraria

Ketika dukungan politik maupun kebijakan bagi pelaksanaan reforma agraria yang komprehensif masih “jauh panggangdari api”, terobosan keagamaan dalam bentuk wakaf patut untuk dipertimbangkan. Wakaf adalah alokasi dan peruntukan harta benda beserta skema pengelolaannya dalam jangka panjang untuk tujuan-tujuan keagamaan dan sosial-ekonomi yang telah ditentukan oleh pemberi harta benda wakaf (wakif).

UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf mengartikan wakaf sebagai “perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraanumum menurut Syariah” (Pasal 1). Adapun harta benda yang bisa diwakafkan mencakup benda-benda tidak bergerak seperti hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda lainnya yang terkait tanah, hak milik atas satuan rumah susun, dan lain sebagainya. Selain itu, benda-benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual dan hak sewa juga dapat dijadikan sebagai harta benda wakaf (Pasal 16).

Jika ditujukan untuk agenda reforma agraria, harta benda yang dapat diwakafkan mencakup benda-benda tak bergerak yang berperan vital dalam kegiatan pertanian seperti tanah, sumur, embung, saluran irigasi, tanaman tahunan, gudang, dan lain sebagainya. Selain itu, juga dapat mencakup semua benda bergerak yang bakal mendukung proses produksi pertanian atau yang bisa menjadi sumber pembiayaanpertanian. Hak paten apabila terkait dengan pertanian juga bisa diwakafkan untuk diterapkan langsung di dalam produksi pertanian itu sendiri dan/atau di dalam proses pengolahan pasca panen. Jika tidak, maka royalti dari hak paten itu bisa diwakafkan sebagai sumber pendanaan.  Semua harta benda ini, karena ditujukan untuk reforma agraria, termasuk ke dalam kategori wakaf produktif yang diarahkan untuk meningkatkan perekonomian umat dan/ataumemajukan kesejahteraan umum.

Skema wakaf untuk pelaksanaan reforma agraria sangat dimungkinkan karena peruntukan harta benda wakaf memang tidak terbatas pada tujuan ibadah dalam arti sempit semata. Sesuai Pasal 22, harta benda wakaf juga dapat ditujukan untuk membantu fakir miskin, anak terlantar dan yatim piatu serta untuk menyediakan beasiswa pendidikan dan santunan kesehatan. Selain itu, harta benda wakaf juga dapat ditujukan untuk meningkatkan perekonomian umat dan/atau memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi dari harta benda wakaf tersebut.

Baca Juga:

Selain dimungkinkan oleh tujuan peruntukan harta benda wakaf, agenda reforma agraria yang komprehensif juga sangat terbantu oleh model wakaf itu sendiri. Hal ini karena wakaf menyediakan skema legal dan sekaligus kelembagaan untuk dapat mengintegrasikan beberapa hal berikut terkait penataan tanah dan harta benda lain yang diwakafkan.

Pertama, apa bentuk penggunaan dariharta benda yang diwakafkan dalam rangka reforma agraria. Sebagai misal, tanah wakaf, sesuai kondisi agroekologisnya, dapat ditujukan untuk produksi pangan dalam rangka menjamin subsistensi dan sistem pangan lokal. Atau, untuk produksi komoditas komersial di bidang perkebunan, kehutanan dan perikanan. Atau, bisa juga untuk kombinasi antara usaha pertanian subsisten dan komersial. Bahkan juga dapat ditujukan untuk kepentingan konservasi, misalnya wakaf tanah untuk hutan lindung dalam rangka menjamin keberlanjutan sistem hidrologi dan sistem produksi lokal (bandingkan inisiatif hutan wakaf di Jantho, Aceh Besar).

Kedua, apa manfaat sosial-ekonomi yang diharapkandapat disediakan dari pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf itu. Sebagai misal, tanah yang diwakafkan bisa difungsikan sebagai “lahan pangan bersama” yang dapat dimanfaatkan secara bergilir sebagai hak pakai oleh buruh tani atau petani miskin dengan biaya sewa yang murah atau bahkan tanpa biaya sewa sama sekali. Atau, tanah itu dapat dikelola secara profesional untuk kegiatan agribisnis dengan sebanyak mungkin menyerap tenaga kerja dan input produksi lokal, lalu keuntungannya menjadi dana sosial yang dapat dinikmati oleh para buruh tani dan/atau petani miskin yang membutuhkan.

Ketiga, siapa saja para pemanfaat (beneficiaries)  dari pengelolaan harta benda wakaf beserta hasil-hasil pengembangannya. Sebagai misal, pemanfaatyang berhakmenerima akses tanah (hak pakai) dan berbagai manfaat lain dari pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dapat dibatasi pada sanak keluarga wakif semata (disebut wakaf ahli). Namun, wakif juga dapat menetapkan bahwa pemanfaat itu mencakup pula buruh tani dan petani miskin secara umum yang berdekatan dengan lokasi harta benda wakaf (disebut wakaf khayri).

Keempat, siapa yang dipercaya menjadi nazhir, yakni pihak yang bertanggung jawab penuhatas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf secara produktif dan berkelanjutan serta atas distribusi manfaatnya kepada para pemanfaat yang berhak. Nazhir ini bisa bersifat perorangan (terdiri atas satu atau beberapa orang) dan juga bisa berupa organisasi dan badan hukum. Sebagai misal, nazhir lebih tepat berbentuk koperasi atau badan usaha petani apabila tanah pertanian yang diwakafkan berasal dari gabungan tanah gurem yang dikonsolidasikan.

Keempat poin menyangkut skema pewakafan harta benda untuk agenda reforma agraria di atas memberikanbatasan yang mengikat atas tujuan, fungsi, peruntukan dan pengelolaan dari harta benda yang diwakafkan. Batasan semacam inilah yang harus dinyatakan denganjelas oleh wakif di depan pejabat yang berwenang, baiksecara lisan dan/atau tertulis. Pernyataan inilah yang disebut ikrar wakaf yang menegaskan apa saja kehendak wakif atas harta benda yang diwakafkannya (Pasal 21). Ikrar wakaf ini, begitu telah dinyatakan secara resmi di depan pejabat yang berwenang, tidak dapat dibatalkan lagi (Pasal 3).

Pewakafan harta benda dengan ikrar wakaf yang sekaligus mencakup empat ketentuan di atas berpotensi besar untuk dapat mewujudkan agenda reforma agraria yang komprehensif. Sebab, keempat hal tersebut mampu mengintegrasikan berbagai aspek pelaksanaan reforma agraria, seperti penataan atas penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah beserta harta benda wakaf lainnya. Selain itu, juga penciptaan atas berbagai jenis manfaat dari harta benda wakaf itu beserta distribusinya di antara para pemanfaat yang telah ditetapkan.

Demikian pula, melalui skema wakaf ini ancaman diferensiasi agraria, fragmentasi tanah dan penggusuran petani juga dapat dihindarkan. Merujuk Pasal 40, harta benda wakaf tidak boleh dijadikan sebagai jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, ataupun dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Hal ini karena harta benda yang diwakafkan telah masuk ke dalam ranah resextracommercium sebagaimana diakui oleh UU Pokok Agraria. Ini adalah kategori harta benda yang berada di luar lalu lintas perdagangan dan secara khusus ditujukan untuk kesejahteraan, kebahagiaan dan kepentingan masyarakat luas.

Selain itu, mekanisme wakaf juga dapat menjawab ancaman perubahan penggunaan lahan pertanian, baik dalam bentuk alih komoditas pertanian maupun untuk konversinya menjadi non-pertanian. Merujuk pada Pasal 23, peruntukan harta benda wakaf ditentukan oleh wakif pada saat pelaksanaan ikrar wakaf. Dan sekali tanah wakaf diikrarkan untuk reforma agraria dengan jenis penggunaan tanahnya ditetapkan untuk tanaman pangan, misalnya, maka peruntukan wakaf semacam ini bersifat final dan tidak dapat dirubah lagi. Nazhirdi dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf ini dilarang keras untuk merubah peruntukan harta benda wakaf yang telah dinyatakan dalam ikrar wakaf ini (Pasal 44).

Hal ini tidak berarti bahwa dalam kondisi apapun perubahan status dan peruntukan harta benda wakaf tidak bisa dilakukan sama sekali. Pasal 41 mengatur kemungkinan semacam itu, yakni hanya dalam situasi ketika harta benda wakaf harus digunakan untuk kepentingan umum sesuai ketentuan Rencana Umum Tata Ruang dan kepentingan itu tidak bertentangan dengan syariah. Namun, pelaksanaan perubahan ini hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri Agama dan atas persetujuan dari Badan Wakaf Indonesia. Harta benda wakaf yang status dan peruntukannya diubah ini wajib diganti dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukarnya paling tidak sama dengan harta benda wakaf semula.

Enam Jalur Wakaf untuk Agenda Reforma Agraria

Berdasarkan sumber harta benda yang diwakafkan, sekurang-kurangnya ada enam jalur pewakafan yang sangat potensial ditujukan untuk pelaksanaan reforma agraria yang komprehensif. Tentu saja, enam jalur ini sekedar identifikasi atas berbagai peluang yang berkemungkinan besar untuk didorong dan dikembangkan. Di luar keenam jalur ini bisa saja terdapat peluang-peluang lain yang masih terbuka lebar untuk diupayakan lebih lanjut.

Pertama adalah pewakafan oleh sejumlah petani miskin atas tanah-tanah pertanian gurem yang mereka miliki. Pewakafan melalui jalur pertama ini sangat sesuai untuk mengonsolidasikan tanah-tanah pertanian gurem ini agar tidak terfragmentasi lebih lanjut dan dapat diusahakan bersama pada skala keekonomian yang lebih rasional dan produktif.

Para petani miskin pemilik tanah gurem ini didorong dan difasilitasi agar bersepakat untuk mewakafkan tanah guremnya kepada sebuah lembaga yang mereka dirikan bersama, entah dalam bentuk koperasi atau badan usaha lainnya.Lembaga inilah yang sekaligus bertindak sebagainazhir yang bertugas mengelola dan mengembangkan tanah wakaf yang berasal dari konsolidasi tanah gurem ini secara produktif dan sekaligus memastikan agar berbagai manfaatdari tanah wakaf itu dapat terdistribusi secara adil di antara mereka yang semula merupakan pemilik tanah gurem.[1]

Kedua adalah pewakafan tanah pertanian di bawah batas maksimum oleh pemiliknya untuk menjamin agar tanah itu tetap utuh, tidak terfragmentasi karena pewarisan, dan dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan kepada keturunannya. Pewakafan tanah mengikuti jalur yang kedua ini amat sejalan dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi acuan para hakim di Pengadilan Agama.Seperti telah disinggung sebelumnya, Pasal 189 KHI mengamanatkan untuk mencegah terjadinya fragmentasi tanahpertanian karena proses pewarisan, mempertahankan kesatuan tanahpertanian itu seperti keadaannya semula, dan mengupayakanagar tanah itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan (Pasal 189). Dalam arti demikian, pewakafan tanah melalui jalur kedua ini termasuk ke dalam kategori wakaf ahli.

Ketiga adalah pewakafan tanah dan harta benda lain sebagai bentuk filantropi sosial oleh satu donator utama, baik bersifat perorangan maupun lembaga (organisasi atau badan hukum). Donatur utama ini mewakafkan harta bendanya dalam rangka agenda reforma agraria untuk menjamin akses tanah dan manfaat ekonomi lain bagi para petani miskin yang tinggal di sekitar lokasi harta benda wakaf. Wakaf melalui jalur ketiga ini termasuk kategori wakaf khayri karena pemanfaatnya mencakup masyarakat luas dan tidak terbatas pada sanak keluarga wakif semata.

Keempat adalah pewakafan tanah dan harta benda lain untuk pelaksanaan reforma agraria yang dikoordinasikan oleh pihak pemrakarsa melalui mekanisme crowdfunding. Pihak pemrakarsa di sini bisa bersifat perorangan dan bisa juga lembaga atau organisasi seperti badan amil zakat, ormas sosial-keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, pemerintah desa dan sebagainya. Mekanisme crowdfunding dilakukan misalnya dengan menghimpun zakat mal, infak dan sedekah atau melalui berbagai platform online untuk penggalangan dana publik guna kepentingan sosial. Era digital (revolusi industry 4.0) dewasa ini memungkinkanplatform wakaf online untuk penggalangan dana semacam ini. Sebagai misal, teknologi Block chain akan mempermudah penghimpunan dana wakaf secara online sekaligus melacak sumber-sumber dana wakaf yang sangat berguna dalam akuntabilitas. Dalam jalur keempat ini, pihak pemrakarsa-lah yang bertanggung jawab atas pencarian danpengadaan tanah wakaf serta atas desain kelembagaan, pengelolaan dan distribusi manfaatnya.

Berbeda dari empat jalur pewakafan di atas, dua jalur terakhir ini secara khusus melibatkan peran aktif dari pemerintah. Dalam jalur kelima, pemerintah desa dapat didorong untuk menetapkan peraturan desa dan sekaligus mengupayakan pendanaan dalam rangka mewujudkan lahan pertanian kolektif milik desa. Lahan kolektif ini dihimpun dari penyisihan aset tanah desa, hibah atau wakaf tanah yang berlokasi di desa bersangkutan oleh pihak ketiga, ataupun pengadaan tanah oleh pemerintah desa dengan menggunakan keuangan desa dan/atau menggalang dana publik (termasuk melalui platform wakaf online). Tanah yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber inilah yang lantas diikrarkan sebagai “tanah wakaf desa” yang secara khusus diperuntukkan untuk agenda reforma agraria. Karena dilaksanakan pada skala desa, penggunaan “tanah wakaf desa” ini dapat mencakup kombinasi atas berbagai jenis tata guna tanah, seperti lahan pertanian pangan abadi dan lahan kering untuk tanaman keras yang manfaatnya dapat diakses oleh warga desa miskin yang membutuhkan. Selain itu juga dapat berupa hutan desa untuk fungsi lindung, embung untuk persediaan air, dan lain sebagainya.

Jalur pewakafan yang keenam adalah integrasi skema wakaf ke dalam program land reform  yang dijalankanoleh pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sayangnya, hingga kini belum tersedia  land asan hukum untuk melakukan integrasi semacam ini. Regulasi yang ada menentukan bahwa yang dapatmenjadi subyek  land reform  adalah perseorangan petani. Adapun hak atas tanah yang diberikan adalah hak milik individual, meskipun hal ini bisa diawali dengan hak pakai terlebih dulu selama periode “uji coba”. Namun, seperti telah disinggung di atas, sebagian besar skema land reform semacam ini tidak berkelanjutan karena gagal menjawab tantangan diferensiasi, fragmentasidan pengambilalihan tanah, serta konversi lahan pertanian.

Oleh karena itu, apa yang dapat dilakukan adalah menerima skemaha katas tanah di atas sebagai satu tahap transisi dan selanjutnya mendorong para subyek  land reform  untuk menempuh jalur pewakafan yang pertama. Untuk memudahkan proses transisi ini, skema “sertifikat bersama” dapat dipergunakan. Skema ini memungkinkan menjalankan distribusi tanah bukan per bidang tanah dengansetiap bidang itu dibuatkan sertifikat tersendiri atas nama petani penerimanya. Alih-alih demikian, distribusi tanah dijalankan atas satu hamparan tanah sekaligus yang di dalamnya mencakup sejumlah bidang tanah dengan semua nama pemiliknya dicantumkan dalam selembar “sertifikat bersama”. Semua pemilik tanah yang tercantum di dalam “sertifikat bersama” inilah yang didorong untuk bersepakat mewakafkan seluruh hamparan tanah tadi kepada badan usaha yang mereka dirikan bersama-sama. Badan usaha ini sekaligus menjadi nazhir atas tanah wakaf yang berasal dari program land reform pemerintah ini dan memastikan agar distribusi manfaatnya dapat dirasakan secara adil di antara para wakif.

Apakah Skema Wakaf Berlaku Hanya untuk Umat Islam Semata?

Menggunakan wakaf sebagai skema pelaksanaan reforma agraria boleh jadi akan menimbulkan keraguan-raguan pada sejumlah kalangan. Salah satu pertanyaan yang kemungkinan besar bakal munculadalah menyangkut inklusivitas skema ini. Bukankah wakaf merupakan skema legal dan kelembagaan yang berasal dari hukum Islam? Jika wakaf diterapkan, tidakkah hal ini akan membatasi para pelaku dan pemanfaat wakaf hanya di antara kalangan umat Islam semata?

Anggapan bahwa wakaf hanya berlaku untuk para pemeluk agama Islam sebenarnya tidaklah tepat. Dalam UU No. 41/2004 tidak ada satu ketentuan pun yang menyatakan bahwa wakif dan penerima manfaat dariharta benda wakaf harus pemeluk agama Islam. Pasal 8 UU ini mencantumkan hanya empat persyaratan berikut bagi wakif perseorangan: dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatanhukum dan pemilik sah harta benda yang diwakafkan. Sedangkan bagi wakif organisasi dan badan hukumhanya ada satupersyaratan, yaitumemenuhi ketentuan anggaran dasar masing-masing untuk mewakafkan harta benda milik organisasi atau badan hukum bersangkutan.

Demikian pula, UU Wakaf tidak memuat satu pun ketentuan yang mencegah masyarakat non-Muslim sebagaipenerima manfaat harta benda wakaf. Memang, apabila ikrar harta benda wakaf itu ditujukan untuk sarana dan kegiatan ibadah, maka ibadah yang dikehendaki di sini adalah menurut agama Islam, misalnya masjid, mushola, pesantren, kegiatan dakwah, dan semacamnya. Namun, apabila ikrar wakafnya ditujukan untuk bantuan sosial-ekonomi dan/atau kesejahteraan umum, maka penerima manfaatnya dapat mencakup siapa saja yang memenuhi kriteria yang ditentukan dalam ikrar wakaf tanpa dibatasi pada kalangan Muslim semata.

Meski demikian, UU Wakaf memang menekankan dua ketentuan berikut ini yang harus diindahkan. Pertama, peruntukan harta benda wakaf untuk tujuan di luar ibadah tidak boleh melanggarketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan (Pasal 22). Kedua, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, selain harus dilakukan secara produktif, juga harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Apabila untuk pengelolaan dan pengembangan ini memerlukan lembaga penjamin, maka nazhirharus menggunakan lembaga penjamin syariah (Pasal 43).

Agaknya untuk memastikan kedua ketentuan inilah maka keharusan beragama Islam dipersyaratkan untuk saksi (Pasal 20) dan nazhir (Pasal 10). Saksi dipersyaratkan beragama Islam untuk memastikan peruntukan harta benda wakaf selama proses ikrar wakaf tidak bertentangan dengan syariah. Sedangkan nazhirdipersyaratkan beragama Islam untuk memastikan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf benar-benar dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.

Terlepas dari dua ketentuan tersebut, peran tenaga ahli untuk terlibat secara operasional dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf tidaklah dilarang, apapun agama dan kepercayaan yang dipeluknya. Mereka dapat dipekerjakan oleh nazhir sebagai tenaga profesional jika keahliannya memang diperlukan untuk mengoptimalkan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf.

Penutup

Demikiankah, signifikansi wakaf bagi agenda reforma agraria tidaklah berkurang sama sekali oleh dua ketentuan tadi. Seperti telah dijelaskan, skema wakaf amat membantu dalam mengintegrasikan berbagai aspek pembaruan demi menjalankan agenda reforma agraria yang komprehensif. Wakaf memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf secara lebih produktifdan berkelanjutan. Wakaf juga dapat menghindarkan ancaman guremisasi tanah akibat proses-proses diferensiasi, fragmentasi dan penggusuran tanah. Wakaf bahkan juga dapat mencegah ancaman perubahan penggunaan lahan pertanian, baik karena alih komoditas pertanian maupun konversinya ke non-pertanian.

Last but not least, wakaf akan menumbuhkan etos religius yang kuat pada semua pihak yang berkepentingan dengannya. Etos religius ini bukan saja akan memacu aksi filantropi sosial dan pengelolaan harta benda wakaf secara produktif. Lebih dari itu, juga akan melahirkan akuntabilitas yang tinggi karena pengelolaan dan pendayagunaan harta benda wakaf menuntut pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT secara langsung di akhirat kelak. []

Tulisan ini semula adalah bahan ceramah pada acara Halal bi Halal Yayasan Sajogyo Inti Utama pada 14 Juli 2018 di Bogor dan sebelumnya dimuat di www.alif.id. Dimuat ulang disini dengan seizin penulisnya untuk tujuan pendidikan.

BAHAN BACAAN

Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi (2011) Enam Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia. Jakarta dan Bandung: Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria dan Agrarian Resource Centre.

Billah, MM., L. Widjajanto dan A. Kristyanto (1984) “Segi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial di Pedesaan Jawa (Tengah)” dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting) Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Gramedia.

Harmita, Dini, Dewi Dwi Puspitasari Sutejo, Asma Luthfi dan Musahidin (2009) “Penyelesaian Konflik Agraria dan Penanggulangan Kemiskinan melalui Rencana Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Trisobo” dalam Laksmi Adriani Savitri, Mohamad Shohibuddin dan Surya Saluang (penyunting) Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria dan Krisis Sosial Ekologi. Yogyakarta dan Bogor: STPN Press dan SajogyoInstitute.

Mulyani, Anny, Dwi Kuntjoro, Dedi Nursyamsi, Fahmuddin Agus (2016) “Analisis Konversi Lahan Sawah: PenggunaanData Spasial Resolusi Tinggi Memperlihatkan Laju Konversi yang Mengkhawatirkan.” Jurnal Tanah dan Iklim, 40(2): 121-133.

Sajogyo (1976) “Kata Pengantar” dalam M. Singarimbun dan D.H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Shohibuddin, Mohamad, Eko Cahyono, Adi Dzikrulloh Bahri (2017) “Undang-Undang Desa dan Isu Sumberdaya Alam: Peluang Akses atau Ancaman Eksklusi? Jurnal Wacana, 19 (36): 29-81.

Sirait, Martua (2017) Inklusi, Eksklusi dan Perubahan Agraria: Redistribusi Tanah Kawasan Hutan di Indonesia. Yogyakarta: STPN Press.

Sitorus, MT Felix (2004) “Tiga Jalur Reforma Agraria: Konsep dan Prakteknya di Indonesia, 1960-2004.” Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Reforma Agraria: Tantangan dan Agenda Kerja bagi Pemerintahan Baru 2004-2009, Bogor, 14-15 September 2004.

Soetarto, Endriatmo dan Mohamad Shohibuddin (2004) “Menegaskan Kembali Keharusan Reforma Agraria sebagai Basis Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (Agenda untuk Pemerintahan 2004-2009).” Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria, 1 (1): 9-38.

[1] Jalur pertama ini diinspirasi oleh gagasan Prof. Sajogyo mengenai  land  reform  yang justru dikenakan pada golongan petani paling gurem, yaitu yang menguasai tanah pertanian kurang dari 0,2 ha. Prof. Sajogyo mengusulkan tanah gurem ini dikonsolidasi oleh pemerintah (dengan kompensasi) untuk dikelola Badan Usaha Buruh Tani. Lihat: Sajogyo (1976) dan Billah et al (1984).

Related Posts

Comments 4

  1. Subekti Raharjo says:

    Sebaiknya wakaf itu diorganisir sehingga dapat dijadikan aset gerakan berikutnya tanpa ada upaya pengorganisasian ya… tidak menjadi sumber gerakan berubahan juga jangan terjebak formalisasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.