Hingga kini tentara masih dilibatkan dalam program pangan, meskipun telah ada upaya reformasi militer pada awal pasca Orde Baru. Keterlibatan tentara setidaknya berjalan melalui dua bentuk. Pertama, Babinsa dilibatkan dalam kegiatan pertanian mulai dari pra-tanam sampai dengan pasca-tanam sebagai bagian dari pembinaan teritorial Angkatan Darat. Kedua, program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) yang merupakan kelanjutan dari ABRI Masuk Desa sejak tahun 1980 terutama fokus pada pengerahan tentara dalam pembangunan infrastruktur pertanian dan pedesaan dalam kaitannya dengan proses produksi pangan. Belum lagi sejak masa Presiden Joko Widodo berkuasa, tentara dilibatkan mulai dari program Upsus Pajale, cetak sawah, SP3T sampai dengan yang terbaru dikerahkan dalam proyek food estate. Proyek food estate sendiri diklaim untuk mengatasi masalah pangan di tengah pandemi Covid-19.
Pemerintah pusat meromantisasi pengalaman perang gerilya saat awal kemerdekaan untuk menggambarkan pentingnya logistik pangan dalam pertahanan negara. Saat perang gerilya, angkatan bersenjata harus menyebarkan kekuatan ke wilayah-wilayah yang sulit dideteksi musuh dan mendorong untuk mampu menyuplai ketersediaan kantong logistik pangan bagi kepentingan perang. Akan tetapi, romantisasi tersebut sama sekali tidak relevan dengan masalah pangan saat berlangsungnya masa pandemi Covid-19. Di mana masalah pangan yang muncul sebenarnya adalah terkait dengan gangguan rantai pasokan, sehingga hasil panen dari petani sulit didistribusikan kepada konsumen akibat pembatasan mobilitas penduduk (Amanta dan Aprilianti, 2020; Hirawan dan Verselita; Ridhoi, 2020).
Romantisasi pengalaman perang gerilya memang selama ini selalu dipakai untuk melegitimasi keterlibatan militer dalam berbagai program pangan. Hal tersebut menjadi bagian dari doktrin Tentara Rakyat, Tentara Nasional dan Tentara Pejuang yang berusaha memanfaatkan warisan ingatan perang gerilya untuk melegitimasi bahwa tentara juga bagian dari rakyat (Chandra, 2016). Militer menjadi memiliki persepsi bahwa tidak ada perbedaan antara mereka dengan rakyat pada umumnya, sehingga baginya dianggap wajar untuk ikut terlibat dalam produksi pertanian (Susanto dan Supriatma, 1995).
Sejujurnya klaim kedekatan tersebut tidak sepenuhnya benar disebabkan militer Indonesia tidak memiliki keterkaitan dengan sejarah perjuangan gerakan tani dan ikut merasakan kesulitan hidup yang dihadapi oleh petani (Susanto dan Supriatma, 1995). Hal tersebut terlihat dari doktrin dalam diri militer Indonesia yang tidak menghendaki para petani melakukan perjuangan politik dan justru menjadikan keresahan kaum tani sebagai bagian dari ancaman internal pertahanan (Setowati dan Sumarno, 2015).
Pola pikir untuk membelenggu gerakan tani itulah yang diperkuat pada masa rezim militer Orde Baru dalam menautkan pertanian pedesaan dengan struktur ekonomi politik pangan global. Rezim militer Orde Baru hanya menghendaki adanya satu organisasi petani yang juga menjadi agen promosi penggunaan pestisida, bibit komoditas yang dikehendaki, dan alat produksi lainnya yang diamini negara untuk mengenjot produksi pangan. Rezim militer Orde Baru di bawah nalar revolusi hijau dan memberangus gerakan tani berupaya menggeser fokus pembaharuan agraria dan kedaulatan pangan menjadi semata mengejar tingkat produksi yang diharapkan oleh negara (Aji, 2019). Orde Baru bahkan membentuk Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan) untuk mendoktrin petani mengenai moda produksi pertanian yang dikehendaki oleh negara.
Struktur birokrasi sipil dan militer secara beriringan berperan penting dalam memastikan jalannya revolusi hijau yang disokong rezim Orba. Upaya intensifikasi beras dalam skema revolusi hijau sebenarnya kurang berjalan dengan baik disebabkan petugas penyuluh pertanian tak melaksanakan program sesuai dengan dokumen perencanaan. Penyuluh pertanian semestinya mengunjungi kelompok tani setiap dua minggu (Warwick, 1987).
Setiap kelompok tani didorong untuk menyiapkan kader yang akan meneruskan pesan dari penyuluh pertanian kepada 15 sampai 20 petani lainnya, tetapi kenyataannya penyuluh pertanian seringkali tak hadir dan kelompok tani tak terdata dengan baik. Militer justru dikerahkan untuk mengenalkan pada para elit desa mengenai teknik baru penanaman padi dan mendampingi petani untuk menggunakan teknologi pertanian terbaru. Jajaran pemerintahan mulai dari gubernur sampai dengan kepala desa diwajibkan untuk memastikan kesuksesan revolusi hijau.
Kebijakan produksi pertanian sengaja dilakukan secara top down dengan kontrol program yang sangat ketat. Petani menjadi dalam kedudukan yang lemah dan harus mengikuti segala “perintah” dalam pelaksanaan program. Petani benar-benar “dieksploitasi” untuk kepentingan nasional dalam mencapai peningkatan produksi pangan (Simatupang dan Rusastra, 2005). Revolusi hijau pada masa Orba bertumpu pada empat komponen yakni, penyuluhan pertanian, pemberian subsidi produksi, penyaluran benih-pestisida-pupuk kimia, serta penyaluran kredit dan pemasaran beras.
Mekanisme kerja revolusi hijau melibatkan banyak pihak di tingkat desa mulai dari cabang Bank Republik Indonesia (BRI) untuk menyalurkan kredit, toko pengecer untuk menyediakan input pertanian, dan agen untuk mengelola pemasaran beras. Sejak tahun 1973 sendiri harga beras lebih terbilang rendah disebabkan ketidaksiapan menghadapi kenaikan produksi. Kondisi sempat membaik pada tahun 1974, namun sebenarnya tak sesuai dengan perencanaan program. Akibatnya ketergantuan Indonesia pada impor beras (terutama berupa bantuan) meningkat lebih dari dua kali lipat selama kuartal pertama tahun 1974 (Rudner, 1976).
Revolusi hijau sendiri hanya menguntungkan petani kaya disebabkan telah terkoneksi dan memiliki akses pemasaran yang dikendalikan oleh negara. Sementara itu, kaum tani kecil yang tak memiliki tanah ataupun memiliki sebidang tanah yang terbatas mengalami penurunan pendapatan riil dan terjerat hutang, sehingga memperburuk kondisi kepemilikan tanah (Rudner, 1976). Upaya menyerap surplus produksi beras dengan mendorong struktur birokrasi untuk membeli beras hasil revolusi hijau kenyataannya justru memperburuk ketimpangan pedesaan. Sebaliknya, kalangan birokrasi baik sipil dan militer mendapat manfaat dari harga murah dari penyerapan beras oleh struktur birokrasi.
Peningkatan produksi memang sempat terjadi pada tahun 1984 dan Indonesia mampu memasok kebutuhan konsumsi beras dalam negeri. Pemerintah Orba kemudian memilih jalan untuk melakukan liberalisasi dan deregulasi pada tahun 1980-an yang memiliki konsekuensi pada penurunan subsidi pertanian. Subsidi pupuk dianggap merugikan pemerintah selama tahun 1984 s.d. 1990 dengan kerugian per tahun rata-rata Rp 650 Milyar (Arifin, 2014). Padahal kekeringan panjang pada tahun 1987-1988 dan 1992-1993 sedang terjadi disebabkan fenomena El Nino. Produksi pertanian yang menurun menyebabkan pemerintah mendorong peningkatan anggaran pertanian.
Pasca tahun 1990-an, subsidi pupuk mencapai 17% dari anggaran belanja tiap tahun (Arifin, 2014). Kinerja pertumbuhan sektor pertanian sayangnya hanya 3,4 %/tahun dan peningkatan produktivitas tenaga kerja pada bidang tersebut hanya kurang dari 2%/tahun (Arifin, 2014). Rezim militer Orde Baru yang dibangun atas piramida praktik rente kenyataanya tidak mampu bertahan dari krisis ekonomi Asia 1997-1998 yang kemudian mendorong Soeharto turun dari jabatannya. Sepanjang masa Orba di tengah pelaksanaan revolusi hijau kenyataannya pemerintah juga tetap bergantung pada impor beras. Berikut adalah data impor beras semasa masa Orba:
Tabel 1. Perkembangan Impor Beras Indonesia Masa Orde Baru
Tahun | Jumlah Impor (dalam 1000 ton) | Proporsi Impor dr Produksi (%) | Periode | Rata-rata Impor Per Tahun (dalam 1000 ton) |
1969 | 604 | 5,35 | Pra Pelita | 1.000 |
1974 | 1.071 | 7,74 | Pelita I | 1.051 |
1979 | 1.930 | 10,99 | Pelita II | 1.539 |
1984 | 375 | 1,76 | Pelita III | 893 |
1989 | 262 | 1,05 | Pelita IV | 84 |
1994 | 876 | 3,52 | Pelita V | 290 |
1995 | 3.014 | 9,32 | 3.014 | |
1996 | 1.090 | 3,28 | 1.090 | |
1997 | 406 | 1,30 | 406 | |
1998 | 7.100 | 22,81 | 7.100 |
Sumber: (Khudori, 2008).
Soeharto memang sudah lengser dari kursi kekuasaannya, tetapi kenyataannya kerangka kerja moda produksi pertanian ala Orde Baru terus berlanjut hingga kini (Aji, 2019). Pengambilan kebijakan food estate yang tidak melibatkan kaum tani dan justru memilih melibatkan TNI bersama Kementerian Pertahanan semakin menunjukan bahwa pemerintah tidak memahami secara utuh realitas dunia pertanian. Model pertanian korporat seperti food estate sendiri sudah lama dikritik disebabkan semata menjadikan petani sebagai buruh perusahaan dan mereka tidak memiliki kuasa atas sumber daya pertanian. Padahal, selama ini pertanian skala kecil lah yang menopang ketersediaan pangan di Indonesia dibandingkan model pertanian korporat (White, 2013).
Kemampuan institusi militer untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan pangan adalah buah dari “reforma semu sektor pertahanan.” Militer pasca Orde Baru justru masih leluasa untuk terlibat dalam urusan nonmilter seperti program pangan lewat penandatanganan nota kesepahaman dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Keterlibatan militer seperti dalam proyek food estate tidak dapat dilepaskan pula dari keinginan dari otoritas sipil untuk mengerahkan mereka, demi mengejar target pembangunan. Kedua faktor yakni, pilihan politik otoritas sipil dan doktrin militer memang berpengaruh terhadap keterlibatan militer dalam urusan nonmiliter seperti program pangan (Said, 2002).
Masalah juga muncul sebagai akibat dari tak adanya perubahan mendasar dalam hal doktrin perang semesta dan pembinaan wilayah. Telegram Panglima TNI nomor: ST/142/2002 tanggal 4 Juni 2002 mendorong adanya perubahan Komando Teritorial menjadi Komando Kewilayahan (Basuki, 2013). Fungsi teritorial tetap dipertahankan diikuti dengan fungsi organik militer dan fungsi organik pembinaan. Militer ditekankan dapat menjalankan fungsi non-militer, apabila pemerintah daerah di bawah koordinasi kepala daerah meminta bantuan dalam pelaksanaan program. Hal tersebut menjelaskan munculnya berbagai nota kesepahaman yang memperluas fungsi militer sejak Pasca Orde Baru (Basuki, 2013).
Menurut Agus Widjojo (2015), fungsi teritorial angkatan bersenjata di negara-negara dunia ketiga yang militernya pernah melakukan pemerintahan gerilya sebenarnya tak memiliki ruang lingkup yang jelas. Ruang lingkup fungsi teritorial dapat diperluas dengan klaim pembangunan kekuatan pertahanan. Fungsi teritorial menurut Widjojo (2015) menjadi problematik disebabkan rentan mengambilalih peran pemerintah daerah dengan dalih menjadi bagian dari tugas bidang pertahanan. Menurut Herdiansyah et.al., (2017), regulasi yang ada menegaskan bahwa tugas pokok militer sangat bergantung pada kebijakan dan keputusan politik negara. Artinya peran dari otoritas sipil berperan penting untuk menentukan posisi dan peran yang dapat dijalankan oleh militer. Hal tersebut menjadi berbahaya jika penguasa sebatas memperluas fungsi militer sebatas untuk mengejar target program, demi legitimasi politiknya.
Pasca Orde Baru sayangnya yang berjalan hanya sebatas reformasi bukannya reforma. Reformasi pada dasarnya sebatas memperbaiki kondisi yang dianggap bermasalah pada beberapa aspek untuk dikembalikan pada keadaan semula yang dianggap sudah baik (Wiradi, 2014). Sedangkan, reforma adalah upaya untuk membongkar dan menata ulang struktur lama yang bermasalah untuk menciptakan keadaan yang lebih baik. Ketiadaan reforma baik dalam bidang agraria maupun pertahanan kenyataannya terus menyebabkan munculnya kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan petani. Langkah nyata dari pemerintah untuk melibatkan kaum tani secara langsung dalam kebijakan pangan penting untuk mengakhiri dwifungsi militer. Pemerintah harus berpihak pada potensi dan nasib petani untuk menyelesaikan persoalan pangan.