Bulan Oktober lalu, diiringi gegap gempita konferensi IMF/WB di Bali, judul artikel Tom Power di New Mandala cukup mencengangkan, ‘Jokowi’s Authoritarian Turn’. Dalam pembukanya, Power mengutip serentetan istilah yang disematkan para pengamat dan analis terhadap Jokowi sebagai presiden ‘developmentalis’, dengan ‘orientasi ideologi yang statis-nasionalis’ dan ‘anti-demokratik’, yang dianggap Power sebagai produk dari “sensitivitas politik yang sempit, daya pikir jangka pendek dan pembuatan keputusan yang ad hoc.”
Juni 2018 lalu, IHS Markit, perusahaan analisis industri dan pasar yang berbasis di London, merilis laporan yang memuji pemerintah Indonesia atas pertumbuhan ekonominya yang stabil berkat upaya menggiatkan pembangunan infrastruktur. Dari skala 0 (minimum) hingga 10 (maksimal, terburuk), Indonesia mendapat skor 2.1 dalam rating Resiko Strategis, yang mencakup aspek politik, ekonomi, hukum, perpajakan, operasional, dan keamanan. Dari perspektif ini, Indonesia dianggap negeri yang ramah untuk investor asing dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang besar. Ini terutama terlihat dari kebijakan Jokowi yang probisnis dengan usia penduduk rata-rata 29 tahun (menyediakan tenaga kerja yang berlimpah), serta peluang pasar konsumen yang besar (IHS Markit, Indonesia Country Monitor 2018).
Lantas, dimanakah masalahnya? Bukankah pertumbuhan ekonomi dan pembangunan menunjukkan sesuatu yang bagus, bahwa pembangunan adalah visi, jabaran, dan langkah-langkah yang diambil negara untuk masyarakat yang diidamkan?
Pembangunan (development) adalah istilah yang secara menyeluruh (all-encompassing) merujuk pada kebijakan, tahapan dalam peradaban modern, dan bidang multidisiplin. Ia mendapat legitimasi globalnya setelah Perang Dunia II dan telah menjadi klaim dan tujuan universal dari hampir semua negara di dunia. Dipersenjatai oleh ‘kewajiban moral’ dari dunia Barat/Global North untuk memandu seluruh dunia, ‘pembangunan’ dipahami sebagai semacam ideologi baru yang dianggap bahkan semakin relevan di era ‘pasca-ideologi’ dan ‘pasca-kebenaran’ (post-truth) saat ini. Kuasa dan praktek hegemoniknya mendasari proses partisipatoris di negara-negara berkembang, dalam trayektori imperialisme sebagai ekspansi kapitalisme. Kritik terhadap perkembangan developmentalisme memang sudah lama bermunculan, utamanya dari kalangan teoretikus Dependensia atau Sistem Dunia. Hickle menyatakan bahwa ‘pembangunan internasional’ (international development) merupakan industri global yang telah gagal mengatasi kemiskinan dunia (meski Bank Dunia menggunakan tolak ukur yang problematis untuk menyatakan sebaliknya), bahkan secara mendasar tidak menyasar pada akar masalah.
Menyoroti tendensi Indonesia dalam developmentalisme dan otoritarianisme masa kini, tulisan ini tidak hendak fokus pada berbagai analisis yang ada mengenai sepak terjang Jokowi dalam doktrin pembangunan dan kepemimpinannya. Tulisan ini hendak menelisik konsep dan praktek yang mendasari keterikatan antara pembangunan dan nasionalisme yang kerap diterapkan dalam kepemimpinan otoriter serta potensi melihatnya sebagai studi yang lebih kritis dan emansipatoris. Hal ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan menguliti term ‘pembangunan’ serta ideologinya (developmentalism atau ‘pembangunanisme’) menggunakan tinjauan dan gagasan atas pembangunan dari berbagai literatur kritis. Kedua, mengelaborasi pisau analisis mereka untuk mendiskusikan perspektif kelas dan potensi nasionalisme sebagai bagian dari doktrin perlawanan dalam konteks pembangunan di Indonesia.
Kritik Bernstein: Studi Pembangunan dan Agenda Neoliberalisme
Dalam artikelnya bertajuk Studying Development/Development Studies, Henry Bernstein (2008) melakukan pendekatan kritis atas pembangunan sebagai proses sejarah yang berakar dalam perkembangan kapitalisme melalui dinamika akumulasinya. Kritiknya merupakan analisis untuk memahami dasar dari kontestasi makna pembangunan serta peletakkannya dalam ranah akademik.
Bernstein mengembangkan pandangan Alan Thomas (2000) tentang pembangunan sebagai kontradiksi yang saling terhubung antara visi negara untuk mencapai ‘masyarakat yang ideal’ dan proses sejarah dari perubahan sosial yang disertai upaya untuk meningkatkan performa lembaga-lembaganya. Menurutnya, pembangunan adalah basis material untuk modernitas sehingga akumulasi menjadi titik sentral dari pertumbuhan ekonomi (kontrol atas sumber daya) dan pembangunan yang secara internal memproduksi perjuangan kelas.
Contoh dari ‘modernitas’ yang bertumpu pada akumulasi adalah seperti penjelasan Cowen dan Shenton (1991), dikutip Bernstein, yang melihat kolonialisme Inggris di Afrika sebagai bentuk ekspansi kapitalis dengan cara memaksa rakyat Afrika meningkatkan produksi dan konsumsi mereka atas komoditas untuk ‘melunakkan’ dan membuat mereka ‘beradab’. Ini termasuk memelihara sistem tradisional mereka (patriarkisme, masyarakat perdesaan, identitas kesukuan) namun tanpa hak individual atas tanah dan kredit bank. Dengan cara ini, Kolonial Inggris memadupadankan kemajuan (progress) dengan ketertiban (order), yang berujung pada fondasi bagi pembangunan nasional sebagai formasi negara modern di bawah dominasi kolonial. Relasi produksi (dan konsumsi) ini adalah bagian dari internasionalisasi ekonomi dan sistem politik di abad ke-19 dan 20 yang lantas memunculkan doktrin pembangunan yang berpusat dalam konsep kedaulatan negara. Studi pembangunan, menurut Bernstein, harus dimulai dari kombinasi dan ketidakmerataan pembangunan (combined and uneven development) dari kapitalisme sebagai manifestasi dari sentralitas akumulasi.
Oleh karena itu, meski studi pembangunan kini telah bergeser dari narasi dan proyek imperialisme serta formasi negara bangsa modern menuju doktrin internasional soal kesejahteraan warga dunia (masih juga dengan logika pembangunan nasional yang terencana), ia masih tertancap pada akar kolonialismenya. Logika linearnya masih sama: negara miskin dan berkembang harus mengikuti tahapan kemajuan dan berpartisipasi dalam pasar internasional untuk berkompetisi serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang mensyaratkan berbagai kondisi bagi transformasinya. Konteks politik global dan intelektualnya menjadi penting bagi kemunculan studi pembangunan sebagai bidang akademik, yang dipercaya lekat dengan upaya mempengaruhi dan membentuk kebijakan dan intervensi pembangunan. Hal ini muncul disertai pendirian berbagai institusi penopangnya (Bank Dunia) serta kecondongannya pada neoliberalisme di tahun 1980an dan reproduksi pengetahuan dari teori-teori pembangunan di berbagai ranah ekonomi dan politik.
Di bawah globalisasi kapitalis yang nyaris tidak tertantang, Bernstein mengajukan dua karakteristik paradoks dari doktrin pembangunan. Pertama, preskripsi neoliberal untuk meminimalisir intervensi negara atas pasar ini justru berbeda dalam tataran prakteknya (karena ternyata negara masih sangat dibutuhkan!). Ini terkait dengan poin kedua, liberalisasi pasar dan kebijakan untuk membatasi kontrol negara oleh apa yang dibilang Bernstein sebagai “proyek manufaktur sosial (social engineering) […] untuk membangun peradaban borjuasi dalam skala global” (hlm. 54), dianggap tidak cukup untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Paradoks ini sejalan dengan serangan tajam Ellen Wood terhadap negara sebagai kuasa koersif dalam mengatur ketertiban sosial. Wood menilai negara-bangsa modern tak tergantikan (indispensable) perannya bagi kapitalisme yang akumulasi profitnya bergantung pada elemen kontradiktif: kapital membutuhkan ekspansi melampaui batas teritorial (globalisasi), namun ia juga membutuhkan sistem dari jamaknya negara-negara di dunia (system of multiple states) untuk memaksakan logika pasar mereka (Wood dalam Saad-Filho, 2003). Selain negara, tidak ada entitas berdaulat lain yang bisa melakukan tugas ini.
Paradoks ini membawa Bernstein pada akar intelektual dari studi pembangunan, yaitu ekonomi politik. Asal muasal ekonomi politik ini berangkat pada transisi kapitalisme di Eropa – khususnya era industrialisasi di Inggris pada abad ke-18. Ini adalah transformasi ketika monarki di Eropa mengalami guncangan serius setelah abad ke-17 yang dipenuhi oleh perang, krisis finansial, serta pemberontakan kaum tani dan masyarakat urban. Kilas balik sejarah membawa Bernstein menekankan bahwa pembangunan diiringi oleh “penjejalan terus-menerus atas teori-teori pembangunan […] oleh ekonomi neo-klasik” (hlm.56) dan mengalami depolitisasi. Dengan arti lain, pembangunan adalah bentuk baru dari keberlanjutan kolonialisme. Ia berkesimpulan bahwa studi pembangunan saat ini disesaki oleh “tuntutan lembaga-lembaga bantuan atas riset terapan untuk agenda neoliberal’ (hlm.57) sehingga memberi sedikit ruang untuk mengembangkan tradisi besar dari mempelajari pembangunan.
Pandangan pesimisme Bernstein atas studi pembangunan ini menemukan pelipur laranya pada potensi memutar studi dan logika pembangunan yang berangkat dari ‘bawah’. Ini tertuang pada gagasan Benjamin Selwyn atas apa yang ia sebut sebagai ekonomi politik kaum buruh (political economy of labour).
Manifesto Selwyn: Pembangunan dari Protes
Selwyn dalam artikelnya ‘The Political Economy of Development: Statism or Marxism?’ (Marois dan Pradella, 2015) dengan tegas menyatakan bahwa neoliberalisme telah gagal memperbaiki kondisi masyarakat miskin sedunia melalui teori dan praktek pembangunan. Ia juga mengritik tajam aliran pembangunan yang mengatasnamakan alternatif terhadap neoliberalisme, yang ia sebut dengan aliran ekonomi politik statis (Statist Political Economy/SPE), dengan para tokohnya seperti Ha-Joon Chang dan Robert Wade.
Menurut Selwyn, aliran SPE secara sejarah terkait oleh ekspansi imperialisme, terutama karena rujukan intelektualnya bersumber pada karya Friedrich list, National System of Political Economy tahun 1841, yang ditulis di era ketika Inggris menerapkan kebijakan melindungi pertumbuhan ekonomi industrial mereka namun menghisap negara-negara lain. Selwyn berargumen bahwa penekanan SPE atas peran negara tidak merepresentasikan alternatif sesungguhnya atas pembangunan manusia dari neoliberalisme karena masih bergantung pada penindasan dan eksploitasi kaum buruh. Selwyn menyerang SPE karena menyerahkan perlindungan kaum buruh ke pasar. Hal ini karena SPE mencoba mengadvokasi rezim politik demokratis-liberal namun turut mensyaratkan sistem otoritarianisme dalam tahap lanjut industrialisasi. Mengutip Kohli dan Alice, Selwyn mencontohkan Korea Selatan, yang dianggap berhasil mengombinasikan ‘penindasan dan profit’ untuk mengundang investor dengan buruh murah dan disiplin. Lebih jauh lagi, “industri produksi massal di Korea yang menghasilkan untung tinggi tidak berasal dari investasi pada mesin dan metode kerja modern semata…melainkan juga dari minggu kerja terpanjang di dunia” (Alice dalam Selwyn, 2015).
Secara sederhana, perbedaan SPE dengan Ekonomi Politik Buruh adalah sebagai berikut:
Tabel 1
SPE | EPB | |
Pola | Ekonomi politik atas-bawah (top down) | Ekonomi politik bawah-atas (bottom up) |
Aktor utama | Otoritas negara dan pengusaha kapitalis | Kelas pekerja |
Advokasi | Aksi negara dalam mencapai pertumbuhan ekonomi untuk memperbaiki kaum miskin berujung kontradiktif | Perbaikan nasib kaum miskin dengan peningkatan kesehatan, harapan hidup, melek huruf |
Praktek kebijakan | Manipulasi kelas buruh untuk komoditas murah | Partisipasi, pengaruh dan kontrol oleh kelas buruh atas ekonomi dan proses demokrasi |
Peran buruh | Disingkirkan | Solidaritas internasional dan anti imperialis antar kelas buruh lintas negara |
Selwyn menegaskan bahwa perlawanan oleh kaum pekerja dan petani atas perampasan dan penindasan mereka adalah bagian dari visi dan proses pembangunan alternatif. Ekonomi politik kaum buruh menjadi semacam perebutan kembali atas peran radikal mereka di dalam pembangunan. Dengan kondisi kritis seperti masa kini, Selwyn (2015) menolak argumen yang mengatakan bahwa kelas buruh harus menunggu atau menopang akumulasi kapital skala besar sebelum menjadi kekuatan penekan untuk mengadvokasi klaim mereka ke negara dan kapitalis. Baginya, hal itu merupakan cara untuk mendemobilisasi gerakan dan mengubah kelas buruh menjadi input-komoditas di dalam proses akumulasi. Setelah menulis gagasannya tentang Ekonomi Politik Buruh, Selwyn melanjutkan gagasannya dengan menulis A Manifesto for Socialist Development (2018) yang menawarkan 10 poin rencana untuk pembangunan sosialis.
Bernstein menjelaskan pemusatan akumulasi sebagai sesuatu yang inheren dalam kapitalisme, yang mencipta kontradiksi dalam relasi sosial yang terdiri dari perbedaan kelas, gender, dan etnis di dalam dimensi pembagian kerja (hlm.50), namun ia tidak mengelaborasikan dampaknya bagi proyek politik maupun aksi-aksi kolektif yang mempengaruhi studi pembangunan serta wataknya. Ini berdampak pada absennya penjelasan atas bagaimana studi pembangunan beroperasi di Dunia Ketiga (non-Barat, non-kulit putih, bekas jajahan) sebagai targetnya, juga pada bagaimana masyarakat marjinal di negara-negara Barat terdampak dan melawan developmentalisme kolonial ini melalui perjuangan kelas yang lekat pada identitas gender, etnisitas, maupun ras mereka (misalnya bagaimana diskriminasi atas kelas-gender-ras saat ini di Amerika Serikat memiliki jejak sejarah pada pemecahbelahan kelas pekerja kulit hitam dan kulit putih oleh kelas yang berkuasa – kaum pria kulit putih – pada era ketika Hukum Jim Crow diberlakukan, dan bagaimana perempuan kulit putih kelas menengah di Amerika Serikat dengan gerakan suffragette mereka menolak pengakuan bagi warga kulit hitam hak atas memilih di abad 19). Ini menjadi penting jika kita ingin mengeksplorasi manifestasi sosial dan spasial dari kombinasi dan ketidakmerataan pembangunan dalam kapitalisme.
Joe Feagin, dalam ulasannya atas karya Roediger bertajuk Class, Race and Marxism (2017), menekankan ketiadaan kelas kapitalisme an sich. “Kelas para aktor ekonomi politik selalu, pada puncaknya, dipenuhi oleh pria kulit putih. Karakteristik ras dan gender mereka sering mempengaruhi aksi dan kerangka pikir mereka sebagaimana atau bahkan lebih ketimbang karakteristik kelas mereka.” (Feagin, 2018). Keterikatan sejarah dari kelas kapitalisme pada ‘identitas’ seperti ras dan etnik ini bisa dilihat dari dinamika negara-bangsa pascakolonial dan selubungnya: nasionalisme.
Indonesia: Otoritarianisme, Populisme Islam dan Nasionalisme
Dalam salah satu wawancaranya di bulan Juli 2018 lalu, David Harvey mengatakan bahwa salah satu problem terbesar dari kapitalisme masa kini adalah semakin ‘habisnya’ ruang dan waktu. Habisnya ruang ditandai oleh semakin sempitnya lahan untuk mencari garapan baru (ekspansi), sehingga rekonstruksi dan deindustrialisasi menjadi pilihan. Habisnya waktu ditandai oleh hutang yang terus menerus bertambah dan ‘harus dilunasi’ sehingga menyebabkan krisis finansial dan krisis perumahan. Oleh sebab itu, kapitalisme terus mencari celah dan ceruk di dalam teritori negara dengan mendirikan begitu banyak bangunan dan proyek infrastruktur, mengambil alih lebih banyak tanah, serta mengeruk lebih banyak sumber daya bumi. Praktek ini dilabeli dengan pembangunan.
Kembali ke analisis Power. Kecenderungan otoritarian Jokowi ini beraroma Orde Baru melalui ode atas pembangunan di atas segala program lain, dan karena pembangunan dianggap membutuhkan pengawasan dan ‘pembinaan negara’, pola kepemimpinannya menjadikan negara sebagai pemegang kontrol penuh. Rezim semacam ini tidak selalu berbentuk dominasi satu partai besar seperti Indonesia era Orde Baru dengan Partai Golkar, tapi juga melalui konsolidasi oligarki diantara beberapa elit partai politik, dengan bumbu manufaktur kampanye yang digalakkan setiap lima tahun sekali.
Eve Warburton berargumen bahwa setelah Jokowi berhasil melakukan konsolidasi politik di tahun 2016, Jokowi mengarah pada ‘developmentalisme baru’. Ini ditandai oleh rangkaian program ekonomi yang pragmatis seperti infrastruktur, deregulasi dan debirokratisasi di bawah panji nasionalisme yang berpusat pada kontrol negara. Hal ini tidak diiringi oleh transparasi dan pemerintahan yang bersih, apalagi dalam isu hak asasi manusia maupun keadilan atas sejarah (Warburton, 2016). Warburton menggunakan term ‘developmentalisme’ sebagai bentuk gagasan dan praktek yang lazim disematkan pada paradigma pembangunan yang semakin kental di bawah kepemimpinan Jokowi. Hal ini gencar dilakukan Jokowi sembari melabeli semua program tersebut sebagai ‘pro kaum miskin’ yang akan “memperbaiki ketidakmerataan antardaerah, mencipta kesempatan ekonomi di pulau-pulau terluar dan meloncat dari stagnasi ekonomi”. Termasuk diantaranya adalah merangkul kebijakan liberal yang berorientasi pasar namun dengan narasi ‘modernisasi’ di bawah ideologi statis-nasionalis (Warburton, 2016: 309).
Obsesi pada infrastruktur dan investasi ini memiliki dampak akutnya, yang tidak bisa dengan mudah dan kejam dijustifikasi sebagai ‘ongkos pembangunan yang harus diterima demi kemajuan bersama’. Kondisi ekonomi Indonesia yang hidup dari sektor agraria dan industri menempatkan masyarakat Indonesia dalam kondisi terancam di bawah neoliberalisme yang terus menuntut produktivitas dan efisiensi. Hal ini berakibat pada semakin banyaknya pekerja di desa yang terampas tanahnya jika dianggap tidak produktif, sekaligus pada kondisi masyarakat urban sebagai kelas pekerja yang tereksploitasi atau prekariat. Dinamika masyarakat ini juga termasuk pekerja musiman yang bergerak antara desa dan kota untuk mencari penghidupan. Ini menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai Relative Surplus Population (RSP), yaitu surplus populasi yang relatif terhadap akumulasi kapital baik di pedesaan dan perkotaan (Habibi dan Juliawan, 2018). Program sertifikasi tanah dari Jokowi merupakan bagian dari ancaman bagi kondisi masyarakat yang sudah semakin terlucuti, memposisikan para pemilik tanah ke dalam skema pengakuan negara yang mempermudah praktek ‘perampasan legal’ tanah atas nama pembangunan (Tolo, Islam Bergerak, April 2018), berkontribusi pada dinamika RSP dan menjadi salah satu bentuk dari apa yang disebut David Harvey dengan ‘accumulation by dispossession’.
Oleh karena itu, muncul kritik atas pandangan yang fokus melihat relasi developmentalisme dengan kapitalisme hanya pada tingkat negara dan pembagian kerja di tingkat internasional seperti teori dependensia yang dipopulerkan Andre Frank tahun 1960an. Yaitu, akar ketimpangan akibat relasi keduanya tidaklah hanya terjadi antara negara-negara maju/pusat/global North dengan negara-negara berkembang/periferi/global South melalui kolonialisme dan perdagangan internasional, melainkan juga dinamika kelas di dalam tiap negara. Hal ini dikarenakan tiap negara memiliki jalur sejarahnya masing-masing dalam persentuhannya dengan kapitalisme dan pembentukan kelasnya. Cynthia Enloe dengan cermat mengilustrasikan gambaran teori dependensia, namun dalam konteks dinamika relasi kekuasaan di dalam negara:
“Bepergian dari pusat ke pinggiran bukanlah suatu perjalanan dengan pesawat dalam lintasan yang horizontal, bahkan jika seseorang berpindah secara horizontal dari Jakarta ke Papua Barat atau dari London ke Aberystwyth. Ini adalah perjalanan dalam relasi vertikal, dari atas piramida politik ke dasar bawahnya. Mereka yang tampak sunyi di pinggiran adalah mereka yang berada di dasar piramida kekuasaan. Oleh karena itu, rakyat Papua Barat lebih memiliki kesamaan secara politik dengan warga Afrika-Amerika yang tinggal di rumah susun hanya sepelemparan batu dari Gedung Putih ketimbang dengan para komandan militer beretnis jawa yang pos markasnya berada di dekat mereka.” (Enloe, 2004: 20)
Penjelasan Enloe diatas menunjukkan bagaimana elemen ras berpadu dengan kelas dalam kapitalisme, yaitu relasi ‘komandan militer beretnis Jawa’ dengan warga Papua yang posisi struktural dan politiknya sangat berbeda, meski secara geografis bersebelahan ‘di bawah panji nasionalisme’. Jarak fisik dan teritori geopolitik menjadi tidak signifikan untuk mengukur ‘jurang pusat-periferi’ karena kapitalisme juga bekerja dalam konteks ketidakmerataan pembangunan (uneven development) di berbagai tempat, menghisap satu lokasi lalu pindah ke lokasi lain dengan dampak destruktif demi menyelamatkan diri dari krisis, mengeruk keuntungan lebih besar, dan mencari tenaga kerja yang lebih murah. Bagi kapitalisme, negara ‘hanya’ menjadi inang untuk watak parasitnya: memberikan kemudahan regulasi, keringanan pajak, serta berbagai bentuk hutang dan investasi yang dibutuhkan. Rezim developmentalisme pada negara akan memiliki watak otoritarian-birokratis dengan perpaduan ekonomi dan ideologi politik (Radice, 2008: 1154) – suatu kedekatan antara negara dan sektor bisnis. Sistem ini lebih efisien, dengan memusatkan kontrol pada kroni-kroni kekuasaan secara sentralistik dan dapat menekan potensi persaingan kepentingan berdasarkan kelas. Di dalam dinamikanya, Islam menjadi salah satu kekuatan sosial di Indonesia yang signifikan.
Munculnya populisme Islam belakangan ini membuat berbagai kalangan mengkaji relasi antara Islam dan negara di Indonesia. Fayyadl misalnya, menyatakan bahwa Islam telah gagal menjadi kekuatan moral dalam negara, “meski secara hukum dan kelembagaan semakin kuat menjadi bagian negara”. Menurutnya, sejarah pembentukan negara modern menjadi dasar gugatan untuk menantang konsep Islam yang mampu membebaskan negara dari watak ‘kelas’nya berdasarkan ketegangan dialektis antara Islam dan demokrasi. Ketegangan ini mencapai sintesisnya pada perbaikan hidup kaum Muslim dalam bentuk masyarakat tanpa kelas, oleh apa yang ia sebut sebagai model ‘negara demokrasi agama pasca-liberal’ dalam pemikiran Islam Progresif. Model ini penting untuk memperdebatkan aktualitas dari populisme Islam di Indonesia, namun belum mengurai bagaimana Islam sebagai struktur dan agensinya yang menjadi bagian dari pendukung kelas kapitalis-borjuis ini bisa membedah ‘dirinya sendiri’.
Namun, problematika ‘negara-kelas’ bisa disederhanakan terlebih dahulu dengan melihat keterikatannya terhadap kapitalisme. Jika Bernstein menggali akar developmentalisme adalah kolonialisme untuk akumulasi kapital, Davidson (2012) menegaskan bahwa sistem negara itu sendiri – yang kemudian mewujud dalam konsep negara-bangsa – adalah produk tak terpisahkan dari persaingan akumulasi berdasarkan upah buruh. Untuk melakukan ini, kapital membutuhkan ‘teritori’ yang terhimpun dan jamak sebagai basis untuk persaingan (istilah seperti ‘daya saing’ dan ‘kompetisi’ menjadi term yang digemari dalam doktrin pembangunan). Keberadaan ‘teritori’ ini dengan sendirinya takkan memiliki perekat tanpa konstruksi atas nasionalisme, yang oleh Davidson dianggap digunakan untuk mengikat kelas pekerja ke negara dan kapital.
Ironi retorika nasionalisme sebagai bentuk cinta tanah air, yaitu tanah sewa air beli, menunjukkan betapa diskursus nasionalisme menjadi alat pemerintah otoritarian dalam mengeruk dan merampas milik rakyat dan mengontrolnya untuk kepentingan pemodal. Merujuk pada kritik tajam Bernstein dan Selwyn atas developmentalisme, kita perlu menengok bagaimana konsep ‘nasionalisme’ dapat digunakan beriringan dengan analisis kelas untuk meradikalkan studi pembangunan, termasuk dalam kacamata multidisipliner.
Bersambung ke bagian 2, silakan klik http://islambergerak.com/2018/11/developmentalisme-otoritarianisme-dan-nasionalisme-menggagas-studi-pembangunan-radikal-di-indonesia-bagian-2-habis/