Untuk mengenang Kawan Dodo… Rakyat tertindas Indonesia, bersatulah!
Perjuangan untuk mengakui hak kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) dalam masyarakat kapitalis Indonesia sekarang ternyata masih menyisakan banyak pertanyaan bagi kalangan Muslim progresif. LGBT masih sering dicurigai sebagai bagian dari “imperialisme kebudayaan” yang hendak melakukan komodifikasi atas seksualitas manusia. Perayaan atas keberagaman serta toleransi terhadap perbedaan seksual menjadi mantra pemasaran yang populer untuk segera memenangkan pengakuan atas hak LGBT. Melihat atas apa yang terjadi di negara-negara kapitalis barat di mana banyak korporasi besar melakukan pengakuan terhadap hak-hak LGBT, implisit di dalamnya terpatri kepentingan akan akumulasi yang sangat kentara di mana akomodasi LGBT merupakan bagian dari kapitalisme untuk menciptakan pasar konsumen baru. Tidak heran jika kemudian perjuangan atas pengakuan hak LGBT seakan memiliki justifikasi ekonomi untuk mendorong perkembangan kapitalisme. Dalih pengakuan hak dalam perjuangan LGBT dengan demikian menjadi selubung untuk memperdalam relasi kapitalisme.
Kondisinya menjadi semakin rumit ketika wacana LGBT seperti ini seakan menjadi satu-satunya wacana yang berkembang dalam pengalaman rakyat pekerja. Ketika kesulitan sosial-ekonomi melanda dalam pengalaman keseharian kelas pekerja yang masih terjebak dalam cara pandang heteronormatifitasnya,[1] penggunaan wacana pengakuan hak sebagai satu-satunya gagasan justru berpotensi menjadi sumber kecurigaan. Hal ini dikarenakan pengakuan hak LGBT menjadi sesuatu yang tidak memiliki keterkaitan dengan pengalaman umum kelas pekerja yang masih diselimuti prasangka heteroseksual. Akhirnya agenda perjuangan hak LGBT justru “mendistraksi” perjuangan rakyat pekerja secara keseluruhan. Implikasi dari kondisi ini kemudian muncul prasangka lanjutan dalam beberapa elemen gerakan rakyat yang beranggapan bahwa perjuangan hak LGBT adalah sebatas kepentingan kelompok LGBT kelas menengah yang hendak berpartisipasi secara penuh dalam pasar kapitalisme yang ada.
Prasangka ini tentu harus diatasi. Berbeda dengan kalangan liberal, kalangan Muslim progresif tidak akan memperlakukan prasangka sebagai bukti dari keterbelakangan intelektual massa yang tidak berpendidikan. Prasangka adalah hasil dari proses sejarah di mana kelas sosial yang dominan berhasil memenangkan gagasannya di kalangan massa rakyat pekerja. Untuk itu penting kemudian melakukan intervensi gagasan kritis untuk melawan kepentingan kelas berkuasa sembari menjelaskan keterkaitan antara perjuangan hak LGBT dengan perjuangan kelas pekerja secara lebih luas.
Materialitas Diskriminasi LGBT
Sebagaimana posisi komunis, seorang Muslim progresif akan selalu memulai analisanya dari kondisi material yang ada. Penindasan serta diskriminasi yang dialami oleh kalangan LGBT bukan sesuatu yang sifatnya alamiah. Ketidak-alamiahan ini terletak pada heteronormatifitas yang menjadi sumber norma bagi diskriminasi LGBT. Sebagai turunan atas kebudayaan masyarakat patriarkal, heteronormatifitas memberikan justtifikasi atas pembagian kerja berdasarkan gender yang menjadi prasyarat umum bagi proses produksi dalam masyarakat berkelas.
Masalahnya kemudian, heteronormatifitas memang menjadi kondisi penting bagi terjadinya diskriminasi terhadap LGBT, namun norma ini bukanlah kondisi yang mencukupi bagi terjadinya diskriminasi sistemik atas LGBT sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Hal ini mengingat posisi LGBT tidak melulu selalu dipinggirkan dalam setiap epos masyarakat berkelas. Dapat kita temui dalam data-data sejarah masyarakat dunia, posisi kelompok sosial seperti LGBT justru mendapat tempat dalam tatanan sosial yang ada. Untuk itu menjadi penting untuk memeriksa materialitas diskriminasi secara kontekstual serta spesifik.
Konteks yang khusus dalam masyarakat berkelas sekarang ini tentu adalah kapitalisme. Lalu bagaimana kapitalisme memperkuat heteronormatifitas yang justru melanggengkan diskriminasi LGBT? Bukankah sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, kapitalisme justru berkepentingan untuk mengakomodasi LGBT sebagai konsumen pasar baru untuk akumulasi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami terlebih dahulu bagaimana hukum umum akumulasi kapital terjadi. Marx dalam Kapital memberikan pengertian tentang hukum akumulasi kapital di mana fondasi utama dari perkembangan kapitalisme adalah keuntungan. Keuntungan itu sendiri bukanlah buah dari kecerdikan kapitalis dalam menjual barang atau komoditas, ia adalah hasil dari ekspolitasi kerja melalui pencurian waktu-kerja pekerja yang kemudian disebutnya nilai-lebih. Dalam penciptaan nilai lebih ini, Marx melakukan pembedaan analitis mengenai sumber-sumbernya yang disebutnya sebagai nilai-lebih absolut dan nilai-lebih relatif. Nilai-lebih absolut merupakan nilai-lebih yang bersumber pada perpanjangan jam kerja pekerja yang terjadi dalam proses produksi. Sementara nilai-lebih relatif bersumber pada pengurangan upah serta kompensasi biaya subsisten lainnya sebagai ongkos yang diperlukan untuk mereproduksi tenaga kerja (labor-power).
Penjelasan Marx memiliki kedalaman analitis yang penting. Kompetisi kapitalis akan selalu memaksa mereka untuk menciptakan nilai-lebih sebanyak-banyaknya. Para kapitalis akan menggunakan perpanjangan jam kerja untuk menciptakan nilai-lebih secara absolut. Namun cara absolut ini memiliki keterbatasan biologis karena jam kerja yang terlalu panjang akan menghilangkan kemampuan reproduksi tenaga kerja pekerja untuk kembali bekerja keesokan harinya. Di sini kemudian para kapitalis akan menggunakan metode nilai-lebih relatif di mana upah atau kompensasi pekerja untuk reproduksi tenaga kerja dikurangi.
Implikasi dari pengurangan upah atau kompensasi biaya susbsiten dalam rangka reproduksi tenaga kerja ini adalah munculnya kerja-kerja ranah reproduksi yang tidak dibayarkan. Kategori ini muncul karena semenjak reproduksi atas tenaga kerja adalah juga kerja itu sendiri, namun karena kepentingan perampasan nilai-lebih, kerja reproduksi ini menjadi tidak diakui. Walau secara faktual proses pemulihan tenaga-kerja mensyaratkan upaya tenaga serta kerja pekerja dapat bekerja kembali keesokan harinya.
Untuk mendukung kerja ranah reproduksi yang tidak dibayarkan, di sinilah kemudian heteronormatifitas yang patriarkis menjadi diafirmasi kembali. Heteronormatifitas dalam kapitalisme menciptakan pembagian kerja berdasar gender yang spesifik di mana laki-laki ditempatkan pada ranah produksi sementara perempuan diposisikan sebatas pekerja pendukung ranah reproduksi. Upah atau kompensasi ongkos hidup yang tidak dibayarkan digantikan dengan istilah “kerja-kerja domestik” yang berupaya mengaburkan karakter kerja dalam ranah reproduksi itu sendiri.
Kondisi strukural dalam perkembangan kapitalisme ini menciptakan ketegangan kultural di mana kemunculan kelompok LGBT justru mendorong pertanyaan mengenai fungsi heteronormatifitas dalam mendukung akumulasi kapital. Karena secara potensial, posisi sosial LGBT membuat pembagian kerja berdasarkan gender ini menjadi tidak relevan. Belum lagi keberadaan kelompok LGBT menciptakan pertanyaan mengenai kemungkinan kopulasi heteroseksual yang menjadi material penting dalam menciptakan populasi pekerja baru untuk mendukung eksploitasi kapitalisme. Di sinilah kemudian pengakuan hak-hak LGBT menjadi masalah bagi logika umum proses produksi kapitalisme.
Jika ini adalah logika umum kapitalisme, lalu mengapa dalam negara kapitalis tertentu, khususnya negara kapitalis barat, akomodasi terhadap LGBT dapat dilakukan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat kapitalisme sebagai suatu proses historis. Kapitalisme sebagai suatu sistem dunia selalu berlaku dalam kondisi tidak merata (uneven). Hukum kompetisi yang termaktub dalam kapitalisme selalu berimplikasi pada sentralisasi serta konsentrasi kapital. Sentralisasi serta konsentrasi ini tentu menciptakan suatu kondisi perkembangan kapitalisme yang timpang di mana terdapat negara kapitalis yang kuat dan negara kapitalis lain yang relatif lemah. Hubungan antara negara kapitalis kuat dengan yang lebih lemah ini menjadi prakondisi atas kehadiran imperialisme di mana terjadi penghisapan oleh negara kapitalis yang kuat atas nilai-lebih yang diproduksi oleh negara yang lebih lemah.
Penghisapan imperialis ini tentu menciptakan kondisi membludaknya nilai-lebih di negara kapitalis kuat yang disertai minimnya keberadaan nilai-lebih dalam ekonomi negara kapitalis yang relatif lemah. Secara kebetulan, negara kapitalis kuat tersebut adalah negara-negara kapitalis barat, sementara dalam kategori negara kapitalis yang relatif lemah salah satunya adalah negara seperti Indonesia. Keberadaan nilai-lebih yang sedikit di negara kapitalis yang relatif lemah memfasilitasi terjadinya intensifikasi kompetisi antar kapitalis di negara tersebut di mana pencurian nilai-lebih secara relatif menjadi modus utamanya. Hal ini menjelaskan mengapa dalam negara kapitalis yang lemah tingkat upah beserta kompensasi biaya hidup untuk reproduksi tenaga kerja begitu kecil. Ketika upah serta kompensasi yang ada kecil, logika umum kapitalisme untuk mendiskriminasi LGBT sebagaimana yang saya jelaskan sebelumnya menjadi berlaku.
Selain itu dalam negara kapitalis yang lemah ini diskriminasi LGBT memiliki kebergunaan bagi modus akumulasi institusi kapitalis negara tersebut. Diskriminasi LGBT menciptakan peminggiran secara sistemik kelompok ini dari sistem ekonomi formal yang ada. Pemingggiran ekonomi formal ini membuat kalangan LGBT mudah untuk terperosok ke dalam ekonomi informal di mana pada akhirnya meningkatkan jumlah tenaga-kerja cadangan (reserve army of labor). Peningkatan atas tenaga-kerja cadangan memiliki dampak terhadap tingkat upah yang berlaku di mana penyediaan tenaga kerja yang tinggi akan menurunkan tingkat upah tenaga kerja secara keseluruhan. Dengan demikian, diskriminasi LGBT justru memperkuat kompetisi antar pekerja yang berpotensi untuk merusak kapasitas kolektif mereka untuk melakukan daya tawar atau negosiasi kondisi kerja di tempat kerja.[2]
Penjelasan ini memberikan pandangan mengapa negara kapitalis yang lemah cenderung memiliki masyarakat yang konservatif dan diskriminatif terhadap LGBT. Kepentingan kapitalisme untuk mendapatkan akumulasi melalui upah murah menjadi dasar bahwa diskriminasi LGBT adalah rasional sekaligus penting. Sayangnya, gagasan konservatif ini kemudian merasuk pula ke kesadaran massa rakyat pekerja dikarenakan kompetisi pekerja yang massif diantara mereka. dengan melakukan diskriminasi atas LGBT, muncul disilusi pada beberapa elemen kelas pekerja bahwasanya mereka akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal apa yang berlaku adalah eksploitasi terhadap mereka akan terjadi dengan kemungkinan kecil adanya perlawanan kolektif dari kelas pekerja itu sendiri untuk melawan kelas kapitalis.
Situasi ini hampir tidak berlaku di negara-negara barat yang kapitalismenya relatif kuat. Kapitalis di negara-negara tersebut memiliki nilai-lebih yang cukup yang memungkinkan terjadinya konsesi upah serta kompensasi atas ongkos reproduksi melalui peningkatan upah. Konsesi ini juga dibantu dengan keberadaan negara yang menciptakan mekanisme redistribusi pendapatan di antara warga negaranya. Peningkatan upah yang dibantu dengan peran aktif negara menurunkan tekanan terhadap kebutuhan akan adanya kerja reproduksi yang tidak dibayar ini. Selain itu peranan aktif negara ikut berkontribusi pada terjadinya perubahan hubungan kerja berdasar gender. Aktifitas reproduksi yang dulu hanya dilakukan oleh individu-individu, mulai tersosialisasikan di mana negara juga memiliki peran reproduksi. Sosialisasi kerja reproduksi melalui peranan negara berimplikasi pada semakin melemahnya gagasan heteronormatifitas karena kerja reproduksi tidak lagi tergantung penyediaannya oleh jenis gender tertentu. Oleh karenanya, peranan negara dalam ranah kerja reproduksi menjadi kondisi yang penting bagi penghapusan diskriminasi terhadap LGBT.
Apakah ini artinya untuk mendukung penghapusan diskriminasi terhadap LGBT, maka kita harus mengikuti pengalaman negara barat dengan mendorong kapitalisme dan melakukan imperialisme? Jika ada acara pandang ini, maka ini adalah argumen yang sangat picik. Yang perlu diperhatikan adalah mengapa negara kapitalis yang kuat mau tidak mau harus melakukan konsesi. Karena tidak ada konsesi yang muncul secara alamiah dalam kapitalisme. Jawaban dari masalah ini adalah karena kelas pekerja di negara-negara barat berhasil memenangkan kepentingan politiknya dalam kekuasaan negara. Tuntutan peningkatan upah serta pengingkatan peran negara juga bukan merupakan hasil dari kebaikan hati kapitalis, tapi merupakan produk dari perjuangan politik. Tuntutan atas sosialisasi kerja reproduksi adalah kemenangan dari kelas pekerja negara-negara barat untuk merebut kembali nilai-lebih mereka yang dicuri selama proses produksi kapitalis. Dengan menggunakan kebijakan pajak yang kuat, para kapitalis harus membayar pajak terhadap negara yang dengannya negara dapat menyediakan pelayanan publik di mana kerja reproduksi adalah salah satunya.
Jikapun negara-negara barat kapitalis kuat tersebut melakukan imperialisme, itu tidak dapat disematkan sebagai konsekuensi dari perjuangan kelas pekerja di negara-negara tersebut. Kepentingan kelas berkuasa negara-negara barat yang dihadapkan pada tekanan politik kelas pekerja membuat mereka melakukan respon strategis melalui kebijakan imperialis. Hal ini dikarenakan perjuangan kelas pekerja negara-negara barat belum mampu untuk menghancurkan kapitalisme secara total. Degradasi ideologi kepemimpinan politik kelas pekerja di negara barat dengan tendensi reformis-evolusionisnya meghambat orientasi politik yang radikal untuk penghancuran kapitalisme oleh kelas pekerja itu sendiri. Kondisi ini menciptakan situasi politik yang ambigu karena perkembangan kapitalisme yang berlaku diiringi dengan kekuatan kelas pekerja yang signifikan. Dihadapkan pada kondisi politik kelas pekerja yang kuat, maka proses akumulasi tidak lagi dapat dilakukan secara biasa. Di sinilah kemudian Imperialisme menjadi penting untuk didorong oleh kelas berkuasa dalam rangka mempertahankan akumulasi keuntungan dengan melakukan penundukan terhadap wilayah lain. Tidak heran jika kemudian dalam negara-negara barat tersebut pudarnya diskriminasi LGBT beriringan dengan munculnya jenis diskriminasi (diskriminasi ras, agama, dll) yang lain yang dapat dihubungkan dengan keberadaan kebijakan imperialisme yang dilakukan oleh negara-negara barat itu sendiri. Suatu situasi yang umum kita temukan dalam pengalaman negara-negara barat sekarang.
Tugas Muslim Progresif
Dalam terang pembacaan materialis ini, adalah tugas Muslim progresif untuk menghilangkan selaput prasangka yang selama ini banyak menggentayangi kesadaran massa luas. Selaput prasangka ini membuat pengkotak-kotakan yang sangat merugikan perjuangan rakyat itu sendiri untuk memenangkan kepentingannya dalam politik negara. Sebagaimana telah dijelaskan, diskriminasi LGBT memiliki hubungan serta implikasi struktural terhadap penguatan proses akumulasi kelas kapitalis dan juga pelemahan kelas pekerja secara keseluruhan. Muslim progresif perlu secara sadar mewartakan posisi ini ke dalam dinamika umum pergerakan rakyat sekarang.
Hal yang juga semakin penting adalah perlunya gerakan anti-diskriminasi LGBT untuk mengambil politik anti-kapitalis. Jika merujuk pada pengalaman negara-negara barat, minus agenda imperialisme tentunya, perubahan politik yang anti terhadap dominasi kapitalisme sangat penting untuk mengubah kebijakan negara yang berperan aktif dalam sosialisasi atas kerja-kerja reproduksi warganya. Semakin berperan negara dalam kerja-kerja reproduksi, semakin memudar pula cara pandang heteronormatifitas yang menjadi dasar kultural bagi diskriminasi LGBT. Gagasan mengenai peranan negara untuk mengubah relasi kerja dalam ranah reproduksi harus menjadi isu yang penting untuk didiskusikan dalam langgam perjuangan LGBT sekarang ini.
Konsekuensinya tentu gerakan hak-hak LGBT perlu mengubah orientasi perjuangannya yang selama ini hanya terpaku pada urusan pengakuan hak semata. Harus diakui keterbatasan ini juga adalah hasil dari proses historis di mana masih belum mencukupinya ruang bersama dalam perjuangan anti-kapitalis. Di sinilah kemudian diperlukan dibentuk sebanyak mungkin ruang solidaritas antara perjuangan LGBT dengan perjuangan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Kelompok Muslim progresif sebagai elemen Islam yang memilki komitmen atas penciptaan masyarakat yang menjadi berkah bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin), memiliki kepentingan untuk menciptakan ruang-ruang solidaritas tersebut dalam setiap aktifitas nyata perlawanan sekarang.
Catatan:
[1] Heteronormatifitas adalah seperangkat norma atau gagasan yang mengaggap bahwa ekspresi seksual antara laki-laki dan perempuan adalah satu-satunya relasi seksual yang sepenuhnya alamiah dan dengannya menjadi benar.
[2] Argument ini tidak menafikan kenyataan bahwa ada beberapa elemen dalam LGBT yang menjadi bagian dari relasi kerja ekonomi formal. Harus diakui ada pula kelompok LGBT yang masuk dalam ekonomi ini yang terinklusi dalam relasi kerja kapitalis tersebut dikarenakan kebijakan individual perusahaan tersebut. Namun hal tersebut hanya berlaku secara terfragmentasi di mana tidak semua perusahaan di negara yang lemah kapitalismenya memiliki kebijakan yang inklusif terhadap LGBT. Bagi kelompok LGBT yang bekerja di perusahaan yang tidak memiliki kebijakan inklusif terhadap mereka, daya tawar mereka terhadap pemberi kerja sangatlah kecil karena keberlakuan norma diskriminatif yang ada. Oleh karena itu efek kebijakan inklusif LGBT perusahaan masih lah bersifat kecil serta terbatas.
Pada tulisan di atas perlu ditambahkan bukti pengaruh diskriminasi LGBT terhadap upah pekerja (nyatanya umr naik tiap tahun), dan bukankah umr sudah di atur oleh pemerintah.. kemudian banyak orang LGBT di terima bekerja di berbagai sektor walaupun sebagian harus merahasiakan identitasnya, artinya cadangan pekerja ituh tidak seperti yang diceritakan… memangnya mereka yang LGBT semuanya pengangguran…? Kalau misalkan berniat melawan kapitalis bukankah bisa dengan memprioritaskan untuk memajukan IPM nya?
Saya mencari di berbagai literasi namun belum menemukan hasil. Lalu apakah Muslim sendiri diizinkan untuk menjadi LGBT? Dan apakah Islam sendiri mengamini pernikahan sejenis? Kalau untuk bertoleransi, saya setuju untuk berbagai Agama pasti mengajarkan kebaikan, namun hanya perbedaan tafsir atas definisi yang menjadi polemik sekarang ini.
@fajar. buktinya sudah ada jg dlm tulisan, negara miskin spt Indonesia masih kuat heteronormatif, kata kuncinya.
umr naik utk mengatasi inflasi akibat ulah kapitalisme finansial jg shg buruh bisa terus kerja. pemerintah bkn mengatur umr melainkan melahirkan produk hukum umr dgn menimbang daya tawar buruh, disini kelihatan mana pemerintah pro cukong dan pro buruh alias populis, demi elektoral.
cerita hrs holistik jgn kasus per kasus soal cadangan kerja. faktanya cadangan kerja ribuan utk merebut satu posisi. Kecuali T, LGB memang gak musti pengangguran kalo mrk merahasiakan. kalo terang2an kena diskriminasi nggak? melawan kapitalis kok dgn produk kapitalis serupa ipm? emang kalo ipm tinggi angka sadar kelas tinggi? kepemimpinan revolusioner utk daya tawar buruh apa tinggi jg? ipm tinggi memang menunjukkan jmlh kelas menengah. tapi kalo ngehe buat apa.
@penulis. bagi muslim gak segampang itu. bkn soal kebencian pd satu kaum jadi tdk adil. ini soal keyakinan atas kisah negeri sodom. kalo mengajak pejuang lgbt ke arah politik kelas okelah. jika berjuang utk daya tawar peranan negara dlm reproduksi hingga melunakkan heteronormatif bolehlah. andai merangkul lgbt dlm barisan kaum tertindas bisalah. tapi kalo bertetangga dgn pasangan homo? jgn lupa juga ide libertarian sbg penopang kapitalisme yg berimplikasi pada ruang privasi individu yg sgt luas. mangkanya sosialisme masih kompatibel dgn islam dlm ranah perjuangan kesejahteraan komunal sebab “la islam illa jamaah”.