Dalam sejarah umat manusia, kiprah para cendekiawan telah terbukti sangat determinitik terhadap eksistensi sebuah peradaban. Sebab, ide-ide yang menetes dari kerja intelektual dan kreativitas berpikirnya, cepat atau lambat berpotensi membawa ekses yang mendua: mengangkat atau mengguncang-guncang suatu peradaban. Tidak jarang kerja intelektual bisa berkontribusi positif terhadap sebuah peradaban, namun tak jarang pula lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat.
Pada abad ke-18, peradaban kapitalisme di Eropa, misalnya, bergerak lebih “gesit” setelah mendapat legitimasi intelektual Adam Smith. Melalui bukunya, The Wealth of Nation (1776), Adam Smith menegaskan bahwa keserakahan, sebagai hakikat asali manusia, memiliki manfaat sosial. Tetapi, hal ini tidak terbukti. Karena itu, pada abad ke-19, muncul sosok lain, Karl Marx, yang mendepak kepitalisme dan menawarkan bentuk peradaban lain, yakni sosialisme dan komunisme.[1]
Melawan Smith, Karl Marx mendaku bahwa keserakahan bukanlah hakikat asali manusia, tetapi hanyalah suatu produk sejarah, dan oleh karena itu, bisa diubah dengan menanggalkan sistem kepemilikian pribadi. Prediksi Karl Marx bersama Friedrich Engels dalam Manifesto Komunis (1847) bahwa “ada hantu berkeliaran di Eropa, hantu Komunisme” benar-benar menjadi kepercayaan baru dalam peradaban Eropa abad ke-19, yang kemudian memuncak sampai akhir tahun 1980an, lalu meredup, dan kini mulai dibaca dan dihidupkan kembali akibat dari krisis kapitalisme yang terus berulang.[2]
Pertanyaannya, siapa itu cendekiawan? Apakah cendikiawan haruslah sosok seperti Smith dan Marx di atas?
Dalam ilmu sosial, definisi cendekiawan sendiri masih diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa cendekiawan adalah mereka yang mendapatkan surat krendesial berupa ijazah dari perguruan tinggi. Namun, tidak semua sepakat dengan definisi ini.[3] Sebab, dalam kenyataan, tidak otomatis seorang yang memiliki ijazah akan memainkan peran kecendekiaan. Sebaliknya, yang tidak berijazah justru bisa berperan sebagai cendekiawan. Dalam konteks Indonesia, sastrawan terbesar Indonesia tak tepermanai, Pramoedya Ananta Toer, bisa menjadi contoh yang tepat.[4]
Dalam sejarah, Rusia pada masa Tsar pernah memberikan gelar intelligentsia kepada mereka yang dikirim ke Barat untuk mempelajari secara khusus ‘penguasan dasar-dasar peradaban Barat’. Di Italia, Antonio Gramsci mendefinisikan mereka yang mengartikulasikan pandangan dunia, kepentingan, tujuan, dan kemampuan kelas tertentu sebagai “intelektual organik”. Sementara di Prancis, Julian Benda, dalam bukunya La Trahision des Clercs (1927), menamakan mereka yang mencari kegirangan hidupnya dalam dunia kesenian, ilmu pengetahuan, dan metafisika sebagai les clrecs alias kaum intelektual. Les clrecs adalah nama yang diberikan Julian Benda untuk mereka yang memainkan peran sebagai moralis yang tidak partisan ala Gramscian, yang melawan segala bentuk egoisme manusiawi, dan tidak tanggung-tanggung “membaptis” diri seperti seorang klerus yang percaya bahwa: “kerajaanku bukan dari dunia ini”.[5]
Semua definisi tadi, menurut penulis, tidak bisa dikatakan bahwa yang satu lebih berdaulat atas yang lain. Jika demikian, timbul soal baru di sini: definisi mana yang mesti dirujuk? Definisi di atas, masing-masing memiliki keterbatasan. Sebab, sepak terjang kecendekiawaan dibatasi oleh kondisi struktural dan kultural yang dihadapinya. Dengan demikian, cendekiawan selalu terdefinisikan berdasar konteks yang mengintarinya. Dengan demikian, definisi atasnya selalu hadir dalam pengertian yang terbatas.
Karena keterbatasan ini, Daniel Dhakidae (2003),dalam buku Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru menghadirkan sebuah wacana baru, bahwa sejatinya cendekiawan tidak memiliki definisi, sebab cendekiawan bukanlah sekelompok orang atau benda, melainkan relasi. Baginya,
“cedekiawan, kecendekiaan, kaum cendekiawaan adalah relasi, bukan definisi, yang keluar sebagai akibat dari hubungan modal, kekuasaan, dan kebudayaan. …[C]endekiawaan adalah relasai dalam satu medan-–medan sosial, medan ekonomi, medan sastra, medan politik–-dengan titik berat diberikan pada produksi wacana, pertikaian wacana, pergantian wacana, dan kembali kepada formasi wacana baru lagi.”[6]
Berdasarkan beberapa definisi di atas, cendekiawan merangkum banyak pihak, baik itu masyarakat akademis maupun non-akademis. Dalam tulisan ini, penulis lebih menyoroti cendekiawan dalam dunia akademis, terutama para pendidik, dosen, dan peneliti di perguruan tinggi.
Tugas seorang cendekiawaan (kampus) dalam dunia akademisi adalah bergelut dalam bidang “produksi wacana, pertikaian wacana, pergantian wacana, dan kembali kepada formasi wacana baru lagi.” Cendekiawan adalah seperti seorang “tukang” yang selalu memproduksi pengetahuan. Sebagai tukang, diharapkan bahwa yang diproduksi bukan ilmu untuk ilmu, seperti seruan Julian Benda, tetapi ilmu untuk Rakyat. Atau, ilmu yang berpihak pada kelompok tertentu, terutama bagi pembebasan kaum tertindas seperti harapan Antonio Gramsci.[7]
Pertanyaannya selanjutnya adalah, apakah cendekiawan Indonesia sudah menjalankan tugasnya sebagai produksi pengetahuan bermutu untuk Rakyat dan kaum tertindas?
Pada tahun 2009, di antara negara ASEAN saja, cedekiawan Indonesia hanya menghasilkan 7,1% publikasi internasional, sementara cendekiawan Singapura memproduksi 53,5%, Brunei (53,7%), Malaysia (25,1%), Filipina (24,1%) dan Thailand (18,8%). Artinya, satu juta penduduk Indonesia hanya mampu menghasilkan kira-kira 0,87% publikasi internasional, sebuah angka yang sangat kecil jika dikomparasi dengan Malaysia (21.30%) dan India (12,00%). Fakta ini mengafirmasi pernyataan Antony Reid (2011) bahwa 90% publikasi internasional tentang Indonesia ditulis oleh akademisi yang tinggal di luar Indonesia.[8]
Bertolak dari data di atas, harus diakui bahwa dunia akademisi Indonesia mengalami kelesuan intelektual. Memproduksi pengetahuan saja cedekiawan Indonesia masih setengah hati. Apalagi, harus memproduksi pengetahuan yang berpihak kepada Rakyat dan kaum tertindas. Pembangunan peradaban Indonesia belum bisa diletakkan begitu saja pada tangan para cendekiawan seperti ini.
Pertanyaan lanjutannya adalah, apa kira-kira penyebab kelesuan ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus melihatnya secara ekonomi-politik dengan mencermati modal dan kekuasaan yang membingkai dunia akademisi Indonesia, seperti yang sudah pernah diingatkan oleh Daniel Dhakidae (2003).
Untuk menganalisis peran para cedekiawan Indonesia, posisi mereka harus diletakan dalam konteks ekonomi-politik yang menyata dalam kekuatan modal dan kekuasaan. Sebab, sikap dan kesadaran intelektual cendekiawan sangat ditentukan oleh relasinya dengan modal dan kekuasaan. Dengan demikian, fenomena kelesuan intelektual ini tidak terlepas dari cengkeraman modal dan kekuasaan yang mengitarinya.[9]
Di Indonesia, sejak Orde Baru, sepak terjang para cendekiawaan selalu menjadi alat negara. Para cendekiawan menjadi sarana untuk melegitimasi kekuasaan dan memperlancar derap-langkah modal. Dengan demikian, para cendekiawan menjadi semacam entitas sosial pemberhala modal dan kekuasaan Orde Baru. Sayangnya, hal yang sama juga masih terus berlanjut hingga pasca Orde Baru. Bahkan menurut Heru Nugroro (2006), tendensinya lebih menanjak, terutama di universitas negeri yang telah menjadi Badan Hukum Milik Negara seperti UI, UGM, ITB dan IPB.[10] Universitas-universitas baik negeri maupun swasta di daerah, seperti di NTT misalnya,[11] juga memiliki watak yang kurang lebih sama dengan yang terjadi pada level nasional.[12]
Jika corak dunia akademisi Indonesia sudah demikian adanya, maka tidak heran bila kerja intelektual dan proyek penelitian para cendekiawan kampus hanyalah “titipan” pihak-pihak yang berkepentingan dengan sirkulasi modal dan kekuasaan tertentu, baik dalam bidang ekonomi, birokrasi maupun politik. Kita, Rakyat Indonesia, tidak bisa berharap banyak pada para cendekiawan “penyembah” modal dan kekuasaan seperti ini untuk memproduksi pengetahuan bermutu untuk Rakyat, selevel mutu publikasi internasional misalnya.[13] Atau lebih jauh, mereka tidak lagi melihat dunia akademisinya sebagai “medan perjuangan politik”, ala Antonio Gramsci, guna memperjuangkan nasib Rakyat. Karena itu, mereka, entah sadar atau pun tidak, telah mentransformasikan dirinya dan masyarakat akademis terpandang menjadi segerombolan “pengkhianat intelektual”, seperti kata Julian Benda.[14]
Dengan demikian, kita, Rakyat Indonesia, mestinya terus waspada dan bersikap kritis. Sebab, dewasa ini tidak sedikit gerombolan “pengkhianatan intelektual” ini sedang bergentayangan di lembaga akademik di Indonesia. Mereka adalah “segerembolan massa” penyebar demagogi pengetahuan, sehingga menimbulkan kebodohan, kemiskinan, kemandegan pembangunan, dan kelunglaian peradaban di Indonesia. Namun, mereka biasanya tanpa malu-malu bersembunyi di balik kemegahan gedung sekolah dan perguruan tinggi, kelincahan berdialektika dan kemewahan hidup. Karena itu, jangan salahkan siapa-siapa bilamana satu saat Rakyat Indonesia mengganas, mengangkat tangan, lalu menghujamkan jari telunjuknya ke muka Anda sekalian sambil berteriak: “pengkhianat intelektual.”
[1]Arief Budiman, Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka, 1990), pp. 11-13.
[2]Ibid., p. 16
[3]Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia, 2003.
[4]Ariel Heryanto, “Pendidikan Untuk Perubahan” dalam Jurnal IndoPROGRESS Online, diakses 11 April 2017. URL: https://indoprogress.com/2012/04/pendidikan-untuk-perubahan/
[5]Dhakidae, op.cit., pp. 11-12. Lihat juga: Antonio Gramsci, Selection from the Prison Notebooks (New
York: International Publisher, 1971).
[6]Dhakidae, op.cit., pp. xxxvii, xxxi.
[7]Ibid.
[8] Heryanto, op.cit.
[9]Ibid.
[10]Heru Nugroho, “Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi”, dalam Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (Jakarta: Equinox, 2006).
[11]Penelitian penulis di NTT tahun 2014 juga membenarkan hal ini. Dunia kampus di NTT juga tak lepas dari intervensi modal dan politik. Modal dan kekuasaan membutuhkan legitimasi, sementara cendekiawan mengharapkan kenyamanan finansial, karir politik dan birokrasi dan, mungkin juga, kemewahan hidup. Karena itu, riset, penelitian dan evaluasi program-program pemerintah dibuat asal-asal oleh para cendekiawan agar membuat “bapak senang.” Misalnya, evaluasi program Anggur Merah gubernur Frans Leburaya oleh para cendekiawan NTT hampir tanpa catatan kritis untuk pembangunan di NTT. Namun, penelitian penulis di NTT juga menemukan beberapa birokrat, terutama yang baru pulang studi dan belum memahami watak politik NTT, yang mencoba bersikap kritis terhadap program-program pemerintah, tetapi sayang mereka digeser dari posisi strategis dan bekerja, misalnya, sebagai penjaga perpustakaan yang tidak sesuai dengan kualitas dan kepakaran mereka. Tidak sedikit juga birokrat yang kritis diteror melalui “wejangan” pemimpin di apel pagi, dan terkadang dipindahtugaskan dari satu institusi ke institusi yang lain. Dengan “teror” seperti ini, banyak cendekiawan yang potential melakukan fungsi korektif terhadap modal dan kekuasaan menarik diri dan memilih diam dari hinggar binggar ekonomi politik pembangunan di NTT.
[12]Vedi R. Hadiz dan Daniel Dakidae (eds.), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia, 2006.
[13]Emilianus Yakob Sese Tolo, “Akumulasi Melalui Perampasan, Buruh Migran, dan Peran Cendekiawanan: Studi Kasus di Nusa Tenggara Timur,” dalam Agus Pramusinto dan Yuyun Purbokusumo, Indonesia Bergerak 2: Mozaik Kebijakan Publik di Indonesia 2016 (Yogyakarta: Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) MAP UGM, 2016)
[14]Dhakidae, op.cit.
mas ijin copy tulisannya untuk dimuat di website saya
Apakah maksud dari istilah terbukti sangat determinitik ?