Seperti tahun-tahun sebelumnya, ada banyak petaka agraria sepanjang tahun 2016. Konflik agraria terjadi di mana-mana tanpa ada penyelesaian yang paripurna. Sepanjang sejarah konflik agraria, begitulah kenyataannya. Konflik ini adalah sesuatu yang menyejarah “tak pernah selesai”. Pada setiap konflik yang melibatkan masyarakat melawan korporasi, baik negara maupun swasta yang berujung pada kasus hukum, nampaknya ujungnya selalu bisa ditebak, bahwa rakyat menjadi pihak yang kalah.
Konflik tersebut memiliki akar masalah yang akut, yakni ketimpangan struktur penguasaan atas sumber daya agraria (SDA). Ketimpangan itu, dalam banyak kasus diakibatkan kebijakan negara yang mengkorporatisasikan SDA melalui kebijakan hukum administrasi seperti HPH, HPHTI, HGU, KP, KK, IUPK, dan semacamnya.[2] Konsekuensinya, selama ketimpangan itu masih terpelihara, selama itu pula konflik yang berujung pada kasus hukum akan selalu ada. Kriminalisasi sebagai jalan ketertiban massa (orderlines) akan menjadi pilihan rezim dalam menyelesikan secara semu segala konflik, terutama yang berhubungan dengan sumber daya agraria.
Petani Surokonto Wetan, Kendal, Jateng, menjadi satu dari sekian banyak korban dari cara kerja rezim “Law and Order”, yaitu rezim yang mendamba ketertiban massa (stabilitas) sebagai tujuan hukum dengan mendayagunakan pasal-pasal dalam undang-undang yang represif[3], meskipun keadilan dan kesejahteraan dikebiri. Walhasil, korban-pun berjatuhan. Setiap perjuangan rakyat untuk mendapatkan kembali haknya (reclaiming) yang dulu dijarah oleh korporasi, selalu diredam dengan tuduhan-tuduhan bahwa mereka melakukan tindak kejahatan. Sebagaimana kini yang dialami oleh Petani Surokonto Wetan. Beberapa petani yang mempertahankan hak atas tanahnya yang dinegaraisasi oleh Perum Perhutani diganjar pidana pembalakan dan pengerusakan hutan. Padahal perbuatan itu pada esensinya untuk mempertahankan haknya dan bukan semata murni karena niat melakukan tindak pidana kejahatan. Perbuatan itu adalah memanfaatkan lahan di kawasan hutan sekitar desa yang secara turun temurun telah dimanfaatkan oleh nenek moyang mereka.
Sudah bukan hal yang rahasia lagi bagi publik Indonesia bahwa penegakan hukum bolehlah ditengarai tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Begitulah anggapan kebanyakan orang Indonesia manakala disuruh menilai sejauh mana penegakan hukum di Indonesia. Tidak ada yang salah terhadap penilaian orang kebanyakan di atas. Secara teoritik, kondisi sebagaimana dipersangkakan masyarakat di atas sangat dapat dijelaskan. Mengenai hal tersebut akan diulas beriringan dengan pembahasan mengenai tema yang diusung dalam tulisan ini. Dengan demikian, tulisan ini hanya fokus menyoroti fenomena penegakan hukum di Indonesia yang bagi penulis layaknya menggunakan “kaca mata kuda,” yang dalam banyak hal selalu menghambat perjuangan rakyat, terkhusus konflik agraria. Isi tulisan ini barangkali telah diulas berkali-kali oleh para pengemban hukum terdahulu.
Jadi jangan heran apabila isinya hanya pengulangan teori dan analisis terutama pada wilayah model penalaran hukum dalam positivisme hukum yang bagi banyak teoritisi hukum, termasuk penulis telah menghambat pengebanan hukum (Rechtsboevening) di Indonesia. Dengan begitu juga menghambat arah revolusi Indonesia.[4] Pula, tidak akan masuk pada wilayah prosedur praktikalnya, melainkan lebih pada theoretical guessing yang kritis. Mengutip statemen Eko Prasetyo[5] yang ditujukan untuk mengingatkan bahwa “untuk semua korban ketidakadilan dan mereka yang belajar memahami hukum dan ilmu hukum, sesekali jangan percaya kalau di hadapan hukum semua orang sama, apalagi keyakinan bahwa hukum akan mendatangkan keadilan.”
Kronologi Kasus[6]
Petani itu bernama Kiai Nur Aziz (44), Sutrisno Rusmin (63), dan Mujiono (39) yang dilaporkan oleh Divre Perum Perhutani KKPH Kendal, Jawa Tengah kepada Kepolisian Kendal pada 2015 atas tuduhan melakukan pembalakan hutan di petak 9 (Sembilan). Mereka menanami tegalan yang telah bertahun-tahun menjadi sumber kehidupannya.

Namun naas, perbuatan mereka yang telah mereka lakukan bertahun-tahun itu tiba-tiba berubah menjadi malapetaka setelah pada tahun 2014, negara c.q Kementerian Kehutanan mengeluarkan keputusan yang sangat kentara bau busuk kesewenang-wenangan. Pasalnya, keputusan hukum tersebut menurut petani tidak melalui mekanisme sosialisasi atau musyawarah kepada 450 petani yang telah lama mengelola lahan seluas 127, 821 ha.[7]
Berdasarkan surat penunjukan melalui SK.643/MENHUT-II/2013 sebagai pemenuhan ganti lahan hutan di Rembang yang digunakan untuk membangun pabrik PT. Semen Indonesia, kemudian ditindaklanjuti surat keputusan Kementerian Kehutanan RI Nomor: SK.3021/Menhut/VII/KUH/2014 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Produksi pada Bagian Hutan Kalinodri Seluas ± 127, 821 ha di Kabupaten Kendal Provinsi Jawa Tengah yang terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, dinyatakan sebagai tanah milik Pemerintah Cq. Kementerian Kehutanan RI yang merupakan hasil dari tukar guling (rueslag) antara tanah milik PT. Semen Indonesia yang terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal dengan tanah milik Kementerian Kehutanan RI yang terletak di Desa Kajar dan Desa Pasucen, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang tahun 2013.[8]
Sebelumnya, tanah seluas 127 Ha tersebut secara turun temurun telah dikelola oleh petani di Desa Surokonto Wetan pasca Indonesia merdeka sejak tahun 1952. Secara legal-formal, lahan tersebut adalah tanah yang dikuasai negara melalui pemindahan penguasaan pada tahun 1952 dari yang semula dikuasai oleh perusahaan perkebunan Belanda (Rotterdamsche Culture Maschapij dan NV. Cultuur Maatschapij). Dengan status lahan perkebunan sebagai tanah negara dan hak pengelolaannya dipegang oleh NV. Sekecer/Wringinsari di tahun 1956-1965 sebelum kemudian beralih kepada PT. Sumurpitu Wringinsari dari tahun 1972-1997 dan 1998-2022, secara fakta sosial, masyarakat Desa Surokonto Wetan telah mengelola sebagian lahan perkebunan tersebut dengan berbagai perjanjian bagi hasil usaha dengan pihak perusahaan.
Misalnya di tahun 1972, warga dan sesepuh Desa Surokonto Wetan pernah mengadakan perjanjian terkait penggarapan lahan kebun bersama PT. Sumurpitu Wringinsari dengan syarat bilamana ada warga Desa Surokonto Wetan yang hendak bergabung dan turut menggarap lahan perkebunan, maka warga tersebut harus ikut bergabung dengan Sekber Golkar.[9]
Secara fakta historis, warga telah menguasai lahan untuk dimanfaatkan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari sebagai petani yang tidak memiliki lahan. Meskipun secara legal-formal, sebagaimana dijelaskan di atas, tanah perkebunan hasil peralihan penguasaan tahun 1952 secara hukum dikuasai oleh negara, tapi berdasarkan hukum kebiasaan masyarakat (customary law), tanah tersebut telah lebih dulu dimanfaatkan petani bahkan sebelum tahun 1952.[10]
Akhirnya, siapa yang lebih dulu menguasai tanah tersebut tidak menjadi pertimbangan pembuat kebijakan. Selanjutnya negara atas nama state law menjadikan tanah yang berpuluh-puluh tahun dimanfaatkan petani sebagai objek lahan tukar guling. Inilah kondisi di mana hukum negara (state law) mensubordinasi hukum kebiasaan yang menjadi kesepakatan masyarakat. Negara c.q Kementerian Kehutanan yang mengeluarkan surat keputusan Nomor SK.3021/Menhut/VII/KUH/2014 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Produksi pada Bagian Hutan Kalinodri Seluas ± 127, 821 ha di Kabupaten Kendal Provinsi Jawa Tengah yang terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal telah abai terhadap realitas masyarakat yang telah mengelola tanah negara untuk sekedar mempertahankan hidup. Lalu untuk apa adanya Pasal 33 UUD 45 diciptakan? Dan, tatkala rakyat memperjuangkan haknya, mereka dihadapkan dengan hukum yang represif, kriminalisasi sebagai pilihan menertibkan perlawanan rakyat.
Akhirnya, Kiai Aziz, dkk ditangkap oleh pihak kepolisian. Aziz dijerat dengan Pasal 94 ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang menyatakan:[11]
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c; dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Akhirnya, 3 (tiga) orang petani dijadikan terpidana oleh penegak hukum yang menjadi corong undang-undang belaka (bouches des lois). Tak ada nurani ataupun belas kasihan kepada 450-an petani landless (tak bertanah) yang menjadi korban dari kegagalan land reform. Mereka di awal tahun 2017 divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Kendal sebagaimana bunyi undang-undang. Perkembangan terakhir upaya hukum luar biasa (PK) yang dilakukan oleh pendamping hukum dari petani Surokonto ke MA-pun tak mampu merubah putusan. MA tetap menguatkan putusan dari PN Kendal.
Hukum Yang Menindas Petani: Kedigdayaan Mechanistic Jurisprudence (Positivisme Hukum) Dalam Kasus Petani Surokonto Wetan
Kisah Kiai Nur Aiz, dkk adalah kisah mengenai sebuah negara yang masih dalam tahap belajar menjadi “negara hukum”, meskipun secara ius constitutum atau hukum perundang-undangan telah ada norma positif yang mengaturnya secara rigid dan rasional dalam bingkai logika positivisme hukum modern. Tapi tetap saja masih dalam ranah apriori, masih belum melekat pada ranah aposteriori, apalagi mengkristal menjadi suatu Legal System khas Indonesia.
Para pengemban hukum (rechstbeoefening)[12] terutama teoritikus hukum sepakat bahwa ironi penegakan hukum sebagaimana terjadi pada kasus yang menimpa petani Surokonto Wetan, Kendal, juga petani pejuang agraria lainya bukanlah suatu peristiwa yang tidak bersebab. Meskipun tidak semua sepakat, setidaknya penulis mengiyakan bahwa sejatinya positivisme hukum (tentu saja berpengaruh pada aparat penegak hukum) adalah sebab bekerjanya hukum yang membantu memelihara ketidakadilan di negeri ini.
Pramudya Ananta Toer menyentilnya: “di Indonesia itu polisi, jaksa, hakim semua ada, yang tidak ada adalah ketidakadilan!”. Jika para pengemban hukum jeli melihat semua konflik agraria yang berujung pada kasus hukum, nampak sekali yang dianut oleh pengemban hukum di Indonesia adalah penalaran hukum berkacamata positivisme hukum (aliran legisme) yang ruhnya bersumber dari filsafat positivisme Comte. Terhadap hal tersebut. F. Budi Hardiman menyebutkan bahwa “menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain seperti etika, teologi, moral yang dianggap melampaui fenomena yang teramati secara inderawi”.[13] Ini kemudian ditransformasikan ke dalam hukum, bahwa apa yang disebut hukum adalah state law sebagai bentuk hukum yang legitimate dibuat negara dan bersifat jelas, konkrit berupa peraturan perundang-undangan (law as it is writen in the books). Dari sinilah ide tentang objektitivikasi hukum di mulai, hukum yang sah adalah law as a command of the sovereign, ucap John Austin.
Bentuk objektitivikasi yang lainya adalah keharusan hukum untuk bebas nilai. Hal ini kemudian menghendaki bahwa hukum harus dibebaskan dari pengaruh (juga penilaian) di luar hukum seperti, moral, politik, ekonomi, dsb, yang menurut penganut legal positivisme membuat hukum tidak objektif. Dengan demikian, inipun menjadi ideologi penggerak para jurist (para ahli dan penegak hukum) yang harus melakukan penalaran hukum secara murni tanpa tercampuri oleh asumsi-asumsi non-hukum dalam setiap penyelesaian kasus hukum.[14] Saya ingin mengatakan, bahwa para petani Surokonto, juga pejuang keadilan agraria lainnya sebenarnya adalah korban penjajahan pengetahuan hukum yang bercorak kolonial.
Soetandyo Wignjosoebroto menambahkan, pengaruh filsafat positivisme ke dalam ilmu hukum kuat terasa terutama dalam sistem hukum pidana di Indonesia, terutama analytical jurisprudence dari John Austin[15] dengan logika deduksinya jelas sekali menjadi metode analitik, meminjam istilah Soetandyo, “tidak bertolak dari prinsip-prinsip moral, melainkan murni dari pasal-pasal dalam undang-undang”[16]. Dengan metode analitik tersebut, maka mudah bagi penegak hukum untuk menyelesaikan kasus, cukup dengan menyelaraskan fakta yang terinderawi (berdasarkan bukti yang diperoleh Aparat Penegak Hukum) dengan pasal-pasal dalam undang-undang, meskipun tak jarang keadilan hukum terlanggar.
Cara penalaran hukum seperti inilah yang oleh Soetandyo disebut “mechanistic jurisprudence.” Positivisme hukum yang menggilai objektivitas sebagai pengetahuan yang ilmiah haruslah menjadi jati diri hukum. Oleh karena itu, dalam pengaruhnya pada hukum (APH), tak jarang alat bukti dianggap fakta yang objektif. Dari sinilah kemudian para teoritisi hukum menyebut, positivisme hukum itu bersifat reduksionis, yakni mereduksi masalah yang sebenarnya kompleks menjadi sesuatu yang “apa adanya”, “mekanistik” dan “linier”.[17] Sehingga, kepastian hukum berarti semata-mata kepastian menerapkan pasal yang dikejar. Efek buruknya adalah hukum menjadi sangat mekanik dan tak mampu menjadi solusi keadilan.
Pertanyaannya kemudian, apakah kasus petani Surokonto Wetan itu memang benar-benar murni tindak pidana kejahatan, yang mengandung mens rea? Bagi saya tidak, tapi bagi penganut legal positivisme, jelas melanggar undang-undang.
Maka, dalam pengaruhnya terhadap hukum, terutama dalam hal penerapan hukum oleh lembaga penegak hukum (Polisi, Jaksa, Pengadilan) akan kentara logika berfikir silogisme deduktif (silogisme logika normatif) ala Austin ataupun Kelsen,[18] yakni penarikan kesimpulan secara deduktif dari premis mayor (normatif) ke premis minor (faktual) dan menghasilkan kesimpulan berupa putusan Hakim.[19] Dalam penegakan hukum, perwujudan logika positivisme di atas sering dipraktekkan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) melalui kewenangannya untuk menyelidiki dan menyidik suatu yang diduga tindak pidana sampai proses penuntutan.
Logika kaca mata kuda dalam berhukum itu seringkali hanya menjadikan fakta lapangan untuk memenuhi unsur subjektif dan objektif yang digunakan untuk mengkonstruk suatu perbuatan menjadi tindak pidana. APH, seringkali tidak mau tahu perihal apa sebenarnya yang terjadi atau apa sebenarnya kejadian yang melatarbelakangi peristiwa yang dijadikan perbuatan pidana. Pertanyaannya, apakah APH mengetahui dengan objektif ada peristiwa apa di balik kasus ini?
Alih-alih objektif sebagaimana yang mereka yakini, justru tindakan penegakan hukum merekalah yang mereduksi makna sesungguhnya dari kasus ini. Mereka jelas tidak mengetahui (atau justru tidak mau tahu) bahwa sebenarnya negara c.q Kemenhut yang melanggar hak asasi para petani! Mereka juga tidak tahu bahwa petani memanfaatkan tanah (tegalan) hanya untuk menjaga nafas kehidupan, bukan untuk mengkapitasisasi tanah untuk akumulasi kapital semata. Mereka juga tidak tahu bahwa ketimpangan struktur penguasaan agraria-lah yang menjadi sebab terjadinya kasus ini![20] Penulis rasa, kesaksian petani dalam Putusan PN Kendal mengenai ketidakpunyaan atas tanah untuk bercocok tanam yang membuat mereka terpaksa mengelola lahan yang saat ini dikuasai oleh negara.[21] Artinya: bukan semata karena niat jahat! Juga bukan semata niat menguasai sumber daya agraria sebagaimana yang saat ini sedang dipraktikkan kekuasaan kapital, dan negara.
Fakta yang terinderawi oleh APH dalam bentuk keterangan dan alat bukti itulah yang dijadikan bahan untuk penarikan kesimpulan/konklusi/keputusan menggunakan model silogisme logika normatif (silogisme deduktif) dalam positivisme hukum yang dianggap sebagai metode paling ilmiah meraih keobjektifan. Dari bahan-bahan tersebut dapat dikonstruksikan seperti berikut ini:
Pasal 94 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H) menyatakan “Orang perseorangan yang dengan sengaja:[22]
- menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a;
- melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c;
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Model Logika Silogisme Normatif (silogisme deduktif dalam positivism hukum) dalam penalaran hukum berdasarkan bunyi undang-undang an sich (law in the book) untuk kemudian ditarik menjadi sebuah Putusan Hukum oleh APH:[23]
- Premis umum (Normatif berarti berdasar pada peraturan perundang-undangan): Setiap Orang yang melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan/penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dipidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 10 Miliar dan paling banyak Rp. 100 Miliar (dalam hal ini UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan).
- Premis khusus (Fakta lapangan yang terinderawi berdasarkan penyelidikan dan penyidikan berserta alat bukti yang diperoleh APH): Nur Azis, Dkk, diduga melakukan perbuatan tindak pidana, berdasarkan penyelidikan dan penyidikan telah terbukti menurut pengamatan inderawi (berupa alat bukti dan keterangan yang didapat) APH dilapangan berdasarkan bukti telah melakukan perbuatan sebagaimana dilarang pada Pasal dalam UU a quo.
- Penarikan Putusan Hukum yang Positivistik: Nur Aziz Dkk, berdasarkan pembuktian di persidangan telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana menduduki/menggunakan kawasan hutan negara secara melawan hukum berdasarkan UU a quo, karenanya dihukum sesuai ketentuan pidana dalam UU a quo.
Petani Surokonto, juga petani seantero nusantara yang gigih memperjuangkan hak atas sumber-sumber agraria, bukan semata subjek hukum yang dilanggar hak asasinya oleh hukum mekanik yang pro status quo (barangkali juga mengukuhkan kekuatan korporasi ekstraktif atas SDA), lebih dari itu, mereka (petani pejuang agraria) juga adalah simbol dari warga negara sebelumnya yang bernasib sama, yakni menjadi korban dari penerapan hukum yang “apa adanya” menggunakan pasal-pasal dengan mendayagunakan silogisme logika deduktif yang mengukuhkan ketimpangan dan menjadi bahan bakar untuk mengukuhkan kekuasaan kapital segelintir orang (Oligark).
Pemahaman secara sederhana dari penalaran tipe logika deduktif sebagaimana dikonstruksikan di atas berangkat dari pernyataan umum kemudian ditarik pada simpulan yang lebih khusus (universal-partikular). Dalam kaitannya dengan hukum, penalaran ini menggunakan postulat pasal di dalam undang-undang sebagai premis umum yang kemudian dijadikan dasar untuk menilai sebuah tindakan yang terkategori sebagai kejahatan dan atau pelanggaran.[24]
Pendefinisan positivisme hukum sebagaimana diutarakan oleh Soetandyo di atas mengenai hakikat hukum (ontologi hukum) yang dimaknai sebagai norma-norma yang telah dipositivisasi ke dalam system perundang-undangan. Norma-norma yang telah dipositivisasi itulah yang oleh Kelsen menjadi norma yang harus menjadi pedoman berperilaku setiap orang, “A norm is the expression of the idea, that an individual ought to behave in a certain way.”[25] Dengan demikian, kepastian hukum dengan semata-mata merujuk pada peraturan perundang-undangan menjadi aksiologi dari penalaran hukum model Positivisme hukum.
Dalam kasus petani Surokonto Wetan, terlihat kaidah penalaran hukum model positivism hukum sangat kentara sekali diterapakan oleh APH, mulai dari sandaran kokohnya pada UU P3H (berfikir yuridis bersandar pada kerangka positivitas). Sebagaimana terlihat dari pendayagunaan pasal pidana dalam UU P3H[26] yang dipakai APH untuk menghukumi tindakan petani Surokonto yang menolak tanah penghidupan mereka dirampas oleh negara atas nama kepentingan nasional.
Benar bahwa mereka telah menduduki tanah yang dikuasai negara, tetapi setelah terbitnya SK Kemenhut Nomor: SK.3021/Menhut/VII/KUH/2014 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Produksi pada Bagian Hutan Kalinodri Seluas ± 127, 821 ha di Kabupaten Kendal Provinsi Jawa Tengah yang terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung. Akan tetapi sebenarnya sebelum terbitnya SK Kemenhut tersebut, mereka telah menguasai tanah sejak tahun 1972.
Jika konsekuen mengacu pada model penalaran positivisme hukum, yang menganggap hakikat hukum adalah norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan, maka benar adanya Aziz dkk secara fakta objektif telah menduduki lahan negara c.q Kemenhut secara melawan hukum dikategorikan sebagai tindak pidana. Pada titik ini, jelas juga aksiologi dari positivism hukum adalah demi kepastian hukum. Mengapa demikian? Hal itu jelas bahwa yang dijadikan alat untuk menilai suatu tindakan adalah hanya pasal dalam UU.
Sekalipun tindakan petani hanyalah usaha untuk mempertahankan hak hidup sebagai petani, namun tetaplah mereka ternilai sebagai penjahat selama APH menjadi corong undang-undang (bouches des lois) dan mendogmakannya. Berfikir hukum seperti inilah yang disebut Paul Scholten sebagaimana dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai “hanteren van logische figuren”, yaitu “mematematikakan hukum.”[27]
Bagi penulis, penalaran yang dipraktikkan APH dalam kasus ini lebih condong pada pemenuhan kaidah berfikir tekstual-positivistik daripada berfikir kontekstual. APH juga telah menjadi corong undang-undang daripada corong keadilan. Sehingga, penalaran model positivisme hukum yang diterapkan APH pada kasus ini sangat jelas, meminjam kritik Soetandyo: “tidak bertolak dari prinsip-prinsip moral, melainkan murni dari pasal-pasal dalam undang-undang (UU P3H).” Akhinya, Chico Mendes[28] pada abad lalu telah mengingatkan kita bahwa meskipun rakyat selalu melihat dan berharap kepada hukum (law institutions), akan tetapi mereka tahu, yang diharapkan itu selalu tidak berpihak pada mereka.
Lalu, kepada siapa mereka berpihak? Tentu kepada pihak orang kaya dan tuan-tuan tanah!, tegasnya”. Satu sisi hukum diharapkan berpihak pada rakyat tertindas (the have not), disisi lainnya, hukum malah menjadi alat kepentingan pemilik kuasa (the have). Bukankah ini suatu antinomi hukum kita? Pada yang berkuasa, hukum tak berani menyentuhnya, namun pada yang lemah, hukum menjadi semena-mena. Alangkah tepatnya sindiran Pramudya Ananta Toer yang ia tuliskan dalam novelnya, Larasati: “ada peraturan, ada undang-undang. Ada pembesar, ada polisi, jaksa, hakim (penegak hukum) dan militer. Hanya satu yang tidak ada: Keadilan!”
Kisah pejuangan kiai Aziz dkk membela petani, menunjukkan pada kita betapa mekaniknya hukum Indonesia. Tak ada celah untuk perjuangan petani merebut keadilan atas sumber daya agrarianya. Betapa mereka benar-benar telah mengingatkan pada kita bahwa “jangan sering percaya kalau di hadapan hukum semua orang sama, apalagi keyakinan bahwa hukum yang disponsori penguasa selalu mendatangkan keadilan.” Para aparatus idelogisnya (APH) mirip dengan apa yang diucapkan Napoleon I, Emperor of France, “Men have feelings, but the law does not.”
Terimakasih kepada Kiai Aziz dan para petani pejuang. Kini Indonesia, negara yang katanya berdasar hukum, akhirnya punya kisah nyata–persis dalam novel Victor Hugo, Les Miserables–di mana terdapat seorang APH bernama Javert si penegak hukum “berkaca mata kuda” dan mulutnya yang menjadi “corong undang-undang.”[29] Javert di sini pada akhirnya akan menjadi penghalang revolusi keadilan bagi seluruh rakyat atas sumber daya agraria. Maka, layak dan masih kontekstual kritik keras Soekarno bahwa “Met juristen niet revolutie kan maken“ yang artinya “dengan sarjana hukum kita tidak dapat melakukan revolusi!”
Referensi
Chico Mendes, Berjuang Menyelamatkan Hutan: Sebuah Kata Hati, Jakarta, Yayasan Obor dan Walhi, 1994.
Eko Prasetro, Keadilan Tidak Untuk Yang Miskin, Yogjakarta, Resist Book, 2010.
- Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2011.
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010.
Petrus C.K.L Bello, Hukum & Moralitas, Tinjauan Filsafat Hukum, Jakarta, Erlangga, 2012.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum di Tengah Arus Perubahan (Ed. Racmad Syafaat), Malang, Surya Pene Gemilang, 2016.
Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Yogjakarta, Genta Publishing, 2013.
Soetandyo Wignjosobroto, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian Sosial dan Hukum, Malang, Setara Press, 2013
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Konsep dan Metode, Malang, Setara Press, 2013
Philippe Nonet Nonet dan Philip Selznick dalam “Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, 1978
Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Yogjakarta, Genta Publishing, 2011.
Laporan Konsprsium Pembaruan Agraria (KPA) Tahun 2016
Produk Hukum:
Undang-undang Nomor Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Putusan PN Kendal Nomor: 29/Pid.Sus/2016/PN.Kdl.
Surat Keputusan Kementerian Kehutanan RI Nomor: SK.3021/Menhut/VII/KUH/2014 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Produksi pada Bagian Hutan Kalinodri Seluas ± 127, 821 ha di Kabupaten Kendal Provinsi Jawa Tengah yang terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung
Media Online:
http://www.daulathijau.org/?p=751
http://www.kpa.or.id/news/blog/kronologi-kriminalisasi-petani-kendal/.
http://metrosemarang.com/dituduh-gerakkan-pembalakan-tiga-petani-kendal-dituntut-8-tahun-penjara.
[1] Muhammad Ali Mahrus (Pen). Tulisan ini didedikasikan untuk mendukung perjuangan Petani diseluruh Indonesia yang berjuang mendapatkan hak atas sumberdaya alam yang dalam banyak kasusterjadi akibat kebijakan negara yang memberikan konsesi pada korporasi untuk mengkapitalisasi sumberdaya alam/agraria di Indonesia pasca tragedi 1965. Juga untuk mendukung perwujudan sebagaimana Tujuan bernegara dan berbangsa yang tercantum dalam alinea ke 4 pembukaan UUD ’45.
[2] laporan akhir tahun KPA dalam dua tahun ini menunjukkan sumbangan konflik terbesar adalah kebijakan negara memberikan konsesi tanah, hutan berskala luas pada korporasi. Tahun 2015 terjadi 252 konflik terdiri dari sektor Perkebunan menjadi peringkat teratas yakni 127 kasus, sektor Infrastruktur 70 kasus, sektor Kehutanan 24 kasus, sektor Pertambangan 14 kasus. Sedangkan di tahun 2016 naik signifikan dari tahun sebelumnya yakni terjadi 450 konflik agraria dengan luasan 1.265.027 hektar yang melibatkan 86.745 KK. Tahun inipun sektor Perkebunan masih penyumbang konflik teratas yakni 163 konflik, sektor property 117 konflik, sektor infrastruktur 100 konflik, sektor Pertambangan 21 konflik, sektor Kehutanan 25 konflik. Parahnya konflik tersebut telah menelan korban yang tak sedikit, tercatat telah ada tiga belas (13) orang meninggal, 66 korban penganiayaan dan korban kriminalisasi mencapai 177 orang.
[3] Undang-undang Represif di sini merujuk pada hukum dalam bentuknya sebagai peraturan perundang-undangan yang berisikan pasal-pasal dengan ketentuan pidana. Ini menghendaki bahwa ketertiban masyarakat dapat terlaksana manakala ditekan menggunakan ancaman pidana yang berisis sanksi, baik penjara atau denda. Inlah hukum tradisional yang menggilai social orderlines dalam kehidupan bernegara bangsa, kelahirannya pun seiring naiknya liberalisme di Eropa Barat. Gagasan Represive law pertama kali dikenalkan oleh Philippe Nonet Nonet dan Philip Selznick dalam “Law and Society in Transition: Toward Responsive Law”, 1978.
[4] Soekarno pernah menyinggung para ahli hukum karena dia anggap penghalang jalan revolusi Indonesia. Ungkapan terkenal dari Soekaro adalah “Met juristen niet revolutie kan maken”, artinya “dengan sarjana hukum kita tidak dapat melakukan revolusi.” Bagi penulis sindiran keras Soekarno itu sangat beralasan, pasalnya hukum dalam produk peraturan perundang-undangan terlamapau positivis, enggan untuk berfikir secara radikal dalam artian berani mendompleng struktur kekuasaan yang menindas. Tak heran, seorang pejuang agrarian sejati Gunawan Wiradi, dia bilang “Kalau ingin revolusi sosial jangan libatkan ahli hukum” yang disampaikan dalam acara tenurial conference di Bogor 23-24 Oktober 2017.
[5] Eko Prasetro, Keadilan Tidak Untuk Yang Miskin, Yogjakarta, Resist Book, 2010.
[6] Kronologi kasus ini disusun berdasarkan sumber media massa online baik lokal ataupun nasional.
[7] http://metrosemarang.com/dituduh-gerakkan-pembalakan-tiga-petani-kendal-dituntut-8-tahun-penjara. Untuk Kronologi kasus hukumnya bisa diakses lebih lengkap di http://www.kpa.or.id/news/blog/kronologi-kriminalisasi-petani-kendal/.
[8] Putusan Putusan PN Kendal Nomor: 29/Pid.Sus/2016/PN.Kdl.
[9] Lihat dalam http://www.daulathijau.org/?p=751 diakses jam 22:05, tanggal 21 tahun 2017
[10] Ibid, www.daulathijau.org
[11] Catatan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), dua tahun sejak disahkannya UU a quo, sudah lebih dari 10 kasus menjerat masyarakat adat, petani dan buruh. Namun ironisnya, tak satupun UU a quo yang menyeret korporasi besar penguasa dan pengkapitalisasi SDA. Meskipun pada kenyataannya banyak korporasi besar (perkebunan swasta besar) yang melakukan pembakaran hutan, tetapi tidak ada yang terkena jerat dari UU ini.
[12] Istilah Pengemban Hukum (rechstbeoefening) ditujukan untuk para praktisi hukum ataupun teoritis hukum.
[13] F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2011. Hlm 177.
[14] Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Hukum, Jogjakarta, Genta Publishing, 2011, Hlm. 49
[15] John Austin adalah murid Bentham. Sebagaimana gurunya, Austin menekankan pemisahan antara “apa yang ada” dan “apa yang seharusnya” dalam menjelaskan fenomena hukum. Bagi Austin bidang the science of jurisprudence harus membatasi hanya pada “apa yang ada”, bukan “apa yang seharusnya”. Lihat dalam: Petrus C.K.L Bello, Hukum & Moralitas, Tinjauan Filsafat Hukum, Jakarta, Erlangga, 2012. Hlm.16
[16]Soetandyo Wignjosobroto, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian Sosial dan Hukum, Malang, Setara Press, 2013, hlm.
[17] Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Hukum, Jogjakarta, Genta Publishing, 2011, Hlm. 5 lihat juga dlm. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum di Tengah Arus Perubahan (Ed. Racmad Syafaat), Malang, Surya Pene Gemilang, 2016. Bahwa kondisi demikian adalah cara berfikir yang hanya mengejar kepastian (hanteren van logische figuren) untuk menerapkan undang-undang beserta dogma-dogma hukum layaknya memproses hukum seperti orang mengerjakan logika formal dalam matematika. Jika melanggar pasal A pasti berkonsekuensi pada pasal B. Dalam kondisi demikian, hukum menjadi wilayah yang esoterik, terkucil dari basis realitas sosial yang seharusnya menjadi pijakan hukum.
[18] Mengenai hal itu, Sidharta menjelaskan bahwa setelah Orba menggantikan Soekarno, dalam hukum Indonesia didominasi oleh legal positivism ala Kelsenian, meskipun positivisme hukum Kelsenian dengan The Pure Theory Of Law menghendaki hukum adalah system otonom, objektif yang terlepas dari anasir-anasir diluar hukum, akan tetapi seruan seperti menjadi batal dalam konteks Indonesia zaman Orba yang dalam banyak hal lebih menjadikan politik sebagai panglima, hukum sebagai abdinya yang mengabdi untuk kepentingan politik dan ekonomi. Shidharta menjelaskan, konsep dasar Kelsenian berpandangan bahwa hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat (law as a command of lawgivers) yang berarti sumber hukum satu-satunya adalah peraturan perundang-undnagan sebagai produk politik hukum dari penguasa. Ontologi aliran filsafat hukum yang tergolong legal positivism ini menolak dan memisahkan antara hukum dan moral, dengan tujuan hanya satu, yakni demi kepastian hukum. Lihat dalam: Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Yogjakarta, Genta Publishing, 2013. Hlm.7-8
[19] Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010. Hlm. 26
[20] Misalnya dikemukakan dalam Judicial Review Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Keterangan ahli (Salamudin Daeng) dari pemohon menyampaikan pada saat persidangan yang menunjukkan betapa daratan Indonesia beserta SDAnya nya hanya terkonsentrasi pada kepentingan investasi korporasi:
“sejak tahun 2005, lahan di Indonesia sudah habis. Secara keseluruhan, luas lahan yang digunakan untuk kepentingan investasi mencapai 175,06 juta ha. Luas lahan yang digunakan untuk pertanian yang menghidupi lebih dari 60 % masyarakat Indonesia hanya 11, 8 juta ha. Sementara itu luas daratan seluruh Indonesia hanya 192, 26 juta ha. Jadi menurut ahli lahan yang tersisa untuk investasi sesungguhnya tinggal sedikit. Karena, meskipun ada fluktuasi, sejak orde baru berkuasa, investasi tidak pernah berkurang dan hal itu selalu dihubungkan dengan pertumbuhan ekonomi yang indikator atau alat ukurnya adalah GDP (gross domestic product). Padahal GDP itu sebagai total output, sebagian besar dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. GDP itu pula yang kemudian dijadikan indikator untuk menentukan layak tidaknya suatu negara menerima utang luar negeri.”
[21] Lihat dalam kesaksian Petani dalam Putusan PN Kendal Nomor: 29/Pid.Sus/2016/PN.Kdl.
[22] Lihat Pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LN Republik Inndonesia Tahun 2013 Nomor 130)
[23] Ibid.
[24] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Konsep dan Metode, Malang, Setara Press, 2013. Hlm, 90.
[25] Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Yogjakarta, Genta Publishing, 2013. Hlm 198-199.
[26] Pada dasarnya semua UU yang berhubungan dengan tata kelola SDA, selalu di aktifkan norma-norma sanksi pidana yang berat, baik pidana penjara ataupun pidana denda yang terkadang tidak manusiawi. Pasalnya, norma-norma represif sebagai prasyarat keteraturan semu ini paling banyak menimpa petani dan masyarakat adat yang memperjuangkan ha katas SDAnya.
[27] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum di Tengah Arus Perubahan (Ed. Racmad Syafaat), Malang, Surya Pene Gemilang, 2016, Hlm. 23.
[28] Chico Mendes adalah Pejuang Agraria di masa kediktatoran Militer di Argentina yang diawali dengan kudeta militer tahun 1964 (didukung Amerika) terhadap pemerintahan sah Joao Goulart dari partai buruh (1961-1964) yang tidak disukai oleh militer. Dia, juga temannya dibunuh oleh tuan tanah karena melawan alih fungsi hutan hujan amazon menjadi industri peternakan sapi untuk ekspor. Kasus mereka tak benar-benar diterangkan oleh hukum, setidaknya hukum yang telah menjadi abdi kuasa capital. Lihat dalam, Chico Mendes, Berjuang Menyelamatkan Hutan: Sebuah Kata Hati, Jakarta, Yayasan Obor dan Walhi, 1994.
[29] Dapat disaksikan filmnya berjudul “Les Miserables” tahun 2012. Atau baca Novelnya langsung, Victor Hugo, Les Miserables. Dan banyak novel bertemakan ketidakadilan hukum , seperti dalam novelnya John Grisham : The Confession, Harper Lee, “ To Kill Mocking Bird” mengisahkan tentang lemahnya hukum di dalam masyarakat rasialisme-diskriminatif di AS yang penuh dengan prasangka buruk. Semua adalah tentang bagaimana bekerjanya hukum itu selain ditopang oleh paradigma hukum yang positivistik-mekanistik, juga dijalankan oleh aparatus negara layaknya mesin robot tak berperasaan. Sekali lagi Javert dalam Les Miserables mempertontonkan cara kerja mesin bernama “Mechanistic Jurisprudence”, yang oleh Eko Prasetyo dalam bukunya “ Keadilan Tidak Untuk Yang Miskin”, dikatakan, tak lagi sebagai norma melainkan kekuatan tanpa kompromi, bahkan tanpa nurani