Lesung

618
VIEWS
lesung-kompas-wisnu-widiantoro
Foto karya Wisnu Widiantoro (http://print.kompas.com/)

Ibu Pertiwi, paring boga lan sandhang kang murakabi
Peparing rejeki manungsa kang bekti
Bu Pertiwi, Bu Pertiwi, sih sutresna ing sesami
Bu Pertiwi, kang adil luhur ing budi
Ayo sungkem mring Ibu Pertiwi

Ingatan tentang cakepan gendhing ketawang Ibu Pertiwi memenuhi isi kepalaku. Kubiarkan ingatan itu mengambang ke atas, menuju langit yang begitu cemerlang, yang hanya dihiasi awan-awan tipis bak arakan kapas. Matahari tak pernah menjanjikan apa-apa selain panas kerak yang sering memaksaku memercingkan mata. Peluh berlarian dengan riang di kening dan ketiak karena menahan berjubel gerah di dalam angkutan yang menuju desaku. Tapi, perjalanan pulang selalu terasa menyenangkan. Di samping aku sudah lama tidak pulang, godaan mana yang paling menggiurkan selain menghabiskan Ramadhan dan lebaran dengan keluarga di rumah.

Rumahku berada di desa yang cukup jauh dari pusat kabupaten. Dari stasiun kota, aku masih harus mencari kol[1] menuju rumahku. Jasa angkut lawas yang tak jarang rewel di jalan karena mesin diesel yang kelewat tua dan dipaksa terus mengangkut orang beserta barang untuk berlalu-lalang. Sebenarnya sudah ada jasa angkut lain macam ojek, dan modifikasi becak-sepeda motor untuk menuju rumahku. Namun aku masih suka menikmati naik kol dengan segala macam riuh penumpang dan percakapannya, meski tak pernah serius kugubris isi percakapannya.

Jalanan aspal yang bopeng di sana sini, pohon asam berumur ratusan tahun di kiri-kanan bahu jalan, sawah, sungai irigasi, serta kompleks hutan jati mengiringi perjalanan menuju rumah. Dan, ah, hutan jati. Mengapa ia harus kusebut di saat sedang meramu rindu untuk pulang?

*

Aku mengingatnya sebagai hutan hantu. Hutan dengan cerita-cerita pembunuhan terhadap orang-orang yang belakangan ini aku ketahui dituduh komunis. Dulu, sewaktu kecil, tahu apa aku tentang komunis. Sebenarnya pun, sampai sekarang aku tak tahu betul apa itu komunis. Aku yang beberapa kali ikut diskusi yang membahas komunisme di kampus tetap saja gamang jika harus menjelaskan sejarah PKI dan komunisme. Yang kuingat dengan jelas hanya cerita tentang hutan jati, itupun dari Simbah dan Bapakku, serta dari bisik-bisik teman ngajiku dulu.

Aku mengingat cerita itu sebisanya. Hutan itu adalah hutan yang dipakai tentara dan orang-orang untuk membunuh yang juga orang, tapi dituduh PKI dan antek-antek komunis. Dulu orang-orang menyebutnya sebagai usaha pembasmian dan pembersihan desa. Macam hama, kutu, dan pagebluk saja, pikirku. Gerakan itu dulu dinamai Gasem Disem yang artinya Gak Sembahyang Disembelih. Nama yang cukup mengerikan, namun pada waktu itu bisa dengan leluasa dibuat bahan bercanda dan guyon oleh anak-anak kecil untuk saling mengejek saat dolanan[2].

Pikiranku kemana-mana meski sudah melewati hutan jati itu. Percakapan ibu-ibu bakul di dalam kol sama sekali tak terdengar di telingaku. Aku melihat ke luar jendela kol dengan melamun entah karena udara panas yang berdesir mendadak berbau anyir, meski semilir.

“Mbak, gapura biru depan itu kan?” tiba-tiba saja supir membuyarkan lamunanku yang tadi entah sengaja atau tidak kupelihara dalam perjalanan.

“Iya, Pak”

Aku turun dari kol, menatap gapura biru dari ujung luar desaku, sambil menghirup dalam-dalam udara yang ternyata masih menyimpan bau solar kurang ajar dari kol yang baru saja meninggalkanku.

*

Rumahku tak mengalami banyak perubahan. Aku memang suka dengan rumahku yang seperti ini, tak  seperti milik kebanyakan saudara dan kerabatku. Ketika banyak dari saudara dan kerabatku sudah meninggalkan bangunan model joglo dengan papan-papan kayu untuk diganti dengan rumah tembok dari batu bata dan semen,  Bapakku tak pernah mau, sekalipun tak.

Aku senang dengan pilihan bapakku. Selain karena model rumah joglo dengan dinding papan kayu lebih sejuk, rumah dengan model seperti ini aku rasa lebih awet daripada rumah dengan dinding batu bata yang diplester dengan semen. Banyak rumah saudara dan kerabat yang dibuat dari dinding batu bata itu kini sudah menampakkan gejala yang tak elok dipandang, retak di sana sini. Sebenarnya ada satu alasan lagi  mengapa bapakku menolak merenovasi rumah dengan dinding batu bata dan semen itu, bapakku tak mau memakai semen yang, ah sudahlah, aku kurang mengerti alasannya.

“Nduk, tidak mengucap salam, malah bengong di depan”[3] Ujar Bapakku yang justru mengawali salamnya terhadap anak tak tahu sopan santun sepertiku.

“Assalamualaikum, maaf Pak, di luar panas, jadi bengong”

“Walaikumsalam Warahmah.Ya sudah, segera bersih-bersih dan istirahat. Masih Puasa?”

“Alhamdulillah, masih Pak”

Dengan segera aku masuk ke rumah bersama Bapakku yang di wajahnya dapat kulihat jelas sisa-sisa wudhu, sepertinya baru saja menyelesaikan sholat dzuhur bersama Ibuku. Dan benar saja dugaanku, Ibuku juga menyambutku dari mushola kecil di dalam rumahku. Tempat itu memang tempat kami biasanya sholat, ruangan sisa dari batas kamar orangtuaku dengan ruang makan. Ruang yang hanya dibatasi gedheg sesek[4] yang cukup digunakan untuk sholat berjamaah untuk dua sampai tiga orang, atau bahkan empat jika mau berdesak-desakkan.

Ibu tak pernah banyak bicara kepada siapapun termasuk aku, itu sebabnya aku lebih banyak berbicara kepada Bapak dan tahu beberapa hal termasuk cerita tentang hutan jati itu. Meski begitu aku tak pernah sekalipun ragu bahwa Ibu adalah perempuan yang memiliki sikap, yang segala kelembutan dan kasih sayangnya tidak perlu diumbar berlebihan.

Baca Juga:

Pernah suatu ketika aku masih kecil, aku ditabrak oleh salah seorang anak laki-laki dari desaku dengan sepeda kerbau, Ibu langsung lari menghampiri untuk menolongku. Ibu menyingkirkan sepeda kerbau. Cepatnya reaksi Ibu menolongku adalah lain hal, yang membuatku takjub adalah ketika selesai menolongku Ibu tidak menyalahkan si penabrak, si anak laki-laki itu. Ibu memaafkan anak laki-laki itu dan menyuruhnya untuk lebih berhati-hati membawa sepeda. Ketika aku bertanya kepada Ibu mengapa ia memaafkan si anak laki-laki itu, Ibu menjelaskan bahwa ia tahu anak laki-laki itu kakinya belum menjangkau antara pedal dan tanah untuk menyeimbangkan diri agar tidak jatuh. Ia berlaku sebagai Ibu tidak hanya kepadaku, tapi kepada anak lain, bahkan yang, meski tidak sengaja, melukaiku.

“Ayo, bersih-bersih dulu. Lalu istirahat, kalau belum sembahyang, yo ndang sembahyang” Ibu tiba-tiba berkata kepadaku.

“Iya Bu” sahutku dengan gegas meletakkan tas dan bawaanku sembari menuju kamar mandi.

“Eh, Nduk, buka pakai apa? Kolak apa es blewah senenganmu?”

“Ada blewah Bu?”

“Kebetulan Ibu beli blewah di pasar tadi”

“nanti aku bikin sama Ibu ya” Jawabku tanpa ragu.

“Iya, gampang kui”

*

Setelah sholat ashar aku membantu Ibu menyiapkan makanan dan minuman untuk berbuka.  Aku mencoba untuk berbicara banyak kepada Ibu, siapa tahu Ibu juga akan banyak bercerita seperti Bapak mengenai hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan desa atau apapun. Diskusi di kampus membuatku membayangkan banyak hal yang sebenarnya lekat dengan keseharianku di desa melalui cerita dan kejadian-kejadian kini maupun lampau, tapi aku tidak sadar atau bahkan luput, dan kusadari baru-baru ini.

“Bu, Bapak masih alergi semen?” tanyaku seraya bercanda dengan Ibuku.

“Masih, bahasamu alergi. Tapi iya sih” jawab ibuku diakhiri dengan sedikit cekikikan.

“Kenapa Bapak kok alergi?”

“Sebenarnya, ndak cuman semen, tapi  juga mes[5]. Bapakmu tak pernah benar-benar membenci kepada barang-barang yang sebenarnya tak punya salah. Tapi ya barang-barang itu memang selalu terkait dengan cerita desa ini. Dan, dungaren[6] kamu tanya?”

“Dulu kan ndak berani tanya, masih kecil, sekarang kan…”

“Sudah besar? Wes kuliah?”

“Ehm…”

“Haiyah, gayamu lo”

Tak dilanjutkan lagi oleh Ibu tentang cerita semen, pupuk, atau apalah itu tadi yang disebutnya. Aku juga diam. Aku tak berani tanya lagi kepada Ibu yang kupikir telah berhasil kupancing agar banyak cerita seperti Bapak.

Ternyata nihil. Gagal.

Kuteruskan saja aktifitasku menyiapkan makanan dan minuman untuk berbuka. Aku masih bisa menahan cerita yang membuatku penasaran karena di depanku saat ini ada es blewah dengan sirup gula bikinan Ibu. Aku bukannya tak pernah makan es blewah sewaktu kuliah, tapi tak pernah seenak ketika menikmatinya di rumah. Lagipula tenggorokanku agak payah ketika aku minum es blewah di sekitar kampus atau kos yang bahannya dicampur “obat gulo”[7]

Tiba-tiba Ibu menjawilku.

“Kalau kamu bener-bener ingin tahu, Ibu akan cerita sambilmenunggubuka puasa”

Aku menjadi kaget dan sedikit tidak percaya, Ibuku yang biasanya irit bicara tiba-tiba mau bercerita kepadaku tentang pembicaraan yang tadi berhenti mendadak. Ibu seperti anak perempuan remaja yang siap berbagi gosip sore tipis-tipis kepadaku. Aku senyum dan mengangguk kepadanya.

“Bapakmu sebenarnya memang tak pernah berniat membenci apapun dan siapapun. Bapakmu juga sebenarnya membenahi rumah beberapa tahun lalu, cuma memang tidak ditembok seperti rumah saudara-saudara kita. Hanya mengganti kayu reng dan usuk untuk menyangga genteng saja”

Aku menyimak betul apa yang dikatakan Ibu. Sebenarnya samar-samar aku agak ingat alasan Bapak ketika membahas semen. Tapi kali ini beda, bukan hanya karena Ibu yang berbicara, tapi pembicaraan ini terkesan agak serius karena dilakukan hanya antara aku dan Ibu. Posisi tubuh kami berdua seperti membicarakan rahasia. Ah, mungkin aku yang kelewat berlebihan menganggapnya rahasia karena saking semangatnya.

“Tapi Bapak kan sudah mengganti usuk dan reng[8] dengan kayu baru?”

“Itu kamu sudah tahu, dan saat kamu tanya kenapa tidak membeli bata dan semen, baru bapakmu menjelaskan pajang lebar kan? Bapakmu bicara bahwa bangunan seperti ini adalah sebaik-baiknya bangunan kan? Bahwa ada soko guru[9] yang tidak mungkin bisa diganti kan?”

“Iya, Bapak bilang soko guru itu bikinnya pakai puasa dulu, tidak sembarangan, dan Bapak bilang rumah seperti ini lebih isis[10]”

“Ibu mau cerita agak panjang, cerita sebelum semen merebut kebebasan petani yang sedari awal rasanya hampir selalu jadi bulan-bulanan siapapun. Kamu mungkin sudah pernah dengar dari Simbah.”

Ibu melanjutkan ceritanya dengan mengingat-ingat sesuatu. Sepertinya Ibu ingin memutar agak jauh untuk menjelaskan masalah ini.

“Pada waktu itu desa kita sebenarnya aman, karena dulu Pak inggi, Yai, sampai Du’deng[11] desa melindungi warganya. Hingga tidak sampai jadi korban Gasem Disem di hutan jati seperti warga desa lain. Jadi ketika tentara mau mengangkut warga yang dituduh PKI, Pak Inggi, Yai, Du’deng desa sudah berjaga di gapura depan”

“Ketika tentara sampai gapura, para tetua desa ditanya apakah ada warganya yang PKI, mereka kompak bilang tidak ada. Mereka yang jamin kalau tidak ada. Akhirnya tentara-tentara itu pergi.”

“Lalu, tahun-tahun kemudian datanglah masalah baru.  Pupuk.  Semua orang tiba-tiba dipaksa pakai pupuk, kalau tidak mau dianggep komunis”

“Kalau cuma patroli tentara, itu bisa diatasi oleh petinggi, kalau katanya pupuk itu serempak dan wajib dipakai, bisa apa kita? apalagi kalau sudah dituduh macem-macem”

Aku manggut-manggut mendengar cerita Ibu. Mata dan telinga semakin kubuka lebar-lebar mendengar cerita Ibu yang sebelumnya selalu irit bicara. Cerita Ibu kali ini membuat sejarah yang kuperoleh dengan asal di bangku sekolah semburat berlarian kemana-mana.

“Kita memang diiming-imingi dengan janji bahwa dengan pupuk pemerintah, hasil panen menjadi lebih cepat dan lebih banyak. Memang panen lebih cepat, dari yang 6 bulan menjadi hanya 3 bulan. Awalnya bagus, tapi lama-lama berubah. Simbahmu dari Ibu dan Bapak juga generasi yang lebih tua  langsung menyadarinya”

“Kenapa Bu?”

“Tanah menjadi payah, nyandu dan nagih dengan pupuk, lalu Pak Inggi yang semula melindungi warga malah jadi penguasa pupuk. Mungkin kamu sudah tidak pernah menemui padi yang tingginya seukuran kita. Bulirnya tidak sebanyak sekarang, tapi baunya wangi, batangnya kuat, dan tahan wereng. Kecuali jika sedang apes diobrak-abrik babi dan burung”

“Pernah Simbahmu sampai menggunakan kanji[12] untuk mengelabuhi tentara. Kanji disebar di sawah, pokoknya kelihatan putih-putih biar dikira pupuk. Simbahmu khawatir dengan tanah yang terus-terusan dipaksa dijejali pupuk, agar lolos dari tuduhan-tuduhan ngawur kalau ketemu tentara di sawah dan ditanya sudah pakai pupuk atau belum, dijawab sudah”

Aku diam saja mendengar cerita Ibu. Dan terus hanya diam. Mendengarkan dan membayangkan cerita Ibu. Tiba-tiba Ibu menepuk pundakku setelah sebelumnya menghela nafas.

“Dulu pupuk, sekarang semen. Dan mesti kita yang selalu jadi korban. Petani”

“Ayo, disambi siapkan piring dan gelas untuk buka puasa”

“Iya Bu”

Aku berdiri mengambil piring dan gelas dari dapur untuk ditaruh di meja makan. Makanan dan minuman untuk buka puasa kutata di meja makan. Pandanganku hanya mengawang kepada cerita yang baru saja diceritakan oleh Ibu, sedang tanganku merapikan dan menyiapkan buka puasa. Mendadak lesu, tapi rasa lapar dan hausku malah hilang entah kemana. Es blewah kesukaanku hanya kulirik tanpa nafsu seperti layaknya puasa yang memang bertujuan untuk mengekang segala nafsu.

Aku sengaja mengendapkan semua cerita dari Ibu, dan tidak langsung bertanya tentang semen. Aku ingin tahu cerita semen dengan hati-hati dan perlahan. Seperti menunggu lebaran atau mungkin, jodoh. Lamat-lamat kucoba mengingat apa yang dulu diceritakan Bapak tentang semen. Dan, gagal. Cerita Ibu barusan mengendap kuat di ingatanku.

Setelah menyiapkan makanan dan minuman, aku mencoba meraih remote televisi untuk melihat beberapa tayangan menjelang berbuka puasa. Jariku acak menekan remote tanpa memberi kesempatan tayangan televisi memperkenalkan dirinya. Semuanya amburadul. Ah, ada  beberapa yang lumayan, lumayan amburadul. Ibu tahu gelagatku yang sebenarnya tak ingin sama sekali melihat tayangan di televisi. Dan memang sebenarnya aku tidak ada niat melihat tayangan televisi. Sama sekali. Hanya agar tidak terlihat aneh saja karena baru hari pertama pulang dan mendadak menjadi sok serius dengan beberapa masalah yang selalu kedodoran aku ikuti. Tapi itu pun gagal, karena yang terbaca malah sebaliknya.

“kok digonta-ganti Nduk?”

“Ndak ada yang bagus”

“Ya tidak usah ditonton, sini temani Ibu”  Ibu menyuruhku duduk di sampingnya

Aku dan Ibu akhirnya hanya duduk di badugan depan rumah. Menikmati sore sambil menunggu berbuka. Melihat anak-anak kecil sudah bersiap ke masjid untuk buka bersama diselingi bermain dan bercanda. Matahari sepertinya tak mau mengalah dengan menampakkan keriangan di ujung hari. Warnanya memudar dan menyembur seperi tawa anak-anak itu. Ia lupa apa yang dilakukannya siang tadi dan di tiap-tiap siang di musim kemarau. Sementara itu aku melihat Bapak dari arah balai desa dengan beberapa warga lainnya yang berpencar menuju rumah masing-masing. Aku tak tahu apa yang dibahas, mungkin renovasi masjid yang sudah hampir dua tahun belum selesai karena dicicil sesuai dengan kemampuan iuran warga, atau jangan-jangan membahas apa yang sedang berkecamuk di dalam kepalaku. Ya, tentang itu.

“Ada kumpulan ta Bu?” tanyaku.

“Iya, kumpulan bapak-bapak” jawab Ibu singkat.

Bapak semakin mendekat ke rumah sambil senyum dan bertanya apakah persiapan untuk buka puasa sudah selesai. Begitu tahu dariku dan Ibu bahwa persiapan buka puasa hanya menunggu maghrib untuk kami santap, Bapak langsung menuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan menyuruh kami bersiap untuk buka puasa bersama.

Tak lama, adzan maghrib terdengar saling bersahut. Kami berkumpul di meja makan untuk berbuka puasa bersama. Kenikmatan yang membuatku pulang ke rumah setelah hampir satu semester aku tidak pulang. Kebetulan selama bulan puasa tidak ada aktifitas apapun di kampus, sehingga aku dengan leluasa bisa berlama-lama pulang. Hal yang agak kutakutkan adalah ketika nanti aku harus jauh meninggalkan rumah untuk bekerja atau hal lainnya, danitu membuatku tak sempat pulang di bulan puasa. Tapi ah, kupikirkan saja nanti, biar aku nikmati dulu berbuka bersama Ibu dan Bapak seperti saat ini.

Segera aku berbuka puasa dengan minuman yang tadi sudah aku buat dengan Ibu. Kulihat semuanya masih sama seperti puluhan puasa yang aku jalani bersama Ibu dan Bapak. Nuansa dan kehangatan yang sama. Dan dengan bercanda, Ibu mengingatkan cerita kenakalan masa kecilku yang membatalkan puasa di ujung hari ketika disuruh membantunya menyiapkan buka puasa. Saat itu aku membantu Ibu menyiapkan minuman untuk buka puasa, kuseduh minuman ke gelas-gelas yang sengaja kubikin kepenuhan, lalu kuseruput agar tak tumpah, padahal belum waktunya berbuka. Kami semua tertawa dengan cerita Ibu atas kenakalanku.

“Sekarang masih gitu? Jangan-jangan tadi masih gitu tanpa Ibu tahu” canda Ibu masih berlanjut

Dengan agak tersedak karena tertawa aku menimpali candaan Ibu, “Nggak lah, kecuali tadi Ibu tidak di dapur bersamaku”. Balasanku cukup berhasil menumpahkan tawa Ibu dan Bapak. Kami melanjutkan sholat maghrib bersama di mushola rumah yang dilanjutkan dengan makan. Aku tak banyak mengambil makan lantaran bukan sedang mengurangi berat badan tapi karena kebanyakan minum. Aku yang tadi bergaya tak ada nafsu dengan hanya melirik minuman es itu ternyata agak kalap setelah merasakan tegukan pertama yang membuatku terus minum hampir tanpa jeda.

Masih di meja makan bersama Bapak dan Ibu, aku membuka obrolan, “Tadi kumpul-kumpul apa Pak?”

“Ah ya, tadi bahas beberapa hal. Kamu sempat lihat truk-truk yang mengangkut batu dan kapur berlalu-lalang di jalanan desa?”

“Tadi beberapa kali iya, kenapa Pak?”

“Awalnya memang cuma truk yang mengangkut batu dan kapur, lama-lama mereka buat pabrik semen”

Benar apa yang kupikirkan, tentang apa yang tadi bekecamuk di kepalaku. Perihal semen itu. Dan aku semakin tak tahan untuk ingin tahu tentang semen yang tadi sempat tertunda lantaran Ibu harus memutar untuk bercerita dan terpotong oleh buka puasa. Mumpung Bapak yang bercerita, dan biasanya aku dapat banyak hal dari cerita-ceritanya.

“Apa saja yang dibahas Pak?”

“Kita mau lanjutkan demo nantinya. Warga dari beberapa desa sudah siap semua. Kita mau ke tapak pabrik”

“Puasa-puasa begini?”

“Kenapa memangnya kalau puasa? lha biasanya kan puasa Bapak Ibu tetep ke sawah”

Aku mendadak malu, aku yang lebih sering berdiam diri atau malah tidur di bulan puasa malu betul ketika Bapak dan Ibu justru ringan tangan dan kaki menuju ke sawah dan melanjutkan aktifitas sehari-harinya. Aku yang pernah ikut ke sawah dan hanya kuat setengah hari benar-benar malu dengan Bapak dan Ibu dan juga warga yang biasa bertani dengan melanjutkan puasanya tanpa mengeluh, tanpa butuh dihormati, tanpa butuh ini-itu untuk menunjukkan bahwa mereka berpuasa. Lebih malu lagi karena ternyata aku sudah begitu ketinggalan. Sudah ada demo dari warga untuk menolak pendirian pabrik semen, dan kemungkinan besar Bapak ikut dalam aksi demo itu. Bapak tak pernah memberitahuku tentang hal itu lewat pesan pendek atau telpon setiap kali aku menanyakan kabar. Jawaban Bapak selalu “alhamdulillah” atau yang paling sering adalah menyuruhku untuk tetap konsentrasi belajar.

“Justru bulan puasa begini, malah bagus, karena bapak dan warga lainnya membela apa yang menghidupi kami dan orang lainnya. Anggap ini ibadah, sebaik-baiknya ibadah”

“Pabrik semen sudah kelewatan, dan hampir semuanya kelewatan kepada petani. Kami selalu diiming-imingi. Dulu katanya Ijo Royo-Royo, sekarang malah membiarkan petani begini. Dan selalu petani yang jadi korban”

Sembari menyeruput minumannya, bapak melanjutkan “Tanah kita memang kering, tapi tetap subur karena ada gunung kapur yang menyimpan air. Tanah kita memang pernah loyo karena dipaksa makan pupuk, tapi kita sudah ganti model tanam. Kita beri pupuk secukupnya, kita beri jarak masa tanam, kita biarkan tanah bernafas dan istirahat, dan untuk itu kita betul-betul mengandalkan cadangan air dari sumber-sumber itu. Lha kok sekarang mau diambil pabrik semen.”

Aku ingat memang di desa kami ada empat mata air abadi dan dua mata air musiman. Dan semuanya dipakai warga untuk bertani  dan ternak. Ingatanku kembali pulih ketika Bapak selalu panjang lebar menjelaskan penolakannya terhadap penggunaan semen. Menggunakan semen sama saja dengan mendukung pendirian pabrik semen yang akan merenggut sumber kehidupan petani. Bapak juga menjelaskan bagaimana masalah semen membuat warga menjadi terbelah antara yang mendukung dan menolak. Yang mendukung kebanyakan remaja laki-laki yang mengharapkan jadi pegawai di pabrik semen karena tidak ingin bertani seperti orang tua dan moyangnya. Akibat itu pula beberapa warga yang menolak pendirian pabrik semen beberapa kali rumahnya disatroni oleh orang-orang yang sepertinya mendukung pendirian pabrik semen itu.

“Kamu memang mestinya sudah pantas tahu karena ini nanti kamu yang meneruskan. Kalau Bapak Ibumu sudah tua dan mati”

Mendadak hatiku ngilu. Perkataan Bapak membuatku terlalu jauh membayangkan yang tidak-tidak.

“Bapak ngerti kalau kamu sudah sekolah tinggi, dan dapat beasiswa karena dari SMA hasil rapormu bagus. Tapi jangan pernah lupadengan apa Bapak dan Ibumu hidup. Kalau tidak ya seperti anak-anak muda yang ribut pengen jadi pegawai pabrik semen, atau jadi pegawai pabrikan lain di kota. Desa-desa dibiarkan kosong, isinya bau tanah semua.”

“Iming-iming jadi pegawai semen itu adalah iming-iming yang sudah berapa ratus atau ribuan kali ditujukan kepada petani. Petani sudah terlalu sering diimingi mimpi-mimpi ngawur, dan hasilnya memang selalu ngawur. Tidak dulu tidak sekarang tidak mendatang.”

Senyumku kecut mendengarnya, sedang Bapak membalas senyumku dengan senyum yang manis sambil mengingatkanku untuk segera bersiap melaksanakan sholat isya’ dan tarawih berjamaah di masjid. Bapak juga berkata kepadaku seraya mengakhiri obrolan di meja makan bahwa Ibu dan juga ibu-ibu lainnya bakal ikut berdemo di tapak pabrik semen dengan membawa lesung dan alu. Lesung dan alu yang dulu dipakai ketika panen tiba, yang juga digunakan dalam perayaan sedekah bumi sebagai bentuk syukur kepada Tuhan dengan bernyanyi cakepan gendhing ketawang Ibu Pertiwi.

Di masjid, ketika jeda tarawih dan witir, imam sholat yang mendukung gerakan petani berceramah singkat tentang bagaimana seharusnya manusia menjaga kehidupan. Ia mengutip surat Al Baqarah ayat 11-12. Aku semakin larut setelah ayat suci itu dibacakan. Terutama ketika sampai pada peringatan tentang kerusakan demi kerusakan yang dilakukan dengan mengatasnamakan apapun. Kalut merundung dalam jejak angin yang meliuk-liuk dari jendela masjid. Tanpa sadar aku semakin tertunduk dan meneteskan air mata.

Penulis bergiat di Koperasi Riset Purusha dan the-protester.com. Bisa dihubungi di yogi.ishabib@gmail.com

Catatan:

[1] Berasal dari Mitsubishi Colt Diesel, yang dengan dialek keseharian berubah menjadi kol.

[2]dolanan : ragam permainan anak kecil

[3]Nduk adalah panggilan untuk anak perempuan. Nduk,.

[4]gedheg sesek : dinding dari anyaman bambu

[5]mes : pupuk

[6]dungaren : tumben

[7]Sebutan untuk perisa gula sintetis

[8]usuk dan reng : kayu yang menyangga genteng. kayu usuk berukuran agak besar, sedangkan reng lebih kecil.

[9]soko guru : tiang utama pada bangunan rumah tradisional jawa. Terdiri dari 4 kayu tiang utama

[10]isis : sejuk

[11]Pak Inggi : dari kata petinggi desa, jabatan Lurah atau Kepala Desa
Yai : Kyai
Du’deng : jagoan atau jawara silat

[12]Tepung tapioka

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.