Mudik atau pulang ke kampung halaman atau ke tempat sanak saudaranya. Mudik merupakan peristiwa tahunan. Para pemudik berduyun-duyun menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Para buruh bersama keluarganya atau temannya berdesakan, bermandikan keringat di pelabuhan, di terminal, atau beriringan menaiki sepeda motor.
Nanti, di masa arus balik mudik, pemerintah mewanti-wanti agar pemudik tidak membawa ‘penduduk’ baru ke kota. Katanya, arus balik selalu terjadi pertambahan para migran dari desa ke kota. Tidak ada usaha memperluas lapangan kerja di desa, karena tanah-tanah di desa selalu dipersembahkan untuk industri, jalan tol, atau perumahan.
Mudik biasanya telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Para pengusaha makanan, minuman, maupun pakaian jadi pun memanfaatkan suasana Lebaran dengan memperbanyak produksinya di masa Ramadan. Tidak ada cerita mengurangi jam kerja atau menambah jam istirahat. Para buruhnya pun dipaksa untuk menambah jam kerja. Apakah buruhnya mendapatkan uang yang layak dan tunjangan hari raya, bisa dinegosiasikan. Bukan hak yang harus dipenuhi. Tidak ada urusan apakah buruhnya berpuasa atau tidak, apakah salat tarawih atau tidak, apakah sudah ber-tadarus, yang penting produksi barang dengan kualitas super. Demi keuntungan berlipat dibahasakan dengan demi kepuasaan konsumen. Jangan salahkan buruh jika di bulan Ramadan pemogokan menuntut tunjangan hari raya (THR) meningkat.
Menjelang Lebaran, harga barang dan jasa meningkat tajam. Ongkos transportasi pun meningkat dalam jumlah yang tidak tanggung. Semua itu dibenarkan oleh teori ekonomi. Permintaan naik, penawaran pun naik. Padahal boleh saja di saat permintaan naik, harga diturunkan. Seperti diajarkan dalam Islam, kita harus membantu orang-orang yang sedang membutuhkan. Bukankah menaikkan harga barang dan jasa tanpa pandang bulu simetris dengan bentuk penghardikan kepada orang-orang tidak mampu? Namun, logika keuntungan ekonomi liberal membolehkan memanfaatkan orang-orang yang sedang membutuhkan. Jadilah setiap Lebaran ongkos transportasi selalu naik seminggu sebelum dan setelah Lebaran.
Kemampuan melaksanakan mudik buruh menenggarai banyak hal. Buruk dan mahalnya sistem transportasi merupakan pembicaraan utama dalam peristiwa mudik. Setiap tahun tema tersebut akan menjadi bahan liputan media elektronik maupun cetak. Ada pula yang mendiskusikannya dalam tema ikatan desa dan kota.
Tidak semua buruh mampu melaksanakan mudik. Buruh yang kampung halamannya telah digusur oleh jalan tol atau pabrik, tentu saja tidak memiliki kampung halaman. Buruh yang dipecat atau diputus kontrak saat Ramadan umumnya tidak berani mudik. Merasa belum sukses biasanya menjadi alasan utama untuk tidak mudik. Karena itu, peristiwa pemecatan apalagi dalam jumlah masal seyogyanya tidak melulu dilihat sebagai peristiwa hukum. Seperti sering dikatakan, memutus kontrak atau memecat adalah haknya pengusaha. Kenyataannya, orang yang dipecat telah kehilangan status sosial, hak atas pekerjaan, kehilangan pendapatan dan tidak bisa mudik.
Kembali ke soal mudik. Buruh yang sifat pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan seperti buruh toko dan industri pariwisata, jarang sekali dapat menikmati peristiwa mudik Lebaran. Saat semua orang melepaskan rasa rindu, bermaaf-maafan dan mengikat silaturahmi, buruh pertokoan dan pariwisata giat bekerja. Di masa-masa Lebaranlah tempat bekerjanya ramai pengunjung. Di masa Lebaran permintaan meningkat atau produksi keuntungan mengalir deras. Jarang sekali terdapat informasi yang mengatakan bahwa buruh-buruh di sektor tersebut dapat menikmati tambahan upah dan tunjangan dari transaksi ekonomi yang sedang meningkat. Apalagi jika di tempat bekerjanya tidak ada serikat yang membela kepentingan buruh.
Kemampuan melaksanakan mudik memiliki hubungan langsung dengan kemampuan mengeluarkan ongkos mudik dan ada-tidaknya libur di tempat kerja. Di zaman yang serba uang, jangankan mendapatkan uang halal, uang haram pun terasa sulit didapat. Dengan demikian, meski libur lebaran telah didapat dari perusahaan, belum sempurna rasanya jika uang dalam jumlah lumayan belum dikantongi. Uang tersebut sebagai prasyarat untuk ongkos mudik, membeli barang-barang yang akan dibawa ke kampung halaman, dan dibagikan kepada sanak saudara.
Di antara kebiasaan pemudik adalah membawa barang-barang yang dibeli di kota ke kampung halaman. Terkadang barang-barang tersebut telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Cara tersebut lumrah dipergunakan untuk menghindari harga barang yang mahal jika dibeli di masa Ramadan. Membawa barang dari kota, meskipun barang tersebut tersedia pula di kampung halamannya, adalah kenikmatan batiniah yang sukar diungkapkan dalam kalimat sehari-hari.
Dengan adanya tradisi membeli dan membawa barang, sering dikatakan mudik mendorong pemerataan pendapatan. Ada keyakinan bahwa mudiknya para buruh ke kampung halamannya telah membawa berkah ekonomi dalam peredaran uang. Peredaran uang di masa lebaran tahun ini diperkirakan mencapai Rp 125,2 triliun. Uang yang paling banyak beredar di kisaran Rp 20 ribu (jpnn.com, 6/6/2015).
Bisa diterka, barang yang dibeli mencerminkan kemampuan daya beli seseorang. Secara tidak langsung pula menunjukkan jumlah uang yang dimilikinya. Uang merupakan perantara untuk mendapatkan barang dan jasa serta terlaksananya mudik. Karenanya kepemilikan terhadap uang simetris dengan level sukses-tidaknya seseorang, bahkan kaya-miskinnya sebuah lembaga maupun negara.
Kebiasaan lainnya adalah membagikan sejumlah uang kepada sanak keluarga, terutama anak-anak kecil. Jumlah uangnya berkisar antara Rp 2000, Rp 5000, Rp 10 ribu atau Rp 20 ribu. Meski uang yang dibagikan tidak terlalu besar, bentuk uangnya harus dalam keadaan baru. Uangnya harus dibawa dalam bentuk Rupiah, tidak dalam bentuk mata uang Dolar, bukan pula dalam Dirham, ataupun mata uang negara lainnya. Tidak boleh memberi uang mainan. Tidak sekadar elok bentuknya, uangnya pun harus memiliki kegunaan untuk membeli sesuatu.
Uang itu biasanya sengaja ditukarkan ke bank. Jika tidak sempat pergi ke bank, karena jam kerja terlalu padat, temuilah para penjual uang yang biasa datang ke kontrakan atau menjajakan jualan uangnya di pinggir jalan. Para penjual uang tersebut hanya muncul menjelang masa-masa mudik.
Di sekitar Kota dan Kabupaten Bekasi Jawa Barat, para bandar uang memanfaatkan keadaan tersebut untuk menjual uang. Minimal uang yang dijual dari Rp 100 ribu yang dihargai Rp 110 ribu; Rp 200 ribu menjadi Rp 220 ribu. Demikian seterusnya. Uang yang akan dibagikan sebagai uang lebaran dapat dimaknai sebagai penanda keberhasilan merantau di kota.
Tibalah kita di kampung halaman dengan membawa barang dari kota: pakaian, makanan, wewangian, dan uang receh yang masih bagus. Tak jarang, semua itu dihiasai dengan gaya berbahasa dan lenggak-lenggok dari kota.
Uang merupakan perantara utama dari pembicaraan mudik. Para sosiolog biasanya menempatkan uang sebagai alat tukar, sebagai pengukur nilai, dan sebagai penyimpan nilai. Para pengusaha, anggota dewan perwakilan rakyat, dan buruh memiliki sumber uang yang berbeda. Memiliki uang yang lebih banyak menjadi tolok ukur kekayaan sekaligus dapat menentukan tinggi-rendahnya derajat manusia.
Pembicaraan tentang uang bukan semata soal persepsi. Di zaman barter, membicarakan dan memiliki uang tentu tidak ada gunanya. Uang memiliki daya magis di zaman tertentu. Di zaman sekarang, nyaris semua hal telah diperantarai dengan uang; dari menguburkan orang meninggal, membangun mesjid, membeli pakaian dan makanan hingga membeli keamanan. Memiliki uang yang lebih banyak seolah memiliki kesempatan lebih besar untuk beramal saleh dan jaminan masuk surga. Menjadi anggota serikat buruh pun harus membayar iuran dalam bentuk uang, sebagai jaminan untuk diadvokasi. Meskipun tidak ada jaminan bahwa advokasinya akan berhasil. Semua itu terjadi di kota.
Melalui barang dan uang, tetangga dan sanak saudara diperkenalkan dengan barang dagangan. Tidak lupa setiap anak kecil diperkenalkan dengan uang. Uang tersebut berguna untuk membeli barang dan jasa. Uang itu adanya di kota. Barangkali setahun atau lima tahun kemudian, anak-anak kecil itu akan menyongsong saudaranya di kota untuk mendapatkan uang. Tidak ada lagi makanan olahan rumahan, atau pakaian yang dijahit tetangga, tapi barang yang dibeli dengan uang di toko. Keberhasilan lebaran pun bukan lagi seberapa kali khatam membaca Quran, atau bershalawat, membaca tahmid, dan takbir, tapi seberapa banyak uang yang dibagikan dan seberapa banyak barang dagangan yang dibawa.
Uang sebagai perantara hubungan antarmanusia, perantara manusia dengan tempat wisata alam. Ada uang sebagai tanda partisipasi dalam organisasi, uang sebagai tanda terima kasih, uang sebagai tanda menghadiri undangan nikahan dan sunatan, atau uang kadeudeuh. Entah bagaimana cara menghancurkannya agar hubungan antarmanusia atau manusia dengan alam tidak di-hijabi oleh uang. Namun, kita punya bekal yang cukup bahwa tidak semua hal bersandar pada uang.
Dengan niat tulus nan suci, tidak ada yang salah dengan membagikan barang atau uang kepada saudara atau kepada orang-orang yang membutuhkan. Namun, sanak saudara nyaris buta bahwa uang yang dikumpulkan itu dihasilkan dengan memperbanyak jam kerja dan merelakan diri dibentak setiap hari oleh manajemen. Semakin banyak tubuh dan pikiran di dalam pabrik, semakin banyak uang yang dikumpulkan. Namun, semakin tunduk buruh terhadap disiplin jam kerja dan target produksi semakin besar jumlah kekayaan para pengusaha dikumpulkan. Barangkali lupa untuk mengatakan bahwa barang dagangan yang diproduksi di kota adalah karya para buruh yang tidak sempat berbuka puasa dengan keluarganya atau salat berjamaah dengan tetangganya, karena jam kerja dan target produksi yang bengis.
Kabarkanlah kepada sanak saudara di kampung halaman, kota bukan tempat yang ramah untuk ditinggali. Kota ditopang oleh pabrik-pabrik yang telah menghancurkan keseimbangan alam. Setiap rupiah yang dikumpulkan bukan hanya ditukar dengan tenaga dan pikiran, bahkan dengan nyawa. Semuanya dipertukarkan dengan harga yang tidak adil. Di kota semuanya ada, kecuali solidaritas sosial, kebaikan, dan rasa aman.
Penulis adalah pegiat di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) Bogor