Politik Perempuan Independen: Refleksi untuk  International Women’s Day (IWD) 2019 

772
VIEWS

Lanskap Historis: Perdebatan Awal
Dalam tulisan dan pidato para feminis sosialis akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20—khususnya di Eropa—hampir semua menyoroti persoalan hak pilih bagi perempuan (women’s suffrage). Persoalan ini memang hampir memenuhi seluruh ruang perdebatan gerakan perempuan kala itu—sosialis vis- à-vis borjuis. Bagian awal berikut juga akan menyoroti lintasan perdebatan tersebut secara singkat. Hal ini penulis anggap penting karena nantinya akan membawa kita pada lanskap Konferensi Perempuan Sosialis Internasional Kedua (the Second International Conference of Socialist Women) di Kopenhagen tahun 1910 yang menghasilkan kesepakatan penting: pengorganisiran dan peringatan IWD setiap tahun; serta relevansinya dalam konteks nasional hari ini.

Seminggu setelah Rusia memperingati IWD untuk pertama kalinya, Alexandra Kollontai mengawali tulisannya di surat kabar Pravda dengan pertanyaan “Apa ‘Women’s Day itu?’ Benarkah masih diperlukan?”[1] yang mana pertanyaannya tersebut bukan pertanyaan retoris. Dalam tulisan bertitimangsa 1913 itu, selain mengkritik cara kerja partai yang masih menganggap persoalan perempuan adalah persoalan kelas dua, Kollontai juga menyoroti bahwa Women’s Day harus menjadi perjuangan perempuan pekerja dengan isu-isu yang dekat dengan keseharian mereka—perlindungan untuk ibu, regulasi tentang buruh perempuan, biaya hunian yang meningkat, dll. Dalam uraiannya itu Kollontai mencoba memberikan distingsi antara perjuangan perempuan borjuis dengan perempuan pekerja, bahwa perjuangan perempuan pekerja tidak hanya tentang hak pilih bagi perempuan semata. Namun, tak hanya melontarkan gagasan melalui tulisan, Kollontai juga mewujudkannya dengan membentuk Departemen Perempuan (Zhenotdel)[2] yang memiliki dua tujuan: membantu pengorganisiran dapur-dapur, pengasuhan anak, dan pencucian pakaian yang semuanya bersifat komunal untuk mulai membebaskan perempuan dari beban kerja rumah tangga; dan membantu perempuan meraih kepercayaan diri untuk keluar dari tradisi-tradisi kuno dan ikut ambil bagian dalam kehidupan politik negara yang baru.

Tidak hanya di Rusia, di Jerman, Clara Zetkin, anggota Komite Eksekutif Komunis Internasional (Komintern), juga merupakan salah seorang intelektual perempuan sosialis yang membawa isu perempuan pekerja ke permukaan melalui pidato dan tulisan-tulisannya. Dalam papernya untuk Kongres Partai Sosial Demokrat Jerman[3], Zetkin juga menyoroti hak pilih bagi perempuan sebagai tuntutan utama dari program politik Partai Sosial-Demokrat. Namun, tuntutan ini merupakan “[…] konsekuensi langsung dari mode produksi kapitalis” bukan terjadi serta-merta apalagi alamiah seperti dipropagandakan gerakan perempuan borjuis yang terinspirasi dari filsuf spekulatif abad ke-18 dan 19. Karenanya, jika pun tuntutan ini nampak sama seperti tuntutan gerakan perempuan borjuis, bagi Zetkin hal ini hanya bersifat sementara (transient conditions) seturut kondisi material historisnya. Dengan kata lain, tuntutan gerakan perempuan sosialis di setiap zaman tentu akan berbeda-beda.

Dalam pidatonya di Kongres Partai Sosial-Demokrat Jerman tahun 1896 berjudul Only in Conjunction With the Proletarian Woman Will Socialism Be Victorious,[4] Zetkin melihat bahwa persoalan perempuan (women’s question) muncul ketika mode produksi kapitalis menghancurkan sistem ekonomi keluarga lama—periode pra-kapitalis—yang menjamin penghidupan dan makna hidup bagi perempuan. Salah satu persoalan perempuan itu ialah buruh perempuan yang diupah murah (cheap labour). Zetkin memberikan ilustrasi: perempuan yang bekerja ingin membantu suaminya, namun ia justru masuk ke dalam persaingan yang tidak adil; perempuan yang bekerja ingin menciptakan hidup yang lebih layak bagi anaknya, namun ia justru hampir sepenuhnya terpisah dari anaknya itu karena jam kerja yang panjang. Maka, kata Zetkin, musuh perempuan kelas pekerja bukanlah laki-laki sesama kelas pekerja, justru perempuan kelas pekerja harus bahu-membahu “[…] dengan laki-laki kelas pekerja melawan masyarakat kapitalis” yang telah mengeksploitasi kedua jenis kelamin ini. Selaras dengan Zetkin, kompanionnya, Rosa Luxemburg, tidak menampik bahwa hak pilih bagi perempuan akan memajukan dan menajamkan perjuangan perempuan kelas pekerja,[5] namun ia tidak melihat hal itu sebagai tujuan utama melainkan “[…] perjuangan kelas pekerja, baik laki-laki maupun perempuan” yang harus menjadi perhatian bersama.

Meski isu hak pilih bagi perempuan ini nampak menjadi perjuangan bersama feminis sosialis dan borjuis, namun ada perbedaan penting yang mendasarinya: hak pilih universal atau hak pilih parsial. Feminis borjuis berposisi bahwa hak pilih bagi perempuan harus parsial yang didasarkan pada kepemilikan dan pembayaran pajaknya—maka, parsial di sini berarti hak pilih bagi perempuan hanya berlaku bagi perempuan kelas menengah atau menengah-atas. Dalam polemik itu, Zetkin menulis bahwa hak pilih bagi perempuan harus menjadi hak seluruh perempuan, terlepas dari kelasnya.[6] “Seluruh perempuan,” tulisnya, “di mana pun posisi mereka, harus menuntut kesetaraan politik untuk kehidupan yang lebih bebas dan untuk menghasilkan masyarakat yang kaya.” Polemik ini berlangsung hingga Konferensi Perempuan Sosialis Internasional Pertama yang berlangsung di Stuttgart tahun 1907—konferensi ini diinisiasi oleh Partai Sosial-Demokrat Jerman dalam kongresnya tahun 1906. Kollontai menyoroti polemik ini dengan baik dalam laporannya tentang Konferensi Stuttgart.[7]

Selain alasan yang diajukan Zetkin, mengapa anggota Partai Sosial-Demokrat Jerman yang menjadi delegasi Konferensi Stuttgart mengajukan posisi hak pilih universal? Kollontai melihat bahwa ini berarti dua hal: menuntut partai-partai sosialis untuk mengamankan kesetaraan politik perempuan secara penuh dan menarik batasan yang tegas dengan feminisme borjuis. “Dalam mempertahankan kepentingan perempuan pada kelasnya, Sosial-Demokrat Jerman mempraktekkan demokrasi dalam bentuknya yang penuh,” tulisnya. Di lain pihak, delegasi dari Inggris, khususnya, ia pandang sebagai representasi dari feminis borjuis yang tidak meletakkan perjuangan kelas dalam posisinya sehingga ketika kepentingan kelasnya terancam, posisinya menjadi sangat rentan. Dukungan perempuan pekerja delegasi Inggris untuk hak pilih parsial ditulisnya sebagai “[…] pengkhianatan yang hina dan tak termaafkan dari kelas proletar.” Dengan mayoritas suara 47 berbanding 11, konferensi memutuskan hak pilih universal sebagai posisi akhir. Kecuali persoalan hak pilih, hampir semua delegasi menyetujui persoalan-persoalan lain, seperti mendesak standar kerja internasional menjadi 8 jam per hari; pembayaran upah bagi perempuan pekerja yang mengandung atau sedang merawat anak; dan pembentukan sekretariat gerakan perempuan sosialis internasional di Jerman.

Di seberang Benua Eropa, Amerika Serikat, isu perempuan kelas pekerja juga menemukan gaungnya. Kondisi perempuan pekerja di sana, khususnya di pabrik-pabrik tekstil yang jumlahnya tak kurang dari 30 ribu orang berada dalam kondisi yang buruk: jam kerja yang panjang, sanitasi yang buruk, dan upah yang kecil. Pada 8 Maret, 1908 kurang lebih 15 ribu perempuan pekerja tekstil di New York melakukan pemogokan besar-besaran untuk menuntut kondisi kerja yang layak, pengurangan jam kerja, dan hak pilih.[8] Setahun setelahnya, untuk memperingati pemogokan ini, Partai Sosialis Amerika Serikat menjadikan 8 Maret sebagai ‘Women’s Day’. Setelahnya, dari 1909-1910 perempuan pekerja tekstil di New York dan beberapa kota lain melakukan rangkaian mogok yang merupakan mogok perempuan pekerja terbesar dalam sejarah Amerika Serikat. Salah satu tokoh perempuan penggeraknya adalah Clara Lemlich.

Hal ini kemudian menginspirasi Luise Zietz dan Clara Zetkin sebagai delegasi Jerman dalam Konferensi Perempuan Sosialis Internasional kedua di Kopenhagen, 8 Maret 1910 untuk mengajukan istilah “International Women’s Day’ di konferensi tersebut. Dengan kata lain, akar dari IWD adalah perjuangan perempuan kelas pekerja yang menuntut hak-haknya. Ini secara eksplisit dinyatakan dalam konferensi yang dihadiri 100 delegasi dari 17 negara tersebut:

“Sejalan dengan politik kesadaran kelas dan serikat-serikat buruh dari berbagai negara, perempuan sosialis seluruh dunia harus mengorganisir ‘Women’s Day’ (Frauentag) untuk mempromosikan hak pilih bagi perempuan dalam propagandanya bersamaan dengan persoalan-persoalan perempuan yang lain sesuai dengan konsepsi sosialis.”[9]

Konferensi Kopenhagen tersebut juga memutuskan 4 tuntutan utama untuk perjuangan sehari-hari: hak pilih bagi perempuan, perlawanan terhadap ancaman perang, perjuangan untuk kesehatan ibu dan bayinya, dan perjuangan melawan meningkatnya harga-harga.

Peringatan IWD pertama dilakukan setahun setelah Konferensi Kopenhagen. Awalnya, IWD diperingati tanggal 19 Maret karena delegasi Jerman melihat sejarah dari tanggal itu dimana kelas pekerja Jerman mengambil peranan penting pada Revolusi 1848. Barulah nanti ketika 1913, IWD diperingati setiap tanggal 8 Maret. Di Rusia, peringatan IWD ke-6 pada 1917 ditandai dengan mogok besar-besaran perempuan kelas pekerja yang menuntut diakhirinya Perang Dunia I, diakhirinya krisis pangan, dan jatuhnya rezim Tsar. Di kemudian hari, pemogokan ini dikenal dengan Revolusi Februari. Dalam pemogokan itu, rezim Tsar melakukan kekerasan dengan menembaki para demonstran. Sesuatu yang semakin memicu kemarahan rakyat sampai nanti terjadi Revolusi Oktober pada tahun yang sama.

Situasi Nasional dan Catatan Kritis
Lantas, hari ini, bagaimana kita melihat kondisi perempuan Indonesia—khususnya kelas pekerja—dalam peringatan IWD ke-109? Pertanyaan selanjutnya, apakah semangat peringatan IWD di Indonesia kali ini masih berselimutkan api perlawanan seperti semangat awalnya sesuai ‘konsepsi sosialis’?

Secara umum, kondisi sosio-politik Indonesia hari ini sangat tidak menguntungkan rakyat, terlebih perempuan kelas pekerja, karena polarisasi politik yang tercipta sangat mengabaikan persoalan-persoalan riil. Alih-alih memberikan ruang demokratis bagi setiap individu dan kelompok untuk berpartisipasi, politik elit hari ini justru menjadi kendaraan para elit membajak politik partisipatoris kaum buruh, perempuan, dan rakyat tertindas lain. Partai yang dapat berlaga dalam percaturan kekuasaan hanyalah partai yang bermodal besar—karena UU Pemilu memustahilkan adanya partai yang berangkat dari rahim rakyat[10]—dan populis—mengikuti logika pasar sehingga kerja-kerja perebutan kekuasaan menjadikan isu kerakyatan sebagai komoditas semata.

Partai-partai politik tidak hanya memainkan politik uang demi mendulang suara, melainkan juga memainkan isu ras, agama dan segala politik adu domba lainnya yang memecah belah gerakan rakyat. Padahal, partai-partai politik—baik dari pihak petahana maupun oposisi—tidak benar-benar terbelah. Mereka terkonsolidasikan dalam jejaring oligarki politik yang saling menopang pembangunanisme beraroma Orde Baru.[11] Menyebarnya isu populisme agama menyebabkan maraknya persekusi terhadap kaum minoritas, penyegelan dan perusakan rumah ibadah, pembubaran acara keagamaan, banyaknya perda syariah—termasuk juga Perda Kristen di Manokwari—dan kebijakan-kebijakan intoleran lain. Negara juga amat patriarkis dengan mempersekusi kelompok-kelompok identitas minoritas. Lihatlah bagaimana di Aceh beberapa waktu lalu, para transgender yang tidak mengganggu atau sama sekali tidak merusak fasilitas umum digelandang dan dicukuri rambutnya.

Juga di ranah legislasi, pengesahan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) yang telah berjalan berlarut-larut belum dianggap penting oleh negara. Padahal kasus kekerasan seksual meningkat dari tahun ke tahun. Kasus-kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi di ruang-ruang tertutup, pelaku semakin berani melakukannya di ruang publik, seperti jalan raya, mall, taman, gang, angkutan umum, di tempat kerja, institusi pendidikan hingga ruang maya. Di ranah perburuhan, persoalan outsourcing yang melegitimasi praktek fleksibilitas tenaga kerja masih menjadi persoalan besar yang perlu segera diatasi, utamanya oleh gerakan buruh. Kondisi buruh perempuan bisa dikatakan lebih parah: kebijakan cuti pra dan pasca melahirkan yang tidak layak; kondisi kerja yang buruk; upah yang minim; dll.

Dari kompleksnya situasi nasional seperti penulis ringkas di atas, bagaimana momentum IWD ini dapat menjadi gebrakan atau minimal dorongan menyatukan kekuatan rakyat untuk membangun politik independen seperti temanya? Yang juga penting, bagaimana menyatukan isu perempuan dengan kelas pekerja seperti semangat IWD yang digagas para perempuan sosialis, dan tidak mereduksinya pada hanya satu-dua isu saja? Ini adalah hal yang krusial, jika bukan mendesak, karena pembacaan yang keliru atas situasi nasional—bahkan internasional—akan berakibat pada setidaknya kebuntuan gerakan itu sendiri.

Komite IWD 2019 yang berupaya merespon situasi nasional dengan mengelompokkan masalah perempuan ke dalam 8 klaster[12]—perempuan dan ketenagakerjaan; perempuan dan pendidikan; perempuan dan kekerasan seksual; perempuan dan kesehatan; perempuan, identitas, dan ekspresi; perempuan, ruang hidup, dan agraria; perempuan, kebijakan, dan perlindungan hukum; perempuan, media, dan teknologi—semuanya ini harus merepresentasikan kondisi rakyat. Dengan kata lain, ia harus benar-benar berangkat dari bawah, tidak diinjeksi dari atas. Pertanyaan lanjutannya, jika tidak ingin sebatas seremonial, setelah ini apa yang bisa dilakukan untuk membangun politik perempuan independen tanpa menegasikan semua isu tersebut?

Jika dulu, ketika terjadi Perang Dunia I para perempuan sosialis melakukan demonstrasi untuk tidak mendukung blok Barat atau blok Timur karena perang imperialis tersebut hanya akan merugikan perempuan kelas pekerja, maka dalam konteks hari ini bagaimana semangat independensi tersebut bisa kita ambil untuk melawan penindasan struktural yang ada? Ini adalah, terutama, pertanyaan untuk kita semua. Akhir kata, selamat Hari Perempuan Internasional! Hidup rakyat, hidup perempuan!

Catatan akhir:

[1] Lih. ‘Women’s Day’ oleh Alexandra  Kollontai, 1913 (https://www.marxists.org/archive/kollonta/1913/womens-day.htm)

[2] Departemen Perempuan yang dibentuk pada 1919 berada dalam Kongres Soviet Seluruh Rusia Kedua (Second All-Russian Congress of Soviets) dimana Kollontai terpilih sebagai komisaris kesejahteraan sosial. Lih. https://isreview.org/issue/87/international-womens-day

Baca Juga:

[3] Lih. ‘Social-Democracy & Woman Suffrage’ oleh Clara Zetkin, 1906 (https://www.marxists.org/archive/zetkin/1906/xx/womansuffrage.htm)

[4] https://www.marxists.org/archive/zetkin/1896/10/women.htm

[5] Lih ‘Women’s Suffrage and Class Struggle’ oleh Rosa Luxemburg, 1914 (https://www.marxists.org/archive/draper/1976/women/4-luxemburg.html)

[6] Lih. ‘Social-Democracy & Woman Suffrage’ oleh Clara Zetkin, 1906 (https://www.marxists.org/archive/zetkin/1906/xx/womansuffrage.htm)

[7] https://www.marxists.org/archive/kollonta/1907/is-conferences.htm

[8] https://www.leftvoice.org/International-Women-s-Day-Feminism-and-Workers-Movements

[9] https://www.jacobinmag.com/2017/03/international-womens-day-clara-zetkin-working-class-socialist

[10] Lih. ‘Tibanya Tahun Pemilu 2019 dan Mendesaknya Politik Alternatif’ oleh Amalia Salabi, 2019 (https://islambergerak.com/2019/01/tibanya-tahun-pemilu-2019-dan-mendesaknya-politik-alternatif)

[11] Lih. ‘Developmentalisme, Otoritarianisme, dan Nasionalisme: Menggagas Studi Pembangunan Radikal di Indonesia (Bagian 1)’ oleh Rizki Amalia Affiat, 2018 (https://islambergerak.com/2018/11/developmentalisme-otoritarianisme-dan-nasionalisme-menggagas-studi-pembangunan-radikal-di-indonesia-bagian-1)

[12] Lih. Rilis Pers Komite IWD 2019.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.