Ramadhan telah berlalu, membuncahkan perasaan campur-aduk bagi banyak Muslim. Di satu sisi ada atmosfer meriah. Orang-orang baru saja hilir mudik bersilaturahmi sambil merayakan hari kemenangan Idul Fitri. Bedug ditabuh dan makanan-makanan enak disajikan. Namun di sisi lain juga ada atmosfer haru-sendu. Bulan suci telah berlalu dan banyak yang barangkali merasa belum cukup mengkhidmatinya dengan layak. “Belum tentu Allah mengizinkan kita untuk bertemu Ramadhan berikutnya,” ujar khatib ceramah sholat Ied di masjid dekat rumah saya. Klise, tapi selalu mengena.
Banyak yang memahami Ramadhan sebagai momen yang paling tepat untuk menggiatkan ibadah. Ini bukan pemahaman yang sama sekali keliru. Selama Ramadhan lalu kita bisa melakukan amalan ibadah puasa dan tarawih. Dalam bulan Ramadhan pula terselip Lailatul Qadar, malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Bayangkan kita yang hina dan lemah ini mengetuk-ngetuk pintu rahmat Allah di malam mulia dalam bulan yang mulia pula.
Walaupun sebenarnya menggiatkan ibadah tidak hanya dilakukan pada Ramadhan saja. Bukankah kita memang diciptakan tidak lain dan tidak bukan kecuali untuk beribadah kepada Allah? Seperti tertera dalam Adz-Dzariyat ayat 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. Makna ketauhidan ibadah begitu kentara dalam ayat ini. Artinya, ibadah bukan hanya diutamakan dalam Islam. Ibadah merupakan raison d’etre, tujuan keberadaan itu sendiri. Selama kita tidak lepas dari keberadaan kita, selama itu pula kita tidak bisa menyeleweng dari tujuan beribadah. Inilah alasan mengapa ibadah tidak bisa hanya digiati pada bulan Ramadhan saja.
Kita seringkali merangkum ibadah dalam rukun Islam: Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji. Penekanan ini penting untuk mempertegas ciri kaum Muslim. Namun jika kita kembali pada Adz-Dzariyat ayat 56 yang menyebutkan ibadah sebagai tujuan dari penciptaan kita, maka menjadi tidak mungkin kita membatasi ibadah dalam ritual-ritual yang tertera pada rukun Islam saja. Segala usaha lahir-batin yang kita jalani secara ikhlas untuk membaktikan diri pada Allah, dengan berpedoman Qur’an dan Hadits, sesungguhnya merupakan ibadah.
Kita hari ini cenderung menyempitkan ibadah pada laku-laku ritualistik saja, yang walaupun dilakukan secara berjamaah orientasinya tetaplah demi menyelamatkan diri sendiri. Lantaran kecenderungan inilah ibadah kemudian menjadi seperangkat ritual kering dan kaku.
Pemahaman ibadah yang sempit ini juga dipengaruhi oleh konteks masyarakat kapitalis. Orientasi beribadah semata-mata demi menyelamatkan diri sendiri misalnya, selaras dengan semangat individualisme yang merupakan ruh manusia modern dalam corak produksi kapitalisme-neoliberal. “Tidak ada yang namanya masyarakat, hanya ada individu,” begitu kata Margaret Thatcher, agen politik neoliberal yang menjabat Perdana Menteri Inggris pada 1979-1990. Padahal dalam Islam, semangat kolektif dalam konsep Ummah sangat penting posisinya.
Ibadah dengan orientasi individualistik ini akhirnya menjadi pertunjukan kepatuhan simbolik. Penekanan bahwa ibadah haruslah sesuai dengan pedoman Qur’an dan Hadits kemudian diejawantahkan dalam peniruan mekanis yang miskin dari refleksi nilai-nilai ketauhidan. Ibadah dengan orientasi individualistik adalah ibadah yang dangkal dan teratomisasi. Bukannya menjumpai kemaha-esaan Allah dan menyatu dengan semesta, kita justru menjadi tersekat-sekat dan cupet. Padahal sejatinya dengan mengikuti pedoman ibadah dari Qur’an dan Hadits, kita dapat menggali makna dan semangat ibadah yang kemudian bisa kita gunakan untuk menjawab persoalan-persoalan zaman kita—yang tentunya sudah jauh berbeda dari persoalan-persoalan di zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
Salah satu hal yang membedakan persoalan zaman kita dengan zaman Nabi Muhammad adalah pencapaian teknologi. Di zaman kita kemajuan teknologi sudah sedemikian pesat, sedangkan pada zaman Nabi Muhammad pencapaian teknologi masih sangat terbatas. Namun kemajuan teknologi di zaman kita ini tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang netral. Kemajuan ini terjadi dalam konteks monopoli kapital. Kemajuan teknologi dijadikan instrumen untuk menopang modal dan sarana produksi yang dikuasai oleh segelintir elit. Di satu sisi kemajuan teknologi mendorong keberlimpahan produksi, di sisi lain kemajuan teknologi yang didorong oleh monopoli kapital juga memperparah kesenjangan sosial-ekonomi dan perusakan lingkungan. Di zaman Nabi Muhammad corak produksi yang dominan adalah feodal-merkantilis. Tetapi Nabi Muhammad dan para sahabat mampu membangun oase kedaulatan Islam di Madinah yang membabat mudharat corak produksi feodal-merkantilis. Kaum Muslim bisa beribadah dengan khusyuk dalam naungan kolektif madani yang dibimbing langsung oleh Nabi Muhammad.
Makanya tantangan dalam beribadah di zaman kita dan zaman Nabi Muhammad amatlah berbeda. Jika dulu di zaman Nabi Muhammad tantangan datang dari kafir Quraisy dan entitas-entitas lain yang tidak menyenangi kehadiran Islam, di zaman kita tantangan muncul dari kerusakan (baik kemanusiaan dan lingkungan) yang diakibatkan oleh kekufuran kapitalisme. Ritual ibadah berorientasi individualistik, kendatipun dilakukan dengan keikhlasan dan ketaatan yang tinggi, tetap tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kolektif umat yang diakibatkan oleh kekufuran kapitalisme seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan, diskriminasi, kemerosotan moral, dan lain sebagainya.
Bahkan ritual ibadah yang berorientasi individualistik dalam beberapa kasus justru dipakai sebagai dalih untuk menzalimi orang lain. Lihatlah Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati yang dalam proses pembangunannya menggusur warga Desa Sukamulya secara paksa. Pemerintah Daerah bersikeras membangun bandara tersebut sebagai sarana untuk memberangkatkan jamaah Haji dan Umrah Jawa Barat. Tengok juga Masjid 99 Kubah yang berdiri megah di atas area reklamasi Pantai Losari Makassar. Padahal proyek reklamasi yang disebut Center Point Indonesia itu telah merusak lingkungan dan menghancurkan kampung-kampung nelayan. Jika ibadah secara harafiah berarti merendahkan diri di hadapan Allah, pantaskah dalam proses melakukannya kita justru turut membiarkan kedzhaliman terhadap sesama makhluk Allah?
Di sini bukan berarti ibadah dalam bentuk ritual itu kemudian dianggap tidak penting atau boleh saja ditinggalkan. Kita justru harus meradikalkan ibadah, termasuk yang ritualistik. Ibadah menjadi mudharat karena tercemar oleh kompromi-kompromi dengan kekufuran kapitalisme. Umat Muslim generasi kita yang hidup di zaman kapitalisme tingkat lanjut punya tugas untuk mengembalikan ibadah pada nilai ketauhidannya.
Sayangnya, banyak pendakwah Islam hari ini cenderung menganjurkan untuk menghadapi segala bentuk kerusakan dan kedzhaliman dengan kembali pada kesalehan individual. Ibadah ritualistik dan berbagai bentuk kesalehan individual dianggap cukup untuk menjadi penawar kerusakan-kerusakan akibat kekufuran kapitalisme yang membelenggu kita sebagai kolektif. Banyak orang merasa ritual ibadah dan kesalehan individualnya sudah menjadi kebaikan bagi orang lain, sementara mereka cuek saja terhadap kerusakan dan kedzhaliman di sekitar mereka.
Soal puasa misalnya, banyak khatib yang menganjurkan kita untuk menghayati puasa sebagai bentuk solidaritas pada kaum miskin. Berpuasa memang merupakan bentuk ibadah ritual yang penting dan termasuk dalam rukun Islam. Tingginya derajat ibadah puasa dapat dilihat pada salah satu Hadits Qudsi yang berbunyi: “Allah berfirman: setiap amalan anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Puasa hanyalah untukku dan akulah yang akan mengganjarnya secara langsung”.
Namun ritual puasa saja tidak serta-merta menyelesaikan kesenjangan sosial. Barangkali puasa, seperti dalam lagu Bimbo, dapat membuat kita rendah diri melalui rasa lapar. Tapi kemiskinan tidak bisa disimulasikan lewat puasa. Orang-orang yang hidupnya berkecukupan tidak bisa merasakan ketidakberdayaan kaum miskin yang dicurangi dan ditindas hanya dengan menahan lapar dan haus selama beberapa jam saja. Puasa sebagai ritual tidak bisa disamakan dengan bersolidaritas kepada kaum miskin.
Ada pula zakat dan sedekah, yang walaupun dampak sosialnya lebih bisa diukur dan nyata, juga hanya menambal sementara kerusakan-kerusakan yang disebabkan kapitalisme. Terlebih lagi orientasi berzakat dan bersedekah juga seringkali masih individualistik, yaitu untuk mendapat pahala, berharap balasan yang berkali-kali lipat, menggugurkan kewajiban. Padahal yang lebih diutamakan dalam Qur’an adalah berzakat dan bersedekah dalam orientasi yang kolektif-transformatif, yaitu sebagai laku menafkahkan harta di jalan Allah demi kemaslahatan umat. Malah terkadang ada pula orang-orang dzhalim yang menyalahgunakan zakat dan sedekah untuk kepentingan individual. Misalnya demi meningkatkan pamor, menyogok, politik uang, dan sebagainya. Naudzubillah min dzalik.
Lalu bagaimana agar ibadah kita menjadi kebaikan juga bagi orang lain? Bebaskanlah ibadah dari kekangan orientasi individualistik semata. Dengan begitu, niat dan laku ibadah kita dapat menjadi landasan kokoh dari tindakan konkret yang berpihak pada kaum tertindas. Tindakan konkret di sini maksudnya tindakan yang nyata dan terukur. Orang bisa saja mengobral jargon “Islam sebagai rahmat bagi semesta” tanpa melakukan tindakan konkret untuk mewujudkannya. “Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan saja mengatakan ‘kami sudah beriman’, sementara mereka tidak diuji lagi?” begitu bunyi firman Allah dalam Al-Ankabut ayat 2. Sesungguhnya kita akan diuji apakah kita benar-benar bersedia menjalani konsekuensi dari pengakuan kita.
Banyak para dai yang lantang ketika menyeru soal kesalehan individual atau belakangan ini soal politik elit, tapi mereka seolah kelu dan kebingungan mencari-cari dalil ketika diminta menyerukan pembelaan kaum tertindas. Padahal Islam sangat mengutamakan jihad membela kaum tertindas dan melawan kedzhaliman. “Mengapa kamu tidak berjuang di jalan Allah dan membela orang-orang yang tertindas, laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berkata ‘Tuhan kami! Keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat dzhalim. Berikanlah kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu!’” begitu termaktub dalam Annisa ayat 75. Di surat yang sama ayat 95 juga tertulis, “Tiada sama orang beriman yang duduk saja di rumah, kecuali dalam keadaan sakit, dan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah menempatkan orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya sederajat lebih tinggi dari orang yang duduk saja di rumah”. Nabi Muhammad juga mengambil posisi tegas dalam menyeru umatnya untuk mengamalkan solidaritas. “Belum beriman seseorang di antara kamu, hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai diri sendiri,”ujar hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
Dengan ayat-ayat Qur’an dan ketegasan Hadist Nabi Muhammad ini, mestinya sudah terang benderang bagi kita tentang keutamaan tindakan konkret (dengan harta dan jiwa) yang berpihak pada kaum tertindas sebagai ibadah. Dalam semangat ketauhidan Islam, ibadah bukan hanya tak memisahkan dimensi spiritual dan sosial, tetapi juga berorientasi pada pembebasan umat manusia dan makhluk hidup seluruhnya. Keserakahan yang merebut hak makhluk lain dan bersikap arogan lantaran harta kepemilikan merupakan pengingkaran terhadap tauhid. “Dan tidak ada satu pun makhluk yang berjalan di muka bumi melainkan Allah yang memberi rezekinya,” firman Allah dalam Huud ayat 6. Kapitalisme yang merayakan keserakahan dan arogansi kepemilikan merupakan penghinaan terhadap keesaan Allah yang menjamin rezeki seluruh makhluk hidup.
Kaum Muslim yang telah membebaskan ibadahnya dari kekangan orientasi individualistik mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar yang sejati. Amar ma’ruf nahi munkar yang bukan hanya sekedar menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, namun juga upaya membongkar struktur tiran yang menghambat amal baik dan mendorong orang berbuat mungkar. [ ]