Apakah Anda sudah menjadi muslim yang baik? Jika ada yang menjawab belum, kenapa? atau sebaliknya, sudah ada yang merasa menjadi muslim yang baik?
Sederhananya, jawabannya, saya belum merasa sebagai seorang yang bermanfaat. Mungkin shalat atau puasanya belum sempurna. Shalatnya belum khusyuk. Ibadah sunnahnya belum sempurna. Jawaban itu benar saja. Maksud saya, mengukur tingkat kebaikan seorang Muslim dengan ketakwaan, kepatuhannya dalam menjalankan perintah agama, itu benar. Hanya itu belum cukup karena itu baru berorientasi kepada satu hal, yaitu kesalehan individual.
Ketika kita memikirkan hanya hubungan kita dengan Allah, kita melihat apakah keimanan kita sudah tercermin dengan perilaku kita. Itu baru satu aspek saja. Sayangnya, sebagian besar kita mempersepsikan dan menganggap dirinya hanya bertugas untuk memenuhi tingkat kesalehan individual. Kalau bisa diadakan wawancara tertutup, kenapa tidak ada yang menjawab, “karena saya belum menyantuni anak yatim,”, “karena saya belum membebaskan seorang TKW”, “karena saya belum membantu menyelamatkan PKL yang diusir oleh satpol PP”, dan seterusnya, karena kita selama ini menganggap bahwa hal-hal seperti itu tidak berhubungan dengan ketakwaan kita, keislaman kita.
Itu memang respon alamiah kita. Begitu kita ditanya tentang yang namanya Islam, pasti kita akan menganggap Islam itu terdiri dari shalat, puasa, dzikir, dan baca Quran.
Kita tidak akan menganggap bahwa Islam itu terkait, misalnya, dengan menyelamatkan nasib seorang anak yang broken home keluarganya, atau seorang TKI yang baru saja di-trafficking, atau perempuan yang baru saja mengalami KDRT atau buruh yang baru saja di PHK. Itu bagian dari kesalehan individual dan kesalehan sosial.
Saya akan memberikan tafsiran saya, mudah-mudahan tidak terlalu salah. “lan tanaaluu ‘l-birra hatta tunfiquu min ma tuhibbun”, ini firman Allah: “kalian tidak akan mendapatkan kebaikan sampai kalian menginfakkan sebagian apa yang kalian cintai”. Sebenarnya kata al-birra, “kebaikan”, ini ukuran tertinggi di mata Allah tentang ketakwaan. Kita bisa menyebutnya takwa, kebaikan, itu satu kata, tapi yang menarik, sebenarnya kita tidak akan mencapai ketakwaan itu kalau kita hanya shalat dan memikirkan diri kita, hanya membatasi kesalehan pada level individu, hingga kita berpikir menafkahkan apa yang kita miliki untuk orang lain. Menginfakkan di sini bukan selalu berarti dalam bentuk harta, misalnya makanan atau uang, tapi juga dalam bentuk tenaga, pikiran, kepandaian, serta pengetahuan. Jika kita bicara sebagai seorang akademisi, insan akademik maupun kaum intelektual, tanda-tanda keilmuan, sahabat-sahabati di sini, saya kira, adalah bagian dari kaum intelektual.
Kita tidak akan mencapai tingkat ketakwaan itu, al-birr, “kebaikan” itu kalau kita tidak pernah meluangkan pengetahuan, kesadaran, energi dan pengetahuan kita untuk orang lain. Saya akan menguraikan siapa orang lain itu dalam pandangan Islam. Dalam ayat yang tadi saya baca, kebaikan itu berkorelasi dengan sejauh mana pengorbanan yang kita berikan. Jadi “lan tanaaluu ‘l-birra hatta tunfiquu min ma tuhibbun” itu. Persoalannya, kadang kita belum memahami siapa yang sebenarnya paling layak kita beri infak dalam bentuk tenaga, harta, pengetahuan, pemikiran dan apapun itu. Misalnya, siang ini saya berinfak pada kawan-kawan di sini. Itu infak saya karena itu yang saya punya. Kalau saya infak satu miliar rupiah disini mungkin nanti di luar ada yang cemburu. Disini ajaran Islam memberikan suatu konsep yang sebenarnya cukup utuh, komprehensif, sayangnya kita kurang mempelajarinya secara kritis.
Siapa yang harus kita bantu dalam konteks kita ingin mencapai ketawaan itu? Supaya tidak ada lagi dikotomi antara kesalehan individu dan kesalehan sosial. Tidak sembarangan. Ada banyak kelompok yang layak kita bantu. Pertama, pada tataran privat atau pribadi. Ada keluarga, orang tua, sanak famili atau al-aqarib, dan al-jiwar alias tetangga. Ini yang saya ambil secara literal, nash dari al-Qur’an. Kelompok yang paling dekat dengan kita. Artinya, Islam itu mengajarkan kita untuk memastikan kelompok-kelompok ini tidak ada dalam posisi yang—kalau menurut saya—termarjinalkan: keluarga, saudara, famili, dan tetangga. “wa ‘l-jari ‘l junubi wa ‘s-shahibi bi ‘l-janbi”, jadi orang yang rumahnya dekat dengan kita. Sebelah rumah kita.
Ada juga kategori yang agak jauh dari kita. Kita meihatnya dari kacamata yang agak jauh, tapi ada juga di sekitar kita. Misalnya “al-fuqara wal masakin”, kaum fakir dan miskin. Ada juga kaum perempuan—ini untuk laki-laki—yang disebut dengan “al-muhshanat” – perempuan yang mampu menjaga diri –, mereka juga harus dilindungi. Tapi fuqara wal masakin saja, sudah banyak kelompok yang masuk dalam kategori itu. Nanti kita akan membahas bagaimana kita akan memberikan kriteria bagi kelompok ini.
Ada juga kelompok yang lebih jauh lagi, mungkin juga satu kelompok dengan itu, disebut dengan “al-ashnaf at-tsamaniyah” atau golongan penerima zakat, seperti ibnu sabil, sabilillah, dst. Dan ada satu kelompok yang mengangkat betul (kenyataan) bahwa Islam memberikan satu kriteria yang sangat jelas sebagai tolok ukur kesalehan sosial kita, yaitu al-Mustadh’afin.
“Wamaa lakum laa tuqaatiluuna fii sabiilillahi wal mustadh’afiina minarrijaali wannisaa-i wal wildaanil-ladziina yaquuluuna rabbanaa akhrijnaa min hadzihil qaryatizh-zhaalimi ahluhaa”, “…mengapa kalian tidak berjuang di jalan Allah serta di jalan orang-orang al-mustadh’afin yang dilemahkan dari kalangan laki-laki, anak-anak dan perempuan.” Kalangan ini secara konsep kita mengerti definisinya, tapi bagaimana kita memahami praktiknya dalam sejarah, ini yang saya kira sangat perlu kita pelajari. Karena kalau kita tidak memahami sejarah, kita akan buta dan di situ sebenarnya kita hanya akan menjadi narsis. Contohnya apa? “Saya sudah menyantuni kok anak yatim setiap bulan”. Apa sudah cukup mengentaskan problem hanya sebatas itu? apa definisi Anda membantu? “saya sudah ngasih kok sembako seribu orang tiap bulan, ada kaum fakir, miskin dekat rumah saya, pengemis, saya kasih.” Ini buat saya definisi atau praktik paling minimal dalam kesalehan sosial. Sebenarnya itu ruangnya masih sangat egois, karena kita belum sampai mengentaskan kelompok-kelompok ini terangkat dari jurang kemiskinan dan kefakiran atau keterpinggiran. Ini istilahnya agak keren, agak asing, yaitu keberagamaan atau keberislaman yang borjuistik. Artinya, keberislaman yang hanya memupuk kebanggaan pada diri kita sendiri. Lebih-lebih sekarang ini ada media sosial, kita pakai Instagram, jepret, direkam, sudah.
Keberislaman borjuistik ini menjamur hari ini, bahkan diam-diam yang sebenarnya kita praktikkan sehari-hari. Kita merasa enjoy ketika melihat ada fakir miskin begitu saja. Kita tidak pernah tertarik bertanya mengapa dia menjadi orang miskin? Kenapa dia menjadi yatim piatu? Keluarganya kemana? Jangan-jangan ini keluarganya jadi TKI, ibunya pergi dan di sana diperkosa orang dan dibunuh, atau seperti TKI kita yang kemarin dibunuh, membayar qishas, dipenggal di depan umum. Kita tidak pernah tahu dan tidak pernah mau tahu.
Bentuk keberagamaan atau keberislaman yang borjuistik ini yang saya kira hari ini dipamerkan terang-terangan oleh acara televisi melalui ritual yang kelihatannya sosial, tapi sebenarnya tidak mengentaskan apa-apa. Contohnya praktik-praktik sadaqah yang sebenarnya menjadi ajang narsistiknya kita. Kita kasih uang sadaqah, “saya sudah sadaqah kok”, tapi tidak berefek apa-apa, malah melanggengkan kesenjangan sosial.
Jadi sebenarnya apa Islam progresif? Ada pertanyaan seperti itu.
Sederhananya, Islam Progresif adalah Islam yang ingin mengatasi masalah-masalah sosial dari akarnya paling mendasar atau mengatasinya secara radikal. Radikal itu berarti radix, akar. Diambil dari akarnya. Mari kita melihat praktiknya.
Sekarang umat Islam kelihatannya semakin makmur. Banyak kampus, masjid, lembaga pengajian, forum-forum pengajian, banyak ustadz, tapi mengapa pada saat yang sama kepedulian terhadap masalah-masalah yang menimpajustru semakin tipis. Kalau ada gempa, banjir, longsor, kita peduli sama korban banjirnya, tapi kita tidak pernah bertanya kenapa kok tiba-tiba ada banjir. Apakah jangan-jangan ada penebangan hutan disitu? Apa jangan-jangan hutannya milik orang luar yang kemudian mengorbankan penduduk setempat? Sebenarnya masyarakat perlu kritis, bahwa (indikator) kita telah berislam itu tidak hanya modal perasaan. Karena perasaan itu, “saya kasihan, ya sudah saya kasih”. Jadi kalau Islam hanya modal perasaan saja itu namanya keislaman yang sentimentil. Sentimentil ini sebenarnya yang akan terus memupuk keberislaman yang borjuistik: ketika sudah merasa terpuaskan, maka selesai, padahal persoalannya tetap tidak pernah selesai.
Misalnya, kenapa Indonesia selalu menjadi negara pengekspor TKW terbanyak di Asia? Kita bahkan mengekspor ke Malaysia. Oke, kurangnya lapangan pekerjaan. Apa definisi lapangan pekerjaan? Ini karena kita kurang meneliti. Di desa-desa, yang terjadi, misalnya di daerah Jawa Barat, kabupaten Indramayu, itu bukan karena tidak ada pekerjaan. Di sana itu perempuan sebagai ibu rumah tangga banyak pekerjaannya. Mungkin maksudnya pekerjaan yang punya bayaran. Sekarang pertanyaannya, kenapa perempuan sampai butuh pekerjaan yang berbayar? Karena dia tidak bisa lagi menggarap tanahnya. Di beberapa tempat, TKI itu banyak dikirim ke luar karena orang-orang sudah tidak bisa lagi menggarap tanahnya. Tanahnya sudah banyak dimiliki perusahaan, atau dimiliki orang-orang yang tidak butuh mereka (tanah). Jadi sempitnya lapangan pekerjaan itu tidak terjadi karena anggapan kita bahwa pemerintah kurang banyak memberikan lapangan pekerjaan. Kalau kita membangun industri, pabrik, apa otomatis mereka akan bekerja dengan kondisi yang lebih baik?
Di Sidoardjo, banyak buruh-buruh perempuan yang pada akhirnya tetap miskin. Faktor seperti ini penting kita pahami betul. Kita melihatnya juga sebagai bentuk keberpihakan kita sebagai orang Islam. Artinya, jangan kita merasa tenang selama saudara kita masih ada yang bekerja seperti itu.
Ini baru satu persoalan. Belum lagi persoalan sosial yang lain. Indonesia punya banyak persoalan tapi umat Islamnya kebanyakan cenderung belum mengerti akar persoalannya, sehingga kerap cenderung menyalahkan ini, menyalahkan itu. Tidak tahu sebenarnya akar persoalannya juga jangan-jangan akibat dari dirinya. Banyaknya orang-orang yang sudah berhaji tapi pergi ke desa membeli tanah dari orang desa yang tadinya bekerja di tanah itu. Ini namanya problem agraria. Jadi persoalan TKI, buruh migran, itu terkait juga dengan problem pekerjaan.
Kembali ke masalah keberislaman kita. Bagaimana kita mengatasi keberislaman yang borjuistik itu? Sebenarnya Islam progresif itu terinspirasi dari apa yang dilakukan oleh Abu Bakar RA dan Bilal RA. Islam itu datang sebenarnya progresif, artinya mendobrak kemapanan. Membebaskan orang dari belenggu, itu progresif. Ketika Abu Bakar melihat Bilal yang merintih kesakitan, yang tergerak dalam dirinya adalah bahwa dia saudara seiman saya, dia harus dibebaskan, tak peduli resiko apapun. Abu Bakar waktu itu dipukul, kalau sekarang orang menyebutnya sampai di penjara, karena membela saudaranya.
Dalam sejarah Islam, kalau kita baca sebenarnya banyak sekali kisah-kisah seperti itu. Termasuk bagaimana akhlak Nabi sendiri terhadap orang-orang dan budak dari kalangan non-muslim. Itu kalau dalam konteks perbudakan. Artinya, Nabi membebaskan kaum budak juga. Bahkan kemudian ada satu budak yang karena baiknya Nabi kepadanya, akhirnya beliau mau dinikahi oleh Nabi, yaitu seorang perempuan bernama Maria al-Qibtiyah atau Sayyidah Siti Maria. Namanya seperti orang Katolik, tapi memang dari negeri Katolik, seorang Kristen Koptik pada awalnya yang kemudian masuk Islam.
Ini menarik. Pertama, kita lihat semangat progresif dari agama untuk mengakui adanya hak-hak orang di dalam kebebasan dan kesetaraan. Jadi, bahwa manusia itu punya hak setara di hadapan Allah untuk mendapatkan pendidikan, harta, perlindungan sosial, dst. Tidak boleh ada diskriminasi. Saya mengapresiasi kawan-kawan yang sekarang berjuang untuk kesetaraan kaum difabel. Mereka juga punya hak.
Hak-hak ini terjadi dalam suatu lingkup yang saya sebut sebagai ‘revolusi hak’. Islam itu mengawali suatu revolusi hak yang berlangsung setidaknya sampai pada masa modern. Di situ kita bisa membaca kenapa ada tokoh Islam seperti Gus Dur atau Abdurrahman Wahid yang mengatakan bahwa berislam itu berarti menghargai hak. Islam itu tidak bertentangan dengan HAM.
Saya ingin bertanya, kalau ada teman yang keberatan dengan HAM, bahkan anti HAM, “HAM itu kan produk Barat”. Sebenarnya kita perlu bertanya, apakah benar HAM itu produk Barat ataukah itu produk Islam yang kemudian diambil oleh Barat? Buat saya, itu produk Islam, tapi kemudian Barat yang, katakanlah, melegalisirnya. Kemudian dari Islam diambil alih. Itu baru satu aspek. Belum lagi pada tataran hak yang lebih fundamental, misalnya hak untuk punya kehidupan bermasyarakat yang adil dan sederajat. Di sini hak juga menyangkut hak-hak kolektif, seperti yang di negara-negara sekuler disebut dengan hak-hak ekosob – ekonomi, sosial dan budaya. Misalnya hak atas tanah, hak atas pekerjaan layak, hak atas perlindungan hukum dari kriminalisasi, pemenjaraan dan persekusi.
Tapi itu sekali lagi masih banyak yang kesalehan individual, padahal itu juga tidak kalah pentingnya secara kolektif. Ini hanya pemantik awal. Saya punya banyak catatan untuk didiskusikan, mengapa hari ini kita sangat butuh suatu keberislaman yang progresif? Hipotesa saya, kalau kita menganut keberislaman yang borjuistik tadi, khususnya yang dianut teman-teman NU misalnya, moderat, oke, tapi Anda tidak akan berhasil menemukan akar persoalan dari semua ini dan bagaimana Islam menjawabnya. Saya meyakini Islam itu sebagai solusi. Mungkin ini agak aneh karena sebagian orang mengatakan Islam itu tidak bisa menjawab semuanya, tapi bagi saya Islam itu sebenarnya mampu menjawab semuanya asal dibaca dan diamalkan secara tepat. Sayangnya, sering kali kita membaca Islam itu sangat terdistorsi karena pengaruh zaman yang membuat kita tak lagi kritis dan bingung dalam membaca fenomena yang terjadi.
Seperti saudara-saudara kita kemarin yang ikut aksi 212. Ada satu media yang mewawancarai dan kebingungan juga karena apa yang dikatakan di atas panggung itu berbeda dengan yang di bawah panggung. Yang diatas panggung bicara kalau itu untuk bela elite, tapi yang di bawah itu bicara untuk ukhuwwah. Jadi beda-beda. Ada bahkan yang bilang “saya ingin menolak kapitalisme karena kapitalisme itu sistem yang mencekik Indonesia”, tapi yang satunya bilang beda, “ini mendukung Prabowo”. Prabowo kan kapitalis, misalnya begitu. Jadi berbeda-beda persepsi.
Mungkin kebingungan semacam ini karena kita belum berhasil menemukan semangat Islam yang sebenarnya diperlukan oleh kita sendiri.
Kesimpulan saya, tidak cukup kita hanya dengan kesalehan individual. Kita harus memiliki kesalehan sosial. Namun, tidak cukup kesalehan sosial selama dia masih borjuistik. Kita harus melangkah lebih jauh untuk mengetahui akar persoalannya dan sejauh Islam itu mampu mengatasi akar persoalan suatu masyarakat maka potensinya untuk menjadi progresif itu akan lebih besar.
Mantaap
Makasih banyak guss.. Sehat selalu dan tetap digaris perjuangan..
HAM versi mana dulu. kalo versi libertarian org miskin gak boleh dibantu karena menghina haknya utk memilih miskin. HAM ini baru muncul seiring revolusi borjuis yg menyangkut hak kepemilikan agraria.
Seiring perkembangannya HAM ini melindungi hak setiap individu atas penyiksaan, penghilangan anggota tubuh bahkan nyawa shg hukuman atas perampasan hak org lain hanya boleh berupa pencabutan sementara hak utk tdk dikurung. Pencapaian peradaban ini tentu saja baru lahir belakangan.
Sementara Islam yg turun seribu tahun sebelumnya masih menerapkan potong tangan bagi pencuri dimana ini sdh dipraktekkan sejak jaman babilonia. Hak hidup dlm Islam msh bisa diambil tp HAM kontemporer tidak bisa sama sekali.
Tapi kalau hak merdeka atas perbudakan sdh diisyaratkan dlm Islam walau msh dipraktekkan saat wahyu turun krn memang sdh menjadi sejarah pertentangan kelas selama ribuan tahun. Maka disini kita harus jeli ketika HAM dijadikan tameng utk menutupi penghisapan tanpa adanya perbudakan.